Kategori: PARLEMEN

  • DPR Dukung Ketegasan Presiden Penuhi Produk Lokal Di E-Katalog Pemerintah

    DPR Dukung Ketegasan Presiden Penuhi Produk Lokal Di E-Katalog Pemerintah

    JAKARTA, BANPOS – Presiden Jokowi tegas mendorong belanja pemerintah ke produk lokal dalam mendukung industrialisasi dalam negeri. Melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), pemerintah telah membekukan 13.600 produk impor dari e-katalog pemerintah, karena sudah ada substitusi dari dalam negeri.

    Anggota Komisi VI DPR I Nyoman Parta mengapresiasi ketegasan Jokowi terkait transformasi digital pengadaan barang dan jasa melalui e-katalog yang lebih mendukung produk dalam negeri.

    “Itu sikap tegas dan sangat kita dukung. Saya rasa presiden telah menyampaikan pesan itu di beberapa kesempatan, cuma birokrasi di bawahnya masih lambat merespons,” kata Nyoman saat dihubungi, Minggu (28/8).

    Menurut politisi PDIP ini, kondisi ekonomi Indonesia sedang dalam pertumbuhan usai dihantam pandemi Covid-19 selama dua tahun. Sehingga perlu kesadaran dari seluruh birokrasi di Indonesia bersama-sama menggerakkan ekonomi bawah, yakni dengan menggunakan produk-produk dalam negeri.

    “Ketika situasi ekonomi lagi sulit, maka uang APBN menjadi begitu penting. Untuk menjadi penggerak ekonomi, termasuk dalam hal ini (penggunaan produk dalam negeri),” ucapnya.

    Politisi asal Bali ini menuturkan, setiap ada pengadaan barang, baik proyek berskala kecil atau besar diwajibkan menggunakan produk dalam negeri. Hal itu sangat berpengaruh besar pada ekonomi masyarakat menengah ke bawah, serta ekonomi nasional.

    “Pengadaan barang dengan membeli produk UMKM dalam negeri, serta proyek pengadaan barang akan berimplikasi ke banyak hal. Salah satunya ekonomi masyarakat kecil,” jelasnya.

    Diakui Nyoman, ketegasan Presiden Jokowi membawa angin segar bagi para penggerak UMKM di tanah air. Hal ini mampu menyerap tenaga kerja, dan perputaran ekonomi sudah dipastikan akan terus membaik.

    “Munculnya ketegasan ini membuat gairah dan meningkatkan produksi, serta banyaknya tenaga kerja yang bisa diserap. Sekaligus terjadinya perputaran ekonomi dan transaksi di akar rumput,” ungkapnya.

    Menurutnya, dari produksi dalam negeri ini, negara bisa menambahkan pendapatan pajak dari produk-produk UMKM tersebut.

    “Syukur-syukur bisa menambah pemasukan negara lewat pajak produk UMKM yang dilelang,” tandasnya.

    Seperti diketahui, Presiden Jokowi meluapkan kemarahannya terkait transformasi digital pengadaan barang dan jasa melalui e-Katalog. Arahan ini tidak lepas dari pengadaan barang dan jasa pemerintah kerap menggunakan produk impor.

    Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Abdullah Azwar Anas buka-bukaan perihal sederet arahan Presiden terkait transformasi digital pengadaan barang dan jasa melalui e-Katalog.

    Presiden meminta agar e-Katalog lokal harus hidup, tersistem dan terintegrasi. Untuk itu, LKPP bersama Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi melakukan kerja sama.

    “Ini arahan presiden dan sekarang sudah ada 13.600 produk impor yang sudah ada substitusinya telah kita bekukan alias tidak bisa dibeli di e-Katalog. Ke depan, akan meningkat karena sistem kami Insya Allah nanti yang blockchain, dan big data ini akan segera selesai bersama PT Telkom,” ujar Azwar Anas. (RMID)

  • Senayan: Woles Aja, Jangan Terburu-buru

    Senayan: Woles Aja, Jangan Terburu-buru

    JAKARTA, BANPOS – Senayan menyoroti kebijakan penghapusan tenaga kerja honorer di instansi Pemerintah yang akan berlaku mulai 28 November 2023. Kebijakan tersebut dinilai belum tepat karena banyaknya masalah tenaga honorer yang belum terselesaikan.

    Keputusan penghapusan tenaga honorer tersebut tertuang dalam surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB) Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 tanggal 31 Mei 2022.

    Ketua Komisi IX DPR Felly Estelita Runtuwene mengatakan, rapat gabungan (Komisi IX, Komisi I, Komisi XI) memperjuangkan agar keputusan tersebut bisa ditunda. Bahkan, seluruh pimpinan Komisi di DPR akan berkirim surat kepada Pimpinan DPR untuk bertemu dan membicarakan persoalan tersebut.

    “Kami punya kekhawatiran yang sama. Sebanyak 575 anggota DPR memiliki tenaga honorer yang masing-masing mempunyai 7 staf, yaitu lima tenaga ahli dan dua staf ahli yang harus diperjuangkan,” ujar Felly dalam keterangannya, kemarin.

    Felly menyebut, banyak tenaga honorer kesehatan yang sudah bekerja selama belasan tahun, bahkan puluhan tahun. Kondisi ini harus menjadi perhatian semua pihak dalam memenuhi hak-hak tenaga honorer, baik dalam kesejahteraan, kesehatan, maupun hal lainnya.

    Politikus Partai NasDem itu berharap Pemda bisa menerapkan aturan yang tertera dalam Undang-Undang Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Agar hak-hak para tenaga honorer kesehatan sebagai garda terdepan di bidang kesehatan bisa terpenuhi.

    Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena menambahkan, penghapusan tenaga non-Aparatur Sipil Negara (ASN) di berbagai sektor akan menyebabkan pelayanan publik terganggu.

    “Kebijakan ini akan berimplikasi sangat luas bagi proses pelayanan publik, menambah pengangguran, dan masalah lainnya,” ujarnya.

    Penghapusan tenaga honorer itu memang amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Managemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, kebijakan penghapusan itu mesti dirumuskan dengan tepat.

    “Kami mendorong pembentukan Panitia Khusus (Pansus) lintas Komisi di DPR agar kebijakan bisa dilakukan dengan baik ketika akan diimplementasikan,” harap politikus Partai Golkar itu.

    Melki juga meminta program seleksi tenaga honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dipercepat penyelesaiannya. Agar, tenaga honorer yang selama ini terkatung-katung nasibnya karena ketidakpastian langkah pemerintah bisa segera terselesaikan.

    Selain itu, Melki meminta kerja sama Pemerintah Pusat dan Daerah untuk memaksimalkan pengangkatan tenaga kesehatan non-PNS menjadi PNS atau PPPK tahun 2022. Itu dilakukan melalui proses verifikasi dan validasi data, serta mengambil kebijakan afirmasi dalam proses seleksi PPPK. Pastikan ketersediaan anggaran untuk mengangkat PPPK baik yang bersumber dari APBN dan APBD.

    “Kami berkomitmen agar persoalan tenaga honorer segera dituntaskan, sehingga mereka mendapatkan kepastian jaminan kesejahteraan dari negara,” tandas legislator dapil Nusa Tenggara Timur II tersebut

    Terpisah, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Kemenpan-RB Alex Denni meminta setiap instansi pemerintah melakukan pendataan tenaga non-ASN tersebut paling lambat 30 September 2022.

    “Masing-masing instansi pemerintah agar mempercepat proses mapping, validasi data, dan menyiapkan road map penyelesaian tenaga non-ASN,” ujar Alex di Jakarta, kemarin.

    Pendataan ini dilakukan agar ada kesamaan persepsi terhadap penyelesaian tenaga non-ASN. Pendataan ini juga bukan untuk mengangkat tenaga non-ASN menjadi ASN tanpa tes.

    “Bagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang tidak menyampaikan data pegawai non-ASN sesuai ketentuan, maka dianggap tidak memiliki tenaga non-ASN,” ujar Alex. (RMID)

  • Lestari: Pembangunan Lingkungan Perlu Dukungan Aktif Generasi Muda

    Lestari: Pembangunan Lingkungan Perlu Dukungan Aktif Generasi Muda

    SEMARANG, BABPOS – Generasi muda harus berperan aktif mengisi kemerdekaan. Penanaman mangrove dalam upaya merestorasi Pantai Utara Jawa merupakan langkah visioner dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat di masa datang.

    “Terima kasih kepada semua pihak mendukung gerakan penanaman mangrove di pantai Utara Jawa Tengah. Apa yang dilakukan generasi muda yang tergabung dalam Garda Pemuda NasDem ini merupakan langkah yang visioner dalam mensejahterakan masyarakat,” kata Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat di sela kunjungannya di Pantai Tirang, Semarang, Jawa Tengah, Minggu (28/8).

    Dewan Pimpinan Wilayah Partai NasDem Jawa Tengah dan Garda Pemuda Partai NasDem menggelar aksi NasDem Peduli Pantai Utara Jawa direalisasikan lewat gerakan Restorasi Pantai Utara Jawa Tengah di Pantai Tirang, Semarang.

    Penanaman mangrove di Pantai Utara Jawa juga serentak dilakukan di sembilan kabupaten/kota di pantai Utara Jawa Tengah yaitu di Brebes, Pemalang, Kota Tegal, Batang, Kendal, Kota Semarang, Demak, Jepara dan Rembang.

    Aksi memperingati Hari Kemerdekaan ke-77 Republik Indonesia itu dihadiri Lestari Moerdijat (Wakil Ketua MPR RI), Siti Nurbaya Bakar (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Prananda Surya Paloh (Ketua Garda Pemuda NasDem), HM Prasetyo (Anggota Dewan Pertimbangan Partai NasDem), Saur Hutabarat (Ketua Mahkamah Partai NasDem), dan jajaran pimpinan DPW Partai NasDem Jawa Tengah.

    Menurut Lestari, yang juga Ketua DPW Partai NasDem Jawa Tengah itu, aksi para pemuda bertujuan untuk mengajak masyarakat bersama-sama memperbaiki daya dukung pantai Utara Jawa dari ancaman kerusakan, lewat penanaman mangrove, harus terus ditingkatkan konsistensinya.

    Dalam kaitan aksi tersebut, Garda Pemuda NasDem juga menyalurkan bantuan 10.000 bibit mangrove dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan sosialisasi cara menanam mangrove.

    Rerie, sapaan akrab Lestari berharap, peran aktif para pemuda dalam setiap tahapan pembangunan harus selalu didorong agar bangsa ini mampu menciptakan generasi penerus yang tangguh.

    Dalam sambutannya, Ketua Garda Pemuda NasDem, Prananda Surya Paloh menilai gerakan penanaman mangrove selaras dengan semangat para kader Partai NasDem yang selalu mendukung proses pembangunan yang berkelanjutan.

    Para kader Garda Pemuda NasDem, tegas Prananda, siap berpartisipasi aktif dalam setiap upaya inisiasi yang ramah terhadap lingkungan.

    “Kami selalu siap mendukung program-program pembangunan lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” tegas Prananda.

    Pada kesempatan itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar berterima kasih kepada semua pihak yang mendukung program pemerintah di sektor lingkungan.

    Terkait program penanaman mangrove, Siti Nurbaya mengungkapkan target pemerintah hingga 2024 menanami 600.000 hektare. Saat ini penanaman mangrove secara nasional baru mencakup luas 110.000 hektare.

    “Jadi masih perlu dukungan dari semua pihak untuk mencapai target,” ujarnya.

    Karena itu, Siti Nurbaya, menyambut baik komitmen jajaran Garda Pemuda NasDem yang bertekad untuk terus mendukung proses pembangunan yang pro lingkungan. (RMID)

  • HNW: MPR Garda Terdepan Penjaga Konstitusi

    HNW: MPR Garda Terdepan Penjaga Konstitusi

    SLEMAN, BANPOS – Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyatakan MPR adalah garda terdepan untuk menjaga dan menyelamatkan ketentuan konstitusi, UUD NRI 1945. Ini terbukti kembali ketika MPR menegaskan sikap untuk taati dan laksanakan konstitusi sekalipun ada berbagai desakan untuk memperpanjang masa jabatan Presiden hingga 3 periode.

    MPR sudah tegas menyatakan bahwa semua pihak harus taat konstitusi dan semangat reformasi, karenanya MPR menyatakan tidak ada amandemen UUD NRI Tahun 1945 pada periode MPR saat ini (2019-2024).

    MPR menegaskan bahwa sesuai ketentuan konstitusi, masa jabatan presiden adalah maksimal dua kali masa jabatan dan pemilihan umum harus diselenggarakan lima tahun sekali. MPR sudah ketok palu tidak ada amandemen UUD NRI Tahun 1945 pada periode ini, sehingga dipastikan masa jabatan presiden hanya dua periode saja. Karenanya masa jabatan Presiden Jokowi akan berakhir pada 2024.

    “Dan tidak ada pengunduran Pemilu, karena sesuai dengan ketentuan Konstitusi UUD NRI 1945 pasal 22 E ayat 1, Pemilu harus diselenggarakan 5 tahun sekali, sehingga Pemilu/Pilpres yang akan datang diselenggarakan pada tahun 2024,” kata Hidayat Nur Wahid dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR dengan Forum Pesantren Alumni Gontor di Pondok Pesantren Modern (PPM) Baitussalam, Prambanan, Sleman, DIY, Sabtu (27/8).

    Turut hadir dalam sosialisasi Empat Pilar MPR ini, Pimpinan PPM Baitussalam, K.H. Abdul Hakim, Ketua FPAG (Forum Pesantren Alumni Gontor) KH Dr Zulkifli Muhadli.

    Pernyataan Wakil Ketua MPR itu menjawab pertanyaan salah seorang peserta yang menyebutkan adanya isu bahwa MPR sedang mengupayakan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, melalui perubahan UUD.

    Menjawab pertanyaan itu, Hidayat Nur Wahid menjawab, hal itu tidak benar. “Saya tegas menyatakan bahwa tidak benar MPR sedang mengupayakan perpanjangan masa jabatan presiden,” tandasnya.

    Hidayat mengakui memang ada pihak-pihak di luar MPR yang ngotot mewacanakan perpanjangan masa jabatan presiden.

    “Saya berpendapat wacana itu boleh-boleh saja kalau sesuai dengan konstitusi. Tapi, kalau wacananya tidak sesuai dengan konstitusi, seperti masa jabatan Presiden 3 periode, lebih konstruktif kalau jangan diwacanakan. Kecuali konstitusinya diubah dahulu,” ujarnya.

    Menurut Hidayat, aturan tentang masa jabatan persiden sudah jelas dalam konstitusi (UUD NRI Tahun 1945). Dalam pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

    “Berarti maksimal hanya dua kali masa jabatan. Itu menjadi arus besar di MPR, bahkan menjadi keputusan bersama di MPR,” imbuhnya.
    Selanjutnya

    Hidayat menjelaskan bahwa latar belakang munculnya amandemen UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan wacana Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Wacana PPHN muncul karena sudah tidak ada lagi GBHN.

    Salah satu kesepakatan reformasi adalah menguatkan sistem presidensial. Karena itu, presiden tidak dipilih oleh MPR, melainkan dipilih secara langsung oleh rakyat.

    “Karena presiden bukan lagi mandataris MPR yang menjalankan GBHN buatan MPR maka kewenangan MPR membuat GBHN dihapus,” jelasnya.

    Namun, dalam perjalanan, ketiadaaan GBHN membuat arah pembangunan tidak jelas. Meskipun sudah ada UU tentang pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, namun UU itu adalah produk presiden terpilih, bukan produk representatif dari cabang-cabang kekuasaan negara: eksekutif, legislatif dan yudikatif.

    Karena itu, UU tersebut tidak komprehensif sehingga perlu dikoreksi. Apalagi UU itu tidak mutlak mengikat sehingga bisa tidak dilaksanakan oleh presiden berikutnya. Kondisi ini membuat Indonesia seperti menari poco-poco karena presiden, gubernur, bupati, serta walikota, bisa dari partai yang berbeda-beda dengan program dan janji kampanye yang berbeda-beda.

    “Karena itu, MPR merekomendasikan untuk mengkaji GBHN. Maka dibentukan Badan Pengkajian MPR yang mengkaji tentang PPHN. Memang bukan GBHN seperti dulu, tapi PPHN bisa memberi arahan. Agar siapapun pun presidennya tidak keluar dari haluan negara, demikian juga Gubernur, Bupati dan walikota,” sambungnya.

    Namun, lanjut Hidayat, perdebatan terjadi ketika menentukan dasar hukum atau bentuk hukum PPHN, apakah dimasukkan dalam UUD sehingga perlu perubahan UUD, dalam bentuk Ketetapan MPR juga memerlukan amandemen UUD, dan dalam bentuk UU. Salah satu partai yang mendukung PPHN melalui amandemen UUD adalah PDI Perjuangan.

    Perdebatan ini berlangsung sampai muncul wacana perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode. Ketika terjadi ‘gonjang-ganjing’ itu dan penolakan terhadap wacana masa jabatan presiden tiga periode, akhirnya MPR yang tadinya mengusulkan amandemen UUD untuk menghadirkan PPHN, mereka balik badan menarik usulan menghadirkan PPHN melalui amandemen.

    Mereka khawatir amandemen UUD ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu yang menyalip di tikungan terakhir dengan memasukan agenda perubahan UUD untuk melegalkan masa jabatan presiden tiga periode.

    MPR sudah ketok palu bahwa tidak ada amandemen pada periode ini. Jadi, clear. Keputusan terakhir di MPR adalah sepakat bulat tidak ada amandemen UUD pada periode sekarang ini (2019- 2024).

    Karenanya masa jabatan presiden tetap maksimal dua kali masa jabatan dan pemilihan umum tidak bisa diundurkan, tapi tetap harus lima tahun sekali, diselenggarakan pada tahun 2024.

    “Maka yang terpenting sekarang, saat tahapan Pemilu sudah dimulai, agar semua pihak: Pemerintah, KPU, DPR, Partai, Pengamat dan Rakyat, agar fokus, kawal supaya hambatan-hambatan pemilu segera diatasi, agar pemilu sukses, dan tak hadirkan kembali pembelahan seperti dalam Pilpres 2019,” pungkasnya. (RMID)

  • Syarief Hasan: Dana Pensiun PNS Bukan Beban Negara

    Syarief Hasan: Dana Pensiun PNS Bukan Beban Negara

    JAKARTA, BANPOS – Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan menyesalkan tendensi pemerintah yang menganggap dana pensiunan PNS membebani APBN. Pikiran seperti ini jelas-jelas sangat janggal dan terkesan tidak menghargai pengabdian PNS selama mengabdi untuk negara.

    PNS adalah unsur penyelenggara negara yang memastikan pelayanan publik berjalan dengan baik, sehingga mereka juga sangat layak mendapatkan apresiasi di hari tuanya.

    Pensiunan PNS bukanlah beban negara, sebagaimana tendensi yang berulang kali disampaikan pemerintah.

    “Saya kira ini perlu diklarifikasi dan diluruskan oleh pemerintah. Jangan sampai muncul anggapan dari publik dan khususnya PNS, bahwa pemerintah tidak menghargai pengabdian PNS,” kata Syarief dalam keterangannya, Senin (29/8).

    Selama masa pengabdiannya, lanjutnya, PNS telah mencurahkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk pelayanan publik. PNS adalah bagian penting dan strategis dalam penyelenggaraan negara.

    “Karena itu, jika setelah pensiun mendapatkan uang pensiun, ini adalah hal yang teramat wajar. Pemerintah, khususnya kementerian keuangan harus menjelaskan maksudnya,” ujar Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini.

    Menurut Syarief, jika merujuk pada ketentuan Pasal 6 ayat (1) PP 25/1981 sebagaimana telah diubah dengan PP 20/2013 tentang Asuransi Sosial PNS, PNS diwajibkan membayar iuran sebesar 8 persen dari penghasilan per bulan selama menjadi PNS.

    Iuran inilah yang nanti akan digunakan sebagai dana pensiun dan jaminan hari tua setelah PNS yang bersangkutan pensiun. Ini berarti, sebagian dari dana pensiun PNS adalah potongan penghasilan setiap bulan yang memang merupakan hak pensiunan.

    Jika pemerintah menganggap dana pensiun membebani APBN, lalu mengapa PNS dikenakan potongan penghasilan setiap bulan? Apakah iuran bulanan yang terhimpun dalam PT Taspen dan/atau Asabri dapat digunakan sewaktu-waktu oleh pemerintah? Apakah pemerintah hendak menempatkan PNS sebagai unsur pekerja yang tidak perlu mendapatkan apresiasi?

    “Saya kira deretan pertanyaan ini perlu dijawab oleh pemerintah dengan lugas dan terang,” tanya Syarief.

    Lagi pula, profesor di bidang Strategi Manajemen Koperasi dan UKM ini meminta pemerintah jangan tendensius dan terburu-buru dalam mengambil keputusan. Perubahan skema kebijakan pembayaran dana pensiunan PNS adalah perkara yang wajar didiskusikan.

    Apakah skemanya pay as you go sebagaimana mandat regulasi sekarang, atau fully funded sebagaimana yang diutarakan pemerintah, semuanya harus berangkat dari niat baik, apresiasi, dan atensi atas pengabdian PNS. Pemerintah juga harus melihat realitas perekonomian negara sebelum mengambil kebijakan yang berani.

    Negara, diingatkan Syarief, bukanlah perusahaan. Mengelola negara bukan perkara untung rugi belaka. Pasal 28 D juncto Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 tegas-tegas menyatakan negara wajib memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, imbalan, perlakuan yang adil dalam hubungan kerja, serta pengembangan sistem jaminan sosial sesuai dengan martabat kemanusiaan.

    Termasuk dalam hal ini PNS, dana pensiun adalah hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945.

    “Pemerintah janganlah semata menggunakan kalkulasi bisnis dalam mengelola negara, khususnya jaminan dan kepastian hari tua bagi pensiunan PNS,” sesal Syarief.(RMID)

  • HNW: Masjid Harus Kuatkan Persaudaraan Dan Cegah Radikalisme

    HNW: Masjid Harus Kuatkan Persaudaraan Dan Cegah Radikalisme

    KLATEN, BANPOS – Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyebutkan semangat hijrah menghadirkan semangat baru yang menyatukan dan mengukhuwahkan umat, menjadi basis bagi Islam yang rahmatan lil alamin.

    Dengan mengimplementasikan nilai-nilai hijrah dalam manajemen masjid maka realisasi dari semangat memakmurkan masjid yang mengukhuwahkan umat dan mewujudkan islam yang rahmatan lil alamin, menjadi sangat penting.

    “Semangat ukhuwah dan Islam yang rahmatan lil alamin adalah hasil dari hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Maka bila kita menginginkan manajemen masjid yang mengimplementasikan nilai-nilai hijrah maka perlu realisasi dari semangat ukhuwah dan prinsip Islam yang rahmatan lil alamin,” kata Hidayat Nur Wahid dalam Tabligh Akbar dengan tema Implementasi Nilai-Nilai Hijrah dalam Manajemen Masjid: Sebuah Refleksi 108 Tahun Masjid Raya Al Muttaqun di Prambanan, Klaten, Minggu (22/8).

    Hadir dalam Tabligh Akbar ini Ketua Yayasan Masjid Raya Al Muttaqun K.H. Abdul Hakim dan para jamaah dari berbagai Ormas Islam, Muspika dan Kokam Muhammadiyah.

    Menurut Hidayat Nur Wahid, hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah memberi nuansa progressif dalam kehidupan keagamaan Islam. Dalam konteks hijrah, masjid menjadi tempat kegiatan untuk memakmurkan umat.

    “Maka demikianlah, sejak awal komitmen masjid Al Muttaqun adalah masjid raya untuk mengukhuwahkan umat,” ujar HNW, sapaan Hidayat Nur Wahid.

    Masjid Raya Al Muttaqun terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Masjid Raya Al Muttaqun berada di antara Prambanan Klaten dan Prambanan Sleman.

    “Masjid Raya Al Muttaqun mengukhuwahkan umat baik di Prambanan Klaten maupun Prambanan Sleman, bahkan antara Umat Islam di Indonesia dengan dunia internasional,” kata Hidayat Nur Wahid yang juga Ketua Pembina Yayasan Masjid Raya Al Muttaqun.

    Hidayat menambahkan, semangat hijrah itu mestinya diadopsi maksimal sehingga menghasilkam program dan kegiatan-kegiatan masjid Al Muttaqun yang mengukhuwahkan dan mensukseskan hijrah baik untuk pengisi pengajian, program-program unggulan Masjid, maupun para jamaah dari berbagai latar belakang baik Muhammadiyah, NU, dan lainnya.

    “Sekalipun jamaah memiliki latar belakang berbeda, tapi semuanya bisa masuk dalam kategori muttaqin, dan karenanya layak untuk memakmurkan masjid,” sebutnya.

    Hidayat mencontohkan, Rasulullah bukan hanya mengukhuwahkan kaum Muhajirin dan kaum Anshar, tapi juga antara kaum Muhajirin dengan Muhajirin, dan kaum Anshar dengan Anshar, serta kaum Muhajirin dan kaum Anshar, tanpa menghilangkan kekhasan masing-masing kaum.

    Islam, tegas Hidayat, tidak menghilangkan dan menegasikan kekhasan masing-masing kaum. Bahkan Islam sangat menghormati kekhasan masing-masing kaum. Prinsip yang sama seperti Bhinneka Tunggal Ika. Kebhinnekaan tetap dihormati, sedangkan Ika adalah semua hamba-hamba Allah.

    Maka, lanjutnya, semangat berukhuwah ini sekaligus semangat menghormati keragaman yang ada, menjadi basis rahmatan lil alaminnya Islam, yang karenanya pasti jauh dari sikap negatif seperti ekstremisme, radikalisme. Masing-masing pihak diapresiasi dan mendapat posisi, peran, dan penghormatan.

    Bukan mempertajam keragaman, tetapi keragaman sebagai sarana fastabiqul khairat (berlomba mewujudkan berbagai kebaikan). _Kita menghormati kekhasan masing-masing sekaligus menghadirkan fastabiqul khairat,” tambahnya.

    Hidayat berharap, nilai-nilai yang terkandung dalam surah At Taubah ayat 18 tentang hakikat siapa yang memakmurkan masjid dapat menghadirkan dampak dari hijrah untuk makmurnya Masjid, kemudian menghadirkan dampak progressif untuk pengelolaan masjid yang menjadi basis hadirnya komunitas Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin.

    Dengan semangat syukuran 108 tahun masjid raya Al Muttaqun, nilai-nilai hijrah diimplementasikan dalam pengelolaan dan manajemen masjid yang lebih baik sehingga dapat melipatgandakan manfaat untuk jamaah, melipatgandakan jumlah jamaah, serta menghadirkan masyarakat yang lebih guyub, rukun, shaleh, rahmatan lil alamin, dan menggambarkan Bhinneka Tunggal Ika.

    “Untuk berkontribusi bagi Indonesia yang baldatun thoyyibatun warobbun ghofur,” pungkasnya.(RMID)

  • Idris Laena: Pilpres Tarung Gagasan, Bukan Adu Elektabilitas

    Idris Laena: Pilpres Tarung Gagasan, Bukan Adu Elektabilitas

    JAKARTA, BANPOS – Ketua Fraksi Partai Golkar MPR Idris Laena setuju dengan pendapat Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan elektabilitas tinggi bukan jaminan bisa diusung sebagai calon presiden (capres).

    “Ini pendapat yang wajar. Saya setuju dengan pernyataan Pak Jokowi,” kata Idris kepada RM.id, Senin (29/8).

    Apalagi, jelas dalam Undang-Undang mengatur capres dan cawapres harus diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik.

    “Bagaimana mungkin seseorang bisa menjadi capres-cawapres jika tidak diusung oleh partai politik. Tidak bisa meskipun elektabilitas dia tinggi,” tegasnya.

    Yang kedua, lanjut Idris, partai politik juga sudah mulai menyadari pentingnya mendorong kader sendiri untuk dimajukan sebagai capres-cawapres.

    Bahkan, muncul fenomena membentuk beberapa poros koalisi yang mengajukan nama kader sendiri “Seperti Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), Partai Golkar memunculkan kader terbaiknya Pak Airlangga Hartarto sebagai capres 2024,” kata Idris.

    Dia menyarankan, memang sudah saatnya meninggalkan pola jadul yakni mengandalkan elektabilitas bagi capres-cawapres. Sebab, jika calonnya adalah kader partai, maka calon tersebut akan memahami platform dan visi misi perjuangan partai maupun koalisi.

    “Supaya Pilpres 2024 jadi ajang adu gagasan partai dan koalisi. Seperti melanjutkan program yang telah digagas presiden sebelumnya. Dengan demikian, kesinambungan pembangunan nasional akan berlanjut,” tuturnya.

    Idris Laena yang Juga Ketua Umum Satuan Karya (Satkar) Ulama Indonesia ini juga menyatakan dengan banyaknya koalisi, maka akan ada banyak pasangan yang diusung pada Pilpres 2024.

    “Maka kita akan terhindar dari potensi keterbelahan anak bangsa seperti pada Pilpres 2019 yang menguras emosi dan energi. Agar kita fokus membangun bangsa ini,” pungkasnya. (RMID)

  • Bamsoet Heran, Masih Ada Yang Ragukan Pentingnya PPHN

    Bamsoet Heran, Masih Ada Yang Ragukan Pentingnya PPHN

    JAKARTA, BANPOS – Ketua MPR Bambang Soesatyo mengungkapkan, pada awal kemerdekaan, MPR sebagaimana dimaksud UUD NRI Tahun 1945 belum bisa dibentuk. Untuk memenuhi ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan, pada 29 Agustus 1945 dibentuk Komite Nasional Pusat (KNP) yang merupakan Badan Pembantu Presiden. Anggota KNP terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah-daerah, termasuk mantan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

    Pada persidangan kedua 16 Oktober 1945, KNP mendesak Presiden untuk segera membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat. KNP juga meminta segera dibentuk Badan Pekerja yang bertanggung jawab terhadap KNP. Permintaan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam kondisi revolusi, banyak anggota KNP yang diperlukan di daerah, sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan maksimal.

    “Bung Hatta yang hadir dalam Sidang KNP, akhirnya mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X (nomor eks, karena belum diberi nomor) tanggal 16 Oktober 1945. Di dalamnya menegaskan bahwa KNP, sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pekerjaan KNP sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggungjawab kepada KNP,” ujar Bamsoet, sapaan akrab Bambang, usai melantik Faisal Amri dari Kelompok DPD menjadi Anggota MPR dalam Pergantian Antar Waktu (PAW), di Kompleks MPR, Jakarta, Senin (29/8).

    Ketua DPR ke-20 ini menjelaskan, alur sejarah kebangsaan tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan Garis-Garis Besar Haluan Negara telah dirasakan sejak awal kemerdekaan. Pada 1960, MPRS menetapkan Ketetapan Nomor: I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara.

    “Ketetapan tersebut menjadi pedoman dalam menyusun cetak biru pembangunan, yang selanjutnya ditetapkan MPRS dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap pertama 1961-1969. Pada masa persidangan yang sama, MPRS juga menetapkan Ketetapan MPRS Nomor IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan. Jadi, saya heran kalau hari gini masih ada yang ragu terhadap kehadiran PPHN,” jelas Bamsoet.

    Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, kebutuhan Garis-Garis Besar Haluan Negara terus berlanjut pada era Pemerintahan Presiden Soeharto. Pada rentang 1973 sampai dengan 1998, MPR menetapkan enam Ketetapan MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.

    Disebutkan dalam ketetapan-ketetapan tersebut, bahwa menjadi tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai Pola Umum Pembangunan Nasional yang merupakan rangkaian kontinuitas program-program Pembangunan di segala bidang untuk dapat mewujudkan Tujuan Nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

    “Garis-Garis Besar Haluan Negara tetap dibutuhkan pada awal reformasi. MPR menetapkan Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara; dan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004,” terang Bamsoet.

    Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, eksistensi GBHN hilang sejalan dengan dipilihnya presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Para perumus perubahan Undang-Undang Dasar tidak memperhitungkan akibat dari keputusan politik yang diambilnya pada saat itu. Salah satu akibat dari model perencanaan pembangunan yang berlaku saat ini adalah pembangunan menjadi sangat bersifat executive centris.

    Padahal, UUD secara nyata menyebutkan terdapat lembaga-lembaga negara lainnya yang mewakili cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif, yang juga memerlukan haluan dalam menjalankan wewenang dan tugasnya. Akibatnya, cabang-cabang kekuasaan dalam negara seperti tidak terhubung antara satu dengan yang lain, dan terkesan berjalan sendiri-sendiri.

    “Tidak heran jika kini berkembang anggapan bahwa pandangan yang menjadikan pemilihan langsung sebagai alasan untuk menghilangkan eksistensi GBHN merupakan pemikiran yang keliru. Pemilihan langsung hanyalah bentuk sistem pemilihan presiden yang merupakan konsekuensi logis dari wujud kedaulatan rakyat. Pemberi kedaulatan yang terwakili oleh lembaga perwakilan rakyat yang paling lengkap, yaitu MPR seharusnya tetap memiliki hak untuk merumuskan arah haluan pembangunan nasional,” jelas Bamsoet.

    Dewan Pakar KAHMI ini menekankan, bertalian dengan dasar kedaulatan rakyat, serta model demokrasi permusyawaratan yang menjadi ciri khas demokrasi Indonesia, ide menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara sebagai panduan pembangunan menemui relevansinya. Mengembalikan hal baik yang pernah ada di masa lalu ternyata tidak mudah. Dalam dua periode keanggotaan yang lalu, MPR hanya mampu menghasilkan rekomendasi ke rekomendasi lagi, kepada MPR periode berikutnya. Kita tidak ingin hal ini terus berlanjut.

    Jika tidak ada halangan, pada pertengahan September nanti, MPR akan menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk menindaklanjuti hasil kajian substansi dan bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara yang telah diselesaikan oleh Badan Pengkajian MPR. Bamsiet menegaskan, gagasan menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara, tidak dimaksudkan untuk mempertentangkan dominasi antara eksekutif dan legislatif sebagaimana sering diperdebatkan para ahli. Tidak pula dimaksudkan sebagai upaya MPR untuk membatasi otoritas pemerintah dalam ruang presidensial.

    “Gagasan ini didasari oleh niat baik, yaitu untuk lebih memberikan jaminan kesinambungan dan keterpaduan pembangunan seluruh penyelenggara negara, baik di pusat maupun daerah. Mampu memberikan gambaran wajah Indonesia dalam kurun waktu 50 atau 100 tahun ke depan, beserta tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mencapainya. Serta, untuk semakin meneguhkan arah cita-cita Indonesia merdeka,” pungkas Bamsoet.(RMID)

  • Gobel: Tanpa Kerja Keras Petani Dan Nelayan, Kita Bisa Kewalahan

    Gobel: Tanpa Kerja Keras Petani Dan Nelayan, Kita Bisa Kewalahan

    BANYUWANGI, BANPOS – Wakil Ketua DPR Bidang Koordinator Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel, mengucapkan terima kasih kepada nelayan dan petani di seluruh Indonesia.

    “Kita, bangsa Indonesia, harus berterima kasih kepada petani dan nelayan di seluruh Indonesia. Di tengah climate change dan krisis pangan dunia, petani dan nelayan kita tetap gigih menyediakan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Gobel, saat melakukan kegiatan Kenduri Bahari di Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (28/8).

    Acara berlangsung di dua tempat. Pertama, di Teluk Pangpang, Dusun Kali Watu. Kedua, di Dusun Pondok Asem.

    Kedua tempat yang cukup berjauhan itu masih berada dalam satu desa, yaitu Desa Kedungsari, Kecamatan Tegaldlimo.

    Acara pertama adalah kegiatan larung di Teluk Pangpang, sedangkan acara kedua adalah penanaman pohon mangrove.

    Penanaman pohon mangrove ini berlangsung di tempat bersejarah, yaitu di petilasan Naya Genggong, seorang penasihat Raja Brawijaya V, raja terakhir Majapahit.

    Kegiatan yang diadakan oleh DPW Partai Nasdem Jawa Timur ini, turut dihadiri Anggota DPR Charles Meikyansyah dan Ketua DPW Partai Nasdem Jawa Timur Sri Sajekti Sudjunadi atau biasa disapa Janet.

    Gobel mengatakan, saat ini dunia sedang dihadapkan pada dua tantangan. Pertama, climate change atau perubahan iklim. Hal ini berdampak pada kehidupan pertanian yang tidak pasti. Sehingga, menurunkan kuantitas panen tanaman pangan.

    Kedua, konflik Rusia-Ukraina yang berdampak pada terganggunya rantai pasokan pupuk dan pangan dunia.

    Dua hal inilah yang mengakibatkan kenaikan harga pangan di seluruh dunia, dan berkurangnya pasokan pangan di mana-mana.

    “Berkat kerja keras petani dan nelayan Indonesia, bangsa Indonesia tidak kekurangan pasokan pangan. Tanpa perjuangan, kerja keras, serta ketekunan petani dan nelayan, kita bisa dihadapkan pada kesulitan,” tutur Gobel.

    “Jika itu terjadi, dampaknya tidak hanya pada soal pangan. Tetapi juga bisa berdampak pada ketahanan nasional dan stabilitas politik. Bisa menjadi krisis multidimensi. Alhamdulillah semua itu tak terjadi,” imbuhnya.

    Gobel mengingatkan, sebagai bangsa beragama, bangsa Indonesia harus memperbanyak syukur atas besarnya tiga karunia Tuhan YME.

    Pertama, Indonesia memiliki tanah dan laut yang luas. Kedua, tanah Indonesia subur dan lautnya kaya dengan beragam ikan. Ketiga, iklim Indonesia yang ramah, sehingga bisa bertani dan melaut sepanjang tahun.

    “Jadi, kita harus banyak bersyukur. Jangan menyia-nyiakan karunia Tuhan ini dengan malas-malasan,” ucap Gobel.

    Menurutnya, rasa syukur itu juga harus berupa kebijakan yang tepat dan tata kelola pemerintahan yang benar.

    “Jika kita suka main impor, maka petani dan nelayan pun akan dirugikan. Akhirnya, petani bisa enggan menanam, seperti terjadi pada kedelai. Jadi, Bapak dan Ibu suka impor tidak?” tanya Gobel.

    Massa menjawab serentak, “Tidaaak!!!”.

    Pertanyaan itu diajukan beberapa kali dan selalu dijawab sama: Tidak. (RMID)

  • Ketua MPR Tegaskan Konvensi Ketatanegaraan Bukan Hal Baru

    Ketua MPR Tegaskan Konvensi Ketatanegaraan Bukan Hal Baru

    JAKARTA, BANPOS – Ketua MPR Bambang Soesatyo mengungkapkan, Konvensi Ketatanegaraan bukan hal baru dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Maklumat Wakil Presiden Moh Hatta Nomor X, 16 Oktober 1945, tentang pembentukan Komite Nasional Pusat (KNP) sebelum terbentuknya MPR dan DPR, merupakan salah satu terobosan Konvensi Ketatanegaraan saat itu.

    Hal itu disampaikan Bamsoet, sapaan akrab Bambang, dalam podcast bersama Aliansi Kebangsaan, di Jakarta, Senin (29/8). Turut hadir sebagai narasumber Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo.

    Dalam podcast itu juga dibahas wacana menghadirkan kembali Utusan Golongan di UUD NRI 1945. Bamsoet mengungkapkan, MPR telah menerima usulan dari berbagai kalangan untuk menghadirkan kembali Utusan Golongan dalam keanggotaan MPR sebagaimana terjadi sebelum amandemen keempat konstitusi pada 2002.

    Bamsoet memaparkan, usulan tersebut antara lain datang dari PP Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu. Mengingat secara konsep dan teori, demokrasi pada dasarnya mengakui adanya tiga teori perwakilan yang dapat mewujudkan kedaulatan rakyat dalam lembaga perwakilan, yakni: perwakilan politik (political representation), perwakilan daerah (regional representation), serta perwakilan golongan (functional representation).

    Dia menerangkan, ketiga perwakilan tersebut dapat merefleksikan kehendak demokrasi secara komprehensif, yakni demokrasi yang bersifat partisipatoris yang melibatkan seluruh elemen bangsa. Karena pada hakikatnya prinsip-prinsip demokrasi yang terkandung dalam konstitusi Indonesia dijiwai oleh sila keempat pancasila, yaitu ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’. Dengan demikian, setiap upaya penyelenggaraan pemerintahan harus bergerak dalam kerangka demokrasi Pancasila yang menjamin tiga hal yaitu tegaknya kedaulatan rakyat, berjalannya prinsip permusyawaratan/perwakilan dan mengedepankan hikmat kebijaksanaan.

    “Dalam konsepsi demokrasi Pancasila, kita tidak mengenal diktator mayoritas, ketika kelompok mayoritas cenderung mengabaikan dan mencederai hak-hak kelompok minoritas. Kita juga tidak mengenal tirani minoritas, ketika kelompok minoritas yang meskipun jumlahnya sedikit namun memiliki posisi yang kuat mengabaikan kepentingan mayoritas. Kehidupan demokrasi juga merupakan proses yang tidak stagnan, melainkan terus menerus berkembang secara dinamis. Karenanya, gagasan penataan kembali kedudukan dan kewenangan MPR, termasuk keterwakilan unsur Utusan Golongan dalam keanggotaannya, adalah wacana yang rasional dan relevan untuk diskusikan,” ujar Bamsoet.

    Ketua DPR ke-20 ini menjelaskan, amandemen konstitusi di masa lalu selain menghilangkan Utusan Golongan juga menghilangkan Haluan Negara. Akibatnya, fungsi GBHN digantikan dengan UU Nomor 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan UU Nomor 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan penyelenggaraan pembangunan nasional ternyata menyisakan beragam persoalan.

    “Misalnya, kecenderungan eksekutif sentris dan adanya potensi RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan. Selain itu, karena Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) didasarkan kepada visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka berpotensi memunculkan visi dan misi yang berbeda dalam setiap periode pemerintahan. Ditambah adanya potensi ketidakselarasan pembangunan antara RPJMN dengan perencanaan pembangunan daerah (RPJMD), mengingat visi dan misi kepala daerah sangat mungkin berbeda dengan visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih,” jelas Bamsoet.

    Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) harus mempunyai legal standing yang kuat, namun sekaligus tidak kaku. Bentuk hukum yang dinilai paling ideal adalah Ketetapan MPR, yang secara hirarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Untuk memberikan hak konstitusional dan mengatur kewenangan MPR (sebagai satu-satunya lembaga negara yang merepresentasikan aspirasi politik dan keterwakilan kepentingan daerah) untuk menetapkan PPHN, maka idealnya diperlukan amandemen terbatas. Namun, mengingat dinamika politik, saat ini sulit untuk direalisasikan, sehingga yang dapat diupayakan untuk menghadirkan PPHN adalah melalui Konvensi Ketatanegaraan.

    “Penerapan Konvensi Ketatanegaraan adalah hal yang lazim dalam kehidupan negara-negara demokratis. Konvensi hadir sebagai rujukan hukum yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan, serta mengisi kekosongan hukum formil yang baku. Misalnya penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR, yang tidak diatur oleh konstitusi dan tidak diamanatkan oleh undang-undang, namun mengingat urgensinya dapat diterima, maka akhirnya menjadi konvensi ketatanegaraan. Kuncinya adalah adanya konsensus dan komitmen bersama,” terang Bamsoet.

    Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, sebagai langkah awal Pada awal bulan September, MPR akan menggelar Sidang Paripurna untuk membentuk Panitia Ad Hoc MPR yang komposisinya terdiri dari unsur Pimpinan MPR serta keterwakilan Fraksi dan Kelompok DPD secara proporsional. Pembentukan alat kelengkapan MPR ini dimaksudkan untuk menindaklanjuti kajian substansi dan bentuk hukum PPHN, yang telah diselesaikan Badan Pengkajian MPR.

    “Gagasan menghadirkan PPHN tidak dimaksudkan mempertentangkan dominasi antara eksekutif dan legislatif. Tidak pula sebagai upaya MPR untuk membatasi otoritas pemerintah dalam ruang presidensial. Gagasan ini didasari niat baik, yaitu untuk lebih memberikan jaminan kesinambungan dan keterpaduan pembangunan seluruh penyelenggara negara, baik di pusat maupun daerah. Mampu memberikan gambaran wajah Indonesia dalam kurun waktu 50 atau 100 tahun ke depan, beserta tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mencapainya. Serta, untuk semakin meneguhkan arah cita-cita Indonesia merdeka,” pungkas Bamsoet.(RMID)