Kategori: OPINI

  • Apa Kabar Bank Banten?

    Apa Kabar Bank Banten?

    SEBULAN sudah berlalu sejak penandatangan Letter of Inten (LOI) antara Gubernur Banten dengan Gubernur Jawa Barat pada tanggal 23 April 2020 dalam rangka merger Bank Banten dengan Bank BJB.

    Seyogyanya LOI tersebut segera diikuti dengan proses due diligence oleh kedua bank tersebut tetapi hingga saat ini tidak terdapat tanda-tanda due diligence sudah, sedang atau akan dilakukan. Bahkan terdapat informasi bahwa belakangan telah dilaksanakan penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) antara PT Banten Global Development (BGD) dengan Bank BJB dalam rangka merger Bank Banten dengan Bank BJB Syariah (BJBS). Tidak diketahui apakah MoU tersebut sudah mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena substansi MoU berbeda dengan LOI yang sebelumnya telah mendapat persetujuan OJK.

    Perubahan rencana merger Bank Banten dengan Bank BJB Syariah nampaknya didasarkan pada pertimbangan banyaknya aspirasi tokoh masyarakat, ormas-ormas islam yang menghendaki bank syariah, sebagaimana halnya usulan mereka pada saat awal proses pembelian bank untuk menjadi Bank Banten.

    Pertimbangan lain mungkin dilihatnya sudah tidak ada pilihan lain, yang penting dengan merger tersebut masalah hukum tentang Bank Banten selesai.

    Perubahan rencana tersebut nampaknya sejalan dengan tulisan saya sebelumnya berjudul “Quo Vadis Bank Banten” tertanggal 28 April 2020 di berbagai media online, merger Bank Banten dengan Bank BJB bukan pilihan yang tepat.

    Bank BJB tidak segera menindak lanjuti LOI dengan due diligence karena nampaknya ada keengganan untuk menanggung kerugian Bank Banten yang akan berdampak pada penurunan Laba dan harga saham Bank BJB.

    Hal ini akan dapat meningkatkan risiko strategik dan risiko reputasi Bank BJB dimata investor. Sebaliknya, bagi Bank Banten, merger dengan Bank BJB akan berarti hilangnya nama dan operasional Bank Banten karena digabungkan/dimasukkan kedalam Bank BJB.

    Tepatkah BJB Syariah?
    Pertanyaan selanjutnya apakah merger bank Banten dengan Bank BJB Syariah, sekalipun nantinya akan berubah nama menjadi Bank Banten Syariah, merupakan langkah yang tepat?. Belum tentu!.

    Pertama, Kedua bank tersebut memiliki sistem operasional yang berbeda. Bank Banten adalah bank konvensional, sedangkan bank BJB Syariah adalah bank syariah. Penggabungan Bank Banten ke Bank BJB Syariah akan berakibat pada hilangnya saham Bank Banten di Bursa Efek Indonesia (BEI), sementara Bank BJB Syariah bukan perusahaan yang sahamnya terdaftar dan diperjual belikan di BEJ.

    Kedua, Bank BJB Syariah memiliki total Aset yang setara dengan Bank Banten dan memiliki pertumbuhan bisnis yang lambat. Dalam kurun waktu hampir 10 tahun, Aset BJBS hanya naik sebesar Rp5,7 triliun, yaitu dari Rp2 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp7,7 triliun pada tahun 2019. Laba yang diperoleh hanya naik Rp10 miliar, yaitu dari Rp5 miliar pada tahun 2010 menjadi Rp15 miliar pada tahun 2019. Laba sebesar ini tentu tidak akan mampu menyerap kerugian Bank Banten sebesar –Rp137 miliar pada tahun 2019.

    Ketiga, merger Bank Banten dengan BJBS akan mengulangi persoalan yang sama seperti yang dialami Bank Banten selama ini, yaitu berupa konsolidasi dan streamlining atau penutupan kantor-kantor operasional sebanyak 50 kantor, termasuk pemutusan kerja karyawannya, yang ada di wilayah Jawa Barat. Relokasi kantor pusat dan kantor cabang ke wilayah Banten juga menambah persoalan sehingga dapat mengganggu konsentrasi manajemen untuk mengembangkan bisnisnya.

    Keempat, proses merger membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup besar.

    Kelima, dalam suatu kesempatan silaturahim, Gubernur mengatakan bahwa OJK meminta agar Bank Banten disehatkan dahulu sebelum di merger dengan BJB Syariah. Jika Bank Banten sehat maka tidak ada artinya kemudian merger dengan BJBS, tetapi akan lebih realistis dan praktis bank Banten langsung dikonversi menjadi Bank Banten Syariah.

    Alternatif Solusi Terbaik
    Persoalan utama Bank Banten sebenarnya tidak dipenuhinya sisa komitmen pemenuhan modal sebesar Rp300 miliar sejak tahun 2017 hingga saat ini. Pada tahun 2017, Bank Banten telah mampu meningkatkan bisnis dan efisiensinya sehingga dapat menekan kerugian secara signifikan menjadi –Rp76 miliar dari –Rp405 miliar pada tahun 2016.

    Pada tahun 2018, Bank Banten masih mampu meningkatkan bisnisnya tapi pendapatan bunga menurun dan tingkat inefisiensi meningkat lagi sehingga ruginya meningkat menjadi –Rp100 miliar.

    Namun demikian, total kerugian dalam 2 tahun (2017 dan 2018) sebesar –Rp176 miliar masih jauh lebih kecil dari kerugian 1 tahun pada tahun 2016.

    Artinya, Bank Banten sebenarnya memiliki potensi untuk berkembang, tetapi karena jumlah modal yang tidak mencukupi dan tidak pernah diatasi, maka Bank Banten mengandalkan dana masyarakat yang berbiaya mahal berupa deposito.

    Disisi lain, Bank Banten masih menanggung beban aset kredit tidak produktif (tidak menghasilkan pendapatan bunga) yang nilainya cukup besar dari ex Bank Pundi. Oleh karena masalah utama Bank Banten adalah kurangnya permodalan sejak awal, maka solusi terbaiknya adalah memenuhi sisa komitmen pemenuhan modal ditambah kebutuhan likiditas lain akibat penarikan dana kasda dan dampak pandemik covid-19.

    Beberapa alternatif cara yang dapat dilakukan untuk memenuhi komitmen tersebut, antara lain:

    Mengajukan APBD Perubahan kepada DPRD, Menjual saham Pemprov Banten di bank BJB dan BJB Syariah, yang hasilnya digunakan untuk memenuhi komitmen diatas, atau mengajukan permohonan penyertaan modal negara atau penempatan dana pemerintah ke dalam Bank Banten dalam rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) penyelamatan akibat covid-19 berdasarkan PP No.23/2020.

    Sementara itu, perlu dilakukan upaya mitigasi risiko hukum yang selama ini dikhawatirkan oleh Pemprov, yaitu melakukan pembahasan bersama dengan OJK, Kemendagri, Kejaksaan dan KPK untuk mendudukkan persoalan komitmen pemenuhan modal tersebut secara proporsional sehingga baik bank Banten maupun Pemegang Sahamnya tidak lagi tersandera oleh masalah hukum, sebagaimana yang telah berjalan selama 3 tahun ini, yang telah menjadikan Bank Banten sebagai korban.

    Ini artinya kepentingan pembangunan ekonomi dan masyarakat Banten juga ikut menjadi korban. Pemprov sendiri juga tidak dapat menjadikan Bank Banten sebagai katalisator pembangunan daerah dan sebagai alternatif sumber pendapatan asli daerah.

    Sejalan dengan upaya pemenuhan permodalan dan kebutuhan likiditas, Bank Banten selanjutnya dikonversi menjadi Bank Banten Syariah selaras dengan slogan Provinsi Banten “Iman, Taqwa dan Akhlaqul Karimah” dan sesuai dengan aspirasi masyarakat Banten yang religius sehingga Pemprov secara langsung ikut menyediakan sarana/fasilitas bagi masyarakatnya untuk menjalankan aktifitas ekonomi dan keuangannya secara syariah sebagai upaya mewujudkan ajaran islam secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari.

    Wallahu a’lam bissawab.

      Karawaci, 27 Mei 2020.

      *) – Wakil Ketua Umum Perkumpulan Urang Banten (PUB)
      Wakil Ketua Umum ICMI Prov Banten
      MUI – KPEU Prov Banten

  • Pemilukada Tahun 2011

    Pemilukada Tahun 2011

    115 Daerah Dijadwalkan Pemilukada, 27 Daerah Tertunda
    Hasil Rapat Dengar Pendapat komisi II DPR RI dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Senin, 20 Februari 2012.

    Acara : Membahas Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2011 dan Persiapan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2012.

    KPU RI menyampaikan : Pemilukada 2011 dijadwalkan dilaksanakan di 115 daerah yang akan melakukan pemungutan suara, dan yang terlaksana hanya 87 daerah, 27 daerah ditunda di 2012, dan 1 daerah yang belum sama sekali dilaksanakan. Dari 87 daerah yang melaksanakan pemilukada tahun 2011, hingga Januari 2012 (berdasarkan laporan yang masuk ke KPU), bahwa baru 50 daerah dari 87 daerah yang melaksanakan pemilukada tahun 2011.

    Dari hasil pemilihan, pasangan calon terpilih semuanya merupakan pasangan calon yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan untuk pasangan calon perseorangan masih belum memperoleh dukungan yang signifikan dari masyarakat.

    Partai-partai pengusung calon pasangan terpilih dari 50 daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah tahun 2011, merupakan gabungan beberapa partai politik dan bervariasi bahkan dalam satu provinsi koalisinya tidak sama, hanya ada dua daerah yang pemenang pemilukadanya diusung oleh satu parpol.

    Penyelesaian Pelanggaran pemilukada : Penyelesaian melalui Mahkamah Konstitusi, berdasarkan data Mahkamah Konstitusi (per Desember 2011), terdapat 125 permohonan yang teregistrasi di Mahkamah Konstitusi.

    Yang dikabul oleh MK sebanyak 10 (sepuluh) permohonan (8%) yang terdiri atas 7 (tujuh) permohonan dikabulkan sebagian (5,60%) dan 3 (tiga) permohonan dikabulkan seluruhnya (2,40%), 2 (dua) permohonan ditarik kembali oleh pemohonnya (1,60%), 80 permohonan ditolak seluruhnya (64%), 26 permohonan tidka diterima (20,80%), 1 (satu) permohonan gugur (0,80%), 5 (lima) putusan sela (4%) dan 1 (satu) ketetapan (0,80%).

    Penyelesaian oleh KPU sesuai Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2008 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu, dengan sanksi peringatan lisan, peringatan tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian, dengan terlebih dahulu dilakukan proses klarifikasi dan verifikasi oleh Dewan Kehormatan.

    Tiga Pemilukada Harus Lakukan Pemungutan Suara Ulang
    Berdasarkan hasil rapat kerja Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri yang dipimpin Ketua Komisi II DPR RI Agun Gunandjar Sudarsa, Senin 24 September 2012 : Pada Tahun 2011, sebanyak 87 Daerah melaksanakan Pemilukada, yakni 5 Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur, 71 Pemilukada Bupati/Wakil Bupati, serta 11 Pemilukada Walikota/Wakil Walikota.

    Dari 87 daerah yang melaksanakan Pemilukada pada Tahun 2011, dapat diperinci sebagai berikut:

    1. Delapan puluh dua Pemilukada berjalan lancar dan Kepala Daerahnya telah dilantik;

    2. Dua Pemilukada Kabupaten yang harus melaksanakan Pemilukada Putaran Kedua pada Tahun 2012, yakni Pemilukada Kabupaten Dogiyai (Papua) dan Pemilukada Kabupaten Bengkulu Utara (Bengkulu); dan

    3. Tiga Pemilukada Kabupaten yang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi harus melaksanakan Pemungutan Suara Ulang pada Tahun 2012, yakni Pemilukada Kabupaten Pati (Jawa tengah), Pemilukada Kabupaten Buton (Sulawesi Tenggara) dan Pemilukada Kabupaten Yapen (Papua).

    Dalam pelaksanaan Pemilukada Tahun 2011, terdapat 78 Pemilukada yang digugat ke Mahkamah Konstitusi, dengan 131 registrasi perkara, dengan hasil sebagai berikut: (1) Tiga belas perkara dikabulkan, (2) Delapan puluh tujuh perkara di tolak, (3) Dua puluh sembilan perkara tidak diterima dan (4) dua perkara ditarik kembali.

    Berdasarkan data penyelenggaraan Pemilukada Tahun 2011 yang ditemukan oleh Bawaslu, terdapat 1.718 pelanggaran Pemilukada selama Tahun 2011, dengan rincian: (1) 781 kasus atau 45 % tidak ditindaklanjuti, (2) 937 kasus atau 55 % tidak ditindaklanjuti, yang terdiri dari : (a) 372 kasus pelanggaran pidana, (b) 365 kasus pelanggaran administratif dan (c) 200 kasus lainya.

    Bawaslu Temukan 1.718 Pelanggaran
    Dalam Kompas.com 20 Desember 2012 Ary Wibowo menulis : Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sepanjang 2011 menerima 1.718 laporan pelanggaran dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Laporan itu dicatat oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dari data pelanggaran yang diberikan oleh 58 Kabupaten atau kota di Indonesia.

    Koordinator Divisi Hukum dan Penanganan Pelanggaran Bawaslu Wirdyaningsih, dalam jumpa pers “Evaluasi Pengawasan Pemilu Kada di Indonesia 2011”, di Kantor Bawaslu, Jakarta, Selasa, 20 Desember 2011, mengatakan : laporan itu tidak semua dapat ditindaklanjuti, karena beberapa tidak cukup bukti untuk dinyatakan sebagai pelanggaran.

    Dari 1.718 laporan itu, 781 laporan tidak diteruskan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kepolisian karena tidak ditemukan bukti yang cukup. sebanyak 565 laporan diteruskan ke KPU karena memenuhi unsur pelanggaran administrasi. Dari 565 tersebut pelanggaran paling besar adalah pelanggaran kampanye (296 laporan), Pemuktakahiran data pemilih (103 laporan), pemungutan suara dan rekap (95 laporan), pra-kampanye (42 laporan), dan masa tenang (29 laporan). “Dan berdasarkan data yang dihimpun Bawaslu, dari 565 kasus pelanggaran administrasi yang diteruskan KPU yaitu sebanyak 313 laporan, sementara 252 laporan lainnya tidak ditindaklanjuti oleh KPU dengan beberapa alasan.

    Dari 1.718 laporan itu, 998 diantaranya dikategorikan sebagai laporan tindak pidana. Dari total 998 pelanggaran tersebut, sebanyak 372 laporan kemudian diteruskan ke kepolisian karena memenuhi unsur tindak pidana. Kemudian, dari 372 pelanggaran tersebut, yang oleh kepolisian diteruskan kejaksaan sejumlah 16 pelanggaran.(*)

  • Merayakan Kemenangan di Tengah Pandemi Covid-19

    Merayakan Kemenangan di Tengah Pandemi Covid-19

    Setelah ibadah Ramadhan berakhir dengan ditandai kumandang takbir warga saling menyapa dengan ucapan: “semoga kita termasuk orang orang yang kembali kepada fitrah dan meraih kemenangan”. Ucapan itu adalah ungkapan kemenangan setelah lulus dari ujian berpuasa sebulan penuh: menahan diri dari hasrat biologis dengan meningkatkan kualitas ibadah dan kesalehan sosial. Kemenangan ini sejatinya dikukuhkan dengan internalisasi nilai-nilai Ramadhan dan lahirnya nilai nilai tersebut dalam kehidupan nyata di masyarakat.

    Nilai dan amaliah Ramadhan seseorang diterima atau tidak dapat dilihat pada perilakunya setelah Iedul Fitri. Bagi setiap muslim yang terus mengamalkan nilai dan amaliah Ramadhan pasca Iedul Fitri, maka termasuk orang yang sukses meraih kemenangan. Nilai dan amaliah dimaksud meliputi: budaya disiplin, budaya bersih, budaya belajar, budaya berbagai, dan budaya bela beli.

    Budaya disiplin tercermin dari ketepatan waktu dan kepatuhan terhadap hukum dan aturan. Sepanjang Ramadhan seorang muslim disiplin mengatur waktu sesuai jadwal sholat; mulai sahur dan disiplin subuh berjamaah, berbuka dan maghrib berjamaah hingga sholat Isya dan tarawih berjamaah. Muslim yang berpuasa juga taat aturan dengan tidak makan dan minum di siang hari. Hal ini dilakukan atas dasar iman dan mengharapkan ridho Allah. Budaya disiplin dengan berpuasa ini diteruskan pada bulan Syawal. Dari Abu Ayyub Al-Anshori, Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia telah berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim, no. 1164)

    Budaya disiplin waktu dan taat aturan ini terus dilatihkan dengan puasa sunah bulan purnama pada tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan Hijriyah; puasa hari Senin dan Kamis setiap pekan; atau puasa Nabi Dawud yang berpuasa dan berbuka secara bergantian sepanjang tahun. Implikasi dari budaya disiplin dengan berpuasa ini adalah kesehatan mental zuhud bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Disiplin menjadi modal kita keluar dari situasi darurat Covid-19.

    Setiap muslim yang rajin berpuasa menata hidupnya berdasarkan jadwal sholat. Setiap melaksanakan sholat ia selalu menjaga kebersihan diri pakaian dan tempat ibadahnya. Menjaga kebersihan diri dengan berwudhu secara sempurna dan mandi serta menggunakan parfum yang wangi. Ia terus menjaga budaya bersih sehingga terpelihara dari segala penyakit termasuk virus Covid-19. Kepeloporan dalam menjaga kebersihan diri itu meliputi pemenuhan kebutuhan air bersih dan perlengkapan lain yang dibutuhkan. Budaya bersih ini menyadarkan masyarakat yang tidak sehat batuk flu pilek dan bersin untuk tidak ke Masjid dan menggunakan masker ketika keluar rumah sehingga tidak berpotensi menularkan virus kepada orang lain.

    Kebaikan lain yang dilatihkan sepanjang Ramadhan adalah membaca dan mempelajari Al Qur’an. Umat Islam sangat antusias mendaras Al Qur’an pada bulan Ramadhan yang dikenal sebagai bulan Al Qur’an. Orang yang sukses meraih kemenangan pasca Ramadhan meneruskan budaya belajar dan mempelajari isi kandungan Al Qur’an itu sesuai riwayat dari Anas bin Malik Nabi bersabda: “Terangi rumah kalian dengan sholat (sunah) dan bacaan Al Qur’an” (HR. Al Baihaqi).

    Al Qur’an dibaca setiap sholat dan sesudah sholat khusuk sholat Maghrib jelang ‘Isya dan sholat subuh hingga waktu syuruq. Dengan budaya baca dan mempelajari isi kandungan Al Qur’an ini maka umat Islam menjadi pelopor karakter cerdas yang mampu merespon informasi secara kritis dan konstruktif. Hal ini menjadi modal utama umat Islam tidak mudah percaya apalagi menyebarkan berita bohong hoax vandalisme dan ungkapan yang mengandung unsur kebencian.

    Pelajaran lain dari latihan berpuasa sepanjang Ramadhan adalah merasakan secara langsung kehidupan masyarakat miskin yang lapar dan haus. Tidak makan dan minum bagi orang yang berpuasa berbatas waktu dengan jadwal Maghrib. Sebaliknya, kelaparan bagi mereka yang miskin tidak memiliki kepastian berakhir. Latihan ini melahirkan sikap empati dan kepedulian terhadap sesama dengan gerakan berbagai. Mulai berbagi makanan, paket sembako, hingga penggalangan dana untuk membuka usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat terdampak Covid-19. Empati dan kepedulian sosial juga terlihat pada perilaku anti korupsi dan memastikan seluruh bantuan jaring pengaman sosial tersalurkan kepada yang berhak.

    Kepedulian ini terus dirawat dengan melembagakan gerakan amal umat menghimpun zakat infak sedekah dan wakaf. Gerakan sedekah yang paling sederhana adalah menyisihkan jatah alokasi anggaran makan siang (saat berpuasa) untuk membantu fakir miskin dan anak terlantar. Gerakan berbagi makanan di lingkungan warga mencegah terulangnya peristiwa kematian anggota keluarga miskin akibat kelaparan di masa Pandemi Covid-19.

    Tradisi lain di bulan Ramadhan adalah peningkatan konsumsi untuk sedekah. Peningkatan konsumsi memiliki manfaat ganda. Konsumsi untuk sedekah membantu masyarakat yang memiliki daya beli rendah. Di sisi lain meningkatkan kegiatan produksi yang berimplikasi pada penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan tabungan masyarakat. Manfaat peningkatan konsumsi menjadi berlipat ganda ketika disertai bela beli terhadap produk barang dan jasa dari warga sekitar. Misalnya, dalam pembayaran zakat fitrah. Jamaah membeli beras dari unit bisnis milik Masjid. Beras masjid diperoleh dari hasil aset wakaf sawah yang dikelola riungan tani warga sekitar. Kemudian zakaf fitrah dibagikan kepada kelompok keluarga miskin yang membutuhkan. Dengan demikian sirkulasi uang barang dan jasa berputar dari oleh dan untuk masyarakat sehingga terciptalah demokrasi ekonomi sebagai jalan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

    Demikian lah cara kita merayakan kemenangan Iedu Fitri pada masa Pandemi. Piala kemenangan Ramadhan ini dapat dinikmati terus hingga Ramadhan tahun depan. Semoga dengan membudayakan kedisiplinan, kebersihan, kecerdasan dalam menyikapi persoalan, kepedulian dan bela beli itu dalam kehidupan nyata kita dapat mengatasi dampak Covid-19 dan sukses memasuki masa “new normal” pasca Pandemi.

    Wallahu a’lam.

    **Ketua Satgas Covid-19 MUI Provinsi Banten

  • Benar itu Kadang Pahit

    Benar itu Kadang Pahit

    DALAM Islam, ada prinsip “qulil haq walau kaana murran”, yang bermakna bahwa “sampaikanlah kebenaran walau terasa pahit”. Dalam bahasa saya, prinsip ini dikenal dengan jargon idealisme.

    Prinsip ini sejatinya mengandung pertentangan dengan adagium bahwa “tidak setiap yang benar adalah baik”. Ada banyak situasi dimana kita merasa ewuh pakewuh saat akan menyampaikan kebenaran, karena khawatir dimaknai salah, atau menimbulkan ketersinggungan.

    Prinsip diatas, merupakan sikap seseorang yang menyampaikan atau melakukan pembelaan atas sebuah perkara karena benar. Bukan membela karena dekat, sahabat, kerabat, seetnis, segolongan, bahkan seiman, atau seagama.

    Benar itu, bukan otoritas moral yang ada pada agama tertentu. Benar itu, “ada” dalam tiap agama. Eit, jangan dulu ngegas! Ini tidak lantas bermakna menganggap bahwa setiap agama adalah benar. Itu beda!

    Pluralisme itu bukan meyakini bahwa setiap agama itu sama, dan dengan demikian semuanya benar. Tapi “meyakini seluruhnya akan benarnya agama sendiri, dan mengakui ada kebenaran pada agama lain”. Ada lho!

    Poros kesamaan yang terdapat pada ajaran lintas agama itu adalah kebenaran berdasarkan kemanusiaan. Ramah dan menolong misalnya. Dua sifat ini bukan hanya perkara baik pada ajaran agama tertentu. Saya yakin, semua agama punya pandangan sama; bahwa ramah dan menolong adalah sifat baik.

    Dengki dan dzalim adalah perbuatan buruk. Saya sekali lagi yakin, keduanya dianggap buruk bukan hanya oleh agama tertentu. Tapi semua agama sepakat mengamininya; bahwa dengki dan dzalim adalah buruk.

    Jadi, yang menyatukan sikap karena kesamaan cara pandang adalah karena keberpihakan pada kebenaran, yang ada pada tiap ajaran agama. Bukan keberpihakan kepada kebenaran, karena faktor kesamaan agama.

    Dengan begitu, tidak lantas karena seorang melakukan kesalahan, karena faktor seagama, lalu tetap dibela. Disitulah makna qulil haq walau kana murran mendapatkan tempatnya.

    Atau sebaliknya. Jangan karena seseorang berbeda agama dengan kita lalu melakukan hal yang benar, baik menurutnya maupun menurut kita, lantas tidak mendapatkan pembelaan.

    Bila “pokoknya, mau benar atau salah, kalau seagama, kita bela”, atau “pokoknya, bila dilakukan oleh orang yang tidak seagama, jangankan yang salah, yang benarnya saja kita hantam”, itu bisa ambyar.

    Itulah kenapa kita kerap dihadapkan pada satu situasi, dimana ada orang yang dianggap lebih membela orang beda agama, dibanding pembelaan bagi yang seagama, lalu mengerenyitkan dahi, seperti hampir habis pikir.

    Lalu muncullah anggapan dan stigma nyinyir pada kawan seiman, dan anggapan memuja pada orang beda iman. Padahal, bila kita sportif, gentleman, dan keberpihakan pada kebenaran, sejatinya perbedaan lintas Iman bukan jadi hambatan.

    Gejala itu terjadi akibat konsepsi “pembelaan” dimaknai sepanjang masih dekat, sahabat, kerabat, segolongan, dan seiman. Pembelaan bukan atas dasar kebenaran.

    Saya, kerap menyampaikan pembelaan atas orang yang seagama, karena menurut saya, dia benar. Saya, kadang juga memberikan pembelaan atas orang yang beda agama, karena menurut saya, dia benar. Jadi, pembelaan yang saya lakukan bukan karena faktor kesamaan iman, tapi karena kebenaran.

    “Qulil haq walau kaana murran! Kebenaran itu pahit, Jenderal! Walau demikian, terpaksa aku sampaikan. Demi kebaikan”.

    Wallahualam..