Kategori: OPINI

  • Democratic Policing: Polisi dan Demonstran

    Democratic Policing: Polisi dan Demonstran

    Oleh Zunnur Roin
    Sekretaris Jenderal PB HMI MPO

    Pemolisian Demokratis (Democratic Policing) patut menjadi konsekuensi agenda reformasi Polri, suatu agenda reformatif terhadap postur Polri dalam sistem politik NKRI melingkupi kultur personil Polri dalam pelaksanaan keamanan nasional. Sederhananya begitulah titik tolak konsep pemolisian yang di urai oleh Tito Karnavian dan Hermawan Sulistyo dalam buku yang mereka tulis lebih dari 400 halaman, terbit di tahun 2017 dengan judul Democratic Policing. Kritik dan perdebatan konseptual sempat mencuat, hingga merangsang aspek historis ABRI (TNI/Polri) dan skeptis profesionalisme terhadap institusi maupun personil Polri itu sendiri.

    Fakta reformasi Polri sebagai anak kandung reformasi adalah keniscayaan demokratisasi Indonesia. Yang sebelumnya pemungsian institusi keamanan dan pertahanan Negara oleh rezim Orde Baru dibingkai sebagai power play pada banyak aspek, melaui pola yang otoriter. Dengan demikian reformasi polri pada tataran nilai demokratis mewajibkan penyelenggaraan keamanan nasional berbasis civilian, yang menjadi paradigma utuh konsep Democratic Policing tersebut. Disokong dengan argumentasi modernitas serta diintegrasikannya Polri dalam bangunan politik dan hukum yang dicita-citakan Reformasi. Mengutip artikel di Media Indonesia yang berjudul Polri,politik dan polemik democratic policing (https://bit.ly/2HkOM8I), menyebutkan bahwa penghormatan terhadap HAM, pelayanan yang adil dan nondiskriminasi, penggunnaan kekerasann yang minimal, serta Polri yang akuntabel dan profesional ialah aspek-aspek yang penting untuk terinternalisasi dalam institusi Polri.

    Manifestasi Democratic Policing semakin tampak dalam butir-butir Tagline Promoter (Profesional,Modern,Terpercaya),yang salah satunya menjadi jargon praktik penyelenggaran keamanan nasional oleh Polri, pastinya terbangun sebagai nilai yang berpayung Hukum. Artinya,atas nama Hukum praktik Promoter punya ruang pelaksanaan yang mengikat. Meskipun dalam opini publik, pelaksanaan supremasi hukum oleh Polri selalu diwarnai pesimistis.

    Sebagai aktor sipil yang saaat ini aktif di organisasi gerakan mahasiswa, penulis ingin mengulik problem klasik Demonstran dan Polisi ikhwal penyampaian pendapat dimuka umum, yang syarat dengan pelanggaran nilai-nilai HAM. YLBHI dalam siaran pers yang dikutip dari situs LBH Yogyakarta (https://bit.ly/3ckm4Ao) mencatat, bahwa aparat Kepolisian merupakan aktor paling dominan dalam kasus pelanggaran fiar trial pada tahun 2019, terdapat 1.847 korban dari 160 kasus. Angka yang sangat tinggi tersebut berkaitan erat dengan aksi-aksi massa yang terjadi sepanjang 2019. Maka menarik kemudian jika tema Democratic Policing direfleksi, disaat banyaknya catatan-catatan buruk pemolisian, terkhusus hubungannya dengan massa aksi.

    Sebelum tulisan ini tayang, problem klasik ini menimpa kader HMI MPO Cabang Bogor, saat aksi demonstrasi didepan kantor Bupati Kabupaten Bogor pada tanggal 17 september 2020 lalu. Beberapa demonstran mengalami perlakuan represif oknum Polri dan Satpol PP Kabupaten Bogor. Di Sulawesi Tenggara, meninggalnya dua Mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) pada gerakan Reformasi Dikorupsi september 2019 lalu (Randi dan Muh. Yusuf Kardawi) menyulut solidaritas Mahasiswa Kendari, dan menggelar Aksi pada 26 September 2020. Bentrokan antara massa aksi dengan aparat kepolisian tak terhindari, hingga Polisi mengerahkan Helikopter untuk membubarkan massa. Selanjutnya, beredar video ketua umum HMI MPO Cabang Serang di seret dan diperlakukan tidak manusiawi saat aksi bersama puluhan mahasiswa lainnya dalam peringatan HUT Provinsi Banten ke 20 di kantor DPRD Banten (4/10/2020). Secara umum, peristiwa-peristiwa tersebut melulu dibenarkan atas nama Hukum, ragam macam dalil regulasi yang lentur bahkan mengikat di pakai sebagai landasan tindakan-tindakan pengendalian massa yang berujung represif tersebut.

    Demonstrasi dan Regulasinya

    Langkah demonstrasi menjadi pilihan demokratis masayarakat sipil dalam upaya mengemukakan pendapat dengan dalil-dalil pro keadilan. Langkah konstitusional tersebut dilindungi oleh UUD 1945 pada Pasal 28E, dan mekanisme pelaksanaannya di atur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaiakan Pendapat di Muka Umum. Polri sebagai institusi keamanan dalam negeri diamanatkan dalam Pasal 13 ayat 3 UU No. 9 Tahun 1998 untuk bertanggungjawab menyelenggarakan pengamanan guna menjamin ketertiban umum. Sebagai acuan turunan, Polri menerbitkan Peraturan Kapolri (Perkap) No.16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa dan Perkap No. 9 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Selain itu ikhwal perlindungan HAM terdapat Perkap No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, serta Perkap No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    Teks-teks peraturan dan perundangan-perundangan tersebut di claim mengatur hak demokrasi dan menjamin perlindungan HAM terhadap Demonstran yang diklasifikasikan dalam kerangka ideal. Namun beberapa tindakan represif yang terjadi,menurut hemat penulis selalu disebabkan oleh dua perspektif tindakan kontrademokratis-kontra yuridis, sehingga beberapa aksi demonstrasi berujung pada konflik.

    Pertama, dengan dalil menjamin keamanan dan ketertiban umum, langkah demonstrasi diatur ketat dan santun sebagai manifestasi yuridis dan tata krama Demokrasi Indonesia. Dalam hal itu Polri merujuk segala Pasal hukum yang tertuang dalam keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut diatas. Dengan demikian, persitiwa aktual dalam keseluruhan proses aksi massa terkungkung dalam fatwa-fatwa Hukum yang bisa bersifat diskresi fungsional oleh personil dilapangan. Dirujuk dari artikel Hukum Online yang berjudul Penting! Meski Dijamin Hukum, Ini 5 Jenis Demonstrasi yang Dilarang (https://bit.ly/30cGyWX).

    Kedua, Metode demonstrasi ideal relatif tidak layak pakai jika kritik direspon melalui metode pembelaan atau pengekangan yang nondemokratis, meskipun kritikan atas objek masalah yang diperjuangkan oleh para demonstran adalah narasi keadilan. Secara teoritis kontradiksi itu dapat disebut sebagai Deprivasi Relatif yang bermuara pada kebutuhan perjuangan. Sehingga metode demonstrasi yang berenergi perjuangan seperti itu cenderung/terkesan sporadis, dan tak jarang menimbulkan kerugian materil dan immateril. Disisi lain, metode demonstrasi ideal pun mengalami ambiguitas demokratis jika konten gerakannya memenuhi syarat pelarangan dengan dalil-dalil hukum yang lentur, naif jika polisi dalam asumsi liar diduga terlibat mengaburkan konten-konten persoalan yang diperjuangkan.

    Jembatan Keadilan, Prasyarat Keamanan Nasional

    Polri merupakan salah satu institusi Negara yang secara massif memiliki intensitas interaksi yang tinggi dengan masyarakat sipil, artinya polri merupakan representasi konkret dari Negara pada konteks mengukur sejauh mana keadilan dapat dinikmati serta dapat mencermati kebebasan dan efektifitas pelayanan Negara. Sepatutnya ruang tersebut potensial difungsikan optimal untuk pro keadilan.

    Dua perspektif tersebut diatas seyogyanya dapat direfleksi guna memperkaya aktualisasi Democratic Policing. Artinya, Proporsi nilai demokratis tidak di interpretasikan pada pengayaan Institusional Polri sebagai fungsi penegakan hukum semata, Tidak pula mengakuisisi peran kepolisian pada banyak sektor, praktik tersebut jelas bertentangan dengan prinsip reformasi polri yang mengurai paradigma superioritas institusi ABRI pada banyak aspek. Namun lebih kepada pengamalan institusi yang menjembatani Demokratisasi untuk seluruh elemen sipil dalam mencapai keadilan.

    Merubah Regulasi Pengendalian Massa

    Penerapan Democratic Policing tercermin dari terjaganya nilai-nilai HAM , termasuk pada proses pengendalian massa. Dengan demikian, pada domain pengendalian massa diperlukan pendekatan transformatif, yang bertumpu pada keberpihakan atas hak-hak sipil secara utuh.

    Secara kultural, pengamalan Democratic Policing mesti keluar dari bayangan superioritas institusional yang justru mempengaruhi pola pemolisian personal polri. Maka perilaku demokratis personil Polri dalam fungsi-fungsi keamanan Nasional harus dinternalisasikan sejak dalam sistem pembinaan hingga pengawasan personil Polri.

    Secara yuridis, pendekatan transformatif tersebut terwujud dengan perlunya Perubahan regulasi-regulasi pengendalian massa yang saat ini masih memberi ruang diskresi fungsional secara berlebihan. Sehingga pelanggaran HAM tak terelekkan dalam tiap aksi massa yang bercorak Deprivasi Relatif.

    Menengok masa depan aksi massa, Situasi ekonomi politik indonesia saat ini membuka celah tingginya gelombang gerakan massa. Dengan demikian, urgensi pendekatan transformatif tersebut tersebut tidak semata mengupayakan Demonstrasi berjalan lancar dan damai, tapi situasi Keamanan dan Pertanahan negara stabil dari dampak kondisi ekonomi-politik Global.

  • Porang dan Pemberdayaan Mustahik

    Porang dan Pemberdayaan Mustahik

    PORANG saat ini sedang ramai dibicarakan karena diyakini sebagai komoditas ekspor dan sumber karbohidrat masa depan.

    Petani sedang bergairah menanam Porang karena harga Porang saat ini sangat menguntungkan dan terus mengalami kenaikan dari tahun ketahun. Bahkan, pabrik pengolahan Porang untuk ekspor seakan berebut bahan baku untuk memenuhi kapasitas produksinya.

    Menurut laman resmi Kementerian Pertanian RI, Porang adalah tanaman penghasil umbi yang dapat dimakan, merupakan anggota marga Amorphophallus.

    Dari segi penampilan serta manfaatnya Porang memang mirip dengan suweg dan walur sehingga sering kali dirancukan dengan kedua tanaman tersebut. Mengingat manfaat Porang dan prospek pasarnya yang cukup baik maka kedudukan tanaman Porang sangat potensial dikembangkan di tengah Pandemi Covid-19 sebagai salah satu komoditas yang bisa diandalkan dalam mengentaskan kemiskinan dan mengatasi pengangguran.

    Porang secara alami tumbuh pada musim hujan pada lahan tegalan, pemakaman dan di bawah tegakan tanaman kehutanan dan perkebunan. Porang termasuk tanaman yang toleran dengan naungan hingga 60%. Porang dapat tumbuh pada jenis tanah subur maupun marginal pada ketinggian 0 sampai 700 m dpl.

    Di kawasan hutan, Porang ditanam di bawah pohon kayu-kayuan yang secara bersamaan dapat ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pangan dan sayuran untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan dan papan. Saat ini Porang sudah dibudidayakan secara cukup intensif di areal terbuka bahkan di pekarangan dengan menggunakan polybag yang ditanam secara bersusun. Penanaman Porang menggunakan benih, biasanya digunakan dari potongan umbi batang maupun umbinya yang telah memiliki titik tumbuh atau umbi katak (bubil) yang ditanam secara langsung.

    Saat musim tanam tiba (September-November) kebutuhan akan benih Porang cukup tinggi sehingga turut mengerek harga benih terutama yang bersumber dari katak (bulbil). Sebagai gambaran, harga benih Porang yang bersumber dari katak (bulbil) pada awal September tahun 2020 ini di Provinsi Banten dijual pada kisaran harga Rp120.000,- hingga Rp135.000,- per kg (dengan jumlah berkisar antara 250-350 butir per kg) kini, dalam waktu 15 hari saja sudah naik pada kisaran harga Rp250.000,- hingga Rp285.000,- per kg.

    Perubahan harga benih Porang ini mirip dengan perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang berubah setiap hari. Harga benih Porang akan menurun saat musim tanam terlewati.

    Tanaman Porang dipanen perdana pada umur 7 bulan setelah tanam. Pada panen perdana Porang akan menghasilkan umbi seberat 0,5-1 kg dan menghasilkan katak 1-2 butir per pohon. Sedangkan panen kedua pada umur 15 bulan setelah tanam. Pada panen kedua Porang akan menghasilkan umbi seberat 1-2 kg dan menghasilkan katak 3-5 butir per pohon. Pada musim panen umbi basah dijual pada harga Rp5.000,- hingga Rp8.000,- per kg dan katak dijual pada kisaran harga Rp100.000,- hingga Rp150.000,- per kg (dengan jumlah berkisar antara 250-350 butir per kg).

    Selain umbi basah Porang juga dijual dalam bentuk olahan (dibuat chip/keripik) dijual dengan harga Rp50.000 per kg (chip kering matahari) dan Rp60.000 per kg (chip kering oven). Rendemen Porang (perubahan umbi basah menuju olahan berada pada kisaran 10% hingga 20%). Rendemen tertinggi dicapai pada saat panen terjadi pada musim kemarau sedangkan terendah terjadi pada musim hujan.

    Jika jarak tanam yang digunakan 0,5 m x 0,5 m maka dalam satu hektar terdapat 40.000 tanaman. Benih yang dibutuhkan sebanyak 160 kg dengan asumsi per kg benih katak terdapat 250 butir. Jika diasumsikan benih yang tumbuh sebanyak 28.000 tanaman (70%) dan berat umbi basah pada panen pertama rata-rata 0,5 kg per tanaman maka akan didapat sebanyak 14 ton umbi basah dan panen katak sebanyak 224 kg (70% x 40.000 tanaman x 2 katak per pohon dibagi 250 butir per kg).

    Jika harga umbi basah saat panen Rp5000 per kg dan harga katak Rp100.000,- maka pendapatan usaha tani Porang dari umbi basah sebanyak Rp70.000.000,- dan dari katak (bulbil) Rp22.400.000 dikurangi dengan biaya operasional sebanyak Rp35.000.000,- terdiri dari biaya benih 160 kg (Rp24.000.000,-), kapur 1000 kg (Rp1000.000,-), pupuk kandang 2000 kg (Rp2.000.000,-) dan tenaga kerja sejak tanam hingga panen (Rp8.000.000,-). Pada panen perdana pendapatan usaha tani Porang membukukan Rp 57.400.000,-. Artinya pada panen perdana saja modal sudah berhasil dikembalikan. Pada panen kedua akan didapatkan umbi basah sebanyak 28 ton dan panen katak sebanyak 336 kg. Jika umbi basah diolah jadi chip/keripik dengan rendemen 15% x 28 ton menghasilkan 4,2 ton (4200 kg chip).

    Jika harga Porang Chip Rp50.000 per kg maka dengan menjual umbi chip akan mengantongi pendapatan sebanyak Rp210.000.000,- dan dari panen katak sebanyak Rp50.400.000,-. Sehingga total pendapatan pada panen kedua mencapai Rp260.400.000,-. Akan tetapi jika yang dijual umbi basah maka pendapatnnya menjadi Rp190.400.000,- (jual umbi basah Rp140.000.000,- dan katak Rp50.400.000,-.

    Hitung-hitungan pendapatan sebagaimana tersebut di atas antara lain yang mendorong minat petani terhadap Porang saat ini cukup tinggi. Dari segi pembiayaan relatif terjangkau, perawatan tidak terlalu sulit dan harga umbi basah, umbi chip dan katak tergolong bagus.

    Kunci dari usaha tani budidaya Porang pertama kali berada pada ketersediaan benih berkualitas yang menjamin daya tumbuhnya di atas 70%. Faktor ini pula yang menggugah Gubernur Banten mendorong agar Dinas Pertanian Provinsi Banten segera melakukan kegiatan seleksi dan sertifikasi benih setelah Gubernur Banten memahami bahwa benih Porang yang dibudidayakan di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dan telah diekspor ke manca negara itu ternyata bersumber dari Provinsi Banten tepatnya dari Kecamatan Mancak dan Gunung Sari Kabupaten Serang Provinsi Banten.

    Faktor berikutnya adalah pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap produk tanaman sehat yang tumbuh diluar dan didalam negeri sehingga menumbuhkan permintaan akan produk-produk pertanian sehat.

    Dalam konteks ini tanaman Porang antara lain menyumbang kandungan Glucomannannya yang merupakan serat alami yang mudah larut dalam air dan biasa digunakan sebagai aditif makanan sebagai emulsifier dan pengental, dapat digunakan sebagai bahan pembuatan lem ramah lingkungan dan pembuatan komponen pesawat terbang.

    Pemilihan komoditas Porang untuk dibudidayakan oleh masyarakat secara meluas diyakini akan bisa mensubstitusi sumber karbohidrat dari beras Padi ke beras Porang. Salah satu contohnya adalah beras Jepang yang dikenal dengan Shirataki.

    Keunggulan dari beras Porang antara lain disamping cukup enak, juga memiliki kadar glukosa yang rendah sehingga cocok untuk memenuhi kebutuhan diet terutama bagi penderita penyakit diabetes.

    Seandainya beras Porang bisa mensubstitusi beras padi maka kebutuhan beras nasional yang besar sehingga mengharuskan Indonesia terus mengimpor dalam jangka panjang akan bisa dikurangi. Dalam konteks situasi Pandemi yang hingga kini belum dapat dipastikan kapan akan berakhir serta situasi perekonomiaan nasional sedang menuju resesi maka kehadiran Porang tidak hanya mendukung ketersediaan logistic pangan juga memiliki prospek untuk berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi negara karena produknya dapat dikekspor ke manca negara.

    Sedemikian pentingnya kedudukan tanaman Porang baik dalam mendukung ketersediaan logistic pangan dan prospek kontribusinya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional maka pemilihan komoditas Porang sebagai instrument pemberdayaan mustahik khususnya fakir dan miskin serta kaum pengangguran tampaknya tepat untuk dilakukan.

    Oleh karena itu Forum Silaturrahim Pondok Pesantren (FSPP) Provinsi Banten melalui Tim Manajemen Porang (TMP) bekerjasama dengan UPZ BAZNAS Provinsi Banten menjalin kerjasama kemitraan memberdayakan mustahik melalui usaha tani budidaya Porang di lahan-lahan milik pondok pesantren.

    Skema kerjasamanya adalah, menempatkan mustahik yang mendapatkan alokasi dana dari UPZ BAZNAS Provinsi Banten melalui pos fakir misikin sebagai investor menitipkan dananya kepada TMP FSPP Provinsi Banten lalu TMP FSPP Provinsi Banten bekerjasama dengan pondok pesantren selaku pemilik lahan. Kewajiban pondok pesantren adalah membentuk Tim Teknis Porang (TTP) dan kewajiban TMP FSPP Provinsi Banten membina mental, teknologi, menyediakan benih dan sarana produksi lainnya sedangkan mustahik selaku investor berkewajiban sebagai pengawas kegiatan usaha tani budidaya Porang ini.

    Setelah dikurangi dengan biaya operasional hasil bersihnya dibagi tiga dengan proporsi 40% untuk mustahik selaku investor, 20% untuk TMP FSPP Provinsi Banten selaku pengelola dan 40% untuk pondok pesantren selaku penyedia lahan budidaya.

    Jika skema ini berhasil perluasan usaha tani budidaya Porang akan menyasar lahan-lahan milik masjid atau milik masyarakat, swasta dan atau milik negara yang tidak termanfaatkan (tidur) untuk ditanami Porang sebagai sarana pemberdayaan ekonomi, menggerakan fikiran dan raga dan tentu saja menanam harapan atau optimisme. Wallahu’alam.
    (*)

  • Covid-19 Meningkat, Kewaspadaan Menurun

    Covid-19 Meningkat, Kewaspadaan Menurun

    ANGKA kasus covid-19 di Indonesia sebenarnya terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pemerintah mengumumkan rasio kepositifan atau Positivity Rate Testing Covid-19 sebesar 18,76 persen pada 3 September 2019 setelah menemukan 3.622 kasus baru dari 19.306 yang dilakukan pengetesan, secara keseluruhan positivity rate di Indonesia sebesar 13,62 persen terdapat kasus positif 184.268 dari 1.353.291 orang yang dilakukan tes.

    Angka positivity rate di Indonesia masih diatas 10 persen, padahal World Health Organization (WHO) menetapkan ambang batas aman bila positive rate dibawah 5 persen. Positive Rate adalah persentase orang yang memiliki hasil tes positif covid-19 dibandingkan jumlah orang yang di tes, tingginya positive rate mengindikasikan sebaran covid-19 di Indonesia mengalami peningkatan signifikan, khususnya dibeberapa kota besar seperti Jakarta, kasus hariannya pada 3 September bahkan mencetak rekor baru sebanyak 1.406 kasus.

    Realitas saat ini bila dibandingkan saat awal kali sebaran virus covid-19 masuk di Indonesia (Outbreak), tingkat kewaspadaan masyarakat menurun, padahal kasus covid-19 mengalami lonjakan. Menurunnya ketakutan masyarakat seiring dengan kebosanan dan tuntutan ekonomi.

    Infeksi virus covid-19 makin masif terjadi dikarenakan, adanya pasien positif covid yang tanpa gejala masih berinteraksi sosial namun, tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi virus, imbauan dan sanksi karena tidak memakai masker, menjaga jarak, belum berjalan secara efektif, hal ini seiring menurunnya tingkat kewaspadaan masyarakat, juga kejenuhan hidup dimasa pandemi yang sarat dengan berbagai aturan.

    Umat manusia benar-benar sedang diuji dengan covid-19. Disisi lain, negara dan masyarakat sudah lelah menghadapi pandemi yang dampaknya sangat terasa, baik secara kesehatan, pendidikan, sosial dan ekonomi. Kondisi sulit ini bagi seorang muslim hendaknya disikapi dengan tetap bersabar dan, berpedoman pada tuntunan Rasulullah dalam menghadapi wabah (Tha’un).

    Rasulullah Saw bersabda : “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahuwata’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit dari suatu negeri, janganlah kamu masuk di negri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR.Bukhari dan Muslim).

    Upaya untuk mengetahui yang sakit dan yang sehat harus terus diupayakan, agar yang sakit dapat segera dipisahkan dengan yang sehat, sebagaimana anjuran Nabi Shallahu’alaihi wasallam, “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat” (HR.Bukhari dan Muslim).

    Sebetulnya metode karantina dan isolasi jauh hari telah diajarkan oleh Nabi Muhammad. Dimasa Nabi, pernah terjadi wabah kusta yang infeksius dan mematikan, kemudian Nabi melarang umatnya untuk dekat dengan yang terkena penyakit tersebut.

    Hendaknya kita tetap waspada dengan meningkatnya virus covid-19, upaya menghindari virus haruslah kita lakukan, serta menjauhi hal-hal yang mendatangkan mudarat bagi kita.

    Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda “Tidak boleh berbuat madlarat dan hal yang menimbulkan madlarat” (HR.Ibn Majah dan Ahmab Ibn Hambal dari Abdullah ibn Abbas).

    Tidak hanya diri kita, keluarga kita pun dianjurkan untuk tetap waspada, khususnya anak-anak, bila tidak ada keperluan yang cukup mendesak, hendaknya mencari keselamatan bagi anak, dengan tidak membawa anak berinteraksi sosial dengan banyak orang selama masa pandemi.

    Kewaspadaan atas sebaran covid-19 penting terus kita jaga, mengingat jumlah korban semakin meningkat, kita juga berduka atas wafatnya ratusan dokter yang terinfeksi virus covid-19, juga meninggalnya saudara kita yang lain.

    Namun kami mendoakan mereka semua, khususnya umat Islam yang wafat disebabkan terinfeksi virus covid-19, untuk mendapatkan tempat terbaik disisi Allah.

    Dalam sebuah hadits nabi, setiap umat muslim yang menghadapi ujian wabah dan, mengalami kematian akibat wabah, disebutkan janji surga dan pahala yang besar, bagi siapa saja yang tetap bersabar ketika menghadapi wabah penyakit, “kematian karena wabah adalah surga bagi tiap muslim (yang meninggal karenanya). (HR.Bukhori).

    Semoga Allah lindungi kita semua dari virus ini dan memberikan keselamatan dan segera mengangkat wabah ini.

    Amiin.

    Wallahua’lambisshawab

  • Tradisi Lebaran Yatim Dimasa Pandemi

    Tradisi Lebaran Yatim Dimasa Pandemi

    SETIAP bulan Muharram terdapat tradisi yang dilaksanakan masyarakat muslim Banten secara turun temurun, yakni lebaran anak Yatim. Apa itu lebaran? Apa yang melatarbelakangi lebaran Yatim? Ritual apa yang dilakukan? Tulisan ringkas ini mencoba menguraikannya dalam latar Pandemi Covid-19.

    Hakikat lebaran
    Lebaran dalam bahasa Jawa artinya sudah-an. Lebar berarti selesai. Kata lebaran biasa digunakan untuk menggambarkan kebahagiaan umat Islam di Indonesia sesudah menyelesaikan tugas atau kewajiban. Misalnya lebaran fitrah yang dilaksanakan setiap tanggal tujuh Syawwal setelah menyelesaikan puasa Sunnah Syawwal enam hari dari tanggal dua hingga tanggal tujuh.

    Lebaran juga identik dengan makna hari raya. Dalam perayaan itu terkandung keyakinan-keyakinan tertentu, dan merupakan suatu momentum untuk pengagungan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada hari raya itu segala rasa suka cita diekspresikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pada hari itu semua berpesta dengan makanan dan minuman yang halal, mengenakan pakaian terbaik dan harum mewangi, serta pada hari itu diharamkan berpuasa. Pada hari itu semua harus bergembira dan tidak boleh ada yang bersedih hati. Tidak boleh ada yang kelaparan karena tidak makan. Islam menghadirkan dua hari raya: Iedul Fitri dan Iedul Adha.

    Iedul Fitri dirayakan pada tanggal 1 Syawwal setelah selesainya kewajiban berpuasa pada bulan Ramadan. Di akhir bulan Ramadan terdapat sepuluh hari yang istimewa untuk i’tikaf dan di sepuluh hari terakhir tersebut terdapat satu malam ganjil penuh berkah bernama “lailatul qadar” yang nilainya lebih baik dari 1000 bulan. Sedangkan iedul Adha terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dilanjutkan pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah dengan amalan berkurban. Menyembelih hewan ternak berupa kambing, domba, sapi, kerbau atau onta. Pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah merupakan waktu istimewa dan dianjurkan banyak berdzikir dan melaksanakan amal sholeh. Pada tanggal 9 Dzulhijjah dianjurkan puasa ‘Arafah. Rasulullah menyebutkan bahwa “Tiada hari yang amal shalihnya lebih Allah cintai dari sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” Beliau ditanya: “Tidak juga jihad di jalan Allah?” Beliau bersabda: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang pergi dengan diri dan hartanya kemudian tidak kembali sama sekali”. [HR. Bukhari].

    Lebaran dipandang sebagai hari kemenangan. Maka, semua orang harus bergembira. Kegembiraan itu diekspresikan dengan makan dan minum diiringi musik dan lagu. Para ahli hukum Islam sepakat tentang bolehnya nyanyian dalam peristiwa-peristiwa gembira, seperti lebaran, perkawinan, dan sebagainya. Adapun selain itu, hukum bernyanyi diiringi musik ada dalam perselisihan. Sebagai melarang dengan alasan cenderung melalaikan orang dari dzikir kepada Allah, sholat, dan baca Al Qur’an. Sebagian lagi seperti para ahli sufi membolehkan sebagai media kontemplasi, membangkitkan semangat juang, menumbuhkan kerinduan beribadah dan menasehati dalam kebajikan.

    Keistimewaan Muharam
    Tradisi lebaran yatim dilaksanakan pada hari Asyura tanggal 10 bulan Muharram. Kita maklumi, bahwa bulan Muharram merupakan salah satu bulan haram yang dilarang berperang. Pada bulan Muharram sebagai titik nol kalender peradaban Islam, umat Islam disunahkan membaca doa akhir tahun dan awal tahun. Selanjutnya memasuki hari ke-9 dan ke-10 bulan Muharram, umat Islam disunahkan menjalankan puasa Tasua dan Asyura.

    Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya hari ini adalah hari Asyura, tidak diwajibkan kamu melakukan puasanya, tetapi saya berpuasa. Barang siapa yang ingin berpuasa, berpuasalah, dan barang siapa yang tidak ingin berpuasa, hendaklah ia berbuka (HR Bukhari dan Muslim).

    Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya hari Asyura adalah termasuk hari-hari (yang dimuliakan) Allah. Barang siapa yang suka berpuasa, berpuasalah. (Muttafaq ‘alaihi)

    Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ia berkata, saya tidak pernah melihat Nabi memperhatikan puasa satu hari yang diutamakannya atas yang lainnya selain hari ini, hari asyura dan bulan Ramadhan. (HR. Bukhari)

    Rasulullah ditanya tentang Puasa Asyura, beliau menjawab, “dapat menghapus dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim).

    Ritual puasa pada tanggal 10 Muharam ini ternyata juga dilakukan oleh orang-orang Yahudi sebagai rasa syukur kepada Allah atas kemenangan dan kemerdekaan yang mereka peroleh dari penjajahan Firaun dan tentaranya yang tenggelam di Laut Merah. Bahkan dalam satu riwayat sudah dilakukan oleh umat Nabi Nuh dan menjadi kebiasaan orang Quraisy di masa jahiliyah. Untuk membedakan puasa Asyura dalam tradisi Islam dengan kebiasaan umat terdahulu, umat Islam disunahkan juga untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharam.

    Dari Abu Musa al-Asy’ari RA, dia berkata, Hari Asyura itu diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikan sebagai hari raya. Maka, Rasulullah SAW bersabda, Berpuasalah pada hari itu.” (Muttafaq alaihi).

    Dari Aisyah RA, dia berkata, Hari Asyura adalah hari yang dipuasakan oleh orang-orang Quraisy pada masa jahiliyah, Rasulullah juga biasa mempuasakannya. Dan tatkala datang di Madinah, beliau berpuasa pada hari itu dan menyuruh orang-orang untuk turut berpuasa. Maka, tatkala diwajibkan puasa Ramadhan, beliau bersabda, ‘Siapa yang ingin berpuasa, hendaklah ia berpuasa dan siapa yang ingin meninggalkannya, hendaklah ia berbuka.” (Muttafaq alaihi).

    Dari Abu Hurairah RA dia berkata, Rasulullah SAW ditanya, ‘Shalat apa yang lebih utama setelah shalat fardhu? Nabi menjawab, ‘Shalat di tengah malam’. Mereka bertanya lagi, ‘Puasa apa yang lebih utama setelah puasa Ramadhan?’ Nabi menjawab, ‘Puasa pada bulan Allah yang kamu namakan Muharram.” (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).

    Memuliakan Yatim
    Lebaran yatim dilaksanakan berdasarkan riwayat, bahwa “Siapa yang mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim, di hari Asyuro’ (tanggal 10 Muharram), maka Allah akan mengangkat derajatnya, dengan setiap helai rambut yg diusap satu derajat“. Mengusap kepala yang dimaksudkan adalah memuliakan anak Yatim dengan pengasuhan dan pendidikan sesuai tahapan perkembangan anak. Kegiatan pemuliaan anak Yatim ini bernilai ibadah yang tinggi.

    Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
    “Orang yang berusaha menghidupi para janda dan orang-orang miskin laksana orang yang berjuang di jalan Allah. Dia juga laksana orang yang berpuasa di siang hari dan menegakkan shalat di malam hari.” (HR. Bukhari Muslim)

    Dari Sahl ibnu Sa’ad, dari Nabi, beliau bersabda: “Kedudukanku dan orang yang menanggung anak yatim di surga bagaikan ini.” [Beliau merapatkan jari telunjuk dan jari tengahnya]. (HR. Bukhari)

    Ritual lebaran yatim sebagaimana lebaran yang lainnya mengandung unsur kegembiraan. Makan bersama fakir miskin dan anak-anak yang terlantar serta memberikan harapan terkait masa depan mereka sebagai tunas bangsa. Pada momentum ini bertemu kepedulian keluarga yang kaya dengan doa anak-anak dari keluarga yang secara ekonomi berada di bawah garis kemiskinan.

    Lebaran Yatim menjadi momentum pengamalan Al Qur’an surat Al Ma’un dan pelaksanaan konstitusi UUD 1945 pasal 34 “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Lebaran yatim menjadi pemantik gerakan orang tua asuh, termasuk bidang pendidikan. Dengan demikian, tradisi ini sangat membantu pemerintah dalam menanggulangi dampak sosial ekonomi Covid-19.

    Wallahu a’lam.

  • Penghakiman Yang Prematur

    Penghakiman Yang Prematur

    SAYA tuliskan ini sebagai buah pikir dan perantara rasa resah saya atas “labelling” false & misleading information yang diberikan oleh media bernama Tirto.id kepada sahabat saya Dharma Pongrekun berkenaan tentang “pendapat” nya mengenai candu gawai. Simak ulasan saya:

    Saya menjadi teringat petuah yang disampaikan oleh Bapak Proklamator Indonesia Ir. Soekarno yang begitu menggugah dalam konteks saat ini.

    “Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun,”

    ucap Bung Karno.

    Saya rasa konsep pemahaman dasar inilah yang membimbing Bung Karno menjadi sosok pembeda di saat itu. Beliau berani menyuarakan gagasannya kepada dunia hingga saat itu Indonesia menjadi salah satu negara yang disegani.

    Beliau berani untuk keluar dari ‘trek’ dimana dunia saat itu sedang dalam situasi perang dingin antara blok barat dengan blok timur. Dengan briliannya beliau menginisiasi Gerakan Non-Blok dan mengajak negara-negara dunia ketiga untuk ikut serta dengan Gerakan Non Partisan tersebut. Sikap heroik Bung Karno membuat nama beliau harum bahkan sampai sekarang diantara negara-negara yang menghormati beliau.

    Hal tersebut dapat terjadi karena beliau berani untuk mengambil pandangan soal kebenaran pada era itu, tidak melulu soal mendukung Barat ataupun berpihak ke Timur. Beliau menerapkan kebenaran versinya sendiri dimana perdamaian dunia dapat dicapai dengan tanpa harus memihak

    Apa yang dapat dipetik? Sederhananya, there is no absolute truths. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan kebenaran menurut versinya sendiri.

    Saya bukan penganut aliran relativism, namun saya meyakini bahwa setiap pendapat, setiap pemikiran, ataupun setiap pandangan adalah hak yang dimiliki oleh seseorang manusia sebagai sebuah entitas yang bebas. Kemelut dalam hidup tidak melulu dapat diselesaikan oleh ragam teori yang ada saat ini, sebab setiap ilmu pengetahuan akan selalu menyisakan ruang kosong dan menjadikannya itu sebagai sebuah misteri.

    Perlukah setiap manusia untuk menemukan jawaban atas kekosongan itu? Tentu perlu.

    Tapi, apakah setiap manusia “mampu” menemukannya?

    Nah, jawabnya belum tentu.

    Dengan pembuka di atas, lantas saya ingin menuliskan tentang sebuah kegelisahan yang merundung lobus frontal otak saya atas sebuah artikel yang diterbitkan oleh media Tirto.id dalam kolom “periksa fakta”.

    Sudah ratusan artikel periksa fakta yang dimuat oleh Tirto.id, sampai akhirnya seorang rekan saya mengirimkan link artikel dari Tirto.id yang menyematkan label false & misleading terhadap sebuah postingan instagram seorang petinggi Polri yakni Komjen Polisi Dharma Pongrekun.

    Saya kembali membaca postingan Dharma secara utuh dan mengesampingkan terlebih dahulu narasi yang dibangun oleh Tirto.id.

    Secara substansi, saya melihat kegelisahan seorang Dharma akan candu manusia pada gawai atau gadget yang sudah sedemikian rupa merusak susunan luhur tubuh kita, atau dalam konteks ini, Dharma menyebutnya, ‘manusia dijauhkan dari fitrahnya’.

    Keterikatan manusia dengan gadget memang tidak dilakukan secara sporadis, semua bertahap dengan anak-anak tangga yang telah kita lewati bersama.

    Setiap pembaharuan fitur smartphone hari-hari ini, tanpa kita sadari memang membuat rasa candu itu mulai muncul dan berkembang di dalam jiwa kita.

    Beragam surveyor melakukan penelitian tentang berapa jam dalam sehari manusia menghabiskan waktunya menggunakan smartphone.

    Ada yang menyebutkan bahwa kita habiskan 3 jam, 4 jam, 5 jam bahkan 8 jam dalam satu hari untuk memainkan gadget.
    Bukankah itu sebuah sinyalemen yang patut kita cemaskan?

    Sesungguhnya, poin terpenting yang ingin Dharma sampaikan adalah awareness kita harus dibangkitkan kembali untuk mengantisipasi sisi buruk penggunaan gadget yang berlebihan dan ditakutkan apabila kita tenggelam dalam rasa candu yang pada akhirnya merusak body intelligent kita.

    Keliru Memahami Tujuan

    Terdapat setidaknya dua kesalahan fundamental yang dilakukan oleh Tirto.id dalam sebuah artikel berjudul ‘Komentar Dharma Soal Gawai, Candu dan Perusakan Sel, Hoaks/Fakta?.

    Kesalahan pertama adalah, bagaimana penulis mencoba untuk menelaah satu persatu makna dari frasa yang dituliskan oleh Dharma dengan pemahaman penulis sendiri tanpa mencoba memahami alur pemikiran dari pemilik postingan.

    Padahal di akhir kalimat, Dharma menyampaikan tujuan dari alur pikir yang ia sampaikan. Beliau memberikan nasihat “Dengan hidupmu, taburlah kebaikan. Dengan Gadget-mu, beritakan kebenaran”.

    Logika sederhananya mudah, untuk apa beliau memberikan sebuah nasihat soal memberitakan kebenaran jika informasi yang beliau sampaikan mengandung kebohongan.

    Dalam postingan juga sangat jelas bahwa Dharma mengajak agar setiap orang untuk mengembalikan fokus kepada jati diri manusia sebagai ciptaan Tuhan.

    Artinya dengan postingan tersebut, Dharma menyampaikan, agar jangan sampai manusia tenggelam dalam menggunakan Gadget, sehingga melupakan esensi dirinya untuk hidup di muka bumi ini.

    Postingan yang disampaikan Dharma adalah sebuah refleksi untuk mengingatkan, bukan untuk menakutkan apalagi menyesatkan, dan Tirto.Id keliru untuk memahami hal tersebut dengan menyimpulkan sangat tergesa-gesa bahwa informasi yang disampaikan dalam postingan Dharma sebagai informasi yang salah dan menyesatkan.

    Kesalahan yang kedua adalah, Tirto.id dalam menuliskan artikel tersebut sama sekali tidak melakukan konfirmasi terhadap Dharma, padahal artikel yang dibuat berpotensi merugikan nama baik dari Dharma.

    Dharma Pongrekun adalah Pejabat Negara yang mengemban amanah sebagai Wakil Kepala Badan Sandi dan Siber Negara yang juga seorang Polisi dengan pangkat Komjen Polisi. Artikel yang menghakimi sebuah narasi dari Dharma adalah kebohongan, dapat berdampak kepada kredibilitas dan integritas beliau.

    Sehingga Tirto.id seharusnya melakukan konfirmasi terlebih dahulu agar Dharma tidak merasa pribadinya dirugikan dan dapat menjelaskan makna sesungguhnya dari postingan beliau.

    Menghakimi seseorang memang sangatlah mudah, padahal Hakim sendiri sebagai penegak hukum melakukan tugasnya dengan harus mengkonfirmasi dahulu baik kepada terdakwa, tersangka dan saksi, untuk pada akhirnya menentukan seseorang bersalah atau tidak di mata hukum.

    Artikel yang ditulis oleh Tirto.id jelas telah melakukan penghakiman yang prematur terhadap postingan Dharma.

    Seharusnya ada konfirmasi ulang yang dilakukan oleh Tirto.id yang paham akan kode etik jurnalistik dan dalam rangka menghormati Dharma sebagai seorang individu dan pejabat negara.

    Melakukan konfirmasi merupakan hal yang sangat penting dalam rangka menjaga keberimbangan karya jurnalistik. Sehingga setelah sebuah karya jurnalistik telah diterbitkan atau disebar ke publik, tidak muncul apa yang disebut sebagai penghukuman media atau trial by the press.

    Sebagai sebuah media, Tirto.id seharusnya paham betul hal tersebut, sebuah karya jurnalistik yang memberitakan seseorang haruslah memiliki Cover both side agar pemberitaan tersebut menjadi lebih kredibel dan tidak terkesan framing menjatuhkan pihak tertentu .

    Ah, rasanya saya percuma bercerita panjang tentang maksud dan tujuan ini, apabila batu pijak kita berbeda.

    Jika penulis artikel Tirto.id memiliki waktu yang cukup, mungkin ia tidak perlu berhenti pada satu postingan itu saja. Ia harus lebih memahami maksud dan tujuan terdalam sang pemilik informasi. Apakah dengan melakukan re-checking pada jurnal ilmiah, lantas artikel Tirto.id dapat dibenarkan untuk menancapkan bendera false & misleading information pada postingan Dharma?

    Saya kembali mengajak pembaca untuk melakukan kontemplasi atas kehidupan ini.

    Ingatlah bahwa sejak dulu manusia senantiasa berupaya untuk mencari kepastian ketika menghadapi atau bersentuhan dengan realitas hidup yang dijalani oleh masing-masing kita.

    Dharma sedang melakukan itu, ia tidak serta-merta menerima begitu saja tradisi historis yang telah terbangun kokoh hari ini.

    Jika kebiasaan seperti Tirto.id ini dipelihara, saya takut bahwa ke depan, tidak ada lagi pendobrak kredo teknologi dan pada akhirnya kita hanya menerima saja tanpa mengetahui maksud dan tujuan ragam ciptaan teknologi hari-hari ini.

    Apakah kelak kita hanya akan menjadi entitas yang berpangku pada metode-metode periksa fakta seperti kasus diatas? Jika opini dan pemikiran kita selalu dibenturkan dengan textbook yang secara turun-temurun menjadi asupan rutin dalam masa pendidikan, maka sejatinya iklim seperti ini sangat tidak baik.

  • Menyegarkan Kembali Peradaban Masjid

    Menyegarkan Kembali Peradaban Masjid

    MASJID adalah simbol kehadiran Islam di suatu wilayah. Dalam catatan sejarah Nabi, setidaknya ada dua peristiwa yang menggambarkan keagungan Peradaban Masjid. Pertama, peristiwa Isra’ Mi’raj yang terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun kesepuluh kenabian saat itu Nabi masih di Makkah. Kedua, peristiwa hijrah yang terjadi pada tahun keempat belas kenabian. Hijrah menjadi titik nol pembangunan Khaira ummah (bangsa terbaik) di Madinah.

    Isra’ Mi’raj adalah perjalanan Nabi dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Yerusalem pada malam hari (QS. 17: 1). Dari Masjidil Aqsha nabi naik ke langit pertama hingga Sidratul Muntaha (QS. 53: 7-18).

    Dalam napak tilas perjalanan malam itu nabi Muhammad dipertemukan dengan para nabi, mulai Nabi Adam hingga Nabi Isa Al Masih. Hasil dari perjalanan suci dan agung itu adalah perintah Allah kepada umat Islam untuk menegakkan sholat lima waktu. Dan sholat itu pelaksanaannya sangat dianjurkan di Masjid menghadap ke Kiblat.

    Ketika nabi tinggal di Makkah beliau suka sholat menghadap ke Ka’bah sekaligus ke Baitul Maqdis. Setelah hijrah, umat Islam menghadap Baitul Maqdis hingga datang perintah untuk mengubah haluan kiblat sholat ke arah Masjidil Haram di Makkah (QS. 2: 144).

    Sedangkan peristiwa hijrah adalah tonggak sejarah peradaban Islam membangun Khaira ummah.

    Tiga langkah strategis yang nabi lakukan untuk membangun tonggak baru peradaban Islam itu.

    Pertama, membangun masjid. Kedua, menjalin persaudaraan di internal umat Islam. Jalinan persaudaraan atas dasar iman itu menjadi jiwa sistem ekonomi pasar yang dibangun atas dasar asas kekeluargaan, yaitu akad mudharabah dan musyarakah. Ketiga, menggalang kerukunan antar umat beragama melalui piagam Madinah (Mitsaq Al Madinah). Piagam berisi hak dan kewajiban warga negara untuk bergotong royong membangun masyarakat Madinah yang plural; sekaligus menjaga Madinah dari ancaman bangsa asing, seperti kaum musyrik Makkah.

    Masjid Nabawi dibangun di atas lahan wakaf dengan luas bangunan hanya 31,5 x 27 meter. Saat itu, menurut satu riwayat, jumlah penduduk mencapai 1.500 (seribu lima ratus) jiwa.

    Kemudian, setelah populasi umat Islam bertambah, pada tahun ke-7 Hijriyah, masjid diperluas menjadi 45×45 meter. Masjid Nabawi bukan hanya dirancang sebagai tempat sholat saja. Serambi Masjid Nabawi dirancang sebagai tempat tinggal (guest house) kaum muda belia di golongan fakir miskin yang disebut ahli Suffah. Di sana mereka belajar agama, dibina dan diarahkan sebagai kader pemimpin umat di masa depan. Di samping masjid, dibangun juga rumah tinggal Nabi Muhammad beserta istrinya, Saudah dan ‘Aisyah.

    Dalam konteks budaya Indonesia, rancangan sistem Masjid Nabawi diduplikasi menjadi Pesantren yang meliputi lima unsur, yakni: masjid, asrama, kitab kuning, kiyai dan santri.

    Pesantren pada hakikatnya adalah sistem pendidikan masjid berasrama. Di dalamnya terdapat interaksi Kyai (sebagai pewaris Nabi) dengan para santri untuk mempelajari dan mengamalkan Al Qur’an-hadits dan kitab kuning (warisan khazanah intelektual muslim lainnya) dalam kehidupan nyata.

    Kyai mengajarkan kepada para santri keterampilan akademik (ilmu alat, seperti bahasa Arab) dan penalaran ilmiah (berpikir kritis-analitik dan sintesis-kreatif) yang memungkinkan mereka menggali hukum Islam dari Al Qur’an dan hadits serta tanggap dalam merespon dinamika dan tantangan zaman.

    Selain itu, Kyai mengajarkan kepada para santri kecakapan bela diri seperti pencak silat (gulat), memanah (menembak), berkuda, berenang dan lain-lain sebagai persiapan bela negara atau jihad fi sabillah. Maka, peran dan fungsi Pesantren dalam sejarah Indonesia seperti fungsi-fungsi Masjid pada zaman Nabi sebagai tempat musyawarah dan diskusi guna menyesuaikan problem umat, arena latihan bela negara, balai pengobatan dan pelayanan sosial.

    Dalam memenuhi kebutuhan dasar warga Pesantren, para Kyai mengikuti ajaran Allah dan rasul-Nya menggalakkan gerakan wakaf, zakat, infak dan sedekah.

    Maka, tidak jarang Pesantren memiliki aset wakaf yang luas, berupa ladang, sawah, maupun empang. Untuk mengelola aset wakaf tersebut, Kyai memberdayakan masyarakat sekitar sebagai pegawai sehingga Pesantren berkontribusi meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat setempat.

    Di sisi lain, Pesantren mampu membiayai pendidikan pesantren dan proyek penyiaran dakwah Islam di masjid, majelis taklim, atau madrasah diniyah di sekitar Pondok Pesantren.

    Di atas disebutkan bahwa jumlah penduduk muslim pada tahun pertama hijrah mencapai 1.500 (seribu lima ratus) jiwa.

    Angka itu diperoleh dari hasil sensus yang diperintahkan nabi di awal pembentukan Khaira ummah di Madinah.

    Nabi melakukan sensus penduduk Muslim yang bermukim di Madinah dan sekitarnya. Sensus berguna tidak hanya untuk mengetahui jumlah penduduk. Lebih dari itu berguna untuk melakukan pemetaan potensi yang dimiliki umat sekaligus menetapkan stategi dakwah di tengah kehidupan masyarakat yang plural.

    Data sensus memudahkan Nabi sebagai pemimpin umat membagi peran dan tugas dakwah kepada setiap individu dan kelompok untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sesuai keahlian dengan sasaran yang tepat.

    Pelajaran penting dari penggalan sejarah di atas bahwa peradaban masjid dibangun atas dasar literasi data dan literasi humaniora. Data digunakan untuk merumuskan kebijakan publik yang tepat berdasarkan wahyu (Al Qur’an) dan konstitusi (Mitsaq Al Madinah) demi tercapainya kemaslahatan umum.

    Literasi data dan humaniora tersebut disempurnakan dengan literasi teknologi dalam pengelolaan aset wakaf dan sumberdaya lainnnya dengan jiwa kepemimpinan kewirausahaan dan korporasi sesuai Sunnah Nabawiyah.

    Wallahu a’lam.

  • Mensyukuri Kemerdekaan pada Masa Pandemi

    Mensyukuri Kemerdekaan pada Masa Pandemi

    PERAYAAN kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2020 terasa berbeda. Upacara bendera di berbagai instansi pemerintah dilakukan secara virtual. Sekolah milik pemerintah maupun masyarakat tidak menyelenggarakan upacara di lapangan terbuka. Hanya satuan pendidikan di Pesantren yang melaksanakan upacara bendera di lapangan secara khidmat seperti biasanya. Hal ini dikarenakan Pesantren telah menjalankan karantina mandiri sejak Syawwal 1441 Hijriyah yang lalu. Pesantren melaksanakan kegiatan pembelajaran secara normal dengan selalu menjaga wudhu kebersihan diri dan lingkungan.

    Meskipun tidak ada upacara bendera secara terbuka disertai aneka lomba permainan rakyat, bangsa Indonesia tetap mengekspresikan rasa syukur atas kemerdekaan itu. Rakyat Indonesia mengibarkan bendera merah putih di rumah masing-masing. Hal lain yang istimewa, peringatan HUT RI tahun ini berdekatan dengan tahun baru Islam 1 Muharram 1442 H yang bertepatan dengan tanggal 20 Agustus 2020. Maka refleksi kemerdekaan pun dirangkai dengan resolusi hijrah. Salah satu renungan syukur itu adalah pesan Rasulullah Muhammad SAW terhadap Mu’adz bin Jabal untuk mewiridkan doa:

    Allahumma A’inny ‘Ala Dzikrika wa Syukrika wa Husni ‘ Ibadatika. (Ya Allah berikanlah kepadaku kekuatan untuk selalu berdzikir kepada-Mu, bersyukur atas nikmat-Mu, dan meningkatkan kualitas ibadah kepada-Mu).

    Tindakan pertama yang dilakukan oleh para pendiri Republik untuk mensyukuri Kemerdekaan adalah menyatakan pengakuan “Atas berkat Rahmat Allah yang maha kuasa.”

    Ekspresi syukur atas proklamasi kemerdekaan itu ialah dzikir kepada Allah. Dzikir terbaik yang diajarkan oleh Allah kepada kita ketika meraih sukses dan kemenangan adalah tasbih tahmid dan istighfar (Qs. An-Nashr [110]: 3). Bangsa Indonesia berjuang meraih kemerdekaan dengan pekik takbir dan mensyukuri pertolongan Allah dengan bertasbih:

    Subhanallah wa bihamdihi. Subhanallah il-‘Adzim.

    Selain tasbih dan tahmid juga disertai dengan istighfar. Hal ini bagian dari sikap tawadhu’ bahwa dalam upaya perjuangan meraih kemerdekaan itu boleh jadi terdapat tindakan yang merusak dan menyakiti pihak lain tanpa disadari.

    Di sisi lain, boleh jadi niat tulus dan semangat rela berkorban selama perjuangan kemerdekaan justeru ternoda setelah kebebasan diraih.

    Pasca-kemerdekaan, terjadi konflik antar anak bangsa karena perbedaan ideologi atau kepentingan kekuasaan. Dalam hal ini termasuk juga tindakan koruptif yang dilakukan oknum penyelenggara Negara dalam mengelola ABPN/APBD dan pemerintahan.

    Kedua, ekspresi syukur ditandai dengan semangat membangun. Mulai pembangunan sumberdaya manusia dan kebudayaan hingga pengelolaan sumberdaya alam dan kekayaan hayati untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pembangunan dilakukan secara bertahap, berjenjang dan berkesinambungan sesuai dengan visi Indonesia merdeka bersatu berdaulat adil dan makmur.

    Pembangunan berpijak dari warisan sejarah sehingga kemajuan bangsa dalam penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni modern tidak tercerabut dari akar budaya dan kearifan peradaban Indonesia.

    Pembangunan sebagai tanda syukur kepada Allah dilakukan secara bijaksana tanpa menggusur atau memarginalkan rakyat. Mencontoh Nabi ketika membangun Negara Madinah dimulai dengan pembangunan Masjid dan Suffah (Kampus berbasis Masjid).

    Pembangunan sumberdaya manusia dan kebudayaan menjadi prioritas dengan menjadikan Al Qur’an sebagai sumber belajar utama. Suffah menjadi tempat kaderisasi kepemimpinan umat baik untuk mengisi pos pemerintahan maupun informal leader dalam civil society.

    Sumberdaya manusia yang unggul ini juga menjadi modal utama pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan. Mulai sumber air bersih, irigasi, hingga ekonomi pertanian perkebunan peternakan dan lainnya. Pembangunan yang berpihak kepada rakyat; kaum lemah (dhuafa) dan tertindas (mustadh’afin).

    Ketiga, ekspresi syukur kemerdekaan dilakukan dengan meningkatkan kualitas amal ibadah. Pembangunan politik ekonomi dan sosial budaya dijiwai dan disempurnakan dengan pembangunan spiritual; yakni iman dan taqwa kepada Allah Tuhan Yang Maha Kuasa serta akhlak mulia dalam pergaulan dengan sesama. Meskipun diuji dengan Pandemi terus bersabar dan tawakal dengan selalu beribadah dzikir dan doa secara khusyuk. Hal ini terlihat dalam kegiatan Ramadhan idul Fitri dan idul Qurban yang tetap meriah dengan jamaah.

    Pembangunan Indonesia yang bersifat transendental dilakukan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah kunci terbentuknya negara bangsa yang kuat hebat dan maju diselimuti keberkahan dari bumi dan langit. Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghofur.

    Kita bersyukur, meskipun bangsa Indonesia sebagaimana keluarga bangsa bangsa lain di dunia sedang diuji Pandemi Covid-19, tetap semangat merayakan hari ulang tahun kemerdekaan 17 Agustus 2020. Semoga di usia 75 tahun Peradaban Indonesia Allah selalu memberikan keberkahan kepada bangsa Indonesia. Tetap bersatu dan bergotong royong dalam memajukan kesejahteraan rakyat serta segera keluar dari krisis akibat Pandemi Covid-19.

    Wallahu a’lam.

  • Merdeka Dari Despotisme Agama

    Merdeka Dari Despotisme Agama

    SAAT ini di bulan kemerdekaan penyakit Gastristis atau Mag penulis mendadak kambuh kembali, akibat salah makan dan kecapean dengan gejal badan lemas, mual dan kepala sedikit pusing. Namun di tengah merasakan indahnya getaran sakit mag, cape badan, kepala terasa nyut-nyutan, mata berkuang-kunang, tangan di infus, ada kegelisah nalar-pikir melihat bagimana entitas bangsa memeriahkan bulan kemerdekaan ini.

    Kegelisahan penulis bukan tentang nalar pikir ikut sakit tapi tentang keterpanggilan nalar dan pikiran melihat kondisi objektif kebangsaan dan keagamaan di Indonesia dalam kaitannya dengan upaya memaknai hakekat kemerdekaan ini, terutama tentang adanya fenomena destruksi dan despotisme relasi umat beragama.
    Kegelisan ini juga, berangkat dari keteladanan para pemikir terdahulu yang telah meletakan fondasi berbangsa, dan bernegara.

    Mereka para pahlawan bangsa, para pemikir bangsa selalu bergerak untuk berjuang melawan penjajah meski diterpa sakit pada dirinya, sebut saja misalkan Jendral Sudirman, meski beliau sedang sakit tapi semangat juang beliau tetap menyala-nyala untuk kemerdekaan bangsa ini, sampai-sampai kondisi sakit pun ikut melakukan perang gerilya di tengah hutan.

    Belum lagi pemikir dan pejuang kemerdekaan seperti Tan Malaka dan Soekano bukti teladan bagi bangsa ini, dimana beliau-beliau ini meski dalam keadan sakit, semangat juang untuk kemerdekaan selalu dilakukan dengan cara perlawanan, baik lisan maupun tulisan.

    Ada beberapa buku perlawanan dan pencerahan yang ditulis oleh Tan Malaka dan Soekarno ketika beliau dalam keadan sakit.

    Perlu diingat bahwa kedua tokoh revolusioner ini sebagai pejuang kemerdekaan ketika mencari inspirasi dan literasi keilmuan, serta fatwa perlawanan, selalu berdiskusi dan tetap meminta pendapat sebagai upaya tambahan khasanah keilmuan kepada Khadarus Syeh KH. Hasyim Asy’ari, tokoh kemerdekaan pendiri Indonesia dan Muasis NU dengan haluan berdimensi Islam aswaja yang moderat dan rahmah.

    Sosok Khadratus Syeh Kiai Haji Hasyim Asyari adalah ulama pejuang kemerdekaan yang dijadikan sumber inspirasi, sebagai rujukan bagi pejuang kemerdekaan lainnya dalam melakukan perlawanan terhadap penjajajah dan kolonialisme Belanda, Inggris dan Jepang.

    Selain ulama, Kiai Hasyim juga sebagai pemikir kebangsaan dengan puncak dari pemikirannya adalah hasil proses ijtihadiyahnya yang berdampak luas bagi bangsa Indonesia adalah tentang fatwa Hubull Wathon Minal Iman [mencintai tanah air adalah sebagian dari iman] dan mewajibkan bagi umat atau fardu a’in membela tanah air ini.

    Nah, berangkat dari hal tersebut penulis bukan sedang sok-sokan atau metasbihkan diri sebagai pemikir atau penulis seperti para pejuang kemerdekaan itu. Tidak sama sekali. Hanya saja penulis merasa terpanggil untuk melakukan refleksi kemerdekaan pada sudut pandang berkaitan teladan para pejuang kemerdekaa yang selama ini diabaikan oleh entitas bangsa sehingga bukan memaknai kemerdekaan secara kaffah, tapi menciptakan adanya penjajahan model baru pada kebebasan pemikiran kegamaan, ditengah kita sedang menyerukan kemerdekaan substansial segala dimensi, terutama kemerdekaan tentang pemikiran keagamaan.

    Penjajahan pemikiran dan sikap keagamaan ini adalah hal yang paling berbahaya bagi keberlangsungan sebuah negara bangsa merdeka dan beragama, untuk terus dilawan agar bangsa ini pula merdeka dalam kebebasan keagamaan. Meskipun itu memerlukan perjuangan panjang dan lebih sulit, karena Soekarno sendiri telah memberikan nasehat, kedepan musuhmu akan lebih sulit, karena saudaramu sendiri.

    Saat ini, ada fenomena penjajahan baru pada pemikiran dan sikap keagamaan umat oleh kelompok kegamaan yang mencoba mereduksi komitmen kebangsaan atau menjauhkan agama dengan kebangsaan.
    Padahal selama ini Indonesia adalah negara kebangsaan yang tidak lepas dari nilai agama sebagai guidance dalam mengisi kemerdekaan hasil konsensus para pejuang kemerdekaan. Konsensus kebangsaan ini telah di bangun oleh para founding fathers yang beragam agama, suku, bahasa, adat dan kepercayaan dengan ikatan perasaan senasib untuk merdeka.

    Fenomena penjajahan model ini bisa diistilahkan sebagai despotisme agama, yang muncul setelah kaum agama melakukan show of force mengelilingi monas, sebagai klaim bela agama akibat Ahok keceletot omong tentang Al quran.

    Sesungguhnya Ahok sendiri tak etis bicara agama orang lain, apalagi terkesan menistakan agama. Namun, apalah daya semua itu telah terjadi, dengan divonisnya Ahok sebagai penista agama oleh proses peradilan.

    Harusnya kasus Ahok ini menjadi pelajaran berharga bagi keberlangsungan kebangsaan dan kegamaan di Indonesia. Namun disadari atau tidak kasus ini Ahok ini pula telah menyulut pembentukan karakter dan wajah Islam baru yang berorientasi politik ideologis agama dengan model politik radikal dan munculnya despotisme agama.

    Penulis tidak sedang menuduh kelompok ini melakukan Despotisme Agama. Tapi fenomenanya adalah, aksi bela agama secara simbolik keliling monas ini, dengan klaim tujuh juta umat, telah membuat konfigurasi politik agama menjadi tren dan bergelora mewarnai atmosfer kebangsaan dan keagamaan di Indonesia.

    Mungkin tadinya, aksi bela agama ini bentuk reaksi perlawanan temporal pada Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan latar belakang non muslim. Namun, justru dikristalkan dengan model dan wajah politik keagamaan. Mirisnya, mulai digeser oleh sebagian dari mereka, yaitu kelompok kecil yang bermazhab Wahabi dan Neo Khowarij menjadi kekuatan baru dengan selalu menggunakan jargon bela agama padahal mulai bergeser menjadi “hara” agama, karena cenderung menjadi despotisme agama dengan menakut-nakuti umat berbeda dengan gerak politik komunitas ini, atau meneror secara psikis atas bersatunya umat. Jika tidak mengikuti, mereka dituduh sebagai anti persatun umat Islam maka akan di vonis sebagai musuh Islam. Belum lagi tekanan pada nalar dan psikis umat bahwa dialah sebagai repesentasi katalis gerakan umat Islam yang wajib dipatuhi fatwa dan seruannya. Model ini lah sesungguhnya bentuk penidasan terselubung pada umat Islam atau pada umat yang berbeda agama.

    Hal Ini bisa dilihat dari Istrumen intimidatifnya seperti , tuduhan tidak Islami, jika tidak berada dalam shaf mereka adalah munafik dan, tak segan segan menuduh kafir bahkan menghalalkan darahnya untuk dipercikan ke dalam neraka milik kelompok ini. Model ini sejatinya bukan sedang bela agama tapi sedang melangsungkan dan mempraktekkan despotisme agama.

    Apa sesungguhnya despotisme agama itu. Jika kita mendefinisikan terminologi despotisme dengan makna aslinya adalah bentuk kekuasaan dengan satu penguasa, baik individual maupun oligarki, yang berkuasa dengan kekuatan politik absolut.

    Namun, kali ini istilah despotisme ini digunakan penulis untuk menjelaskan sikap berkuasa dengan tiran mayoritas [dominasi melalui ancaman hukuman : kafir dan neraka ditambah kekerasan : jihad dan grudug] atau absolutisme teks-teks normatif dengan justifikasi teks-teks suci agama oleh satu imam besar atau kelompok orang yang mengunakan simbol agama.

    Jika meminjam istilah Johan Galtung, mungkin bisa setipe atau satu rumpun antara despotisme agama dengan “penindasan terselubungnya” Galtung, dimana kekerasan atas kebebesan ini melalui justifikasi ideologi.

    Galtung menggunakan istilah justifikasi ideologi, sementara penulis mengunakan justifikasi agama, padahal sama-sama melakukan penindasan terselubung, sama-sama menggunakan kekerasan psikis maupun fisik.

    Dalam tulisan ini, despotisme ini sengaja disematkan pada sejenis kaum beragama hasil tawaf di monas dengan model kegurun-gurunan atau orang menyebut dengan “Kardun,” sifatnya merasa paling benar, merasa paling berkuasa, merasa paling mayoritas, merasa paling berhak melakukan kehendak apapun dengan menggunakan teks-teks suci untuk kepentingan menjajah dan memenjarakan kebebasan nalar beragama, maupun kebebasan sikap keagamaan terhadap sesama umat beragama atau umat yang berbeda agama.

    Ini penting ditulis dan menjadi diskursus kita bersama, dalam upaya memerdekakan nalar dan sikap beragama kita di bumi pertiwi yang hampir satu abad merdeka, tepatnya sudah 75 tahun para muasis Indonesia meletakan kemerdekan bagi umat di negara bangsa ini. Ada beberapa sebab diantaranya, semakin menguatnya kelompok yang ingin mendestruksi kebangsaan dan nasionalisme umat dengan cara menawarkan ideologi agama sebagai jalan alternatif politik ideal bagi dunia dan akhirat, mereka tak segan menggugat nasionalisme karena tidak ada dalil agama, sambil menuduh kafir dan mengajak perang dan perlawanan pada mereka yang mencoba mempertahankan negara bangsa ini, sambil menganalogikan sebagai perang melawan kafir dengan legitimasi teks-teks kitab suci.

    Sesungguhnya tulisan ini tidak sedang berpretensi sedikitpun untuk meninjau terhadap wacana keberagamaan dalam konteks normatif [teks-teks suci yang terkandung dalam kitab suci], tapi lebih pada mencari hakekat kemerdekaan beragama kita yang semakin lama semakin tertindas oleh kelompok agama yang merasa berkuasa dan merasa paling benar dengan mengunakan teks-teks suci agama.

    Sebagai contoh terkini, di bulan kemerdekaan, masih ada kasus penyerangan dengan kekerasaan pada keluarga habib Umar Asegaf di Solo yang sedang melaksanakan ritus budaya atau tradisi kultural lokal sebelum proses pernikahan keluarganya. Penyerangan ini dilakukan oleh sekelompok umat yang menggunakan simbol agama, sambil teriak takbir, berkata jihad, menyatakan darahnya halal, memvonis hukumnya masuk neraka, adalah bukti kemerdekaan beragama baik nalar dan sikap keagamaan sedang dirampas melalui despotisme agama.
    Wallahu ‘alam..

  • Pidato HUT Partai Rakyat Demokratik ke 24

    Pidato HUT Partai Rakyat Demokratik ke 24

    Assalammualaikum WAR WAB

    Salam Rakyat Adil Makmur

    Kepada seluruh Kader, Anggota dan Simpatisan PRD, baik di dalam maupun di luar negeri, Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik, mengucapkan selamat HUT PRD, selalu  bersama rakyat, dengarkan dan rasakan apa yang rakyat rasakan, itulah energi perjuangan kita, menuju Indonesia yang adil makmur dan dunia yang damai.

    Tidak ada kata henti dalam perjuangan, selama di sekitar kita masih banyak persoalan.

    Berjuanglah dengan penuh semangat dan penuh kegembiraan.

    Saudara-saudaraku,

    Seni, Sastra, Filsafat dan ilmu Pengetahuan telah membimbing bangsa Eropa, menuju zaman baru, zaman modernisasi, keluar dari abad tengah dengan humanisme sebagai pandangan hidup.

    Humanisme adalah anak kandung Renaisance, satu paham yg menempatkan manusia sebagai subyek kehidupan, yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yg lebih baik.

    Penemuan kompas, mesin cetak dan mesiu, membawa  kehidupan bangsa Eropa melompat jauh ke depan, ilmu pengetahuan berkembang secara massif, dimulailah penjelajahan yang disertai dengan penaklukan umat manusia. 

    Mesin telah menggantikan tenaga manusia, modernisasi mengubah peradaban, meletus revolusi industri di Inggris, revolusi filsafat di Jerman dan revolusi politik di Perancis.

    Feodalisme dengan monarchi absolutnya runtuh, muncul sistem baru, penguasa baru, Kapitalisme dengan demokrasi liberalnya.

    Walaupun terjadi perubahan revolusioner, dari Feodalisme ke Kapitalisme, secara fundamental belum mengubah kehidupan umat manusia, bentuknya saja yang berubah, isinya tidak, hanya kekuasaan saja yang berubah, masyarakatnya tidak, penindasan serta penghisapan manusia terhadap manusia masih terus terjadi, bahkan sampai zaman digital sekarang ini.  

    Humanisme yang digaungkan oleh Bangsa Eropa dengan semboyan kebebasan, persamaan dan persaudaraan, pada kenyataanya menjadi pedang bermata dua, hanya kaum kapital yang menikmati kehidupan, di sisi lain justru bersifat ekspansif, eksploitatif dan diskriminatif.

    Terjadilah penjajahan bangsa atas bangsa dan penjajahan manusia atas manusia.

    Kapitalisme, walau terus menerus melakukan reformasi-reformasi tetap tidak mengubah hakekatnya sebagai sistem yang rakus.

    Kita semua menyaksikan serta merasakan begitu rapuhnya Kapitalisme, saat Pandemi Covid 19 melumpuhkan aktivitas ekonomi mereka.

    Saudara-saudaraku,

    Semua manusia yang hidup di alam dunia ini menginginkan kebahagiaan serta kedamaian, baik lahir maupun batin, baik material maupun spiritual.

    Demikian juga dengan bangsa Indonesia, kebahagiaan serta kemerdekaan hidup yang mestinya dinikmati di tengah kekayaan serta kesuburan alamnya, cukup lama diinterupsi oleh penjajahan.

    Catatan sejarah perjalanan hidup bangsa Indonesia dirampas, mentalitas bangsa pun dihancurkan. Kebanggaan serta kepercayaan diri bangsa Indonesia dihilangkan agar tetap tunduk dan bisa dikontrol oleh Penjajahan dengan segala macam bentuknya.

    Saudara-saudaraku,

    Sebagai bangsa Timur,  Indonesia tidak hanya menempatkan rasionalitas objektif sebagai landasan hidup, maka konsep untuk membangun bangsa, baik raga maupun jiwa, harus berangkat dari kenyataan tersebut. 

    Jika bangsa Barat dengan modernisasi dan humanismenya melahirkan konsep individualisme, kebebasan dan kapitalisme, sedangkan Timur lebih condong kepada semangat gotong royong, dengan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

    Maka lahirlah Pancasila yang bersumber dari kepribadian bangsa Indonesia, yang kemudian disepakati menjadi konsep dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Pancasila lahir sebagai bentuk perlawanan atas sistem liberal kapitalistik, termaktub dalam Preambule UUD Proklamasi 1945, sudah semestinya menjiwai isi UUD 1945 beserta Haluan Negara.

    Di dalam Pasal 33 UUD 1945 sudah sangat jelas, bahwa prinsip ekonomi Indonesia bukanlah ekonomi liberal kapitalistik, tetapi ekonomi kekeluargaan yang menempatkan sumber daya alam digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Konsep itulah yang mestinya disusun oleh pemimpin.

  • Ikhtiar Bersama Menghadapi Pandemi

    Ikhtiar Bersama Menghadapi Pandemi

    KONDISI terkini data covid19 per tanggal 30 Juni 2020 berdasarkan data yang dirilis Kemenkes untuk Provinsi Banten jumlah pasien terkonfirmasi positif sebanyak 1453 dengan angka kematian sebanyak 79 orang dengan posisi secara nasional berada pada urutan ke-11 semoga data ini menunjukkan angka sebenarnya di masyarakat, namun demikian mengacu pada penjelasan dinas terkait yang kami dapatkan secara langsung penjelasannya upaya Kuratif penanganan pasien Covid19 di Banten sebetulnya sudah cukup baik dilakukan indikatornya adalah kesiapan layanan kesehatan khusus covid19 dan ketersediaan penunjang diagnostik Covid19, terdapat 6 titik Laboratorium Berstandar yang diijinkan Kemenkes melakukan pengujian Swab dengan PCR Test disamping itu pengujian Rapid Test Drive Thru pun mulai massif dilakukan, bilapun ada kekurangan tentu kita dapat memakluminya karena menghadapi pandemi tak seperti menghadapi bencana banjir atau tsunami.

    Menyikapi fenomena unik kondisi sosiologis masyarakat di Indonesia secara umum khususnya di Banten dengan segala bentuk ragam sikap dan perilaku sosial masyakat dalam memandang pandemi ini, hal yang harus dilakukan para stakeholder khususnya penanggung jawab pengendali covid di Banten (Gugus Tugas Daerah) hendaknya perlu melibatkan peran Informal Leader (Ulama dan Tokoh Masyarakat) dan penggunaan Narasi Agama dalam upaya-upaya preventif dan Promotif juga mengantisipasi gelombang stress yang dialami masyarakat maupun tenaga kesehatan, bahkan didalam tindakan kuratif pun perlu dikombinasikan dengan narasi agama agar memantik semangat para korban covid terutama bagi yang sedang menjalani proses karantina khususnya korban beragama Islam. Keterlibatan ulama juga tokoh masyarakat sebagai Informal Leader sangat diperlukan guna menjadi jembatan komunikasi antara masyarakat dan aparatur negara, dalam komunikasi publik para Formal Leader membutuhkan Informal Leader agar tidak muncul resistensi serta penolakan upaya kendali sebaran covid19.

    Covid19 memang nyata terjadi namun penafsiran di masyarakat beraneka ragam, sikap terhadap covid19 juga beragam, muncul berbagai model mazhab sikap atas covid19 mulai dari mazhab rasionalis, ghaib, konspiratif, skeptis dan mazhab konfrontatif kesemuanya adalah keunikan dan bentuk kearifan lokal yang perlu mendapatkan langkah taktis dengan melibatkan berbagai pihak khususnya para Informal Leader agar dapat mengurai segala benang kusut dampak sosial covid19 yang cukup kompeks diantaranya adalah stigma negatif yang cenderung “killer” bahkan melebihi sadisnya vonis “HIV Aids” atau “Teoris”, tidak sedikit problematika serta kekisruhan terjadi bukan pada inti persoalan kesehatan namun lebih pada problem salah tafsir, salah paham dan polemik sosial turunan yang makin menjauh dari pokok persoalan kesehatan.

    Bila pendekatannya sebatas pada narasi kesehatan, statistika sakit dan kematian tanpa ada narasi keagamaan realitasnya tidak sedikit polemik terjadi di masyarakat, menurut kami protokol yang ditetapkan WHO pada sebagian hal mungkin bisa diimplementasikan (Available) seperti memakai masker, cuci tangan, jaga jarak. Tetapi pada aspek tertentu belum tentu bisa langsung dijalankan, misal pada pelaksanaan pemulasaran jenazah seorang muslim hendaknya mengikuti aturan Syariat Islam, disamping itu perlu mengadopsi kearifan lokal guna menekan resistensi seperti melibatkan keluarga dalam penyolatan serta penguburan jenazah bila perlu ada mekanisme memberikan saluran ruang pada kerabat dalam memberikan penghormatan terakhir namun tetap menjaga kaidah keamanan pengendalian sebaran virus (protokol kesehatan), pelaksanaan protokol kesehatan yang progressif mengadopsi kearifan lokal dan tidak statik juga ada keterlibatan peran para informal leader dalam mengedukasi masyarakat dapat menekan resistensi penolakan dan perlawanan terhadap petugas kesehatan baik saat melakukan tindakan tracing, pengujian massal dengan RapidTest juga pemulasaran Jenazah.

    Masalah juga muncul tatkala jenazah berstatus PDP yang belum keluar hasil pemeriksaanya, bila hasil yang keluar ternyata negatif dapat dipastikan akan menimbulkan polemik baru tentu keluarga korban sebagian besar menghendaki pembongkaran makam dan pemindahan jenazah bahkan pengulangan proses pemulasaran jenazah dan masalah akan merumit tatkala jenazah yang diangkat kondisi jenazahnya tidak sesuai pedoman syariat Islam, pada pelaksanaan tracing dan publikasi hasil hendaknya memperhatikan kaidah keamanan dan kerahasiaan agar korban tidak terdampak secara psikologis mengingat kondisi sosiologis masyarakat yang cenderung menghindar dan takut pada korban juga keluarganya dimana hal itu dapat menimbulkan dampak psikologis pada korban dan keluarga yang dapat memicu stress dan menyebabkan datangnya penyakit pada keluarga serta memperburuk keadaan umum korban disebabkan melemahnya daya tahan tubuh.

    Pelaksanaan tindakan preventif dan promotif covid hendaknya tidak semata pada penyemprotan disinfektan, pembagian hand sanitizer semata namun memerlukan pelibatan semua elemen kunci ditengah masyarakat agar ada kesepahaman dalam mengambil langkah taktis dan strategis menghadapi pandemi tujuannya adalah percepatan kendali sebaran virus juga melambatnya penambahan kasus dan ada keselarasan langkah semua pihak.

    Kami mengapresiasi segala upaya aktif tenaga kesehatan dalam mendukung tindakan kuratif menyelamatkan korban covid namun itu saja tidaklah cukup butuh upaya-upaya preventif dan promotif yang perlu dilakukan secara bersama-sama berikhtiar menghadapi pandemi dan gugus tugas covid perlu melibatkan elemen-elemen kunci yang dapat memperkuat implementasi strategi dan langkah taktis pengendalian virus juga penanganan covid19 karena Informal Leader cenderung lebih didengar oleh Masyarakat seperti petuah para kiyai, ustadz ataupun tokoh masyarakat lebih mudah diterima dan masyarakat cenderung mematuhi seruan mereka para informal leader, untuk itu peelu ada ikhtiar bersama dalam menghadapi pandemi.

    Semoga Allah lindungi kita semua dari ganasnya virus corona dan mengangkat virus ini agar kehidupan umat manusia berjalan normal dan salah satu kehidupan normal dalam tatanan Islam adalah sikap tunduk dan patuh pada Allah secara totalitas.

    Wallahua’lam Bisshawab