Aksi nyata untuk menyikapi isu perubahan iklim masih belum maksimal. Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta semua pihak untuk serius merespon risiko perubahan iklim. Soalnya, isu tersebut sering kali menjadi bahan diskusi di tingkat global.
Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Melli Darsa mendukung semangat Presiden untuk mengantisipasi dampak dari perubahan iklim. Menurutnya tidak bisa dipungkiri, langkah dunia ke depan harus sejalan dengan prinsip ekologi.
“Ekosistem dan strategi pembangunan peradaban dunia ke depan, harus seimbang antara, ekonomi, kemanusiaan, dan ekologi. Sayangnya pada saat kemarin di COP26 Glasgow, aspek ekologi tidak diangkat secara holistik khususnya tentang resiko kepunahan tanah,” kata Melli dalam keterangannya dikutip Selasa (21/3).
Politisi Golkar ini sangat sepakat atas pernyataan Presiden Jokowi yang meminta dunia melihat tantangan dan risiko perubahan iklim secara holistik. Menurutnya tantangan perubahan iklim itu bukan hanya mendorong pentingnya transisi ke energi bersih, tapi juga soal pangan.
“Energi dan pangan punya kaitan erat dengan air. Tiga ini adalah the nexus that sustains life–energy, air, dan pangan. Dan ketiga ini sentral ke bagaimana kita menjaga kondisi tanah. Fertility of the soil is the future of civilization,” jelasnya.
Melli berharap, pertemuan forum parlemen global IPU ke-144 di Bali dapat membahas perubahan iklim secara lebih holstik, mencakup ketersediaan energi, air, dan kondisi tanah.
“Kondisi tanah secara langsung mempengaruhi ketersediaan pangan. Dan ini sejalan dengan SDGs Goal 2, yaitu Zero Hunger. Saya rasa ini isu yang amat penting dan menyentuh masyarakat,” ucapnya.
Senada dengan Melli Darsa, di tempat lain, Ilmuan Bidang Microbiology dan Agroecology Dr. Nico Wanandy, peneliti asal Indonesia dari University of New South Wales Sydney, School of Biotechnology and Biomolecular Science, mengatakan hal yang serupa.
Menurutnya untuk menjaga nexus kehidupan tersebut, kesehatan tanah memainkan peranan sentral. Kesuburan tanah dapat memberikan dampak yang luar biasa untuk kehidupan sosio-ekonomi juga dalam pencegahan perubahan iklim, termasuk perekonomian masyarakat, apalagi untuk negara agraris yang alamnya kaya seperti Indonesia.
“Di India, penghasilan petani sempat di bawah rata-rata, lalu Pemerintah India menggalakkan praktek agrikultur yang mempromosikan kesehatan tanah, dan hasilnya penghasilan petani meningkat 230 persen,” jelas Nico, mengutip sebuah organisasi nirlaba yang mengkampanyekan pentingnya kesehatan dan kesuburan tanah untuk pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Lebih lanjut terkait peranan tanah dan ketersediaan air, dalam paparannya, Nico menjelaskan peningkatan 1 persen dari materi karbon di lapisan atas tanah bisa meningkatkan kapasitas tanah dalam menampung air sebesar 180 ribu galon per hektar.
Air yang tersimpan di dalam tanah merupakan sumber dari 90 persen produksi pertanian dunia dan menyumbangkan tidak kurang dari 65 persen kebutuhan air bagi manusia khususnya. Diingatkannya, jika kita mampu meningkatkan kandungan karbon organik dalam tanah 0,4 persen setiap tahunnya, dapat membantu mengurangi resiko bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan badai.
“Jadi secara holistik, pembangunan berkelanjutan, transisi energi bersih, soal pangan dan ketersedian air, semua kembali ke tanah,” tandasnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo secara resmi membuka Sidang Ke-144 Assembly of The Inter-Parliamentary Union (IPU) and Related Meetings yang digelar di Mangupura Hall, Bali Internasional Convention Center (BICC), Kabupaten Badung, Provinsi Bali, pada Minggu, 20 Maret 2022.
Dalam sambutannya di pembukaan sidang parlemen dunia yang kali ini bertemakan “Getting to Zero: Mobilizing Parliament to Act on Climate Change” tersebut, Presiden Jokowi turut menyerukan risiko perubahan iklim terhadap energi dan pangan.
Menurut Presiden, isu perubahan iklim sudah sangat sering dibicarakan di dalam pertemuan-pertemuan global, namun aksi lapangannya belum terlihat.
“Jangan melupakan bahwa kita menghadapi sebuah hal yang mengerikan kalau kita tidak berani memobilisasi kebijakan-kebijakan, baik itu di parlemen maupun di pemerintah, yaitu adalah perubahan iklim. Hal yang sering kita lakukan, sering kita bicarakan, sering diputuskan di dalam pertemuan-pertemuan global, tetapi aksi lapangannya belum kelihatan,” ungkapnya.
Presiden mengungkapkan risiko perubahan iklim bisa mendistrupsi berbagai aspek kehidupan global, mulai dari kelangkaan energi dan pangan, hingga gangguan logistik dalam pengiriman, sehingga secara sosial ekonomi dampaknya bisa mendorong kenaikan inflasi hampir di semua negara sehingga rakyat kesulitan dalam menjangkau harga-harga yang naik.
Bicara mengenai pangan, perlu diketahui memang Food and Agriculture Organisasi (FAO) mengatakan bahwa kerusakan tanah dan perubahan iklim bisa menyebabkan penurunan produksi pertanian hingga 50 persen di beberapa wilayah.
Apalagi, status kesuburan tanah di negara seperti Amerika Serikat sudah kehilangan top soil (lapisan tanah atas) sebanyak 50 persen. Kemudian, 75 persen-85 persen tanah pertanian di Eropa hanya memiliki 2 persen kandungan organik. Sedangkan tanah pertanian di Indonesia hanya memiliki 0,5 persen kandungan organik. [JAR/RM.ID]