JAKARTA, BANPOS – Wakil Ketua DPR Bidang Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel menegaskan, santri atau kaum sarungan adalah salah satu pilar ekonomi nasional.
“Sebagai subkultur, kaum sarungan atau santri adalah salah satu kekuatan ekonomi nasional. Perannya sangat strategis dalam memajukan bangsa dan negara,” kata Gobel, saat didaulat memberikan Pidato Kebudayaan pada hari jadi ke-3 Jejaring Dunia Santri, Sabtu (27/8).
Acara yang berlangsung di Makara Art Center Universitas Indonesia itu juga menampilkan Monolog Negeri Sarung, oleh grup Ki Ageng Ganjur yang dipimpin Ngatawi Al-Zastrow.
Monolog yang menampilkan Inayah Wahid sebagai bintang utama iini dihadiri Ny. Shinta Nuriyah Wahid, KH. Said Aqil Siroj, KH. Marsudi Syuhud, Gus Taj Yasin, dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI Bondan Kanumoyoso.
Usai acara, Gobel yang hadir mengenakan sarung, melepas sarungnya untuk diserahkan kepada panitia untuk dijadikan ornamen seni instalasi.
Gobel mengatakan, sebagai subkultur, santri memiliki seperangkat nilai, pola perilaku, benda-benda fisik, kelembagaan, dan lain-lain.
“Semuanya, jika dikapitalisasi, merupakan kekuatan ekonomi tersendiri. Karena jumlahnya besar, maka nilai ekonominya pun besar. Subkultur santri terbukti memiliki peran dan kedudukan strategis, dalam sejarah bangsa dan negara,” papar Gobel.
Dia menyebut, Presiden Jokowi memiliki visi membangun Indonesia dari pinggiran. Bisa diartikan, membangun dari desa.
“Santri sebagian besar ada di desa. Mari kita jadikan produk desa menjadi produk lokal, lalu nasional, dan akhirnya menjadi produk global. Apalagi, jika menggunakan perangkat digital. Melalui ekonomi, santri akan mengglobal,” ucap Gobel.
Pada kesempatan itu Gobel menceritakan pengalamannya berkunjung ke Hokota, Jepang, awal Agustus lalu. 50 tahun lalu, Hokota hanyalah wilayah pertanian yang miskin.
“Tapi, mereka memajukan pertaniannya. Mereka mengembangkan teknik sendiri, tanpa bantuan pakar dari universitas. Kini, Hokota menjadi kota yang makmur dan menjadi pemasok hasil pertanian untuk seluruh Jepang,” bebernya.
Dia mengajak para santri untuk belajar ke petani Hokota, untuk kemudian diterapkan di Indonesia.
Selain itu, Gobel juga mengajak para santri, untuk melihat industri elektronika miliknya. Ajakan itu disambut tepuk tangan para hadirin.
Gobel pun menjelaskan perbedaan pabrik dan industri. Keduanya sama-sama memiliki mesin dan segala peralatannya. Ada lahan, karyawan, dan produk yang dihasilkan.
Bedanya, kegiatan pabrik berhenti pada membuat barang. Sementara industri, tak berhenti di situ. Karena itu, dalam industri, harus ada ekosistem, tata nilai, harmoni sosial dan lingkungan hidup
“Industri berarti membangun peradaban, membangun manusia dan lingkungannya. Jadi, harus berpikir tentang keberlanjutan. Jadi, ini soal pola pikir,” tutur Gobel.
Dia mengaku, mewujudkan potensi kekuatan ekonomi kaum santri menjadi kekuatan ekonomi yang riil, bukanlah perkara mudah.
“Butuh wawasan, skill, dana, pengalaman, dan terutama bersatu. Saya mengajak untuk membangun dan menguatkan koperasi. Ibarat lidi, jika sendiri mudah patah. Tapi jika bersatu, akan kuat,” jelas Gobel.
Karena itu, lanjutnya, sarung dan kaum sarungan bukan sekadar simbol, identitas, atau corak budaya. Tetapi benar-benar menjadi kekuatan riil ekonomi nasional.
“Mari kita bangkit, dengan bersatu memajukan Indonesia,” ajak Gobel. (RMID)