JAKARTA, BANPOS-Presiden Jokowi hati-hati betul menyikapi wacana perlunya harga BBM subsidi dinaikkan untuk menyehatkan APBN. Banyak pertimbangan yang ada di pikiran Jokowi. Salah satunya, jangan sampai daya beli rakyat turun kalau harga BBM itu dinaikkan.
Dua pekan terakhir, rakyat dibikin cemas dengan isu kenaikan harga BBM jenis Solar dan Pertalite. Bagaimana tidak, hampir semua menteri ekonomi Jokowi, bicara soal opsi menaikkan harga BBM. Opsi ini dipilih lantaran APBN terancam jebol jika harus menambah subsidi yang tahun ini saja sudah mencapai Rp 502 triliun.
Sebelumnya, Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan memberi sinyal kenaikan harga BBM akan dilakukan dalam waktu dekat. Kata dia, Jokowi mungkin akan mengumumkannya pekan ini.
Lalu bagaimana tanggapan Jokowi? Benarkah pemerintah akan menaikkan harga BBM? Eks Wali Kota Solo itu bicara diplomatis. Kata Jokowi, kenaikan harga BBM akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Semuanya harus diputuskan secara hati-hati. Harus dikalkulasikan betul dampaknya.
“Jangan sampai dampaknya menurunkan daya beli rakyat, menurunkan konsumsi rumah tangga,” kata Jokowi, usai meninjau progres renovasi Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta, kemarin.
Selain itu, sambung Jokowi, jangan sampai kenaikan harga BBM juga bikin inflasi naik yang ujungnya menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Jadi, opsi mana yang akan diambil? Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan, sudah memerintahkan anak buahnya menghitung secara detail sebelum mengambil keputusan.
Di tempat terpisah, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan, persoalan yang dihadapi pemerintah memang pelik. Subsidi yang digelontorkan pemerintah sebesar Rp 502 triliun diperkirakan tak cukup hingga akhir tahun.
Anggaran subsidi perlu ditambah lagi hingga Rp 198 triliun agar BBM tak naik. Anggaran segitu hanya untuk subsidi BBM jenis Pertalite dan Solar. Belum mencakup subsidi untuk gas LPG 3 kilogram dan tarif listrik.
Sri Mul mengatakan, sudah punya tiga opsi menghadapi persoalan ini. Ketiga opsi itu adalah menambah anggaran subsidi, melakukan pembatasan BBM, dan yang terakhir menaikkan harga BBM. “Tiga-tiganya nggak enak,” kata Sri Mul, dalam rapat kerja Badan Anggaran DPR, di Jakarta, kemarin.
Kalau opsi pertama dipilih, jelas APBN akan sangat berat. Soalnya, subsidi BBM sudah naik tiga kali lipat dari yang sebelumnya dianggarkan. Jika ditambah, total subsidi BBM akan mencapai Rp 700 triliun.
Lalu opsi mana yang akan diambil? Kata dia, pemerintah sedang menghitung dampak dari ketiga opsi itu. “Para menteri sekarang saling koordinasi, semua sedang diminta untuk terus membuat exercise,” ujarnya.
Bagaimana sikap Pertamina? Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati menegaskan, Pertamina akan terus melakukan pengawasan agar penyaluran BBM subsidi bisa dinikmati masyarakat. Ia akan menindak SPBU yang melakukan penyelundupan BBM bersubsidi.
SPBU yang melanggar akan diberikan sanksi tegas. Adapun sanksi yang akan diberikan adalah penghentian pasokan BBM hingga penutupan SPBU jika terbukti bersalah.
Menurut Nicke, modus paling banyak penyelewengan BBM subsidi adalah melakukan penimbunan dan penyelundupan. Selain itu, pembelian BBM subsidi dengan jeriken tanpa izin untuk dijual kembali, dan penjualan BBM bersubsidi untuk pelaku industri.
DPR menanggapi riuh isu ini. Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin menolak kenaikan harga BBM. Kata dia, inflasi tahun ini bisa meroket kalau harga BBM naik.
Dia menjelaskan, inflasi yang tinggi akan menyebabkan turunnya daya beli masyarakat, serta menciptakan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan.
Menurut Didi, kenaikan harga BBM tak hanya berdampak pada ekonomi. Namun, juga aspek sosial. Pengangguran akan meningkat begitu juga dengan kemiskinan, serta menganggu pemulihan daya beli.
“Tentu ini akan semakin memberatkan kehidupan masyarakat pasca pandemi,” kata Didi, dalam keterangan, kepada Rakyat Merdeka, tadi malam.
Wakil Ketua Fraksi PKS di DPR, Mulyanto juga menolak, opsi kenaikan harga BBM. Kata dia, ekonomi rakyat saat ini belum pulih benar usai dihantam pandemi. Kalau BBM naik, inflasi akan makin tinggi.
Saat ini saja, kata dia, inflasi sudah 4,94 persen. Angka ini merupakan inflasi tertinggi sejak tujuh tahun yang lalu. Inflasi untuk kelompok makanan bahkan sudah mencapai 11 persen.
“Kalau harga BBM bersubsidi dinaikkan, ini dapat dipastikan inflasi sektor makanan akan makin meroket. Tentu saja, ini akan menggerus daya beli masyarakat, dan tingkat kemiskinan akan semakin meningkat,” kata Mulyanto saat melakukan interupsi pada Rapat Paripurna DPR, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, kemarin.
Anggota Komisi VII DPR ini mengatakan harga minyak dunia sebenarnya sudah turun sejak beberapa bulan terakhir. oopSejak Juni 2022, harga minyak terus turun, dari 140 dolar AS per barel menjadi sebesar 90 dolar AS per barel. “Jadi, urgensi kenaikan harga BBM bersubsidi sudah kehilangan makna,” ucapnya.
Dia minta para menteri yang tak terkait dengan bidang energi stop bicara soal kenaikan harga BBM. Kata dia, omongan para menteri hanya bikin rakyat resah. Kata dia, isu kenaikan BBM sangat sensitif. Harus dikomunikasikan menteri kompeten dan yang berwenang agar tidak simpang siur.
“Mohon para menteri dapat menahan diri. Tidak usah bikin gaduh. Pasalnya ini membuat masyarakat resah di tengah tingginya harga bahan pangan sekarang ini,” pinta Mulyanto.
Lalu apa kata pengamat? Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan, opsi menaikkan harga BBM saat ini bukan langkah yang tepat. Kenaikan harga Pertalite ke kisaran Rp 10 ribu misalnya, diprediksi akan membuat laju inflasi meloncat hingga 6,5 persen.
Dengan inflasi setinggi itu, kata dia, sudah pasti daya beli dan konsumsi masyarakat akan memburuk. Ujungnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi yang sudah mencapai 5,4 persen.
“Agar momentum pencapaian ekonomi itu tidak terganggu. Pemerintah sebaiknya jangan menaikkan harga Pertalite dan Solar pada tahun ini,” kata Fahmy, kemarin.
Kata dia, solusi terbaik saat ini adalah memaksimalkan pembatasan agar BBM bersubsidi tepat sasaran. Pasalnya, masih banyak penyelendupan BBM bersubsidi. (RMID)