Kategori: OPINI

  • Back To Belajar Tatap Muka

    Back To Belajar Tatap Muka

    SETELAH sekian lama siswa dan mahasiswa belajar di rumah melalui daring (dalam jaringan) kini pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merencanakan kembali membuka belajar tatap muka atau luring (luar jaringan).

    Banyak alasan mengapa pemerintah perlu memutuskan belajar tatap muka. Pertama, anak sudah sangat rindu dengan teman-temannya. Rindu akan kebiasaan bermain dan belajar bersama. Kedua, anak juga sudah sangat rindu dengan gurunya. Rindu melihat senyum gurunya, rindu terhadap sapaan gurunya. Ketiga, anak sudah mulai stres dengan metode pembelajaran daring dan keempat pembelajaran tidak hanya berhenti pada wacana, tetapi harus ditindaklanjuti dengan praktik.

    Poin keempat ini sangat krusial, karena anak terutama yang masih sekolah di tingkat pendidikan dasar akan mengalami kesulitan dalam belajar, terutama saat belajar praktik.

    Lalu apakah sekolah sudah siap menyambut proses pembelajaran secara tatap muka (luring)? Tentu pihak sekolah harus siap. Perlu dimunculkan budaya baru, cuci tangan pakai sabun. Budaya cuci tangan ini sangat esensial dalam melakukan pencegahan Covid-19.

    Kedua, harus tetap membudayakan menggunakan masker saat belajar, baik guru maupun anak dan utamanya anak yang mengalami gejala klinis atau kurang fit dianjurkan untuk tidak sekolah. Ketiga, dipastikan tetap menjaga jarak.

    Soal yang ketiga ini atau menjaga jarak, boleh jadi akan berbenturan dengan keterbatasan ruangan sekolah. Karena yang semula satu ruangan diisi rata-rata 40 orang, kini bisa dibatasi dengan hanya diisi 20 orang.

    Solusinya adalah sistem belajar secara bergantian atau dalam istilah pekerjaan disebut shift. Ketika belajar secara nnormal selama enam hari seminggu maka dalam kondisi sekarang anak cukup datang ke sekolah tiga hari dalam seminggu atau sehari masuk, sehari libur, seperti puasa Nabi Daud.

    Kondisi belajar secara bergantian lebih memungkinkan ketimbang kondisi sekarang, di mana guru menjelaskan lewat daring, sedangkan praktinya tidak. Melalui luring, guru bisa menjelaskan konsep secara utuh. Siswa juga bisa diberi tugas dan menjelaskan detail tugasnya.

    Soal ketersediaan tempat cuci tangan, apakah setiap sekolah ada tradisi Salat Duha atau Salat Zuhur berjamaah. Bagi sekolah yang sudah membiasakan diri menggelar Salat Duha dan Salat Zuhur secara berjamaah maka harusnya tidak ada masalah. Sekolah tinggal menyediakan sabun untuk mencuci tangan, baik saat akan berwudu atau dalam setiap kesempatan. Saya kira sekolah tidak akan mengalami kesulitan ketika harus menambah fasilitas sabun untuk mencuci tangan atau mungkin menambah kran air.

    Komite sekolah harus menumbuhkan semangat gotong royong untuk menyediakan fasilitas dasar, seperti tempat cuci tangan. Kalau sama sekali belum ada, harus menyediakan sumur. Tidak harus wastafel, tetapi cukup dengan kran plus sabun.

    Disiplin perlu ditegakan dan ditanamkan. Kedisipinan membutuhkan tiga hal, pertama pemahaman urgensi 3 M, apa konsekuensi ketiga 3 M jika dilanggar, bukan reward dan funishment. Kedua kebiasaan dan ketiga keteladanan. Jika ketiganya dilaksanakan, bukan hanya akan menjadi momentum baik untuk membangun kedisiplinan, tetapi lebih jauh ada pesan literasi humaniora.

    Sinergi dengan Dinas Kesehatan juga harus dibangun, terutama dalam hal menjaga imunitas. Saya ingat ketika sekolah pada era Pak Harto. Saat itu, siswa diberikan makanan sehat dan olah raga. Siapa yang menyediakan, bisa dengan kerja sama Posyandu atau Puskesmas. Kalau ada sinergi sekolah dengan Posyandu dan Puskesmas, akan meningkatkan indek pembangunan manusia, bukan hanya pendidikan tetapi juga kesehatan.

    Siswa bisa berolahraga dan juga ada masukan gizi. Secara tidak langsung bisa mengembangkan program pemerintah yaitu mengatasi masalah gizi seperti stunting.

    Kesimpulan saya adalah, luring 2021 karena kebutuhan pendidikan dan psikologi. Anak tidak boleh lama-lama stres, anak harus bahagia.

    Jadi, yang paling penting setelah delapan bulan menjalankan kondisi tidak normal, kita tidak dalam kondisi kepanikan seperti awal awal munculnya covid-19. Kita sekarang ini menghadapi situasi sekarang ini dalam kondisi yang wajar.

  • Ketika Ulama dan Umara Berkolaborasi Tangani Covid-19

    Ketika Ulama dan Umara Berkolaborasi Tangani Covid-19

    PROVINSI Banten sejauh ini masih menjadi salah satu provinsi yang memiliki tingkat penyebaran covid-19 cukup besar. Untuk menyikapi masih bertambahnya jumlah kasus covid-19, Gubernur Banten menerbitkan surat keputusan berkaitan dengan pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) se-Banten. Sebelumnya, PSBB di Provinsi Banten hanya berlaku di Tangerang Raya.

    Belakangan, Gubernur Banten memperpanjang pemberlakuan PSBB di Provinsi Banten, terhitung 21 Oktober hingga 19 November 2020. Bahkan, kebijakan itu akan diperpanjang jika masih banyak penyebaran virus korona.

    Selain pemberlakuan PSBB, Pemprov Banten dan pemerintah kabupaten/kota juga sudah melakukan berbagai upaya, baik preventif maupun kuratif, guna memutus mata rantai penyebaran covid-19.
    Tanpa menapikan peran pihak-pihak lainnya yang juga bersama-sama menangani dan mencegah covid-19, peranan tenaga medis memang sangat vital, karena langsung berhadapan dengan pasien yang positif covid-19.

    Namun, bisa jadi upaya keras yang dilakukan tenaga medis untuk mengakhiri pandemi bakal tidak berhasil optimal, manakala kita semua tidak ikut andil dalam pencegahan covid-19, tentu sesuai porsinya.

    Ulama dan para cendekiawan, bisa berperan sebagai sosok sentral dibalik suksesnya sosialisasi pencegahan virus korona. Dengan segala kemampuan yang dimiliki serta hubungan yang baik dengan para jamaah atau santrinya, ulama memiliki kapasitas untuk menyampaikan pesan tentang tata cara beribadah di tengah pandemi.

    Apa jadinya ketika tiba-tiba pihak yang tidak memahami agama menyampaikan pesan tentang tata cara ibadah di erah pandemi, lengkap dengan imbauan agar salat berjamaah menjaga jarak, memakai masker, bahkan diimbau untuk tidak salat berjamaah.

    Boleh jadi, pesan itu tidak akan berhasil dan hanya berlalu begitu saja. Betul memang ada pepatah arab menyebutkan, “Perhatikan apa yang dikatakan, jangan perhatikan siapa yang mengatakan”, tapi penyampai pesan ke publik atau ke khalayak harus tetap memerhatikan jati dirinya. Zaenal Maarif dalam bukunya Retorika Metode Komunikasi Publik menyebut pembicara publik hanya mengatakan kebaikan yang sudah dilakukan, dan melakukan kebaikan yang dikatakan. Karena ketidakselarasan perkataan dan perbuatan dinilai tidak etis. Bahkan pembicara publik sebaiknya menyerap sifat-sifat nabi, yaitu jujur (shiddiq) dapat dipercaya (amanah) cerdas (fathonah) dan komunikatif (tablig).

    Bagaimana pun, ulama merupakan salah satu pemangku pendapat (opinion leader) atau orang-orang yang perkataan dan pernyataannya akan didengar dan diikuti. Ketika mereka menyampaikan pesan maka para pengikut secara umum akan menerima pesan tersebut dan mengikutinya.

    Langkah Dinas Kesehatan Provinsi Banten yang merangkul Majelis Ulama Indonesia, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Aisiyah, Fatayat, FSPP dan elemen lainnya dalam upaya memutus mata rantai covid-19, perlu disambut baik.

    Untuk memaksimalkan kerja sama, Dinas Kesehatan Provinsi Banten menyelenggarakan kegiatan “Penguatan Kelompok Masyarakat dalam Program Prioritas Kesehatan Tingkat Provinsi Banten”. Kegiatan dilaksanakan tanggal 26 Oktober 2020 di Hotel Horison Altama, Pandeglang.

    Pesertanya adalah MUI Banten, MUI kabupaten/kota, perwakilan Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan MUI Kecamatan Kasemen, Kota Serang serta MUI Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang. Dinkes Banten juga menggelar kegiatan serupa dengan peserta organisasi kemasyarakatan lainnya.

    Setelah pertemuan di tingkat provinsi, masing-masing organisasi menggelar kegiatan sosialisasi di sejumlah kecamatan yang sudah disepakati. Misalnya, MUI Banten akan menggelar kegiatan sosialisasi di Kecamatan Kasemen, Kota Serang dan Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang. ICMI, Kwarda Pramuka Banten dan organisasi juga menggelar kegiatan sosialisasi di kecamatan berbeda.

    Meski tidak secara eksplisit terungkap bahwa penguatan kelompok masyarakat tersebut adalah untuk mencegah penyebaran covid-19, tetapi sudah sangat jelas bahwa masalah kesehatan yang harus menjadi prioritas untuk ditangani adalah penyebaran virus korona.

    Namun, program penguatan kelompok masyarakat tersebut pasti tidak akan menafikan penanganan penyakit lain, seperti demam berdarah, tuberkulosis dan lain-lain.

    Sangat menarik menyimak pola kerja sama pencegahan covid-19 yang melibatkan berbagai pihak di Banten, khususnya MUI. Kita tahu bahwa organisasi MUI adalah sekumpulan orang yang memiliki kompetensi, khususnya di bidang keagamaan. Di MUI Banten misalnya, terdapat para kiai, ustaz, akademisi hingga praktisi. Mereka memiliki pengaruh dan kepercayaan dari umat, khususnya di wilayah masing-masing.

    Maarif menyebut, secara ethos, kepribadian pembicara sangat penting dalam kesuksesan retorika. Ethos adalah potensi persuasi pada karakter dan kredibilitas personal pembicara. Salah satu unsur dalam ethos adalah phronesis atau mengetahui baik dan buruk. Maarif lebih sepakat phronesis diartikan kemampuan memutuskan perkara.

    Tidak semua orang atau lembaga memiliki kemampuan untuk memutus perkara keagamaan berkaitan dengan penyebaran covid-19. MUI dalam kapasitas sebagai lembaga yang biasa memutuskan atau mengeluarkan fatwa, banyak mengeluarkan keputusan tentang tata cara beribadah, pada masa pandemi sekarang ini.

    Selain membuat fatwa, para ulama bisa memberikan dukungan moral kepada para tenaga medis yang menjadi garda terdepan dalam penanganan covid-19. Mereka juga bisa turut serta menjadi komunikator atau penyampai pesan tentang pencegahan penyakit menular dari sudut pandang agama.

    Penyampaian promosi kesehatan yang berkaitan dengan keagamaan tentu lebih bisa diterima oleh masyarakat jika disampaikan oleh ulama. Sebab, ulama lebih memahami soal keagamaan dan tentu saja cara penyampaiannya yang dikuatkan dengan dalil-dalil, sebagai referensi.

    Karena para ulama lebih banyak bersilaturahmi dan lebih banyak berinteraksi dengan umat maka mereka juga dipastikan lebih memahami karakteristik masyarakat atau umat. Oleh karena mengetahui karakteristik masyarakat maka mereka juga akan lebih mengetahui bahasa dan cara bertutur yang tepat untuk disampaikan kepada umat.

    Dalam beretorika, penyiapan materi dan identifikasi audiens (inventio) merupakan salah satu kunci sukses berpidato. Pilihan gaya atau pembicara memilih kata dan bahasa yang tepat (elucatio), memperhatikan olah suara dan gerakan anggota badan saat berpidato serta persiapan lainnya sangat penting untuk suksesnya penyampaian pesan.

    Begitupun keterlibatan tokoh masyarakat atau opinion leader lainnya, tentu sangat dipentingkan. Tujuannya jelas, pesan yang disampaikan bisa diterima dengan baik dan pada akhirnya bisa dilaksanakan dengan baik.

    Salah satu keberhasilan penyampaian pesan dihadapan kelompok masyarakat dan publik bergantung pada siapa yang menyampaikan dan bagaimana materi itu disampaikan. Selain itu, bergantung pada tepat atau tidaknya pilihan kata dan bahasa yang disampaikan kepada masyarakat.

    Pernyataan atau pidato kepada masyarakat kelompok tertentu belum tentu tepat ketika pidatonya diselingi dengan banyak humors. Berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya, penyampaian pesan yang diselingi humor boleh jadi akan menjadi senjata utama dalam penyampaian pesan, sehingga bisa diterima dengan baik oleh penerima pesan atau receiver.

    Penyampaian pesan yang langsung menyebut baik buruk sesuatu (one side issue) tidak akan berhasi jika disampaikan dihadapan para intelektual. Begitupun sebaliknya, penyampaian pesan yang membahas sisi baik dan buruk sesuatu dan membiarkan audiens berpikir (two side issue) kurang tepat jika disampaikan kepada masyarakat biasa.

    Belum lagi soal pentingnya keterlibatan kalangan akademisi dalam mempromosikan program kesehatan. Kalangan akademisi dan kalangan lain yang kompeten di bidangnya, tentu akan sangat memahami pesan yang tepat disampaikan kepada masyarakat. Cara penyampaian pesan kepada masyarakat menengah ke bawah dan pesan yang disampaikan kepada masyarakat menengah ke atas tentu akan berbeda.

    Dalam ilmu komunikasi, penyampai pesan disebut komunikator. Nimmo dalam Komunikasi Politik Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, dan Media menyebut, ada tiga tipe komunikator politik.

    Pertama politikus sebagai komunikator politik, profesional, dan aktivis.
    Diharapkan sekali partisipasi berbagai kelompok masyarakat dan masyarakat pada umumnya di Banten untuk bekerja sama dan membantu menyukseskan program-program pemerintah, khususnya di Provinsi Banten.
    Semoga kebersamaan ini bisa terus berlanjut dan pada akhirnya program pemerintah dalam mengatasi covid-19 berhasil dilaksanakan dengan baik dan masyarakat bisa menerima manfaat dari program pemerintah tersebut. Dengan terbebas dari covid-19, masyarakat bisa beraktivitas secara normal seperti sedia kala, masyarakat bisa merasa lebih nyaman melaksanakan ibadah secara berjamaah, bisa bekerja secara maksimal, industri kembali berjalan normal dan tentu saja ekonomi secara umum di Banten bisa tumbuh dengan baik.

  • Covid dan Percepatan Literasi Teknologi

    Covid dan Percepatan Literasi Teknologi

    DALAM 8 bulan terakhir, Covid-19 menjadi fokus perhatian semua orang. Masyarakat merasakan betul kekhawatiran terinfeksi virus asal Tiongkok tersebut. Apalagi, setiap hari kita disuguhkan beragam informasi, mulai dari penyebaran virus yang sudah mencapai ratusan ribu hingga banyaknya warga yang meninggal dunia.

    Banyak aktivitas dan penghasilan masyarakat yang terganggu gegara korana ini. Tidak sedikit pula masyarakat yang terganggu secara ekonomi, seperti terkena pemutusan hubungan kerja dan mengalami kebangkrutan.

    Itu salah satu sudut soal Covid-19. Karena dari sudut lain, kita melihat, Covid-19 membawa berkah tersediri, yaitu mempercepat akselerasi masyarakat Indonesia khususnya, dalam memsuki era baru, yaitu memasuki era informasi dan komunikasi.

    Jauh sebelum ini, kebanyakan masyarakat Indonesia bertumpu pada sektor pertanian atau masyarakat agraris. Sejalan dengan perkembangan, Indonesia mulai bergeser ke era industrialisasi dan sekarang masyarakat dipaksa untuk mengikuti akselerasi ke era teknologi dan informasi.

    Guru dituntut menguasai informasi dan teknologi, begitupun anak didik dituntut menguasai informasi dan komunukasi. Kita semua dipaksa mencari atau mengakses pengetahuan dari berbagai sumber belajar yang tidak terbatas. Orang tua dipaksa menyediakan infrastruktur.

    Pemerintah juga dipaksa membuat regulasi pembelajaran daring. Dan kita semua dipaksa melakukan pendekatan daring. Belajar dengan daring, bekerja dengan daring, termasuk juga beribadah live streaming, seperti halnya tahlilan dan pengajian.

    Jika akselerasi penggunaan informasi teknologi terus berkembang maka ke depan tidak terlalu diperlukan lagi gedung dan ruangan gedung, tidak memiliki ruang. Dalam bidang pendidikan, dulu ada rasio 1 guru mengajar 40 orang dan dua guru mengajar 80 orang. Dengan perubahan ini, seorang guru bisa mengajar puluhan bahkan ribuan hingga tak terbatas dalam satu kesempatan.

    Kondisi ini jelas akan mempercepat apa yang dimaksud dengan Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar. Mungkin ini menjadi kekuatan kata-kata bahwa ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim diangkat, muncul istilah-istilah baru, seperti bayar sekolah online, belajar online dan semuanya di rumah. Kenyataannya, sekarang sebagian dari kita belajar, berjualan dan bekerja di rumah.

    Diakui atau tidak, pandemi membantu proses akselerasi, untuk memasuki era baru dan semuanya dilayani dengan pendekatan baru bernama digital. Dan kalau berbicara dunia usaha, mereka sudah lebih awal membangun bisnis digital, seperti e-commerce.

    Dalam sektor birokrasi, digitalisasi layanan juga sudah mulai dilaksanakan. Kita mengenal istilah MAL pelayanan kependudukan dan juga smart citty. Beberapa daerah di Indonesia sudah melakukan inovasi layanan dan penggunaan digital. Tujuanya untuk mempercepat dan mempermudah pelayanan.

    Namun, tidak ada yang lebih lebih hebat dari Covid-19 untuk mendorong percepatan akselerasi kita memasuki era baru. Pembelajaran e-learning yang sudah diwacanakan sejak lama, kini benar-benar dilaksanakan.

    Hanya saja, jangan sampai proses pembelajaran e-learning diwarnai malapraktik. Karena sangat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari malapraktik bidang kesehatan. Jika ada seorang tenaga kesehatan salah memberi obat maka dampaknya hanya terhadap satu orang. Bagaimana ketika seorang tenaga pendidik melakukan kesalahan dalam memberikan materi pelajaran. Tentu akan sangat banyak yang terdampak.

  • Resesi, Pandemi dan Optimisme

    Resesi, Pandemi dan Optimisme

    BADAN Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 3,49% pada kuartal III-2020. Sebelumnya pada kuartal II, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32%. Realisasi pertumbuhan ekonomi nasional yang kembali negatif tersebut menjadi penanda Indonesia resmi mengalami resesi dan masuk dalam daftar negara yang masuk ke jurang resesi di masa pandemi.

    Dampak dari resesi ini antara lain terlihat dari PHK sudah menerpa Indonesia menimpa ribuan orang dari berbagai sektor usaha. Mulai dari buruh pabrik sepatu, pabrik tekstil, garmen, makanan minuman, komponen elektronik, hingga sektor penerbitan.

    Menurut peneliti ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira (detik.com, 8/11) badai PHK yang terjadi di Indonesia saat ini menjadi bukti nyata resesi terburuk yang dirasakan Indonesia selama 20 tahun terakhir. Pasalnya, resesi bukan cuma terjadi pada perusahaan bermodal besar saja tetapi juga melanda sektor UMKM. Bagi perusahaan, PHK sejatinya merupakan keputusan paling akhir setelah beragam ikhtiar telah ditempuh untuk bisa bertahan pada situasi pandemi ini. Salah satu pertimbangan penting untuk mengambil langkah PHK adalah kebutuhan terhadap karyawan-karyawan dengan kinerja yang baik, sehingga saat perekonomian pulih perusahaan tidak sulit mencari tenaga kerja lagi.

    Dampak lanjutan dari PHK adalah menurunnya daya beli masyarakat akibat hilangnya pendapatan aktif kepala atau anggota keluarga. Karena itu pemerintah telah mengambil sejumlah langkah untuk menjaga daya beli masyarakat seperti memberikan subsidi gaji bagi yang berpenghasilan kurang dari Rp 5 juta per bulan, stimulus permodalan usaha super mikro sebesar Rp 2,4 juta per pengusaha super mikro hingga beragam BLT bagi kelompok masyarakat yang rentan terdampak Covid-19.

    Disamping mempertahankan daya beli masyarakat beragam kebijakan yang menyasar masyarakat menengah ke bawah tersebut diharapkan dapat menyangga pertumbuhan ekonomi agar melambung ke atas mengingat kinerja ekonomi pada lapisan atas cenderung kolaps. Upaya ini cukup berhasil dilihat dari perubahan pertumbuhan yang semula -5,32% pada kuartal II menjadi -3,49 pada kuartal III sepanjang tahun 2020 ini.

    Bahkan menurut para pengamat ekonomi dan keuangan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021 mendatang setelah pandemi berakhir diproyeksikan akan mencapai 4,5% – 5,5%. Kuncinya adalah pandemi dinyatakan berakhir meskipun mungkin harus dengan keputusan politik. Karena nyatanya pandemi ini tidak hanya menyasar hebat pada aspek kesehatan dan ekonomi tetapi juga menyasar pikiran dan perasaan masyarakat sehingga aktivitas hidupnya dibayang-bayangi ketakutan terhadap Covid-19.

    Program vaksinasi yang akan berjalan pada bulan-bulan mendatang meski sudah mulai menuai kontroversi terkait pertimbangan kehalalan dan keamanannya bagi kesehatan, setidaknya secara psikologis telah memberi kepercayaan publik bahwa pandemi Covid-19 bisa diakhiri sehingga pemulihan mental masyarakat dan upaya pemerintah untuk menyatakan bahwa era pandemi Covid-19 telah berakhir mendapatkan legitimasi psikologis dan moral.

    Pernyataan ini penting agar perekonomian negara bisa keluar dari resesi yang ditandai dengan terus naiknya pertumbuhan ekonomi nasional secara positif. Kuncinya ada pada berakhirnya era pandemi Covid-19 dengan menjadikan vaksin sebagai garansinya.

    Hadirnya vaksin setidaknya mengurangi beban pikiran dan perasaan masyarakat terhadap ancaman Covid-19 sehingga melakoni kehidupan di tahun 2021 mendatang lebih rileks dan lebih optimis. Dengan begitu masyarakat bisa bekerja dengan tenang dan dunia usaha bisa bergerak.

    Walaupun harus berhadapan dengan postur APBN 2021 yang diperkirakan defisit sebesar Rp 971,1 triliun atau setara 5,5% terhadap produk domestik bruto (PDB) karena pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp 1.776,4 triliun sementara belanja negara Rp 2.747,5 triliun (Detik.com, 8/11). Sikap optimis tersebut penting untuk terus ditumbuhkan agar semangat pulih dari tekanan Covid-19 ini paralel dengan pulihnya pertumbuhan ekonomi negara yang didukung oleh peningkatan konsumsi domestik dan investasi sebagai motor penggerak utama.

    Konsumsi domestik meningkat jika daya beli dan pendapatan masyarakat juga meningkat. Sepanjang tahun 2020 sektor pertanian tumbuh positif demikian juga dengan UMKM. Karena itu penguatan terhadap UMKM dan sektor pertanian sebagai lahan usaha mayoritas rakyat perlu terus diperkuat dan didukung dengan kebijakan yang konsisten berpihak kepada mayoritas rakyat. Proteksi terhadap produk UMKM dan sektor pertanian perlu dilakukan untuk memberikan perlindungan menyeluruh agar UMKM dan sektor pertanian Indonesia memiliki daya hidup di tengah derasnya gempuran dari pasar global.

    Selain konsumsi domestik sumber pertumbuhan ekonomi juga ditopang oleh penanaman modal atau investasi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan yang berdampak pada pengurangan angka pengangguran, angka kemiskinan, meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing dan kemandirian. Pertumbuhan ekonomi membutuhkan penanam modal (Investor) baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.

    Tinggi rendahnya investasi di suatu wilayah dipengaruhi oleh kepastian hukum, stabilitas politik, keamanan dan kebijakan pemerintah yang pro investasi. Faktor-faktor ini masih memerlukan perhatian khusus dalam rangka meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Lahirnya UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang kontroversial itu, semangatnya untuk mereduksi hambatan birokrasi, mengikis korupsi dan menggairahkan iklim investasi di Indonesia. Dengan investasi meningkat diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dalam jumlah banyak sehingga pengangguran dan kemiskinan dapat direduksi.

    Semangat dari UU ini juga menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan dan peningkatan daya saing UMKM serta mendorong masyarakat Indonesia mengambil jalan wirausaha dengan menekuni profesi sebagai pengusaha. Dengan meningkatnya jumlah pengusaha baik yang lahir dari rahim masyarakat Indonesia atau yang masuk dari negara asing diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dalam bentuk pajak penghasilan dan bentuk lainnya yang sah.

    Kritik terhadap UU Ciptaker yang antara lain diekspresikan oleh maraknya demonstrasi dimana-mana karena UU ini dinilai bias pengusaha dan investor serta tidak ramah terhadap hak-hak tenaga kerja. Apakah kekhawatiran terhadap UU ini yang dinilai tidak ramah terhadap nasib tenaga kerja seperti banyak disuarakan oleh beragam serikat pekerja dan juga apakah benar UU ini akan merangsang gairah investasi atau sebaliknya tergantung pada implementasinya di tahun 2021 nanti?.

    Yang jelas pertumbuhan ekonomi tidak saja membutuhkan investasi dan konsumsi tetapi juga membutuhkan stabilitas politik dan penegakan hukum yang berkeadilan baik pada yang pro maupun pada yang kritis terhadap pemerintah. Karena itu langkah-langkah penegakan hukum yang tidak profesional atau bias interes pribadi harus dihindari agar tidak menganggu iklim investasi dan agenda pencapaian pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan.

    Target pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi prasyarat terbukanya lapangan kerja. Tetapi tanpa diikuti dengan pemerataan maka pertumbuhan ekonomi tinggi akan memicu besarnya indeks gini rasio yang menggambarkan besarnya kesenjangan. Karena itu untuk mengurangi kesenjangan dan membangun rasa keadilan yang hakiki maka aspek pemerataan sejatinya yang harus dijadikan sebagai permasalahan utama ekonomi suatu negara bukan hanya pertumbuhan. Dengan pemerataan berapapun ekonomi tumbuh akan dirasakan oleh semua masyarakat, tetapi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi belum tentu dirasakan oleh mayoritas masyarakat Indonesia.

    Semoga ekonomi Indonesia tahun 2021 tumbuh positif dan merata setelah pendemi Covid-19 dinyatakan berakhir sebagai kunci mengakhiri resesi ekonomi dan membangun optimisme.

    Wallahu’alam.

  • Dampak Daring terhadap Kesehatan Sosial

    Dampak Daring terhadap Kesehatan Sosial

    COVID-19 melahirkan era baru Indonesia. Era di mana setiap orang harus beradaptasi dengan sesuatu yang baru. Era di mana tidak setiap saat bisa berkumpul dengan rekan kerja, atasan, dan juga sesama teman organisasi. Maka komunikasi dalam jaringan (daring) menjadi pilihan sebagian masyarakat sekarang ini.

    Belajar, bekerja, rapat-rapat bahkan aktivitas keagamaan ada di antaranya yang dilakukan secara daring. Aktivitas daring mungkin yang paling sering menjadi perbincangan adalah dalam proses belajar mengajar.

    Daring juga memiliki dampak terhadap tumbuh kembang anak. Anak mengalami kelelahan secara fisik, karena terdampak radiasi dari laptop, dan telepon genggam.

    Dampak lainnya adalah anak-anak merasa kecanduan bermain gawai (gadget), karena aktivitas secara fisik serba terbatas. Orang tua pun tidak sanggup melakukan kontrol secara terus menerus terhadap anak yang kecanduan gawai.

    Ada kecenderungan, anak yang kecanduan main gawai lupa makan, sedangkan yang tidak gandrung bermain gawai malah kebanyakan makan. Itu semua, karena mereka lama tinggal di rumah atau jarang keluar rumah, karena khawatir terpapar Covid-19.

    Anak yang seharusnya bermain secara fisik, seperti petak umpet dan lain-lain digantikan dengan permainan yang hanya menggunakan jari. Kondisi itu jelas akan mengganggu pertumbuhan motorik kasar anak

    Tanpa menafikan aspek positif, jika anak-anak yang menggunakan gawai disurvei, dengan pertanyaan pilihan “saat menggunakan gawai, anak lebih memilih belajar atau keperluan lain” maka jawaban mayoritas akan memilih menggunakan gawai untuk keperluan lain.

    Kondisi itu, karena belum dibangun literasi digital secara maksimal. Sebagian besar anak masih menggunakan gawai untuk kepentingan lain. Padahal dengan digital orang bisa berusaha, dan bisa membuat desain tertentu, mengakses pengetahuan lebih luas.

    Saya sebagai orang tua merasakan betul bagaimana beragamnya karakteristik anak ketika menghadapi gawai. Anak kedua, Sopia, lebih banyak memanfaatkan gawai untuk mencari bacaan, seperti novel. Ketika memegang telepon genggam yang pertama dicari adalah novel. Betul memang, dibandingkan membeli, anak lebih baik mencari anak merasa cukup mendapatkan bacaan kesukaannya di smartphone.

    Selain itu, anak kedua saya memiliki hobi atau kemampuan bermain slime. Dia bisa membuat video dan dibagikan kepada teman-temannya melalui media sosial. Aksinya itu, rupanya mendapatkan respons dari teman-temannya dan akhirnya membeli.

    Sementara, anak pertama lebih suka menonton film Korea, yang kecil lebih banyak main game. Mudah ditebak, ketika hobi nonton dan bermain game maka unsur belajarnya menjadi jauh lebih sedikit.

    Dari tiga anak yang berbeda hobi dan kebiasannya, seperti anak yang sering mendengar musik dan non film akan memiliki kecenderungan ada peminatan terhadap bahasa. Yang ketiga ada kecerdasan kinestetik atau lebih spesifik memiliki kreativitas pada menu ternetu. Dia punya bakat entrepreneurship, dan telepon genggam yang dia gunakan berpotensi menghasilkan uang.

    Dari ketiga anak saya tersebut dan mungkin juga dialami orang tua lain. Tentu tidak sama dalam memberikan treatment. Semuanya bergantung pada karakteristik dan kebiasaan anak. Misalnya, anak yang kecenderungan banyak menggunakan telepon genggam untuk kepentingan bersenang-senang maka bisa dialihkan ke kegiatan fisik, seperti bermain sepeda.

    Oleh karena itu, kita semua sebagai orang tua perlu tetap mengontrol dan mengarahkan anak-anak kita, agar dalam menggunakan smartphone lebih terarah dan digunakan untuk hal-hal positif. Kita sebagai orang tua, jangan berhenti memotivasi anak untuk hal-hal yang positif.

  • Inovasi Pembelajaran Daring pada Masa Pandemi

    Inovasi Pembelajaran Daring pada Masa Pandemi

    PEMBELAJARAN luar jaringan (luring) atau tatap muka dan dalam bahasa Inggris di sebut ofline masih dalam tahap perencanaan, yaitu awal 2021. Saat ini, siswa dan mahasiswa masih terus melaksanakan proses pembelajaran dalam jaringan (daring), sehubungan dengan masih tingginya penyebaran covid-19.

    Bagi sebagian siswa, proses belajar daring merupakan hambatan, karena terbatas dengan sinyal, sarana dan prasarana. Meski sebagian masyarakat menganggap bahwa itu tidak menjadi masalah.

    Namun, ada satu kata yang mungkin saja dirasakan oleh semua siswa dan orang tua siswa, yaitu membosankan. Seperti kita ketahui, dalam delapan bulan terakhir ini, siswa harus belajar di rumah, lengkap dengan segala bentuk permasalahan, mulai dari bosan, keterbatasan sarana, dan tentu saja kurang asyik.

    Ada fakta yang kurang menggembirakan dari proses pembelajaran daring ini. Pembelajasan daring yang menjadi persoalan adalah pertama guru yang selama ini dilatih untuk persiapan pembelajaran daring dengan biaya mahal, relatif tidak berhasil. Dalam pengertian, tidak semua guru tidak berhasil, tetapi ada fakta bahwa para guru “kolonial” yang kurang cepat beradaptasi dengan situasi pandemi sekarang ini.

    Covid-19 memang memaksa kita untuk berubah. Berubah untuk menyesuaikan dengan era baru informasi, di mana tanpa harus bertatap muka, kita bisa menyampaikan pesan, menyampaikan materi pembelajaran dan juga bisa melaksanakan kegiatan rapat penting sekalipun.

    Istilah baru “the power of kepepet” mungkin pantas disematkan dalam kondisi kita sekarang ini. Di mana, guru dipaksa untuk melakukan proses pembelajaran secara daring dan karyawan/pegawai dipaksa bekerja dari rumah (work from home).

    Para tenaga pendidik sudah dipersiapkan untuk menghadapi proses pembelajaran daring, seperti bagaimana membuat presentasi, power point dan tentu saja melakukan pembelajaran secara daring.

    Berbeda dengan guru atau tenaga pengajar, orang tua banyak yang dihadapkan pada persoalan pengadaan alat. Apakah semua memiliki kesanggupan memiliki telepon genggam, bukan telepon genggam biasa tetapi telepon pintar (smartphone).

    Padahal, dalam proses pembelajaran daring peran orang tua sangat besar. Guru yang sudah diberi kompetensi pedagogik, termasuk bagaimana mengajar dengan pendekatan psikologis masih mengalami masalah dalam proses pembelajaran daring. Lalu bagaimana masyarakat yang tidak diberi kompetensi. Guru sudah didik dalam bidang atau kompetensi tertentu, tetapi orang tua banyak yang tidak memiliki kemampuan. Kalaupun para orang tua banyak yang berpendidikan, tetapi boleh jadi sudah banyak yang lupa, karena mereka tidak fokus dalam proses pembelajaran.

    Belum lagi, sekarang ini sudah mengalami banyak perubahan dalam kebiasaan hidup masyarakat. Dulu rumah itu adalah madrasah, di mana orang tua atau setidak-tidaknya ibu bisa membimbing anak-anaknya saat di rumah. Sekarang sudah bergeser, karena kedua orang tua banyak yang bekerja.

    Dulu hanya ayahnya yang bekerja. Dalam kultur agraris, ibu di rumah. Jadi relatif memiliki banyak waktu untuk mengatur anak. Sementara sekarang, meskipun ada kebijakan tidak masuk kantor atau bekerja di rumah (WFH), dia harus tetap bekerja.

    Apa yang harus dilakukan agar proses belajar mengajar daring tetap optimal. Tentu saja dibutuhkan suatu inovasi agar belajar daring efektif. Guru harus betul-betul merumuskan tujuan pendidikan. Guru harus menentukan beberapa kompetensi, tidak perlu semua kompetensi.

    Kalau satu dua kompetensi sudah dimiliki maka yang lain akan mengikuti. Misalnya kalau anak sudah bisa membaca tinggal meneruskan dengan kebiasaan membaca (habit reading). Kalau di kurikulum ada sepuluh kompetensi, dalam kondisi pembelajaran daring sekarang ini, cukup diambil dua saja

    Siapa yang akan menentukan dua kompetensi prioritas, tentu saja para guru atau guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Antara guru bisa bersepakat bahwa dari sepuluh kompetensi, hanya dua kompetensi saja. Bukan ditentukan oleh pemerintah, karena khawatir menjadi keputusan politik, bukan berdasarkan keputusan akademik.

    Setelah ada keputusan kempetensi apa saja yang akan diambil, baru para guru memikirkan bagaimana cara penyampaian pelajaran daring agar bisa diterima dengan baik oleh peserta didik. Misalnya penyajian materi dengan menggunakan pendekatan animasi. Dengan pendekatan itu, anak-anak tidak bosan.

    Bagaimana kita mengevaluasi keberhasilan anak dalam belajar daring, harus melibatkan orang tua. Cara mengevaluasinya adalah dengan menggunakan projek. Orang tua beserta anak melakukan projek, misalnya soal kecakapan hidup. Bagaimana aktivitas anak membantu orang tua, seperti mencuci piring dibuat rekaman atau membiasakan diri bercocok tanam.

    Dengan pola itu, tidak perlu dijelaskan bagaimana tahapan cuci piring atau pelajaran biologi mengenal tanaman. Kelebihannya, proses belajar dengan pendekatan projek, tidak menjadi beban bagi orang. Sebaliknya, justru membantu meringankan beban orang tua.

    Intinya, selama guru bisa berinovasi, pendekatan pelajarannya tepat dan sesuai tahapan perkembangan peserta didik kultur milenial, tahapan evaluasi melalui pendekatan projek dengan melibatkan orang tua maka tidak ada problem, malah bisa menyenangkan. Dalam proses pemilihan kita mengenal efek ekor jas (coat-tail effect), dengan kata lain pihak lain akan mengikuti seseorang yang dianggap panutan.

  • Efektivitas Pembelajaran Daring dalam Pembinaan Moral Anak

    Efektivitas Pembelajaran Daring dalam Pembinaan Moral Anak

    TRANSFER ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) dari tenaga pendidik terhadap siswa, baik melalui luar jaringan (luring) maupun dalam jaringan (daring) boleh jadi akan efektif. Karena pada era teknologi informasi sekarang, orang bisa dengan bebas berkomunikasi dengan siapa pun. Bebas berkomunikasi tanpa mengenal ruang dan waktu.

    Begitupun dalam proses pembelajaran, siswa dan guru bisa tanpa batas waktu melakukan transfer ilmu pengetahuan. Umpan balik (feed back) juga bisa dengan cepat dilakukan siswa, ketika memang ada hal yang perlu ditanyakan, minta penjeasan lebih lanjut dan memberi tanggapan, termasuk jawaban atas pertanyaan guru.

    Jadi, kalau sekadar transfer ilmu pengetahuan, sepertinya tidak ada masalah. Hanya, proses pembelajaran itu bukan hanya sekadar mampu mentransfer ilmu pengetahuan dan siswa memahami apa yang disampaikan para gurunya, tetapi lebih dari itu, akhir dari proses pendidikan adalah membangun karakter dan membangun moral anak.

    Bagaimana setelah mengikuti proses pendidikan, anak bukan hanya mengetahui tata cara hormat terhadap orang tua, tetapi juga bagaimana menunjukkan rasa hormat terhadap orang tua.

    Apakah proses pembelajaran daring efektif untuk memperbaiki moral anak? Untuk mengetahui itu, pertama-tama saya ingin mengatakan bahwa moral ada tiga, ada pengetahuan dan pendidikan moral, perasaan moral dan sikap moral.

    Daring bisa menumbuhkan pengetahuan moral anak atau kemampuan membedakan yang baik dan buruk, seperti melalui tayangan video ada anak membuang sambah sembarangan dan ada anak membuang sambah di tempat sampah. Anak ditunjukan mana bagaimana cara membuang sampah yang benar dan membuang sampah secara sembarangan. Jika ada anak sudah mampu membedakan maka sudah terjadi pengetahuan moral dan itu bisa melalui daring.

    Perasaan moral bisa ditunjukan dengan bagaimana perasaan kita kalau menunggu lama. Misalnya anak ditunjukan pembelajaran melalui penayangan sebuah video seseorang yang sedang menunggu seseorang. Dalam video itu digambarkan bagaimana perasaan seorang anak ketika dihadapkan dalam posisi menunggu, apalagi menunggu dalam waktu yang sangat lama. Intinya akan tergambar bahwa menunggu sangat membosankan.

    Maka pesan yang diharapkan dari penayangan itu adalah anak tidak datang terlambat, karena dia tahu betapa kesalnya anak-anak lain, ketika menunggu dirinya.

    Soal sikap moral bisa dilakukan dengan memberikan keteladanan terhadap anak didik. Sikap moral juga soal pilihan (choicde), lalu anak menentukan pilihan, seperti setuju atau tidak setuju. Pada batasan seperti itu pendidikan moral bisa dilakukan dengan daring.

    Kebanyakan orang mendefinisikan pendidikan moral adalah pembiasaan dan keteladanan. Ketika bicara keteladanan dan pembiasaan tidak bisa dilakukan dengan daring.

    Dalam situasi daring, guru harus mengerti pendidikan moral, karena ketika tidak mengetahui berpotensi terjadi miss konsepsi, dan tidak bisa membedakan pengetahuan perasaan moral, dan sikap koral. Kalau hanya mengetahui pengetahuan moral maka proises pembelajaran daring menjadi gagal.

    Jika sudah mengetahui, evaluasinya sangat sederhana. Guru cukup memberikan projek terhadap anak didik, seperti projek aktivitas keseharian (daily activity).

    Inti dari pendidikan bermutu adalah guru yang bermutu, Oleh karena itu, harus ada peningkatan mutu guru. Kedua jika pengetahuan tentang moral tidak merata atau hanya mengetahui tentang pengetahuan moral maka suka atau tidak suka kita kembali kepada pikiran lama bahwa pendidikan moral melalui pembiasan dan keteladan dan kebiasan dan keteladan tidak bisa melalui daring.

  • Salaman di Era Pandemi

    Salaman di Era Pandemi

    GARA-gara korona, kita ganti salaman kita. Gara-gara korona, jadi sering cuci tangan. Penggalan lirik lagu Project Pop, yang merupakan gubahan dari lirik lagu “Gara-gara Kahitna” kurang lebih sama maknanya dengan pesan yang sering disampaikan pemerintah atau juga pihak lainnya, yaitu jaga jarak (pshycal distancing) dan sering cuci tangan pakai sabun.

    Pesan yang ingin dicapai antara lain bagaimana kita tetap menjalin silaturahmi atau hubungan sosial, tetapi tetap menjaga jarak, mengganti salaman (jabat tangan) dengan bahasa nonverbal lain yang maknanya kurang lebih sama dengan salaman.

    Jika biasanya bersalaman itu dengan bersentuhan tangan erat-erat, bahkan berujung pelukan, sekarang ini cukup dengan salaman jarak jauh, seperti menganggukan kepala, adu kepal tangan pertanda persahabatan, termasuk menggunakan bahasa nonverbal lain selain salaman.

    Salam-salaman pada setiap momentum Lebaran, acara pernikahan atau saat bertemu dengan teman, saudara dan lain-lain sudah merupakan kebiasaan kita sejak lama. Rasanya, silaturahim secara langsung tidak lengkap tanpa salaman. Salaman pada saat menghadiri acara pernikahan biasanya dilakukan saat sungkeman dan penyampaian ucapan selamat dari para undangan.

    Dalam situasi pandemi, bahkan di beberapa daerah di Banten masih menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pemerintah dan masyarakat banyak yang menggelar kegiatan, seperti rapat, sosialisasi, dan acara pernikahan. Selain itu, memasuki bulan Rabiul Awal sekarang ini banyak masyarakat yang menggelar peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

    Namun, kegiatan tersebut dilaksanakan dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan, seperti membatasi jumlah masyarakat yang hadir dalam suatu ruangan atau tempat acara.

    Dalam kondisi normal, memberikan ucapan selamat disertai salaman (berjabat tangan) kepada kedua mempelai adalah sesuatu yang sangat biasa dilakukan. Tidak sedikit juga teman dekat dan keluarga dekat mengucapkan selamat disertai pelukan, cium pipi kiri dan kanan.

    Begitupun saat kita menghadiri undangan pertemuan dan menghadiri peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, dan dalam berbagai kegiatan, termasuk menghadiri kampanye politik, biasanya disertai dengan salaman.

    Ketika mengganti salaman dengan simbol lain yang mungkin saja asing atau kurang familiar dalam keseharian kita, apakah makna silaturahmi itu berkurang?

    Tentu sangat bergantung dari cara kita memaknai dan cara kita menyadari kondisi Bangsa Indonesia, bahkan dunia saat ini dan bagaimana kita bisa beradaptasi dengan situasi terkini, di mana hampir seluruh dunia sudah terpapar virus korona. Sebagian dari kita khawatir ketika bertemu atau bersentuhan dengan tetangga, teman, bahkan dengan saudara sendiri. Bukan hanya khawatir tertular virus korona, tetapi juga khawatir menularkan virus yang banyak menyebabkan kematian tersebut.

    Karena saat ini, kita tidak pernah mengetahui seperti apa kondisi kesehatan teman, saudara dan tetangga kita, bahkan kondisi kesehatan kita sendiri, sebelum dites melalui PCR (polymerase chain reaction). Kita memang sudah dikenalkan ciri-ciri klinis masyarakat yang terserang virus korona, tetapi banyak juga masyarakat yang tidak memiliki gejala apa pun sebelumnya alias OTG, ternyata dinyatakan positif korona.

    Belakangan, memang masyarakat sudah tidak terlalu panik dan khawatir menghadapi situasi sekarang ini. Masyarakat sudah kembali terbiasa bertemu dengan sesama teman, keluarga, dan kolega. Hanya, dalam setiap pertemuan masyarakat masih tetap menjaga jarak, menghindari sentuhan, memakai masker dan menghindari kerumunan. Tidak sedikit pula masyarakat yang benar-benar sudah membangun hubungan secara normal, seperti salaman, pelukan hingga mencium tangan orang yang dihormati.

    Salaman dalam istilah komunikasi merupakan bagian dari cara manusia melakukan komunikasi, lebih tepatnya komunikasi nonverbal. Fungsi komunikasi nonverbal, seperti salaman, rangkulan, tepukan pundak, menggelengkan kepala, menundukan kepala, dan lain-lain, kurang lebih sama dengan komunikasi verbal.

    Salaman atau pegangan tangan termasuk dalam kategori komunikasi nonverbal berupa sentuhan. Menurut Dedi Mulyana dalam Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar (edisi revisi 2017) sentuhan bisa berupa tamparan, pukulan, cubitan, senggolan, tepukan, belaian, pelukan, pegangan (jabat tangan), rabaan, hingga sentuhan lembut sekilas.

    Semua bentuk komunikasi nonverbal tersebut memiliki makna yang berbeda. Makna salaman atau berjabat tangan, masih menurut Dedi Mulyana, bisa berbeda, bergantung dari konteksnya. Jabatan tangan kepada kawan lama bisa berarti “Saya senang bisa bertemu kamu lagi”, salaman kepada teman sejawat yang baru lulus S2 atau S3 di luar negeri “Selamat atas keberhasilan Anda” atau salaman dengan tetangga yang kita kunjungi saat Lebaran maknya adalah “Marilah kita saling memaafkan dan melupakan kesalahpahaman yang pernah terjadi di antara kita”.

    Di era digital sekarang ini, ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menyampaikan ucapan selamat pernikahan, ucapan atas kelahiran buah hati dan bentuk ucapan lainnya. Kalau pun ingin tetap menyampaikan ucapan selamat secara langsung, bisa juga dengan mengubah cara bersalaman. Jika dalam kondisi normal, kita biasa pegangan tangan, bahkan rangkulan, dalam kondisi pandemi korona sekarang ini, bisa juga mengganti dengan salaman berjarak atau tanpa bersentuhan. Kalaupun bertentuhan, tidak menggunakan bagian tangan yang biasa langsung bersentuhan dengan rongga tubuh.

    Untuk mencairkan suasana silaturahmi, kita bisa menyampaikan prolog atau dengan pernyataan basa basi supaya antara satu dengan yang lainnya tidak saling menyinggung. Misalnya dengan menyampaikan “salam anti korona” atau pernyataan lain yang menunjukkan bahwa sekarang ini kondisinya berbeda. Cara lainnya adalah dengan menyampaikan permintaan maaf atau mengucapkan selamat melalui komunikasi verbal atau lisan.

    Melalui komunikasi verbal, kita bisa menyampaikan apa pun dalam upaya membangun silaturahmi dengan sesama, misalnya menyampaikan permintaan maaf, mengucapkan selamat, menyampaikan sesuatu keprihatinan atau bahkan sebaliknya menciptakan suasana yang akrab dan menyapa teman, sahabat, dan saudara saat bertemu.

    Memang sulit mengubah kebiasaan, seperti bersalaman dengan cara mencium tangan orang yang kita hormati, tetapi dengan kondisi saat ini kita diharapkan bersama-sama berupaya menerima kenyataan.

    Ini merupakan ikhtiar kita supaya dapat memutus mata rantai penyebaran covid-19. Semoga, pandemi korona segera berakhir, sehingga kita bisa beraktivitas dan bersilaturahmi seperti sedia kala. Aamiin..

  • Covid Membunuh Masa Depan Demokrasi

    Covid Membunuh Masa Depan Demokrasi

    PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) sejatinya merupakan sarana bagi masyarakat untuk menentukan kebebasan berpolitik, kebebasan memilih, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berkumpul, bertatap muka dan berserikat.

    Pun demikian dengan kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diberikan kebebasan untuk mengajak masyarakat, baik langsung dalam sebuah pertemuan besar maupun tidak langsung. Mereka juga diberi kuasa untuk menyampaikan gagasan secara terbuka, sehingga masyarakat secara detail bisa melihat, siapa kandidat yang layak dipilih.

    Pilkada serentak 2020 sangat berbeda dengan pilkada yang dilaksanakan sebelum-sebelumnya. Bila sebelumnya, kandidat bebas mengumpulkan massa dalam jumlah besar, bebas menyapa pemilih dari jarak yang sangat dekat sekalipun dan menyalami masyarakat tanpa batas, sekarang kondisinya sangat berbeda.

    Para kandidat dan antarpemilih harus betul-betul melaksanakan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, menggunakan masker dan mencuci tangan pakai sabun. Dalam kampanye tatap muka, kandidat tidak bebas mengumpulkan pendukung dalam jumlah banyak, karena ada batasan tersendiri, seperti untuk daerah zona oranye hanya diperkenankan mengumpulan masyarakat maksimal 50 orang.

    Perlu digarisbawahi, salah satu hal penting dalam demokrasi adalah kebebasan untuk berkumpul. Kebebasan untuk berkumpul juga berarti kebebasan berserikat. Ketika berkumpul akan muncul adu gagasan dan dari gagasan akan mengkristal menjadi sebuah pergerakan.

    Sekarang ada semacam pembatasan dengan argumen tidak sesuai dengan protokol kesehatan. Jika disalahgunakan bisa menyebabkan demokrasi kita mati. Oleh karena itu, harus hati-hati betul dalam menggunakan asas ini. Jangan sampai, Covid-19 bukan hanya berbahaya untuk kesehatan tapi juga untuk demokrasi.

    Memang, seseorang boleh berkumpul yang penting menjaga 3 M, mencuci tangan pakai sabun, menjaga jarak, dan memakai masker. Sangat sederhana, kita harus membiasakan diri mencuci tangan pakai sabun dan bagaimana menghindari kerumunan. Kalaupun harus berkumpul, kita harus tetap menggunakan aturan main, sadar akan kesehatan dan masa depan masing-masing, sehingga tidak menjadi persoalan.

    Mestinya, dalam sebuah demokrasi, perkumpulan itu tidak tidak dibatasi. Pembatasan cukup pada norma, seperti boleh berkumpul 50 orang, bukan dibunyikan dilarang. Karena dalam setiap perkumpulan mereka bisa adu gagasan dan menumbuhkan kebebasan berpendapat.

    Ketika dalam pertemuan itu menyepakati sesuatu sepakat maka dilanjutkan dengan aksi bersama. Kalau hanya menjadi pemikiran akan menjadi wacana.

    Dalam kondisi sekarang ini, diperlukan kreativitas dalam penyampaian gagasan. Keterbatasan berkumpul secara fisik, tetapi tetap terhubung dan bebas mengeluarkan gagasan. Tapi tidak cukup, karena harus bisa menggerakkan orang untuk memilih dan melakukan perubahan-perubahan di masyarakat.

    Dalam kondisi normal, pandemi tidak akan mengganggu. Tetapi ketika ada unsur politis, pandemi bisa jadi alat politik. Banyak contoh lain yang membungkam demokrasi. Demokrasi tidak sehat karena ada moralitas politik yang tidak berjalan. Bisa menjadi alat sekelompok tertentu, seperti menjadi alat untuk menekan. Akhirnya kebebasan berekspresi dan demokrasi terganggu.

    Kalau berhenti pada jargon negara hukum, hukum bisa menjadi alat kekuasaan atau kelompok tertentu yang memiliki power dan akhirnya mengganggu.

    Namun, kalau on the track, pelaksanaan Pilkada pada masa pandemi tidak akan bermasalah. Misalnya, moralitas berjalan, literasi digital dalam kampanye politik berjalan, kemudian jaringan partai dan relawan berjalan.

    Kesimpulan saya adalah, Covid-19 bisa membunuh masa depan demokrasi dan yang muncul adalah demokrasi prosedural, kebebasan dibatasi, dan gerakan masyarakat dicurigai. Namun, demokrasi tidak terganggu jika prasyarat terpenuhi, seperti moralitas politik, literasi digital, dan jaringan politik bergerak.

  • Urban Farming di Era Pandemi

    Urban Farming di Era Pandemi

    PANDEMI Covid 19 telah mengubah tatanan sosial dan ekonomi kehidupan warga masyarakat. Kehidupan sosial harus mematuhi protokol kesehatan, dari mulai memakai masker, sering cuci tangan, menggunakan hand sanitizer hingga harus menjaga jarak.

    Pada banyak tempat, gelombang merumahkan tenaga kerja dan juga pemutusan hubungan kerja dari perusahan-perusahan yang bergerak di bidang pariwisata dan industri semakin besar.

    Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah adanya pengangguran yang jika tidak segera diantisipasi oleh pemerintah akan menimbulkan ketidakstabilan kehidupan social dan politik.

    Dalam konteks pertanian, penyediaan kesempatan kerja masih memungkinkan tertampung pada berbagai jenis dan bentuk usaha pertanian. Secara nasional, sektor pertanian memiliki peran dalam menyediakan pangan dan kesempatan kerja selain peran penting lainnya dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan (Cahya, 2014; Handayani, et al, 2018).

    Oleh karena itu, sektor pertanian masih menjadi pilihan bagi tenaga kerja yang terkena dampak pandemic Covid-19 baik sebagai sumber mata pencaharian yang utama maupun sampingan.

    Dari fakta yang ada, sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki daya tahan dalam menghadapi krisis moneter 97-98 maupun krisis akibat pandemic Covid-19 2019-2020.

    Meskipun sektor pertanian berpotensi besar dalam menampung jumlah tenaga kerja dibandingkan dengan sektor lainnya, namun karena kontribusinya terhadap PDB tidak sebesar sektor industri dan perdagangan, maka arah kebijakan pembangunan tidak menjadikan sektor pertanian sebagai prioritas utama. Akibatnya swasembada pangan sulit dicapai seperti yang pernah diraih pada tahun 1984.

    Banyak faktor yang menyebabkan kesulitan berswasembada pangan, diantaranya karena kualitas SDM pertanian, dukungan sarana dan prasarana pertanian, teknologi, finansial hingga kebijakan importasi pangan yang tidak berpihak kepada ikhtiar-ikhtiar penting pada sektor pertanian di dalam negeri. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata tetapi juga masyarakat, dunia perguruan tinggi dan swasta.

    Ikhtiar-ikhtiar penting pada sektor pertanian yang digeluti masyarakat baik di perkotaan maupun kawasan penyangganya selama masa pandemi ini yang cukup dominan adalah urban farming (Pertanian perkotaan). Urban farming merupakan praktek budidaya tanaman dan ternak/ikan di dalam lingkungan perkotaan dan sekitarnya.

    Pertanian perkotaan merupakan pertanian yang terintegrasi ke dalam ekonomi dan ekosistem perkotaan. Salah satu pemicu hegemoni ini adalah gaya hidup, dalam hal ini pertanian perkotaan seringkali diasosiasikan dengan sehat, hemat, dan ramah lingkungan. Produksi pangan di kawasan perkotaan dapat dipandang sebagai peluang menghasilkan makanan segar dan berkualitas tinggi, meskipun hanya menggunakan ruang terbatas mencakup budidaya menggunakan tanah, hidroponik, dan rumah kaca (Resh, 2001).

    Beberapa manfaat dari urban farming antara lain; (i) manfaat ekonomis; (ii) manfaat kesehatan; dan (iii) manfaat lingkungan.

    Secara ekonomis, urban farming yang dikelola secara modern dengan menggunakan aplikasi teknologi dapat memberikan tambahan penghasilan karena menghasilkan produk-produk tanaman yang berkualitas dan memiliki pasar spesifik.

    Produk-produk yang dihasilkan oleh kegiatan urban farming relatif bersih, segar dan sehat sehingga selain dapat dikonsumsi sendiri juga dijual pada pasar-pasar tertentu, misalnya super market atau bahkan online marketing.

    Dalam kaitannya dengan manfaat lingkungan pengelolaan urban farming termasuk ramah lingkungan karena berupaya meminimalisir penggunaan pestisida dan pupuk kimia serta mengutamakan penggunaan kompos, bahan organik dan bakteri dekomposer sebagai penyedia hara alamiah.

    Dengan kultur teknis demikianlah maka produk urban farming memiliki citra baik sebagai produk pertanian ramah lingkungan, higienis, sehat, bergizi dan segar sehingga mampu meraih pembeli pada segmen menengah ke atas. Produk-produk urban farming yang pada umumnya berupa sayuran dan buah-buahan segar itu diproduksi oleh warga kota dan kawasan penyangganya mulai dari pekarangan rumah, kebun-kebun milik RT/RW, lahan-lahan kosong milik masjid, sekolah, pondok pesantren, developer hingga milik pemerintah dengan teknologi biasa (menggunakan tanah dan kompos) pada tanah lapang, menggunakan polybag disusun dalam rak secara vertikal, menggunakan hidroponik bahkan aquaponik (integrasi tanaman dan ikan) dalam suatu wadah pada musim pandemic ini sedang tumbuh menjamur.

    Studi terhadap kegiatan urban farming berbasis pekarangan yang dikembangkan kaum wanita yang tergabung pada Kelompok Wanita Tani (KWT) di Kecamatan Ciruas, Baros dan Keramatwatu menunjukan bahwa sebanyak 82,86% pengurus dan anggota KWT yang berpartisipati aktif mengelola kebun pekarangan didorong karena ingin meningkatkan pendapatan dan pada musim pandemi ini sebanyak 68,57% termotivasi karena ingin berolahraga, berekreasi untuk menghilangkan kebosanan.

    Hal ini sejalan dengan pendapat Fauzy et al, (2018) yang menyatakan bahwa urban farming yang dikembangkan warga kota selain memberikan kontribusi terhadap kebutuhan logistic pangan, kesehatan juga kenyamanan lingkungan dan nilai estetika karena memiliki nilai seni dan memiliki daya tarik tertentu antara lain berolahraga, berekreasi untuk menghilangkan kebosanan.

    Namun demikian dari segi pendapatan sebanyak 68,57% menyatakan bahwa hasil bertani di pekarangan rumah belum menjadi andalan pendapatan keluarga. Pendapatan keluarganya berasal dari luar usaha tani yaitu dari pendapatan suami yang bekerja di sektor formal maupun informal (91,42%). Hanya saja jika sewaktu-waktu suaminya terkena PHK maka sebanyak 45,71% menyatakan bahwa produk olahan memiliki prospek yang baik untuk menjadi andalan pendapatan keluarga. Dengan demikian pengembangan produk pertanian dari pekarangan dan dari jenis kegiatan urban farming lainnya perlu melangkah dari produk segar ke produk olahan.

    Terkait ini, dukungan teknologi, finansial dan pasar dari pemerintah, swasta maupun perguruan tinggi diperlukan agar produk-produk olahan dari KWT dan kegiatan urban farming dapat berkembang dengan baik.
    Kegiatan urban farming yang berorientasi pasar dan dikelola secara pribadi beserta komunitasnya adalah apa yang telah dilakukan oleh Farm Hydro (FH) di Kota Serang.

    FH selain menyelenggarakan pelatihan hydroponic bagi pemula bersama komunitasnya telah berhasil mensuplai kebutuhan sayuran segar ke pasar-pasar retail modern di Kota Serang, Kota Cilegon dan Tangerang.

    Sementara itu dari dunia pondok pesantren yang dipelopori oleh 12 pondok pesantren dari Kabupaten Lebak, Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang dan Kota Serang Provinsi Banten dengan “Gerakan Tanam Porang” di pekarangan dan lahan terbuka/bertegakan telah muncul sebagai varian baru dalam konteks pengembangan urban farming.

    Gerakan tanam porang yang telah menghimpun kekuatan empat pilar ini (Pemerintah Provinsi Banten sebagai penyedia pupuk organik, UPZ BAZNAS Pemprov Banten sebagai penyedia benih, Tim Manajemen Porang FSPP Provinsi Banten sebagai pengelola dan pondok pesantren sebagai penyedia lahan produksi) telah berhasil menanam porang sebagai upaya meningkatkan keanekaragaman dan ketahanan pangan diluar beras pada pada era pandemi.

    Konsep kerjasama empat pilar ini menempatkan mustahik fakir miskin sebagai pemilik benih dan berfungsi sebagai pengawas kegiatan tanam porang. Hasilnya setelah dikurangi biaya benih dan biaya operasional dibagi tiga yaitu sebanyak 40% untuk mustahik fakir miskin, 20% untuk tim pengelola porang (TMP) dan sebanyak 40% untuk pondok pesantren selaku penyedia lahan produksi.

    Inovasi ini, alhamdulilah mendapatkan apresiasi dari pemerintah pusat dengan diraihnya penghargaan Provinsi Banten sebagai Provinsi Berinovasi oleh Gubernur Banten beberapa waktu lalu. Prestasi ini patut disyukuri sebagai motivasi agar masyarakat Banten dan dunia pondok pesantren secara kreatif terus mengembangkan pertanian untuk meningkatkan ketahanan pangan baik di era pandemi ini maupun di masa mendatang.

    Wallahu’alam.