JAKARTA, BANPOS – Kondisi pendidikan di Indonesia dirasa masih belum ideal. Mulai dari segi kebijakan, perencanaan, penganggaran, hingga pelaksanaan ditingkat lembaga pendidikan. Bahkan disebutkan bahwa secara standar internasional, Indonesia sudah mengalami kondisi surplus guru.
Hal tersebut menyeruak dalam seminar nasional daring yang dilaksanakan oleh Ikatan Mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah se-Indonesia (Imadiklus) dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2020.
Guru besar Universitas Negeri Jakarta, Hafid Abbas memaparkan, adanya beberapa kebijakan yang tidak sinkron dengan hasil yang diharapkan. Dengan berdasarkan hal tersebut, ia merasa kondisi ini akan mengancam dunia pendidikan kedepannya.
Ia memberi contoh, besarnya anggaran pendidikan, akan tetapi dirasa justru mutu pendidikan semakin merosot.
“Kedua, meningkatnya anggaran sertifikasi guru tapi dampaknya terhadap dunia pendidikan belum terlihat,” paparnya.
Ia juga mengklaim, jumlah guru di Indonesia secara standar internasional sudah dapat dinyatakan surplus, atau berlebih.
“Selain itu, masih ada 88.8 persen dari sekitar 220 ribu sekolah SD hingga SMA/SMK yang belum melewati standar minimal dan hanya 0.65 persen yang berstandar Internasional,” jelas Ketua Senat UNJ tersebut.
Mantan Ketua Komnas HAM ini menegaskan, hal yang harus pertama kali dibenahi adalah terkait standar pendidikan yang dirasa menjadi induk masalah carut marutnya dunia pendidikan saat ini.
Selain itu, ia menuding bahwa pendidikan terus terbelenggu dalam intervensi politik, baik di pusat maupun di daerah. Hal ini dikarenakan, profesionalisme beberapa pimpinan yang mengurusi bidang pendidikan diragukan. Baik dari latar belakang secara akademis, maupun rekam jejaknya.
“Misalnya ada Kepala Dinas Pendidikan yang berasal dari urusan pemakaman, ada pula dari urusan pasar, dan sebagainya. Ini bertentangan dengan Konvensi UNESCO dan ILO (1966) yang mensyaratkan bahwa urusan pendidikan diprioritaskan kepada mereka yang mengerti pendidikan dan berpengalaman menjadi guru,” terangnya.
Menurutnya, kondisi tersebut juga terlihat di jenjang pendidikan tinggi. Diantara 4.715 institusi pendidikan tinggi di seluruh Indonesia, hanya 96 PT yang berakreditasi A. Sehingga menurutnya, hal ini menyebabkan kebijakan kampus merdeka dan merdeka belajar menjadi sulit diterapkan.
“Semestinya, kebijakan merdeka belajar dan kampus merdeka dilakukan jika, seluruh sekolah dan seluruh perguruan tinggi sudah melewati standar minimal. Inilah tugas kementerian untuk bekerja semaksimalnya dengan anggaran yang ada untuk meingkatkan standar akreditasi tersebut,” terangnya.
Dalam seminar tersebut, Hafid juga mengungkapkan bahwa sebaiknya setiap kebijakan yang diambil oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dilakukan penelitian ilmiah terlebih dahulu, agar dapat berbasis bukti (evidence base).
“Tanpa penelitian itu, kebijakan yang diambil sama seperti mengobati pasien tanpa mengerti penyakitnya,” tandasnya.(PBN)