JAKARTA, BANPOS – Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan negara harus hadir secara kuat dan pemerintah harus hadir secara adil dan tidak diskriminatif dalam melaksanakan ketentuan dasar 20 persen anggaran dari APBN/APBD untuk pendidikan nasional.
Ini agar dapat mewujudkan prinsip keadilan termasuk keadilan anggaran untuk dunia pendidikan. Karena Pendidikan nasional tidak hanya pendidikan umum tetapi juga ada pendidikan keagamaan termasuk pendidikan Agama Islam (dengan madrasah, pesantren), Kristiani, Hindu, Budha, dan lainnya.
“Di Komisi VIII DPR, sejak periode yang lalu, kami memperjuangkan apa yang kami sebut sebagai keadilan anggaran. Keadilan anggaran bukan berarti harus mendapat jumlah anggaran yang sama. Bukan seperti itu. Tetapi anggaran yang proporsional antara pendidikan umum dan pendidikan keagamaan,” kata Hidayat Nur Wahid dalam Ngobrol Pendidikan Islam (Ngopi) dengan tema Pendidikan Islam dalam Era Digital dan Milenial di Grand Whiz Poin Simatupang, Jakarta, Senin (29/8).
Ngopi yang diselenggarakan Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan dihadiri oleh Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi DKI Jakarta Dr. H. Cecep Khairul Anwar, Kepala Kantor Kemenag Kota Jakarta Selatan Drs. H. Nur Pawaidudin, dan narasumber Ahmad Rofi Syamsuri (Ketua STID DI Al Hikmah), serta diikuti komunitas pendidikan madrasah (kepala sekolah madrasah), sekolah umum dan agama lain.
Hidayat menjelaskan, MPR sudah menghadirkan Konstitusi yang menjadi rujukan soal anggaran pendidikan yang sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN/APBD, itulah amanat UUD NRI Tahun 1945 pasal 31 ayat (4).
Pasal itu menyebutkan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dan pada pasal 31 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
Kemudian dilanjutkan dengan ayat 5, yang berbunyi, pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Secara eksplisit disebutnya “iman takwa dan akhlak mulia” dan “agama”, menunjukkan pentingnya nilai-nilai tersebut, sehingga sudah semestinya diberlakukan anggaran yang adil dan tidak diskriminatif.
Lalu, UUD NRI Tahun 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 ditegaskan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Tanpa membedakan antara sekolah-sekolah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kementerian Agama (Kemenag).
“UUD jelas tidak menginginkan adanya ketidakadilan anggaran dan diskriminasi anggaran untuk pendidikan nasional baik yang berada dibawah Kemendikbud maupun Kemenag,” ujar anggota Komisi VIII DPR ini.
Hidayat juga mengingatkan soal Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren (Dana Abadi Pesantren) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo sebagai aturan lanjutan dari UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
“Dana Abadi Pesantren ini agar diwujudkan. Jangan hanya menjadi Perpres kosong saja. Jangan hanya menjadi Perpres yang tidak ada pelaksanannya karena sampai hari ini masih 0 rupiah. Padahal Perpres itu ditandatangani tahun 2021,” tandasnya.
Menurut Hidayat, bila Perpres Nomor 82 Tahun 2021 itu dilaksanakan maka bisa mewujudkan kesejahteraan tenaga kependidikan, meningkatkan kualitas pendidikan, kesinambungan dunia pendidikan pesantren dan keagamaan.
“Karena sudah berbentuk Perpres, jadi bukan sekadar janji, tapi janji yang sudah menjadi keputusan yang ditandatangani, maka kalau Perpres itu bisa dilaksanakan, saya berharap soal kesejahteraan, kualitas pendidikan, kesinambungan dunia pendidikan pesantren dan keagamaan, akan bisa diwujudkan,” tambahnya.
Hidayat juga menyampaikan perjuangan di DPR agar Madrasah tidak dihapus dari revisi RUU Sisdiknas yang mendapat perhatian dari Kemendikbud sehingga madrasah tidak jadi dikeluarkan dari UU.
Hidayat juga menerima aspirasi dan masukan dari peserta serta kegalauan mereka soal masa depan pendidikan agama. HNW menjamin tidak akan terjadi syarat mendapatkan kesetaraan (dengan pendidikan umum) akan membuat pendidikan agama digabung ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Kami sudah berkali-kali menegaskan bahwa pendidikan agama, pendidikan keagamaan, tetap berada di Kementerian Agama. Sedangkan pendidikan umum silakan ada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” pungkasnya.(RMID)