Kategori: OPINI

  • Peredaran Antibiotik Ilegal di Jombang: Ketidakpatuhan yang Mengancam Kesehatan  

    Peredaran Antibiotik Ilegal di Jombang: Ketidakpatuhan yang Mengancam Kesehatan  

    Oleh: Fathia Puan Luthfia Ariffa – Mahasiswa S2 Universitas Pamulang, Prodi Manajemen Pendidikan

    Pengedaran antibiotik tanpa disertakan resep dokter di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, menunjukkan kurangnya pengawasan dan kesadaran tentang efek penyalahgunaan antibiotik. Kasus ini tidak hanya menunjukkan aturan kesehatan yang diabaikan, tetapi juga menunjukkan bahaya praktik yang tidak bertanggung jawab bagi kesehatan masyarakat.

    Dampak Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep

    Untuk mengobati infeksi bakteri, antibiotik memerlukan instruksi medis. Menggunakan antibiotik tanpa indikasi yang jelas tidak hanya berisiko gagal mengobati infeksi, tetapi juga dapat memperburuk kesehatan pasien dengan menyebabkan resistensi antibiotik. Fenomena resistensi ini menyebabkan bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik yang lebih kuat daripada sebelumnya. Oleh karena itu, pengobatan penyakit bakteri menjadi lebih sulit, lebih mahal, dan kadang-kadang tidak efektif.

    Studi dari Kementerian Kesehatan Indonesia (Survei Kesehatan Nasional 2023) menunjukkan bahwa 41 persen antibiotik oral di Indonesia diperoleh tanpa resep dokter. Jawa Timur sendiri memiliki angka lebih tinggi dengan sekitar 50 persen antibiotik yang diperoleh tanpa resep, yang mengindikasikan lemahnya kontrol dan pengawasan dalam distribusi obat-obatan.

    Minimnya Penegakan Hukum dan Pelanggaran Fungsi Tenaga Kesehatan

    Kasus di Jombang menunjukkan bahwa tenaga kesehatan tidak mematuhi peraturan distribusi antibiotik. Perawat dan bidan yang tidak memiliki otoritas untuk meresepkan antibiotik sering kali melanggar tugas pokok dan fungsi mereka, yang dikenal sebagai tupoksi. Kewajiban profesional kesehatan untuk menjaga keselamatan pasien bertentangan dengan tindakan ini. Seorang dokter di Jombang mengatakan bahwa tenaga medis non-dokter sering memberikan antibiotik tanpa indikasi medis. Pasokan antibiotik di apotek yang seharusnya diawasi ketat membuat praktik ini semakin marak. Antibiotik dapat dibeli tanpa resep di beberapa apotek. .

    Ternya tak hanya tenaga medis, bahkan toko-toko kelontong juga berperan dalam peredaran antibiotik ilegal. Antibiotik dan bebberapa obat obatan keras lainnya mudah ditemukan di berbagai warung hingga ke pelosok desa. Fenomena ini menunjukkan bahwa tidak ada regulasi yang kuat di sistem distribusi obat dan bahwa pemerintah tidak mengawasi penjualan obat di apotek dan toko kelontong.

    Faktor Penyebab dan Peran Pemerintah Daerah

    Penyebaran antibiotik ilegal ini dipengaruhi oleh beberapa alasan. Salah satunya adalah kekurangan tenaga medis di fasilitas kesehatan. Ketika dokter tidak hadir, tenaga non-dokter, yang tidak memiliki wewenang untuk memberikan resep obat, sering mengambil alih pekerjaan mereka. Selain iitu menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang, aturan distribusi antibiotik telah diterapkan, tetapi apotek dan toko kelontong masih menjual antibiotik tanpa resep. Klaim ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa ketat pemerintah mengawasi dan bertindak atas pelanggaran ini.

    Solusi

    Pemerintah harus mengambil tindakan nyata untuk menghentikan penyebaran antibiotik tanpa resep di Jombang dan daerah lain. Pertama, pengawasan lebih ketat harus diterapkan pada distribusi dan apotek obat keras. Selain itu, masyarakat harus dididik mengenai bahaya penggunaan antibiotik tanpa resep.

    Kedua, tugas tenaga kesehatan non-dokter harus diatur lebih ketat, terutama dalam hal memberi obat kepada pasien. Pelanggaran kewenangan dan tugas tenaga kesehatan menunjukkan masalah manajemen kesehatan yang perlu diperbaiki segera.

    Selain itu, pemerintah daerah harus memperkuat infrastruktur kesehatan dengan menambah jumlah tenaga medis berstatus ASN atau menyediakan tenaga kontrak yang cukup di puskesmas. Tujuannya adalah untuk mencegah tenaga medis non-dokter mengambil alih peran serta tugas dokter. (*)

  • Sepakbola dan Demokrasi

    Sepakbola dan Demokrasi

    Oleh : Rudy Gani

    Wasekjen MN KAHMI

    PERKEMBANGAN dunia sepakbola tanah air saat ini patut dibanggakan pecinta sepakbola. Sejak kepemimpinan Shin Tae Yong (STY), kesebelasan Garuda senior berpeluang mengukir prestasi yang sangat membanggakan di masa depan.

    Meskipun, dibalik kegemilangan yang diciptakan STY, berbagai kritikan dan umpatan terus ada, PSSI dan STY tetap “gasspoll” menggerus kritikan tersebut dengan permainan yang kian cantik.

    Hasilnya, dalam babak kualifikasi Piala Dunia zona Asia, Indonesia berhasil menahan imbang Arab Saudi dan Australia, dua negara langganan Piala Dunia, kemarin.

    Berbagai pengamat sepakbola baik dalam dan luar negeri pun optimis dengan masa depan sepakbola kita. Sebab, dari tahun ke tahun komposisi dan kualitas pemain di bawah arahan STY menunjukkan performa yang hampir mendekati tim negara besar.

    Bahkan, jika terus konsisten dengan permainan dan formasi yang saat ini ada, tiket piala dunia 2026 pun sepertinya tidak mustahil di dapatkan oleh tim Garuda Senior.

    Apa yang terjadi dan berkembang di dunia sepakbola tanah air sangat menarik jika dikaitkan dengan perkembangan demokrasi Indonesia saat ini.

    Walaupun sepakbola berbeda dengan dunia politik dan tidak dapat disamakan begitu saja, namun ada satu benang merah yang bisa kita tarik dalam mencermati sepakbola dan demokrasi.

    Pertama, ibarat tim bola, kualitas pemain merupakan kunci kemenangan bagi sebuah tim. Karena itu, kualitas dalam bentuk skill, pengetahuan, jam terbang, wawasan dan teknik bermain haruslah dikuasai dan terus dikembangkan.

    Begitupula dengan demokrasi kita. Para pemain politik, dalam hal ini politisi yang ada di parpol juga dituntut profesional dengan memiliki skill, pengetahuan dan wawasan yang luas terkait politik dan demokrasi Indonesia. Bukan seperti yang ada sekarang. Kebanyakan (oknum) politisi mengandalkan koneksi, ordal apalagi “orangtua”.

    Kedua, tidak ada tim sepakbola yang hebat dari proses yang instan. Begitu juga dengan politik.

    Untuk menciptakan tim yang hebat, maka diperlukan sistem perkaderan berjenjang yang menuhankan kedisiplinan dan komitmen tinggi.

    PSSI dibawah kepemimpinan Erick Tohir sudah melakukan pembibitan mulai dari tingkat dasar yaitu pembinaan klub-klub di liga 3. Kompetisinya pun dibuat secara profesional dan benar-benar dipantau oleh PSSI.

    Parpol seharusnya meniru apa yang dilakukan PSSI ini. Untuk mendapatkan politisi yang berintegritas, berkualitas serta berwawasan politik yang luas, pembibitan atau istilah dalam dunia politik “perkaderan” seharusnya sudah dimulai sejak dini.

    Misalnya, dengan cara membentuk tim khusus perekrutan (agensi) mahasiswa/i yang memiliki potensi menjadi kader yang akan dibentuk menjadi politisi di partainya kelak.

    Melakukan perekrutan di tingkatan mahasiswa/i bukan berarti mempolitisasi kampus. Namun sebaliknya. Tujuannya untuk memulai perkaderan sejak dini agar politisi yang nanti hadir di panggung lokal maupun nasional adalah mereka yang memang mumpuni dan bukan karbitan.

    Dengan proses perkaderan yang dijalankan secara bertahap dan disiplin, wajah perpolitikan kita akan sama dengan wajah sepakbola saat ini.

    Meskipun, sepakbola tidak sama dengan dunia politik, namun proses untuk terus memajukan demokrasi bisa mencontoh apa yang dilakukan PSSI dan STY.

    Jika di dalam sepakbola tujuannya menggolkan gawang lain, sehingga memperoleh kemenangan. Di dalam politik tujuan utama politisi ialah meningkatkan dan memperjuangkan kesejahteraan masyarakatnya.

    Kedepan, kita berharap dunia sepakbola terus meningkat prestasinya, baik di level ASEAN maupun Dunia. Begitupula dengan kehidupan demokrasi politik kita.

    Nah, pertanyaannya, mengapa dunia sepakbola kita bisa sukses seperti saat ini? jawabnya, karena mereka mau dan mampu memberantas mafia sepakbola dan pembegalnya. Kini, hasilnya pun mereka sedang perlahan dinikmati.

    Bagaimana dengan Politik? mampukah rakyat beserta elit yang “waras” memberantas para pembegal demokrasi seperti yang dilakukan PSSI? Atau sebaliknya, wajah politik kita tetap tersandera oleh para pembegal tersebut. (*)

  • Pilkada 2024 Dengan Menu Pusat

    Pilkada 2024 Dengan Menu Pusat

    Oleh: Hudjolly

    Tidak aneh jika indeks demokrasi Indonesia konon disebut terus merosot. Gejala praktik politik the winner takes all kian jelas. Tidak tanggung-tanggung dari kuota kabinet sampai kepala daerah boleh jadi diambil dalam satu helaan nafas: pusat kendali koalisi. Soal pembagian jatah kursi kabinet dan komisaris telah jadi sajian lumrah pasca pilpres.

    Tetapi satu yang kian menonjol usai urusan pilpres adalah desentralisasi politik yang bukan lagi keniscayaan setelah 26 tahun reformasi bergulir. Politik pemilihan kepala daerah ditentukan menunya oleh pusat, suka atau tidak suka. Orang di daerah tinggal milih, menu sudah paket dari pusat. Bagi kontestan dalam kubu koalisi, yang boleh berlaga adalah figur yang mendapatkan restu dari pusat kendali. Ini bisa lintas partai. Figur calon harus satu selera dengan pusat terutama untuk kursi gubernur. Bagi orang di luar pusat kendali koalisi, pencalonan musti diusung parpol tetap dengan ambang batas tertentu. Keputusan MK tidak membabad habis syarat ambang batas.

    Selera pusat memberi menyusun menu pilihan di pilkada dipengaruhi relasi kemesraan kekuasaan: mesra dengan partai pengusung, dan mudah berkedip mata dengan figur calon. Jika partai pengusung sudah mesra dengan kekuasaan dan figur tidak banyak mengalami penolakan maka restu laga pilkada segera dikantongi, meski jauh-jauh hari. Jika partai pengusung tidak lincah bermanuver dengan pusat koalisi ditambah figur calon susah dijual ke mitra koalisi maka tiket akan disesuaikan dengan selera pusat kendali koalisi.

    Partai pengusung akan dipaksa menggunakan diksi “memberikan tugas dan mandat lain” pada figur. Persoalannya untuk menjadi menu di pilkada bukan monopoli peluang bagi kader partai saja. Figur yang dielus pusat koalisi sekalipun bukan kader partai dapat mengangkangi partai mitra. Pusat kendali koalisi menjadi centre gravitasi pilkada.

    Persoalan lain menjelang pilkada serentak di 2024 ini faktor-faktor penentu dinamika politik local yang dulu begitu fluktuatif kini cenderung dimainkan secara terpusat? Tentu Ini berbeda dengan masa ketika desentralisasi berjaya. Ada kutub-kutub seperti local strongman atau kelompok berjejaring, powercube, yang masih dapat bertukar strategi menggalang dukungan publik. Dulu dukungan publik sangat menentukan penilaian pusat untuk menjatuhkan rekomendasi. Elektabilitas dan popularitas dianggap sebagai poin penentu. Kini point penentu ada pada seberapa unik relasi kuasa antara figur dengan pusat kendali koalisi.

    Keruntuhan Daulat Politik Daerah

    Artinya daulat politik daerah perlahan tapi pasti telah memudar dalam makna yang sesungguhnya. Pilkada 2024 ini cenderung disodori menu calon dari pusat koalisi. Pemilihan dan sistem masih sama tetapi jalan masuk ke gerbang pencalonan harus melewati ambang batas dan selera kekuasaan. Selain daulat politik daerah yang hilang, menu-menu itu sekaligus mencerminkan sejumlah perubahan besar konstelasi praktik makro politik.

    Pertama, praktik penerapan politik by design akan mendikte arus dinamika politik lokal. Arus yang beragam di daerah diaransemen pusat melalui instrument internal partai seperti pemberian mandat dan surat Keputusan dewan pimpinan pusat partai. Persyaratan formulir di KPU yang mewajibkan ketebelece pusat itu menjadi titik masuk betapa politik elektorial yang nampaknya egaliter itu mudah dijaga ketat oleh kuasa politik terpusat. Pencalonan kepala daerah yang egaliter—siapa saja dapat mencalonkan diri asal memiliki kapasitas—kini lebih cocok disebut sebagai utopia politik. Memang masih ada landasan “siapapun dapat mencalonkan diri”, tetapi ini propaganda agar aturan pilkada masih nampak dipenuhi nilai etik kesetaraan. Substansi “siapa saja” dikembalikan pada siapa yang sanggup menyesuaikan selera sentral koalisi.

    Bagi figur calon kepala daerah, memenuhi selera pusat koalisi akan memerlukan logistik politik yang tidak murah. Menggerakan pos-pos utama di pusat koalisi agar mengantongi surat tugas atau rekomendasi, harus memastikan keseluruhan mitra koalisi tidak mengajukan jago lain. Persetujuan lintas mitra partai di internal koalisi itu akan menyeleksi bahwa kepala daerah harus sejalan dengan pusat koalisi. Penetapan calon kepala daerah adalah panggung kuasa politik yang terpusat, tanpa itu tidak ada politisi yang bisa berdiri di laga pilkada. Ibaratnya tangan pusat ada tetap ada di leher calon kepala daerah.

    Kedua, arsitektur sistem politik nasional pada masa kini didasari oleh komitmen rigid bernama koalisi. Padahal tidak ada aturan tata negara yang secara eksplisit menyebut penggabungan kemitraan partai untuk mengelola kekuasaan. Semenjak ada ambang batas pilpres, partai yang berhasil mendudukan jagoannya ke kursi kepala negara menjadi titik pusat koalisi partai. Tapi postur koalisi ini tidak pernah baku. Dapat bertambah dengan masuk atau keluarnya partai di mitra koalisi. Postur kemitraan di daerah untuk menyambut pilkada juga tidak selalu sama.

    Formasi koalisi di pusat tidak serta merta berlaku sama di daerah, tapi politik di daerah musti seirama dengan kehendak pusat koalisi. Bagi partai kader pola ini merugikan karena kader unggulan akan mudah dianulir oleh figur yang dikehendaki pusat kendali koalisi. Kader-kader partai yang tersebar di daerah dalam tradisi partai kader seperti PKS, Golkar, PDIP, PKB harus siap digantikan oleh orang yang ditugaskan oleh pusat kendali koalisi.

    Maka boleh dibilang formasi kerjasama pengusung calon kepala daerah di daerah merupakan kemitraan partai yang lebih rentan. Bisa mendadak ramai, bisa mendadak sepi. Seperti di Jakarta dan Banten, Jateng, Jatim. Partai di episentrum koalisi punya kecenderungan mengukuhkan jago-jago untuk duduk di daerah. Tujuannya menjamin stabilitas suara pada musim pemilu selanjutnya. Partai pemegang pusat koalisi kelak harus dapat panen suara di tempat-tempat dimana jagonya didudukan sebagai kepala daerah.

    Efeknya adalah tingkat friksi dan intrik kian meruncing di daerah yang memiliki perolehan suara partai yang bersaing ketat di pemilu 2024. Golkar, Gerindra, PKS dan PDI P jelas adu catur di arena kepala daerah. Drama perebutan kursi kepala daerah yang penuh intrik ditandai dengan adu jegal surat rekom pusat partai, jegal jumlah pengusung dan saling menyandera rekam jejak jago pilkada. Sekali lagi, sejatinya yang berebut di pilkada adalah puncak-puncak kekuasaan di pusat formasi koalisi.

    Dengan praktik winners takes all, pusat koalisi tidak ragu sapu bersih daerah-daerah dengan menempatkan kepala daerah dari faksi politik terloyal. Proses pilkada di Pulau Jawa plus DKI telah menunjukkan fenomena itu. Tinggal Banten yang masih ditahan oleh Golkar. Manakala Golkar tidak sanggup bertahan di Banten, pusat kendali koalisi layak dipuji karena sukses membonsai beringin. Namun menyerahkan Banten pada selera pusat koalisi menjatuhkan reputasi Golkar sebagai partai kader harus menelan pil pahit hanyut ditelan gravitasi politik. Padahal sejak koalisi dipimpin Demokrat hingga koalisi didominasi PDIP, partai beringin adalah raksasa tangguh yang tidak mendudukan kader pada pusat koalisi tetapi mampu mewarnai corak dan ritme politik koalisi. Tahun 2024 ini ujian berat bagi Golkar dan sekaligus menjadi barometer tesis kekuasaan adu tangkas kader-kader partai berhadapan dengan petugas-petugas partai.

    Ketiga, kepentingan menjaga-mencetak lumbung-lumbung suara untuk dua periode sudah mulai dianyam dari penentuan rekomendasi kontestan pilkada saat ini. Maka dianggap penting untuk memberi mandat pada jago politik yang dapat menjamin bahwa di masa berikutnya suara partai pemilik titik pusat koalisi tetap dapat dipanen.
    Belum lagi dampak dari belanja suara pemilih yang cukup tinggi di pemilu silam akan menyeret pada pusaran hukum ekonomi. Politik Ekonomi menyumbang prosentase keberhasilan restu pusat kendali koalisi ke kursi pilkada. Kepentingan ekonomi pusat di daerah harus pula terjamin, tetap establish di tangan calon kepala daerah. Daerah yang ditempati proyek stabilitas nasional atau proyek swasta strategis skala nasional atau proyek milik orang nasional strategis ikut andil memberi aroma dan citarasa agar proyek ini tidak pahit terusik oleh kepala daerah baru.

    Figur orang daerah yang bisa diterima pusat kendali koalisi sekaligus dihormati partai di luar koalisi adalah pilihan-pilihan ideal. Sayangnya jenis politisi ini tidak banyak diketemukan. Jadi ada kemungkinan besar penetapan calon-calon kepala daerah tidak lain sebagai distribusi kekuasaan oleh pusat koalisi.
    Masih ada peluang Civil Society?

    Peran lembaga supremasi civil society seperti MK, KY, KPU bahkan KPK diharapkan bisa buat bersandar bagi daulat sipil. Keputusan ambang batas kursi yang sudah dianulir atau dikurangi prosentasenya memang memberi sedikit ruang lega. Karena membuka peluang partai luar koalisi mengusung figur sendiri sehingga seluruh pilkada melawan kotak amal atau kotak kosong akan hilang dengan sendirinya. Berkat keputusan MK itu, parpol kontra koalisi dipastikan akan mengambil kesempatan untuk adu pengaruh di pilkada. Tetapi jika dicermati, putusan MK itu memberi manfaat berupa soliditas tubuh koalisi. Bagi pusat koalisi menguntungkan untuk membuka peta, screening, mana kawan mitra koalisi yang terus berjalan seiring meskipun sudah terbuka peluang mengusung figur lain, dan mana partai yang tancap gas langsung loncat.

    Sementara itu, ada kerumitan bagi politisi calon kepala daerah. Manakah yang bersih, tidak ada dosa dari masa lalu. Rekam jejak masa lalu dapat berubah menjadi aral bagi kontestasi akibat jegal menjegal melalui kartu lama dengan memanipulasi lembaga supremasi civil society. Padahal figur, rekam jejak reputasi dan pengalaman sangat penting untuk menunjuk kompetensi daya terbang calon kepala daerah.

    Oleh karena itu, elemen-elemen civil society di luar sistem harus menyertai dan terus mengawal lembaga-lembaga hasil amanat reformasi itu agar tetap berada pada marwahnya. Bagaimanapun juga lembaga civil society dan eksponennya tetap jadi katup pengaman ampuh untuk menyeimbangkan sifat koalisi yang rigid dan konsentrasi kekuasan di satu kendali. Daulat sipil juga dimulai dari kepala daerah yang brilliant dan tumbuh dari masyarakat itu sendiri.

    Hudjolly,
    Pengajar Filsafat Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Penulis buku Redefinisi Pancasila “Philosophice Grondslag”, Insight Dialog Efistemologi Metafisik, Imagologi Strategi Rekayasa Teks, dan beberapa tulisan lain di tema filsafat, politik dan sosial.

  • Judi Online Sebagai Petaka Ekonomi Masa Kini

    Judi Online Sebagai Petaka Ekonomi Masa Kini

    Judi online telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, didorong oleh kemajuan teknologi dan akses internet yang semakin meluas. Meskipun sering kali dianggap sebagai bentuk hiburan, judi online membawa dampak ekonomi yang signifikan dan sering kali merugikan masyarakat. Legal opinion ini akan mengkaji mengapa judi online dapat dianggap sebagai petaka ekonomi masa kini, dengan menyoroti implikasi negatifnya dan memberikan rekomendasi untuk mitigasi dampak tersebut.

    Merujuk pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

    UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana telah diubah oleh UU No. 19 Tahun 2016, mengatur larangan penggunaan teknologi informasi untuk kegiatan ilegal termasuk judi online (Pasal 27 ayat (2). Sebagaimana KUHP mengatur tentang larangan perjudian dan menetapkan sanksi pidana bagi pelakunya, termasuk perjudian yang dilakukan secara online. Beberapa peraturan pemerintah dan peraturan menteri terkait dengan telekomunikasi dan teknologi informasi mendukung pemberantasan judi online melalui pemblokiran situs-situs yang menyediakan layanan tersebut.

    Judi online sering kali menyebabkan kerugian finansial yang besar bagi individu. Ketergantungan pada judi dapat mengakibatkan pengeluaran berlebihan, hutang, dan kebangkrutan pribadi, yang secara kolektif merugikan ekonomi rumah tangga dan berdampak pada stabilitas ekonomi nasional.

    Uang yang dihabiskan untuk judi online mengalir keluar dari perekonomian produktif, mengurangi investasi dalam sektor-sektor yang dapat memberikan manfaat jangka panjang seperti pendidikan, kesehatan, dan bisnis lokal. Keterlibatan dalam judi online sering kali terkait dengan peningkatan aktivitas kriminal seperti penipuan, pencucian uang, dan pemerasan. Hal ini memperburuk masalah sosial dan ekonomi dalam masyarakat.

    Ketergantungan pada judi online dapat menyebabkan masalah kesehatan mental yang serius seperti kecemasan, depresi, dan gangguan stres. Ini tidak hanya mempengaruhi produktivitas individu tetapi juga meningkatkan beban pada sistem perawatan kesehatan masyarakat.

    Ketergantungan pada judi online dapat mengganggu kinerja kerja dan produktivitas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kehilangan pekerjaan dan peningkatan tingkat pengangguran.

    Judi online merupakan petaka ekonomi masa kini yang membawa dampak negatif signifikan terhadap ekonomi individu dan nasional. Ini melibatkan kerugian finansial, pengalihan sumber daya ekonomi, peningkatan kriminalitas, masalah kesehatan mental, dan pengangguran. Meskipun ada regulasi yang berlaku, tantangan dalam penegakannya membuat masalah ini semakin kompleks.

    Memperkuat upaya penegakan hukum dengan peningkatan sumber daya dan teknologi untuk melacak dan menutup operasi judi online, serta menindak tegas pelaku dan operator yang terlibat,menggalang kerjasama dengan negara lain untuk menangani judi online lintas batas, termasuk berbagi informasi dan praktik terbaik dalam penegakan hukum.

    Mengatur dan memantau transaksi elektronik lebih ketat untuk mencegah penggunaan uang dalam judi online, termasuk penggunaan cryptocurrency dan metode pembayaran digital lainnya.

    Melakukan kampanye edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang risiko ekonomi dan kesehatan dari judi online, serta menyediakan bantuan dan sumber daya bagi mereka yang terkena dampak.

    Dengan penerapan langkah-langkah ini, diharapkan dampak negatif ekonomi dari judi online dapat diminimalisir, dan masyarakat dapat terlindungi dari ancaman ekonomi yang dibawa oleh aktivitas ilegal ini. Pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif diperlukan untuk menghadapi tantangan ini secara efektif.

    Penulis : Margiono

    Mahasiswa Fakultas Hukum S1

    UNIVERSITAS PAMULANG PSDKU SERANG

  • Adiksi Masyarakat Terhadap Judi Online

    Adiksi Masyarakat Terhadap Judi Online

    Pada era di mana teknologi dan informasi telah berkembang pesat, tentunya perkembangan zaman ini tentunya berdampak pada kehidupan bermasyarakat. Pada era sekarang, masyarakat sangat mudah untuk mengakses segala informasi secara cepat dan fleksibel, dalam artian tidak harus melalui media baca seperti koran ataupun televisi saja namun melalui smartphone masyarakat juga bisa mengakses segala macam berita dengan sangat mudah.

    Dampak daripada Perkembangan zaman ini tak luput juga dirasakan oleh warga Negara Indonesia, di mana hampir seluruh populasi dapat mengakses tekonologi dan informasi yang berkembang seoerti media sosial dan lain-lain dalam kehidupan sehari-harinya. Pada era ini juga, eksitensi perjudian semakin marak beredar di lingkungan masyarakat di mana perjudian bersifat adaptif ini (beradaptasi dengan perkembangan zaman sehingga muncul lah  judi online yang mana untuk mengaksesnya amat mudah dan dapat diakses oleh seluruh pihak.

    Judi online adalah aktivitas perjudian yang dilakukan melalui internet maraknya perjudian online di Indonesia telah menjadi momok yang memalukan dan membahayakan bagi generasi penerus bangsa, Para ahli memiliki berbagai pandangan tentang judi online, mencakup aspek sosial, ekonomi, dan kesehatan mental. Menurut Dr. Mark Griffiths, seorang profesor psikologi yang telah banyak meneliti perilaku adiktif, judi online dapat meningkatkan risiko kecanduan karena aksesibilitasnya yang mudah dan sifatnya yang anonim. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang berjudi online cenderung lebih mungkin mengalami masalah perjudian dibandingkan mereka yang berjudi di tempat fisik. Dari perspektif ekonomi, Dr. Alan Littler, seorang pakar regulasi perjudian, menyatakan bahwa meskipun judi online bisa menjadi sumber pendapatan pajak yang signifikan bagi pemerintah, penting untuk memiliki regulasi yang ketat guna mencegah praktik penipuan dan melindungi konsumen. Sementara itu, Dr. Sally Gainsbury, seorang peneliti di bidang perjudian, menekankan pentingnya edukasi publik dan penerapan teknologi seperti pengaturan batas taruhan dan pengecekan usia untuk meminimalkan dampak negatif judi online.

    Di Indonesia judi online dilarang keras dan diatur oleh berbagai undang-undang, termasuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 303 yang mengancam hukuman penjara hingga 10 tahun atau denda maksimal 25 juta rupiah. Selain itu, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun 2008 melarang penggunaan internet untuk aktivitas perjudian dengan ancaman penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal 1 miliar rupiah. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) secara aktif memblokir situs judi online dan penegak hukum secara rutin menangkap pelaku judi online, baik pemain maupun penyelenggara, untuk mencegah aktivitas ilegal ini dan melindungi masyarakat dari dampak negatifnya.

    Dalam upaya mengatasi maraknya judi online di Indonesia pemerintah telah melakukan tindakan diantaranya Di tahun 2015, setidaknya 360 situs judi online diblokir oleh Bareskrim yang bekerja sama dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Susanti, 2021). Berselang 7 tahun kemudian pada tahun 2022, Kementrian Kominfo merilis pemutusan akses terhadap 118.320 konten perjudian online, mulai dari Januari, hingga 22 Agustus 2022 (Husna, 2022). Hal tersebut merupakan bagian dari konsekuensi perkembangan teknologi yang semakin hari semakin memudahkan manusia untuk melakukan sesuatu, termasuk melakukan judi online.

    Salah satu jenis judi online yang marak ialah judi slot, kemudahan judi slot bukan hanya sebatas mudah dalam memainkannya, tetapi juga mudah untuk menemukan situs yang menyediakan permainan judi online. Meskipun pemerintah mengaku sudah memblokir banyak sekali situs judi online di Indonesia, pada kenyataannya situs-situs judi online tidak mudah hilang begitu saja. Menurut Johnny G. Plate selaku Mentri Komunikasi dan Informatika Indonesia pada laman Republika.co.id, Kominfo telah melakukan pemblokiran terhadap lebih dari 560 ribu situs judi online (Saputri, 2022). Sangat mudah untuk menemukan situs judi online hanya melalui pencarian Google. Selain itu, hampir semua situs judi online yang dijumpai menawarkan kemudahan dalam mendaftarkan diri sebagai pemain judi online. Pemain hanya diminta mengisi nama, nomor telpon, dan nomor rekening bank yang hendak digunakan dalam bertransaksi nantinya.

    Menyadari betapa berbahayanya perjudian online dalam kehidupan sehari-hari upaya untuk mencegah agar tidak terjerumus kedalam dunia tetsebut, yaitu pentingnya kesadaran dalam setiap individu bahwa judi online bukan merupakan suatu solusi dalam mengatasi perekonomian karena dengan permainan judi online justru membuat ekonomi semakin turun, juga para orangtua dan guru perlu memberikan pengertian lebih kepada anak didiknya mengenai bahayanya perjudian online.

    Ditulis Oleh : Firman Alauddin

    Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum  Universitas Pamulang PSDKU Serang

  • Peran Kepemimpinan Perempuan dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

    Peran Kepemimpinan Perempuan dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

    Penulis : Ratu Nisya Yulianti

    Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Lebak

    Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan salah satu organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia, yang memiliki peran penting dalam membangun karakter kepemimpinan di kalangan mahasiswa. Dalam dinamika organisasi ini, peran perempuan semakin diakui sebagai bagian integral dalam menggerakkan visi dan misi HMI. Artikel ini akan mengulas secara mendalam mengenai kontribusi dan pentingnya kepemimpinan perempuan dalam HMI, serta tantangan yang dihadapi serta strategi untuk mengatasi tantangan tersebut.

    Perempuan dalam Sejarah HMI

    Sejak awal berdirinya, perempuan telah berperan dalam sejarah HMI meskipun dalam posisi yang terbatas. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, partisipasi perempuan semakin meningkat. Tokoh-tokoh perempuan seperti [contoh tokoh] telah memainkan peran penting dalam menginspirasi dan memimpin gerakan di HMI, menunjukkan bahwa perempuan mampu berkontribusi secara signifikan dalam konteks kepemimpinan organisasi.

    Peran Kepemimpinan Perempuan di HMI

    Kepemimpinan perempuan dalam HMI bukan hanya sebatas simbolis, tetapi juga memiliki dampak yang nyata dalam pembentukan kebijakan dan implementasi program organisasi. Dengan kepemimpinan yang tangguh dan visi yang jelas, perempuan di HMI mampu memperjuangkan isu-isu krusial yang relevan dengan mahasiswa, baik itu dalam ranah akademik, sosial, maupun politik. Studi kasus menunjukkan bahwa perempuan di berbagai tingkat struktur HMI mampu menghasilkan inovasi dan perubahan positif yang signifikan.

    Tantangan dan Peluang

    Meskipun kemajuan yang signifikan, perempuan dalam HMI juga menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan tersebut antara lain persepsi gender stereotip, keterbatasan akses terhadap posisi kepemimpinan tertinggi, serta kebutuhan untuk memperkuat jejaring dan dukungan bagi perempuan di dalam organisasi. Namun, dengan adanya kesadaran akan pentingnya inklusi gender dan komitmen untuk mendorong partisipasi perempuan, terdapat peluang besar untuk meningkatkan keterwakilan dan peran perempuan dalam HMI.

    Kesimpulan

    Kepemimpinan perempuan dalam HMI tidak hanya relevan untuk mengukuhkan keberagaman dan inklusi di dalam organisasi, tetapi juga penting untuk mencapai tujuan-tujuan strategis HMI yang lebih luas. Melalui pengakuan dan penguatan peran perempuan, HMI dapat menjadi lebih representatif dan efektif dalam mewujudkan visi sebagai organisasi mahasiswa yang berdaya dan berpengaruh. Oleh karena itu, langkah-langkah strategis perlu terus dilakukan untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang adil dan kesempatan yang sama dalam memimpin dan berkontribusi dalam HMI.

    Artikel ini berharap dapat menjadi kontribusi dalam meningkatkan pemahaman tentang pentingnya peran kepemimpinan perempuan dalam konteks organisasi mahasiswa seperti HMI, serta menjadi pijakan untuk memperkuat partisipasi dan pengaruh perempuan di masa depan.

  • Krisis Moral Pejabat Sebagai Ancaman Besar Terhadap Kemajuan Bangsa

    Krisis Moral Pejabat Sebagai Ancaman Besar Terhadap Kemajuan Bangsa

    Krisis moral yang melanda pejabat di berbagai tingkat pemerintahan merupakan masalah serius yang berpotensi menjadi hambatan besar bagi kemajuan bangsa. Fenomena ini tidak hanya mengancam integritas sistem pemerintahan, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap lembaga negara dan menghambat upaya pembangunan nasional secara keseluruhan.

    Berikut adalah analisis Legal Opinion mengenai dampak dan implikasi dari krisis moral pejabat: Pelanggaran Etika dan Hukum,Pejabat yang terlibat dalam korupsi, nepotisme, atau penyalahgunaan kekuasaan tidak hanya melanggar etika moral, tetapi juga melanggar undang-undang yang mengatur integritas dan tata kelola pemerintahan yang baik.

    Krisis moral di kalangan pejabat dapat menyebabkan kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan. Hal ini mengancam legitimasi dan otoritas pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsinya secara efektif.

    Dampak Sosial dan Ekonomi menyebabkan ketidaksetaraan pembangunan.Praktek korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dapat menyebabkan ketidaksetaraan dalam distribusi sumber daya dan kesempatan, yang pada gilirannya dapat menghambat pembangunan ekonomi dan sosial secara merata.

    Sehingga Kerugian Finansial dan Pemborosan Anggaran tidak dapat terelakkan.Praktik korupsi yang masif mengakibatkan kerugian finansial yang signifikan bagi negara, karena dana publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat diboroskan atau disalahgunakan.

    Implikasi Terhadap Keadilan dan Demokrasi tak dapat terhindarkan, Erosi Keadilan dan Akuntabilitas serta Pergeseran Norma Sosial semakin menjadi-jadi. Krisis moral dapat mengakibatkan erosi keadilan dan akuntabilitas dalam sistem hukum, di mana pelanggaran hukum oleh pejabat tidak ditindak dengan tegas dan adil. Praktek-praktek negatif oleh pejabat dapat merusak norma sosial tentang integritas, kejujuran, dan tanggung jawab dalam pemerintahan dan kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Rekomendasi untuk Penanggulangan Harus ada Penguatan Pengawasan dan Transparansi diperkuat, Oleh karenanya, Diperlukan penguatan lembaga-lembaga pengawasan seperti KPK, Ombudsman, dan lembaga-lembaga pengawas lainnya untuk mengawasi dan mencegah praktek-praktek korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan serta perlu adanya program pendidikan dan pelatihan yang intensif untuk membangun kesadaran etika dan budaya hukum di kalangan pejabat pemerintahan dan masyarakat secara luas.

    Penting untuk memberlakukan hukuman yang tegas dan deterrent terhadap pelanggaran etika dan hukum oleh pejabat, sehingga dapat memberikan efek jera dan mencegah terulangnya pelanggaran di masa depan.

    Krisis moral di kalangan pejabat pemerintahan adalah ancaman serius terhadap kemajuan dan stabilitas bangsa. Dengan memperkuat integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam sistem pemerintahan, kita dapat membangun fondasi yang kuat untuk kemajuan bangsa yang berkelanjutan dan inklusif.

    Dalam konteks global yang semakin kompleks, menjaga integritas moral pejabat pemerintahan adalah tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa negara dapat berkembang dengan baik dan masyarakat dapat hidup dalam keadilan dan kesejahteraan. Dengan mengambil langkah-langkah yang tepat, kita dapat mengatasi krisis moral ini dan membangun masa depan yang lebih baik untuk generasi mendatang.

    Demikianlah legal opinion mengenai dampak krisis moral pejabat terhadap kemajuan bangsa.

    Sumber : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman RI

    Penulis  : Lily Chairunissa

    Mahasiswa Fakultas Hukum S1

    UNIVERSITAS PAMULANG PSDKU SERANG

  • Keterbatasan Demokrasi: Bagaimana Dinasti Politik Merusak Proses Pemilihan yang Seharusnya Berkeadilan

    Keterbatasan Demokrasi: Bagaimana Dinasti Politik Merusak Proses Pemilihan yang Seharusnya Berkeadilan

    Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dianggap paling adil dan efektif dalam memastikan hak-hak warga negara. Namun, dalam beberapa kasus, dinasti politik dapat menjadi penghambat yang signifikan dalam proses pemilihan yang seharusnya berkeadilan. Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana dinasti politik dapat merusak demokrasi dan mengapa hal ini harus dihentikan.

    Dinasti politik adalah suatu fenomena di mana anggota keluarga yang sama secara terus-menerus memegang jabatan politik. Hal ini dapat terjadi ketika suatu keluarga memiliki akses yang lebih mudah ke sumber daya dan jaringan yang kuat, sehingga memungkinkan mereka untuk memenangkan pemilihan dengan lebih mudah. Dalam beberapa kasus, dinasti politik dapat menjadi suatu tradisi yang diwarisi dari generasi ke generasi.

    Dalam beberapa negara, dinasti politik telah menjadi suatu hal yang umum. Contohnya, di beberapa negara di Asia, dinasti politik telah menjadi suatu bagian dari budaya politik. Namun, dalam beberapa kasus, dinasti politik dapat menjadi penghambat yang signifikan dalam proses demokrasi.

    Dalam beberapa kasus, dinasti politik dapat mempengaruhi proses pemilihan dengan cara-cara yang tidak adil. Contohnya, suatu keluarga dapat menggunakan sumber daya yang mereka miliki untuk mempromosikan anggota keluarga mereka dalam kampanye pemilihan. Hal ini dapat membuat anggota keluarga lainnya tidak memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan pemilihan.

    Selain itu, dinasti politik juga dapat mempengaruhi proses pemilihan dengan cara-cara yang tidak transparan. Contohnya, suatu keluarga dapat menggunakan jaringan yang kuat untuk mempengaruhi hasil pemilihan. Hal ini dapat membuat proses pemilihan tidak adil dan tidak transparan.

    Dalam beberapa kasus, dinasti politik juga dapat mempengaruhi proses pemilihan dengan cara-cara yang tidak berkeadilan. Contohnya, suatu keluarga dapat menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk mempengaruhi hasil pemilihan. Hal ini dapat membuat proses pemilihan tidak adil dan tidak berkeadilan.

    Dalam beberapa kasus, dinasti politik juga dapat mempengaruhi proses pemilihan dengan cara-cara yang tidak demokratis. Contohnya, suatu keluarga dapat menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk mempengaruhi hasil pemilihan. Hal ini dapat membuat proses pemilihan tidak demokratis dan tidak berkeadilan.

    Dalam beberapa kasus, dinasti politik juga dapat mempengaruhi proses pemilihan dengan cara-cara yang tidak adil dan tidak transparan. Contohnya, suatu keluarga dapat menggunakan sumber daya yang mereka miliki untuk mempromosikan anggota keluarga mereka dalam kampanye pemilihan. Hal ini dapat membuat anggota keluarga lainnya tidak memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan pemilihan.

    Dalam beberapa kasus, dinasti politik juga dapat mempengaruhi proses pemilihan dengan cara-cara yang tidak demokratis dan tidak berkeadilan. Contohnya, suatu keluarga dapat menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk mempengaruhi hasil pemilihan. Hal ini dapat membuat proses pemilihan tidak demokratis dan tidak berkeadilan.

    Dalam beberapa kasus, dinasti politik juga dapat mempengaruhi proses pemilihan dengan cara-cara yang tidak adil dan tidak transparan. Contohnya, suatu keluarga dapat menggunakan sumber daya yang mereka miliki untuk mempromosikan anggota keluarga mereka dalam kampanye pemilihan. Hal ini dapat membuat anggota keluarga lainnya tidak memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan pemilihan.

    Dalam beberapa kasus, dinasti politik juga dapat mempengaruhi proses pemilihan dengan cara-cara yang tidak demokratis dan tidak berkeadilan. Contohnya, suatu keluarga dapat menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk mempengaruhi hasil pemilihan. Hal ini dapat membuat proses pemilihan tidak demokratis dan tidak berkeadilan. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam menghadapi fenomena dinasti politik dan memastikan bahwa proses pemilihan tetap adil, transparan, dan demokratis.

    Penulis :  Jimi

    Fakultas Hukum s1

    UNIVERSITAS PAMULANG PSDKU KOTA SERANG

  • Tantangan Penyetaraan Pendidikan Pesantren

    Tantangan Penyetaraan Pendidikan Pesantren

    Oleh

    Dr. Ali Muhtarom, M.S.I

    Sekretaris Forum WD 3 Tarbiyah dan Keguruan PTKI, Dosen FTK UIN SMH Banten

    KEPUTUSAN Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia nomor 1772 dan 3543 2018 menjadi dasar dalam penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah (PKPPS) di Indonesia. Bahkan posisi PKPPS dianggap menjadi lebih kuat ketika Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren disahkan. Meskipun demikian, keberadaan UU Pesantren tersebut belum memberikan ruang khusus bagi PKPPS baik dalam aspek afirmasi, rekognisi, maupun fasilitasi sebagaimana dalam amanah UU tersebut.

    Saya mengatakan bahwa PKPPS belum mendapat ruang khusus dalam UU Pesantren karena pada satu sisi, status penyetaraan dari non formal menuju formal belum secara eksplisit dijelaskan dalam UU Pesantren.

    Jika dicermati keberadaan PKPPS memang disinggung dalam UU tersebut yaitu masuk dalam pasal 5 (lima) tentang tiga klasifikasi bentuk pesantren yaitu bentuk kajian kitab kuning, bentuk pendidikan muallimin, dan bentuk lainnya yang terintegrasi dengan pendidikan umum. Poin ketiga inilah menurut saya afirmasi UU Pesantren terkait kelembagaan PKPPS.

    Pada sisi yang lain, UU Pesantren juga belum secara eksplisit mendudukkan posisi PKPPS dalam jalur pendidikan formal karena dalam UU Pesantren disebutkan jalur pendidikan formal meliputi pendidikan Diniyah Formal (PDF) dan Pendidikan Muadalah baik dari jenjang Ula, Wustha, Ulya maupun Ma’had Aly. Di sinilah sekali lagi yang saya maksud PKPPS belum secara khusus diberikan ruang dalam UU Pesantren. Padahal jika dilihat dari urgensi dan kemunculannya PKPPS lebih dahulu dari UU Pesantren.

    Jika dicermati lebih mendalam lagi, program kesetaraan pendidikan pesantren tersebut memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu sebagai pelayanan untuk pemerataan pendidikan dasar dan menengah di kalangan pesantren, membantu program pemerintah dalam mewujudkan wajib/ wajar belajar 9 (sembilan) tahun, dan memberikan acuan utama dalam proses, penilaian, dan kompetensi lulusan untuk disetarakan dari segi kualitas dengan lembaga lain di luar PKPPS. Perlu dipahami juga bahwa PKPPS tidak sama dengan program kejar paket A, B, atau C.

    Program Kesetaraan pada Pondok Pesantren berbeda dengan program kejar paket karena memiliki induk Pesantren yang diselenggarakan oleh masyarakat. Pesantren yang dimaksud memiliki Izin Operasional yang dibuktikan melalui Nomor Pokok Sekolah Nasional (NPSN) yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan juga terdaftar pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota yang dibuktikan dengan Nomor Statistik Pondok Pesantren (NSPP). Dengan kata lain PKPPS hanya bisa dilaksanakan oleh pesantren yang telah memiliki syarat administratif tersebut.

    Program Kesetaraan pada Pondok pesantren juga tidak menghilangkan pembelajaran klasik yang telah dilakukan oleh Pondok Pesanren masing-masing.

    Justru pembelajaran klasik yang dimiliki pesantren merupakan bagian dari keunikan PKPPS. Pondok pesantren tetap diberikan kebebasan dalam mengeksplor pendidikan keagamaan yang bersumber dari rujukan aslinya yaitu kitab-kitab kuning.

    Sedangkan, pada kejar Paket penyelenggaranya adalah Kelompok belajar, Lembaga Kursus, baik pemerintah maupun swasta. Bahkan pada program kejar paket ini, masyarakat hanya diikutkan materi-materi atau mata pelajaran yang hanya akan diujikan nasional saja.

    Misalnya Pada program paket A, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Pendidikan Kewarganegaraan.

    Pada program paket B, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Pendidikan Kewarganegaraan.

    Pada program paket C, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan mata pelajaran yang menjadi ciri khas program pendidikan. (Lihat PP. No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan dan Keputusan menteri pendidikan dan Kebudyaaan No. 0131/U/1994 Tentang Program Paket A dan Paket B Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi program kesetaraan pada PKPPS lebih spesifik penyelenggaranya dilakukan oleh Pesantren sedangkan di Luar Pesantren menggunakan Kejar Paket.

    Permasalahan yang muncul kemudian adalah keseriusan dari semua pihak, terutama pemerintah dalam mengembangkan dan menjaga kualitas PKPPS. Implementasi UU Pesantren yang menitikberatkan pada tiga poin yaitu afirmasi, rekognisi, dan fasilitasi terhadap kelembagaan pesantren perlu segera diwujudkan, bukan sekedar diwacanakan.

    Dalam ranah pemerintah daerah, terutama para Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama di Provinsi perlu sigap membangun kolaborasi dengan para stakeholder di masing masing wilayah untuk menjembatani problem problem dalam mendukung pelaksanaan PKPPS.

    Setidaknya terdapat dua permasalahan yang perlu dicari solusinya dalam penguatan dan pengembangan kelembagaan PKPPS. Pertama, dari segi komponen pendidikan, perlu dilakukan pembenahan sistem yang lebih baik, teruma dalam aspek sarana dan prasarana (asrama, masjid), kompetensi ustaz atau kyai, ketersediaan referensi kitab turots (kitab kuning), dan pengembangan hasrat para santri untuk menimba ilmu pengetahuan agama dan umum.

    Kedua, PKPPS sebagai lembaga dalam membantu program pemerintah untuk pemenuhan hak anak putus sekolah saat ini belum menjadi pilihan warga sekitar pesantren, sehingga perlu penguatan maksimal secara internal dari aspek kelembagaan, manajemen, dan pengembangan metode dan kurikulum pembelajaran pesantren.

    Dukungan tokoh masyarakat dan pemerintah sangat diperlukan dalam pengembangan sistem pesantren dalam mewujudkan PKPPS yang lebih baik. (*)

     

     

     

  • PUASA DAN TIRAKAT PARA BIROKRAT

    PUASA DAN TIRAKAT PARA BIROKRAT

    Oleh : Ahmad Nuri

    Tulisan ini tak begitu lazim di baca layaknya tulisan-tulisan tentang birokrat [orang] atau birokrasi [sistem] dalam tata kelola pemerintahan baik di pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah. Penulis menggunakan terminologi atau diksi tirakat dalam tulisan kali ini sebagai refleksi diri dan berharap ada sesuatu yang dapat memberikan nilai baru bagi kalangan birokrat termasuk penulis yang kebetulan sebagai birokrat atau ASN.

    Diksi tirakat itu biasanya di sematkan pada kontek spiritulitas para pelaku yang melakukan tirakat, biasa dilakukan oleh para santri, ustad, kyai, atau orang-orang yang khusus melakukan tirakat. Ada tujuan umum dari tirakat dan tujuan khusus melakukan tirakat, semua dilakukan dengan cara menahan segala piranti dan substrat atau godaan duniawi untuk mencapai tujuan kemulian dan keberkahan dengan berorientasi ukrowi.

    Secara singkat tirakat merupakan sebuah proses spiritual yang biasa ditempuh seseorang guna mencapai sesuatu yang diinginkan. Kata “tirakat” merupakan berasal dari kata bahasa Arab, yakni thariqah yang bermakna jalan atau jalan yang dilalui. Makna dan proses tirakat ini yang akan di relevansikan dengan kerja-kerja para birokrat dalam relasi dengan rakyat.

    Siapa itu birokrat, menurut penulis birokrat adalah para pegawai ASN yang menggerakan proses birokrasi. Dia adalah aparat birokrasi sebagai subjek utama dalam kerja-kerja untuk mencapai tujuan birokrasi pemerintahan dengan struktur dan sistem yang ada. Birokrat adalah sebutan ASN atau abdi negara yang telah memiliki tupoksi dan kewenangan katalistik dari sebuah sistem atau struktur berantai sampai ke bawah, dan para birokrat sendiri telah menyadari dirinya bagian dari pimpinan dan kepemimpinan [self ledership] atau kepemimpinan kolektif [collective leader].

    Sementara birokrasi sendiri merupakan suatu sistem pengorganisasian negara dengan tugas yang sangat kompleks dan memerlukan pengendalian operasi manajemen pemerintahan yang baik. Tujuan birokrasi sendiri adalah Melaksanakan pelayanan publik. Pelaksanaan pembangunan yang profesional. Perencanaan, pelaksana dan pengawas kebijakan. Alat pemerintah untuk melayani kepentingan masyarakat dan bukan merupakan bagian dari kekuatan politik.

    Birokrasi menurut Max Weber memiliki ciri utama, yaitu: (1) adanya derajat spesialisasi atau pembagian tugas yang jelas, (2) adanya struktur kewenangan hirarkhis dengan batas-batas tanggung jawab yang juga jelas, (3) hubungan antar anggota yang bersifat impersonal, (4) cara pengangkatan atau rekruitmen pagawai yang didasarkan pada profesionalisme.

    Penulis tidak sedang menggali teori birokrasi secara detail dan komprehensif dan memotret prilaku para birokrat secara personal yang mungkin melakukan tirakat untuk mencapai tujuan personalnya seperti thirakat untuk naik jabatan, bukan itu. tapi lebih pada proses dan jalan yang dilalui para birokrat dengan tugas dan tanggungjawab dimiliki untuk menemukan makna baru bagi birokrasi terutama dalam kepentingan orang banyak.

    Para birokrat biasa bekerja normatif prosedural dengan tugas pokok dan fungsi yang dimilikinya, Ada birokrat bekerja dengan landasan kehendak dirinya bagian dari ritual keseharian di lingkungan birokrasi dimana para birokrat bekerja. tapi terkadang ada banyak birokrat yang bekerja asal selesai apakah kerjanya memiliki dampak kebermanafaat atau tidak, itu tidak penting yang penting dia kerja.

    Sangat ironi dan disayangkan, apabila pejabat birokrasi hanya kerja rutinitas serta statis dalam bekerja malah justru sering menyebabkan masalah baru yang menjadikan birokrasi terlihat tidak berfungsi dan kurang peka terhadap perubahan dan kebutuhan rakyat. Birokrat hanya gagah gagahan merasa superior dengan jabatanya dan eklusivismenya, Birokrat model ini tidak bisa menjadikan dirinya tempat bersandar kebijakan publik tapi membuat publik lelah melihatnya.

    Faktanya saat ini, masih ada birokrat yang hanya mencari jabatan dan penghasilan saja tidak ada urusan tentang orentasi pelayanan pada rakyat, apalagi tentang kemajuan institusi birokrasi dalam memajukan bangsa dan negara. Lebih parah lagi para birokrat hanya bekerja asal pimpinan senang dengan beberapa capaian kinerja yang hanya di ukur lewat piagam penghagaan. Sementara penghargaan dengan realitas dilapangan tidak linier.

    Memang penting juga mendapatkan apresiasi dari keberhasilanya dengan penghargaan tapi kerja para birokrat dalam birokrasi harus mampu di uji nilai maslahatnya dan dirasakan rakyat kebermanfaatanya. Karena tujuan awal birokrasi bukan mendapat pengahargaan semata tapi melayani untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat lewat kebijakan birokrasi pemerintah dari pusat sampai daerah.

    Penulis tidak berperetensi malah sadar betul mungkin keburukan-keburukan birokrat ada pada penulis tapi ini harus terus di refleksikan dengan aksi nyata, dengan cara merevitalisasi tugas para birokrat dalam bekerja, yang di orentasi untuk rakyat dan kemajuan negara bangsa.

    Saat ini birokrat harus banyak tirakat baik dalam makna substantif yaitu menahan diri dari hal-hal destruksi birokrasi seperti hedonisme, elitisme, superioritas dan kemewahan-kemewahan birokrat yang di publisir kepublik.

    PUASA BIROKRAT
    Tirakat birokrasi memaknai puasa ini secara lebih reflektif bahwa ada rakyat yang masih pedih dan menderita karena kemiskian struktural dan kemiskinan ekstrim. Rakyat miskin karena birokrat abai dan tidak mau bertindak serius untuk menyelasikan dengan terstruktur, sistemik dan masif.

    Tugas para birokrat yang memaknai puasa dan proses tirakat adalah bahwa jabatan dirinya hanyalah Amanah, perlu digerakan dalam merasakan denyut kepedihan rakyat terus di tuangkan dalam arah kebijakan dan di eksekusi dengan cepat dan tepat. Ketika dalam melaksanakn proses birokrasi para birokrat menjauhkan diri dari anasir duniawi yang berlebih, orientasiikan kerja birokrasi bagian dari penderitaan dalam menemukan jalan menuju ukrowi atau dicatat sebagai amal ibadah.

    Hari gini makna puasa bagi birokrat yang sedang tirakat menjadi penting baik dalam makna proses, bahwa birokrat harus mulai pedih, menderita dan seluruh rangkaian tugasnya, birokrat mulai kembali berfikir dan bertindak semata-mata untuk kepentingan orang banyak, kepentingan bangsa dan kemajuan negara.

    Puasa bagi birokrat sangat tepat memaknai nasehat KH. Agus Salim bahwa “meminpin adalah menderita”. ajaran bijak alturisme ini harus di contoh oleh birokrat dengan memulai memknai puasa sebagai wahana penderitaan ruhani untuk kepentingan orang banyak sehingga para birokrat mumulai menata diri dengan cara menjauhkanlah sifat hedonisme dan kurangilah mementinkan kepetingkan pribadi.

    Para birokrat dengan tirakat dan memaknai puasa ini harus lebih menemukan self leders dan collective leaders sebagaimana Simon Sinek dalam bukunya Leaders Eat Last [2020] cara memimpin sejati, menginspirasi, loyalitas, kerja sama dan keberhasilan tim.

    Menurut Simon, para pemimpin adalah mereka yang maju lebih dulu menghadang bahaya, mereka mengesampingkan kepentingan diri sendiri demi melindungi mereka rakyat dan membawa kita kemasa depan. Para pemimpin sigap mengorbankan milik meraka demi menyelamatkan milik rakyat dan pemimpin tidak pernah mengorbankan milik rakyat untuk menyelamtakan milik mereka.

    Para birokrat dengan self leders dan collective leders selalu menciptakan organisasi birokrasi yang sukses, dimana dengan menciptakan lingkungan yang memungkinkan para pegawai secara alami bekerja sama untuk melakukan hal-hal luar biasa. Dengan seperti ini para birokrat akan membuat rakyat aman dan merasa di dengarkan. Rakyat akan bahu membahu berada dibelakang para birokrat berkarya tanpa lelah untuk mewujudkan visi dan memgikuti langkah para birokrat yang terus tirakat.

    Kesadaran penuh birokrat akan tirakat dengan makna puasa harus menjadi mementum perubahan secara mental spiritual agar ijtihad atau cara berfikir sistemik birokrat dan jihad [kerja] birokrat dapat dirasakan oleh banyak orang sehingga arah kebijakan sesuai dengan kaidah fiqih Tashorruf al-Imam ala ar-Ra’iyah manuthun bi al-Maslahah, seluruh kebijakan kepimmpinan birokrasi diorientasikan untuk kepentingan orang banyak. (*)