Kategori: PARLEMEN

  • HNW Ingatkan Pentingnya Keadilan Anggaran Pendidikan Keagamaan

    HNW Ingatkan Pentingnya Keadilan Anggaran Pendidikan Keagamaan

    JAKARTA, BANPOS – Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan negara harus hadir secara kuat dan pemerintah harus hadir secara adil dan tidak diskriminatif dalam melaksanakan ketentuan dasar 20 persen anggaran dari APBN/APBD untuk pendidikan nasional.

    Ini agar dapat mewujudkan prinsip keadilan termasuk keadilan anggaran untuk dunia pendidikan. Karena Pendidikan nasional tidak hanya pendidikan umum tetapi juga ada pendidikan keagamaan termasuk pendidikan Agama Islam (dengan madrasah, pesantren), Kristiani, Hindu, Budha, dan lainnya.

    “Di Komisi VIII DPR, sejak periode yang lalu, kami memperjuangkan apa yang kami sebut sebagai keadilan anggaran. Keadilan anggaran bukan berarti harus mendapat jumlah anggaran yang sama. Bukan seperti itu. Tetapi anggaran yang proporsional antara pendidikan umum dan pendidikan keagamaan,” kata Hidayat Nur Wahid dalam Ngobrol Pendidikan Islam (Ngopi) dengan tema Pendidikan Islam dalam Era Digital dan Milenial di Grand Whiz Poin Simatupang, Jakarta, Senin (29/8).

    Ngopi yang diselenggarakan Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan dihadiri oleh Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi DKI Jakarta Dr. H. Cecep Khairul Anwar, Kepala Kantor Kemenag Kota Jakarta Selatan Drs. H. Nur Pawaidudin, dan narasumber Ahmad Rofi Syamsuri (Ketua STID DI Al Hikmah), serta diikuti komunitas pendidikan madrasah (kepala sekolah madrasah), sekolah umum dan agama lain.

    Hidayat menjelaskan, MPR sudah menghadirkan Konstitusi yang menjadi rujukan soal anggaran pendidikan yang sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN/APBD, itulah amanat UUD NRI Tahun 1945 pasal 31 ayat (4).

    Pasal itu menyebutkan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

    Dan pada pasal 31 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

    Kemudian dilanjutkan dengan ayat 5, yang berbunyi, pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

    Secara eksplisit disebutnya “iman takwa dan akhlak mulia” dan “agama”, menunjukkan pentingnya nilai-nilai tersebut, sehingga sudah semestinya diberlakukan anggaran yang adil dan tidak diskriminatif.

    Lalu, UUD NRI Tahun 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 ditegaskan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Tanpa membedakan antara sekolah-sekolah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kementerian Agama (Kemenag).

    “UUD jelas tidak menginginkan adanya ketidakadilan anggaran dan diskriminasi anggaran untuk pendidikan nasional baik yang berada dibawah Kemendikbud maupun Kemenag,” ujar anggota Komisi VIII DPR ini.

    Hidayat juga mengingatkan soal Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren (Dana Abadi Pesantren) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo sebagai aturan lanjutan dari UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

    “Dana Abadi Pesantren ini agar diwujudkan. Jangan hanya menjadi Perpres kosong saja. Jangan hanya menjadi Perpres yang tidak ada pelaksanannya karena sampai hari ini masih 0 rupiah. Padahal Perpres itu ditandatangani tahun 2021,” tandasnya.

    Menurut Hidayat, bila Perpres Nomor 82 Tahun 2021 itu dilaksanakan maka bisa mewujudkan kesejahteraan tenaga kependidikan, meningkatkan kualitas pendidikan, kesinambungan dunia pendidikan pesantren dan keagamaan.

    “Karena sudah berbentuk Perpres, jadi bukan sekadar janji, tapi janji yang sudah menjadi keputusan yang ditandatangani, maka kalau Perpres itu bisa dilaksanakan, saya berharap soal kesejahteraan, kualitas pendidikan, kesinambungan dunia pendidikan pesantren dan keagamaan, akan bisa diwujudkan,” tambahnya.

    Hidayat juga menyampaikan perjuangan di DPR agar Madrasah tidak dihapus dari revisi RUU Sisdiknas yang mendapat perhatian dari Kemendikbud sehingga madrasah tidak jadi dikeluarkan dari UU.

    Hidayat juga menerima aspirasi dan masukan dari peserta serta kegalauan mereka soal masa depan pendidikan agama. HNW menjamin tidak akan terjadi syarat mendapatkan kesetaraan (dengan pendidikan umum) akan membuat pendidikan agama digabung ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

    “Kami sudah berkali-kali menegaskan bahwa pendidikan agama, pendidikan keagamaan, tetap berada di Kementerian Agama. Sedangkan pendidikan umum silakan ada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” pungkasnya.(RMID)

  • Lestari: Segera Bikin Panduan Keterbukaan Penerimaan Mahasiswa Jalur Mandiri

    Lestari: Segera Bikin Panduan Keterbukaan Penerimaan Mahasiswa Jalur Mandiri

    JAKARTA, BANPOS – Upaya menegakkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas dalam penerimaan mahasiswa jalur mandiri harus segera dilakukan untuk menekan sejumlah potensi penyimpangan.

    “Saran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) membuat semacam panduan untuk memastikan transparansi dalam penerimaan mahasiswa baru harus segera direalisasikan,” kata Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/8).

    Saran dari KPK kepada Kemendikbud Ristek agar ada panduan penerimaan mahasiswa jalur mandiri itu disampaikan Plt Juru Bicara KPK bidang pencegahan Ipi Maryati Kuding dalam keterangan pers pada Sabtu (27/8) pascaoperasi tangkap tangan terhadap Rektor Universitas Lampung (Unila) dan sejumlah anak buahnya, beberapa waktu lalu.

    Menurut Lestari, panduan yang mengatur agar proses penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri transparan dan akuntabel merupakan instrumen penting dalam upaya menekan potensi penyimpangan yang ada.

    Di sisi lain, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, pemahaman dan kepatuhan para penyelenggara pendidikan terhadap panduan tersebut juga tidak kalah penting.

    Rerie sangat berharap panduan penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri mampu menjadi acuan bagi para penyelenggara pendidikan dalam menghadirkan keterbukaan dan akuntabilitas dalam proses penerimaan mahasiswa baru.

    Keterlibatan para pemangku kepentingan dan masyarakat dalam menyusun panduan tersebut, jelas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, sangat diharapkan agar panduan itu dapat mengatasi sejumlah persoalan yang dihadapi dalam penerimaan mahasiswa jalur mandiri saat ini.

    Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu juga mengingatkan, selain panduan yang jelas dan mudah dipahami, kehadiran para penyelenggara pendidikan yang berintegritas juga sangat penting.

    Sehingga, tambah Rerie, para pemangku kepentingan dalam proses rekrutmen penyelenggara pendidikan harus mengedepankan nilai-nilai integritas dan moral yang tinggi.

    Dengan begitu, Rerie berharap proses penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri di masa datang bisa berlangsung lebih akuntabel dan transparan, sehingga mampu menghasilkan sarjana berwawasan luas serta berakhlak baik dan terpuji.(RMID)

  • Biaya Lidik-Sidik Kurang, Lapas Nggak Membludak

    Biaya Lidik-Sidik Kurang, Lapas Nggak Membludak

    JAKARTA, BANPOS – Senayan mendukung langkah kepolisian memaksimalkan penerapan restorative justice atau penyelesaian perkara melalui mediasi dalam menangani kasus pidana.

    Anggota Komisi III DPR Habiburokhman menilai, penerapan restorative justice berdampak positif pada penghematan anggaran di kepolisian. Pasalnya, biaya penyelidikan (lidik) dan penyidikan (sidik) tergolong sangat besar.

    “Semakin maksimalnya penerapan restorative justice dapat berdampak positif pada penghematan anggaran,” ujar Habiburokhman dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Polri, Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

    Habiburokhman mencontohkan langkah Polda Metro Jaya menangguhkan penahanan warga Pekanbaru, Riau Masril Ardi, yang mengunggah konten ‘Orang-Orang Pilihan Ferdy Sambo’ di TikTok.

    Langkah serupa bisa diterapkan untuk pengguna narkoba yang memenuhi 70 persen Lembaga Pemasyarakatan (LP).

    Anggota Komisi III Muhammad Nasir Djamil juga mendorong penegak hukum menerapkan keadilan restoratif dalam penanganan kasus hukum. Apalagi di setiap instansi sudah memiliki panduan menerapkan pendekatan ini.

    “Restorative justice sangat mendesak dimasukkan di dalam pembahasan revisi KUHP yang tengah dibahas Komisi III DPR bersama Pemerintah,” ujar Nasir.

    Revisi KUHP, lanjutnya, bertujuan memperkuat semangat keadilan restoratif. Sehingga, hukum yang diciptakan dapat memberikan manfaat dan keadilan tidak hanya bagi pelaku, juga korban dan masyarakat.

    “Kalau nanti KUHP disahkan, ini akan menjadi angin segar bagi upaya kita menyuburkan restorative justice,” harap politikus PKS ini.

    Namun Nasir mengingatkan, keadilan restoratif tidak bisa diterapkan sembarangan. Sebab, tidak semua perkara bisa diberlakukan keadilan restoratif. Perlu ada kriteria seperti memperhatikan usia pelaku, ancaman hukuman, hingga kerugian yang disebabkan pelaku.

    “Penerapan keadilan restoratif juga harus melalui asesmen yang dilakukan oleh aparat untuk memastikan bahwa perkara tersebut dapat diselesaikan tanpa hukuman penjara,” imbuhnya.

    Terpisah, Analis Kebijakan Madya bidang Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes Pitra A Ratulangi mengatakan, Polri telah menyelesaikan 15.811 perkara melalui mekanisme keadilan restoratif sejak 2021 hingga Juli 2022.

    Mekanisme ini dimungkinkan setelah ada Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Restorative Justice.

    Pitra menuturkan, sejak Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 terbit, terdapat 275.500 kasus tindak pidana. Dari jumlah itu, polisi menyelesaikan 170 ribu perkara, dan sebanyak 15.811 di antaranya melalui mekanisme keadilan restoratif.(RMID)

  • Konsisten Rawat Kepercayaan Publik Pada Institusi Negara

    Konsisten Rawat Kepercayaan Publik Pada Institusi Negara

    JAKARTA, BANPOS – Aspek kepercayaan publik kepada sejumlah institusi negara sedang menghadapi tantangan serius akibat terungkapnya kasus-kasus pelanggaran etika dan tindak pidana yang dilakukan oknum aparatur negara. Menurunnya kepercayaan terhadap institusi negara berpotensi menurunkan tingkat kepatuhan publik pada ketentuan hukum dan undang-undang (UU). Maka, demi terjaganya ketertiban umum, setiap pimpinan institusi negara hendaknya peduli dan konsisten merawat kepercayaan masyarakat.

    Sebelum tercorengnya citra institusi Polri akibat kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, publik juga sudah dibuat kecewa dengan terungkapnya kasus mafia tanah oleh sejumlah oknum di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kasus-kasus pelanggaran etika dan tindak pidana yang dilakukan atau melibatkan oknum aparatur negara pada sejumlah institusi negara mau tak mau memengaruhi sikap atau aspek kepercayaan masyarakat terhadap institusi bersangkutan. Apalagi jika perbuatan tercela itu dilakukan sekelompok oknum pada institusi negara yang berfungsi menegakkan hukum bagi terwujudnya ketertiban umum. Semua pihak pasti gelisah jika publik tidak lagi memercayai institusi penegak hukum.

    Berkait dengan persepsi publik terhadap institusi Polri misalnya, survei oleh Indikator Politik Indonesia menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri menurun tajam pada Agustus 2022, dibandingkan Mei 2022. Hasil survei Litbang Kompas pada 19-21 Juli 2022 menunjukkan bahwa persepsi publik yang negatif ini terbentuk setelah terungkapnya berbagai kasus pelanggaran etika oleh pejabat institusi tersebut.

    Memang, dalam konteks ini, tak terelakkan bahwa perhatian atau sorotan masyarakat saat ini lebih tertuju pada institusi Polri. Bisa dimaklumi karena Polri masih memeriksa pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Publik sangat antusias mengawal rangkaian proses penyelidikan hingga pemeriksaan para tersangka.

    Antusiasme publik mengawal kasus pembunuhan itu ternyata menjadi momentum untuk mengungkap kondisi riil internal Polri. Bocoran informasi dari internal Polri pun terus mengalir ke ruang publik. Gambaran riil terkini tentang internal Polri sudah diungkap Menko Polhukam Mahfud MD.

    Gambaran itu memberi penjelasan kepada publik tentang kerusakan hierarki pada institusi Polri, karena adanya Sub-Mabes Polri yang sangat berkuasa. Dan, kekuasaan yang digenggam sub-Mabes Polri itu digunakan untuk kegiatan melanggar hukum.

    Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyadari betul bahwa citra institusi Polri saat ini rendah. Kapolri menempatkan proses penyelesaian kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J–dan semua dampak ikutannya–sebagai pertaruhan marwah institusi yang dipimpinnya.

    Kecewa, sedih, dan prihatin tak hanya menyergap Kapolri serta jajaran pimpinan institusi Polri lainnya. Sebagian besar masyarakat pun sedih dan prihatin, karena Polri sebagai garda terdepan yang menjaga dan merawat ketertiban umum harus menghadapi masa-masa paling sulit saat ini.

    Namun, berlarut-larutnya kecewa, sedih, dan prihatin tidak akan menyelesaikan masalah. Di hadapan segenap elemen masyarakat, Polri dan BPN harus realistis; yakni, sedang menghadapi fakta tentang merosotnya kepercayaan publik. Maka, sambil menuntaskan penyelesaian kasus pelanggaran etika dan tindak pidana yang melibatkan oknum pada dua institusi itu, jajaran pimpinan Polri dan BPN pun hendaknya mulai menyiapkan program kerja pemulihan citra.

    Selain program kerja pemulihan citra, pimpinan institusi pun hendaknya berani memulihkan fungsi-fungsi dan wewenang yang melekat pada hierarki institusi. Bukan cerita baru kalau hierarki pada sejumlah institusi negara mengalami kerusakan karena adanya ‘raja kecil’, ‘menteri bayangan’ hingga ‘gubernur bayangan’ dan ‘ketua bayangan’.

    Pada era yang serba transparan sekarang ini, hierarki institusi hendaknya tidak lagi memberi ruang dan toleransi sekecil apa pun bagi kelompok internal yang ingin membangun kekuatan atau mengkudeta wewenang pimpinan institusi. Penyerahan dan distribusi wewenang pada hierarki institusi harus diterima, dipatuhi dan dijalankan tanpa syarat apa pun.

    Citra positif institusi, utamanya institusi penegak hukum, harus terjaga. Kredibilitas institusi harus terus dipupuk, karena citra yang positif menjadi faktor pendorong kepatuhan semua elemen masyarakat pada ketentuan hukum dan UU yang mengatur ketertiban umum.

    Sebaliknya, jika publik terus menerus dijejali informasi tentang perilaku tak terpuji oknum penegak hukum, kecenderungan ini sangat berbahaya. Citra negara-bangsa dan ketertiban umum menjadi taruhannya. Jangan sampai muncul kelompok-kelompok masyarakat yang berasumsi ‘boleh melanggar hukum, karena aparat penegak hukum juga melanggar hukum’.(RMID)

  • Lestari: Peningkatan Kesejahteraan Keluarga Dorong Akselerasi Pembangunan

    Lestari: Peningkatan Kesejahteraan Keluarga Dorong Akselerasi Pembangunan

    JAKARTA, BABNPOS – Upaya peningkatan kesejahteraan keluarga melalui sejumlah langkah peningkatan mutu kesehatan, pengetahuan dan keterampilan harus konsisten dilakukan untuk mengakselerasi proses pembangunan bangsa.

    “Sebagai bagian terkecil dari masyarakat, kondisi setiap keluarga dalam satu negara sangat menentukan dalam upaya membangun daya tahan bangsa. Kesejahteraan keluarga harus mendapatkan perhatian serius,” kata Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Selasa (23/8).

    Berdasarkan data yang dimiliki oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pada tahun 2015 angka perceraian di Indonesia ada sebanyak 350 ribu. Kemudian pada tahun 2018 mengalami kenaikan menjadi 450 ribu pasangan. Sedangkan angka perceraian di tahun 2021 melonjak menjadi 580 ribu pasangan.

    Catatan dari BKKBN tersebut, ujar Lestari, harus menjadi perhatian serius semua pihak di negeri ini bahwa kondisi yang semakin tidak menentu saat ini mulai berdampak pada peningkatan hancurnya ratusan ribu keluarga di Indonesia.

    Rerie, sapaan akrab Lestari, mendorong para pemangku kepentingan segera mengidentifikasi akar masalah peningkatan perceraian yang terjadi dan segera dirancang solusi yang dapat memperkuat keutuhan keluarga.

    “Apakah peningkatan angka perceraian itu dipicu masalah internal atau eksternal dari keluarga atau bahkan kedua faktor itu penyebabnya,” ujar Rerie.

    Kesiapan fisik dan mental pasangan yang akan membentuk sebuah keluarga, tambah Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, juga harus benar-benar dipersiapkan lewat sejumlah mekanisme, misalnya seperti bimbingan perkawinan pra nikah bagi calon pengantin di Kantor Urusan Agama.

    Selain itu, tegas Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, untuk meredam hantaman faktor eksternal upaya peningkatan kesehatan dan kesejahteraan keluarga harus konsisten dilakukan.

    Hantaman pandemi dalam dua tahun terakhir, ujar Rerie, memberi pelajaran bagi kita bahwa faktor eksternal sangat mempengaruhi kondisi setiap keluarga.

    Sehingga, tambahnya, berbagai upaya peningkatan daya tahan keluarga dari ancaman eksternal dan internal harus konsisten dan serius dilakukan. Karena, tegas Rerie, keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil yang berperan penting dalam proses pembangunan bangsa. (RMID)

  • Lestari: Peningkatan Kesejahteraan Keluarga Dorong Akselerasi Pembangunan

    Lestari: Peningkatan Kesejahteraan Keluarga Dorong Akselerasi Pembangunan

    JAKARTA, BANPOS – Upaya peningkatan kesejahteraan keluarga melalui sejumlah langkah peningkatan mutu kesehatan, pengetahuan dan keterampilan harus konsisten dilakukan untuk mengakselerasi proses pembangunan bangsa.

    “Sebagai bagian terkecil dari masyarakat, kondisi setiap keluarga dalam satu negara sangat menentukan dalam upaya membangun daya tahan bangsa. Kesejahteraan keluarga harus mendapatkan perhatian serius,” kata Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Selasa (23/8).

    Berdasarkan data yang dimiliki oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pada tahun 2015 angka perceraian di Indonesia ada sebanyak 350 ribu. Kemudian pada tahun 2018 mengalami kenaikan menjadi 450 ribu pasangan. Sedangkan angka perceraian di tahun 2021 melonjak menjadi 580 ribu pasangan.

    Catatan dari BKKBN tersebut, ujar Lestari, harus menjadi perhatian serius semua pihak di negeri ini bahwa kondisi yang semakin tidak menentu saat ini mulai berdampak pada peningkatan hancurnya ratusan ribu keluarga di Indonesia.

    Rerie, sapaan akrab Lestari, mendorong para pemangku kepentingan segera mengidentifikasi akar masalah peningkatan perceraian yang terjadi dan segera dirancang solusi yang dapat memperkuat keutuhan keluarga.

    “Apakah peningkatan angka perceraian itu dipicu masalah internal atau eksternal dari keluarga atau bahkan kedua faktor itu penyebabnya,” ujar Rerie.

    Kesiapan fisik dan mental pasangan yang akan membentuk sebuah keluarga, tambah Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, juga harus benar-benar dipersiapkan lewat sejumlah mekanisme, misalnya seperti bimbingan perkawinan pra nikah bagi calon pengantin di Kantor Urusan Agama.

    Selain itu, tegas Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, untuk meredam hantaman faktor eksternal upaya peningkatan kesehatan dan kesejahteraan keluarga harus konsisten dilakukan.

    Hantaman pandemi dalam dua tahun terakhir, ujar Rerie, memberi pelajaran bagi kita bahwa faktor eksternal sangat mempengaruhi kondisi setiap keluarga.

    Sehingga, tambahnya, berbagai upaya peningkatan daya tahan keluarga dari ancaman eksternal dan internal harus konsisten dan serius dilakukan. Karena, tegas Rerie, keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil yang berperan penting dalam proses pembangunan bangsa. (RMID)

  • alur PTN Mandiri, Hapus!

    alur PTN Mandiri, Hapus!

    JAKARTA, BANPOS – Senayan masih menyoroti kasus suap dalam penerimaan mahasiswa baru yang menimpa Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof. Dr. Karomani. Menguat desakan menghapus seleksi masuk perguruan tinggi melalui jalur mandiri.

    Anggota Komisi X DPR Nuroji tak heran ada rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tertangkap tangan menerima uang suap terkait penerimaan mahasiswa baru. Sebab, sudah cukup lama terdengar jalur mandiri ini kerap disalahgunakan oknum pejabat di PTN untuk mendapat keuntungan.

    “Kami sebetulnya sudah dengar lewat kabar burung, lewat angin sepoi-sepoi, cuma memang tidak bisa membuktikan. Jadi, ini rektor (Rektor Unila, red) cuma apes saja,” kata Nuroji di Gedung Parlemen, Jakarta, kemarin.

    Anggota Komisi X DPR Djohar Arifin Husin menyoroti ketimpangan anggaran belanja negara antara PTN dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Diharapkan, belanja tahun depan untuk PTS bisa ditingkatkan yang saat ini cuma 6 persen, menjadi 10 sampai 20 persen.

    “75 persen mahasiswa itu kan di PTS tapi anggarannya cuma 6 persen. Jadi 94 persen di PTN,” katanya.

    Karena itu, dia menilai menjadi rektor di PTN paling enak. Sebab, tidak dipusingkan dengan manajemen, masyarakat pun berlomba-lomba masuk ke PTN.

    Kontras dengan rektor di PTS yang justru setelah menjadi rektor harus mikir banyak hal. Mulai dari gaji dosen, gaji pegawai, listrik termasuk mahasiswa yang berminat masuk.

    “Jadi (rektor) PTN enak kali. Tidur pun mahasiswanya bisa datang. Dosen digaji negara dan bikin masalah pula lagi. Jadi seperti kata teman (Nuroji, red), sial saja ini. Praktiknya sudah maklum tapi tidak bisa nangkapnya, hal biasa ini,” ujarnya.

    Makanya, dia usul agar seleksi penerimaan mahasiswa melalui jalur mandiri ini dihentikan saja. Sehingga semua proses penerimaan dilakukan melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau UMPTN.

    “Kalau tidak bisa disetop, tesnya samakan dengan UMPTN. Samakan. Jatahnya, misalnya fakultas ekonomi 200 orang, selebihnya berapa mau diambil. Inilah yang jadi mandiri,” jelasnya.

    Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mendesak jalur mandiri PTN dihapus saja dan diganti dengan tes seleksi resmi yang bisa dilaksanakan bertahap dengan biaya semester progresif. Sehingga penerimaan mahasiswa ini jelas dan terukur.

    “Tidak terjadi lobi-lobi bawah tangan. Dan transparan penggunanya. Tak hanya di dalam penerimaan mahasiswa baru, namun juga dalam proses kelulusan, memperoleh gelar akademik, maupun dalam kenaikan pangkat di lingkungan PTN,” jelas Dede.

    Dede mengatakan, penerimaan mahasiswa jalur mandiri ini adalah kebijakan affirmasi kepada PTN untuk mahasiswa atau calon mahasiswa baru dengan kebutuhan khusus.

    Misalnya, dari daerah tertinggal, mahasiswa tidak mampu, atau terkendala persoalan lainnya. Namun, kebijakan ini tercoreng oleh oknum pejabat yang memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya.

    Anggota Komisi X DPR Putra Nababan meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim membuat sistem penerimaan mahasiswa jalur mandiri yang transparan dan melalui online yang tertata dengan baik.

    Sistem ini harus dimulai sejak proses seleksi, ujian, pengumuman mahasiswa yang lulus, pendaftaran ulang himgga proses pembayaran.

    Seluruhnya harus dibuat terang benderang untuk menghidari adanya oknum yang menyalahgunakan proses penerimaan jalur mandiri ini untuk kepentingan pribadi.

    “Ini harus cepat dan menjangkau 122 PTN di seluruh Indonesia. Jadi Mas Menteri, tolong segera bertindak demi Indonesia,” pintanya. (RMID)

  • Paripurna DPR Jadi Kampanye Capres

    Paripurna DPR Jadi Kampanye Capres

    JAKARTA, BANPOS – Rapat Paripurna DPR, kemarin, berubah jadi ajang kampanye capres. PDIP teriak Puan Maharani, Golkar teriak Airlangga Hartarto, dan Demokrat teriak AHY. Kelakuan DPR itu pun banjir kritikan.

    DPR menggelar Rapat Paripurna ke-2 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin. Rapat beragenda: pandangan umum fraksi terhadap Rancangan Undang-Undang APBN 2023 beserta Nota Keuangan.

    Rapat dibuka dan dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. “Menurut catatan dari Sekretariat Jenderal DPR daftar hadir pada permulaan rapat paripurna pada hari ini telah ditanda tangani 303 dari 575 anggota,” kata Dasco, saat membuka rapat.

    Dari unsur pemerintah hadir Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Dia langsung tampil ke mimbar untuk membacakan draf RUU APBN.

    Usai Sri Mul maju, para Fraksi di DPR memberikan tanggapan dan masukan untuk draf RUU APBN itu. Fraksi yang pertama memberikan tanggapan adalah PDIP. Banteng diwakili Abidin Fikri.

    Abidin menyampaikan semua masukan dan tanggapan fraksi PDIP terhadap draf RUU APBN. Usai berpidato, Abidin pun menyapa Ketua DPR, Puan Maharani yang duduk di kursi pimpinan.

    “Yang saya hormati Ketua DPR Ibu Puan Maharani saya selalu berdoa agar Ibu Puan Maharani menjadi Presiden Republik Indonesia. Hasbunallah wanikmal wakil nikmal maula wanikman nasir. Mbak Puan Presiden,” ujar Abidin.

    Mendengar ucapan Abidin itu bikin ramai suasana ruangan rapat. Seruan Puan presiden itu kemudian dijawab oleh anggota DPR Fraksi PDIP lainnya.

    Puan yang mendengar doa dan dukungan dari rekan separtainya itu hanya bisa tertawa merespons seruan itu.

    Tak mau kalah dengan Fraksi PDIP, Fraksi Partai Golkar yang diwakilkan Dave Akbarsyah juga ikut mengkampanyekan Airlangga Hartarto sebagai capres Partai Beringin itu usai memberikan pandangan fraksi terhadap draf RUU APBN.

    “Golkar Indonesia, Indonesia Golkar Airlangga Presiden,” kata Anggota Komisi I DPR itu. Ruang sidang pun ramai lagi.

    Fraksi Partai Demokrat juga melakukan hal yang sama. Demokrat menunjuk Irwan untuk membacakan pandangan umum terkait draf RUU APBN.

    Dalam pandangan fraksi, Demokrat menolak tegas rencana pemerintah menaikkan harga BBM karena masyarakat sedang susah. Namun, di akhir pidatonya, dia juga ikutan mengkampanyekan AHY sebagai capres.

    “Demokrat bersama rakyat, rakyat sedang susah, tolak kenaikan BBM, AHY presiden!” ujar Irwan. Isi ruang rapat paripurna pun riuh lagi.

    Rapat Paripurna diakhiri dengan persetujuan mayoritas fraksi untuk membawa RUU APBN 2023 beserta Nota Keuangan untuk pembahasan tingkat lanjut.

    Lalu apa kata pengamat soal kelakukan DPR? Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khairunnisa Nur Agustyati meminta, para politisi menahan diri. Sebab, belum saatnya berkampanye.

    “Kalau soal aturan memang tidak ada aturan yang jelas, karena sekarang belum ada peserta Pemilu. Tetapi menurut saya ini bisa diingatkan, bahwa belum waktunya untuk berkampanye,” pesan Khairunnisa, kemarin.

    Sementara, Founder lembaga survei KedaiKOPI, Hendri Satrio meminta, anggota DPR belajar menahan sikapnya. Artinya harus bisa memilih di mana waktu dan tempat yang pantas untuk melakukan aksi-aksi kampanye.

    Sebagai wakil rakyat, mereka harus belajar untuk menjadi negarawan. Salah satu yang harus dilalukan dengan memilih mana kepentingan yang harus diprioritaskan. Tidak melulu mengedepankan urusan partainya.

    “Jadi kepentingan golongan itu sebaiknya tidak di dalam ruang parlemen yang memang jadi ruang perwakilan rakyat. Silakan berkampanye, tapi di luar gedung DPR, dan tidak di agenda resmi parlemen,” ujar pengamat politik yang akrab disapa Hensat ini.

    Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin. Dia juga meminta para politisi Senayan menjunjung tinggi etika. Karena kemarin yang tengah berlangsung Rapat Paripurna, bukan waktu berkampanye.

    “Jangan agendanya A malah yang dilakuin agenda B. Ibaratnya, kira-kira mereka ini menyelam sambil minum air. Sambil Rapat Paripurna, sambil mempromosikan capresnya masing-masing,” sindir Ujang.

    Ia meminta politisi DPR menjaga marwah wakil rakyat, dengan memahami kerja-kerja kedewanan. Sebab, dengan perkembangan teknologi saat ini, rakyat bisa menantau langsung tindak-tanduk anggota DPR.

    “Agar mereka tidak dilihat oleh rakyat memanfaatkan situasi. Mereka harus bekerja profesional sebagai wakil rakyat,” pungkas Ujang. (RMID)

  • HNW Ingatkan Pentingnya Siaran Pemberitaan Yang Sehat

    HNW Ingatkan Pentingnya Siaran Pemberitaan Yang Sehat

    JAKARTA, BANPOS – Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid diminta menjadi keynote speaker dalam acara Diskusi dan Deklarasi Pembentukan Masyarakat Peduli Penyiaran. Acara yang digelar atas kerja sama antara KPID Jakarta dan Universitas Al Azhar Indonesia berlangsung, Senin (22/2).

    Dalam kesempatan itu, HNW sapaan akrabnya mengapresiasi kerja sama ini karena pengawasan terhadap berita tidak lagi diperlukan hanya terhadap TV maupun Radio, tetapi seharusnya juga perlu diberikan kewenangan untuk menjamah media sosial sekaligus penguatannya.

    Pasalnya, saat ini berkembang fenomena dimana media sosial juga dapat dimanfatkan untuk mengkoreksi pemberitaan yang dilakukan oleh media mainstream, seperti TV dan Radio.

    HNW memaparkan pentingnya media untuk mempraktekkan dengan disiplin kode etik jurnalistik, agar selalu menghadirkan siaran pemberitaan yang sehat karena rakyat Indonesia sudah semakin cerdas dalam menyikapi peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat.

    “Apalagi saat sudah memasuki tahun-tahun politik yang sangat sensitif terkait dengan penyebaran berita yang benar maupun yang hoax, agar tidak terulang pembelahan Bangsa karena Pilpres sebagaimana pada Pilpres 2019 akibat dari berita yang membelah yang tidak diawasi dan diberikan sanksi yang menjerakan,” kata HNW dalam keterangannya, Rabu (24/8).

    Dia menjelaskan, salah satu contoh yang bisa menjadi bahan pembelajaran soal pemberitaan yang bermasalah adalah kasus kematian Brigadir J.

    “Kalau diikuti dari siaran pemberitaan awal, seolah-olah yang bersalah adalah Brigadir J. Ada kejahatan seksual. Lalu, ada blaming terhadap korban,” ujarnya.

    Namun, belakangan terbukti siaran pemberitaan tersebut salah dan berasal dari sumber yang berbohong.

    “Hal ini terbongkar setelah masyarakat atau netizen gaduh dan pengacaranya bersikukuh karena melihat banyaknya kejanggalan,” tuturnya.

    HNW menambahkan, seharusnya KPID terus meluaskan pengawasannya agar jurnalis media lebih profesional tidak hanya sekadar mengutip pernyataan dari sumber yang ada, tetapi melakukan investigasi yang memadai untuk menghadirkan siaran berita yang baik dan benar kepada masyarakat.

    “Ini bagian penting untuk kita berhati-hati semua. Siaran yang sehat dan cerdas untuk masyarakat harus terus berupaya dihadirkan, karena rakyat yang makin kritis dan cerdas akan menghukum media atau pemberitaan yang justru membodohi rakyat dengan menyebarkan berita bohong atau partisan,” tukasnya.

    Karenanya, HNW mengapresiasi sikap masyarakat yang bisa mengkritisi informasi melalui sosial media dan mengoreksi pemberitaan media mainstream yang tidak tepat.

    Oleh karenanya, media juga harus terus bisa berbenah diri, apalagi di tahun-tahun politik, agar media benar-benar diawasi agar bisa menjadi pilar demokrasi dan tidak malah dibiarkan partisan condong menjadi juru kampanye bagi pihak tertentu dengan mengambil alih hak rakyat untuk mendapat berita yang benar dan seimbang.

    HNW berharap para pemangku kepentingan, termasuk Komisi Penyiaran Indonesia baik di tingkat pusat dan daerah agar dapat meningkatkan kinerja dan kolaborasi kampus maupun pihak-pihak lainnya guna mengawasi siaran pemberitaan yang tidak berpihak kepada kebenaran dan kemanfaatan yang diperlukan oleh masyarakat.

    Apalagi, ketentuan soal hal tersebut dituangkan ke dalam Pasal 28F UUD NRI 1945. Yaitu setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

    “Dari ketentuan tersebut, kita perlu memahami bahwa memperoleh informasi yang sehat melalui siaran pemberitaan merupakan hak dasar rakyat yang dijamin oleh konstitusi dan dipenuhi oleh negara, karenanya mengawasinya menjadi kewajiban bagi pemenuhan HAM yang dijamu oleh UUDNRI 1945,” pungkasnya. (RMID)

  • Syarief Hasan: BBM Naik, Daya Beli Rakyat Semakin Melemah

    Syarief Hasan: BBM Naik, Daya Beli Rakyat Semakin Melemah

    JAKARTA, BANPOS – Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan menyoroti rencana pemerintah menaikkan harga BBM subsidi jenis pertalite. Rencana ini dinilai janggal di tengah klaim pemerintah yang menyatakan APBN surplus sepanjang semester I 2022.

    Kementerian Keuangan merilis pada semester I 2022, APBN surplus Rp 73,6 triliun, atau pendapatan negara sepanjang paruh pertama tahun ini mencapai Rp 1.317,2 triliun, naik signifikan ketimbang belanja negara yang baru terealisasi Rp 1.243,6 triliun.

    Ini menunjukkan bahwa penerimaan negara jauh lebih besar dibandingkan belanja negara. Jika melihat proporsi penerimaan negara, dengan kenaikan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 281 triliun pada semester I 2022 (tumbuh 35,8 persen), sektor hulu migas menyumbang Rp 140 triliun.

    “Artinya, negara juga mendapatkan untung dari naiknya harga energi. Oleh karena itu, rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi jelas suatu kejanggalan. Padahal BBM bersubsidi punya efek domino yang dapat mengerek inflasi. Jika harga BBM naik, harga barang-barang juga akan ikut naik, daya beli rakyat melemah. Ini harusnya dipikirkan oleh pemerintah,” tandas Politisi Senior Partai Demokrat ini dalam keterangannya, Rabu (24/8).

    Lebih lanjut, Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini mencatat subsidi BBM bukanlah hal baru dan lazim dilakukan oleh berbagai pemerintahan. Sebagai bahan pokok dan strategis, subsidi BBM jelas intervensi negara dalam menjaga stabilitas kebutuhan mendasar rakyat. Ini bentuk kehadiran negara dalam memastikan ketercukupan dan keterjangkauan kebutuhan pokok.

    Karena itu, jika subsidi dicabut, sama saja negara menyerahkan hajat hidup rakyat pada mekanisme pasar. Subsidi, kata Syarief, adalah ejawantah dari negara kesejahteraan (welfare state) guna memastikan perlindungan ekonomi dan sosial rakyat. Menurut Syarief, membahas subsidi harus beranjak dari cara dan tujuan bernegara.

    Dikatakan, jika sepakat bahwa negara mesti melindungi segenap warganya, memastikan ketercukupan dan keterjangkauan kebutuhan pokok, mestinya tidak ada yang keliru dengan subsidi. Tugas pemerintah memastikan anggaran negara teralokasi dengan tujuan mensejahterakan rakyatnya.

    Jika kebutuhan mendasar rakyat dipinggirkan oleh program ambisius, mercusuar, dan minim kebermanfaatan, tentu ada yang salah dengan logika berpikir pemerintah. Kalau negara hanya gemerlap infrastruktur, namun rakyatnya kelaparan, untuk siapa pembangunan dilaksanakan?

    “Rencana menaikkan harga pertalite adalah logika yang janggal dan keliru. Selain karena pemerintah juga menikmati manfaat dari naiknya harga energi, yang artinya penerimaan negara ikut melonjak, mencabut atau mengurangi subsidi berarti merampas kesejahteraan rakyat,” tegasnya.

    Jika pemerintah tetap memaksakan kehendaknya, inflasi jelas akan semakin tidak terkendali. Padahal pemerintah sangat mungkin melakukan realokasi fiskal, proyek-proyek mercusuar yang menyita dana negara dapat ditangguhkan dulu.

    “Bahkan pengerjaannya dapat dievaluasi. Ini adalah perkara keberpihakan dan kehendak politik belaka,” tutup Syarief. (RMID)