SERANG, BANPOS – Organisasi Gerakan Monitoring Kebijakan Publik (GMKP) menilai pengangkatan Muhtarom sebagai Plt Sekda Provinsi Banten merupakan perbuatan melawan hukum dan berpotensi menimbulkan kerugian keuangan daerah. Pasalnya, pengangkatan Muhtarom disebut melanggar berbagai aturan perundang-undangan. Sebab itu, pihaknya mendesak agar DPRD menggunakan hak angket terkait permasalahan tersebut.
Ketua GMKP, Nanang Sunarto, mengatakan bahwa polemik jabatan Sekda Banten yang dijabat Al Muktabar bermula pada saat Al Muktabar mengajukan permohonan mutasi kepada Gubernur Banten pada bulan Agustus 2021.
“Permohonan tersebut disetujui dan ditandatangan dalam surat oleh Gubernur pada Tanggal 24 Agustus 2021. Selain permohonan mutasi, Al Muktabar juga mengajukan permohonan cuti selama 15 hari,” ujarnya dalam rilis yang diterima BANPOS, Rabu (22/12).
Permohonan mutasi dan cuti Al Muktabar tersebut menurutnya, justru ditafsirkan sebagai pengunduran diri oleh Gubernur Banten, hingga Gubernur menyampaikan usulan pemberhentian Al Muktabar dari jabatan Sekda Provinsi Banten kepada Presiden melalui Mendagri.
“(Usulannya) yang sampai saat ini belum jelas apakah presiden menyetujui usulan pemberhentian yang disampaikan oleh Gubernur Banten Wahidin Halim tersebut,” katanya.
Dengan adanya kekosongan jabatan Sekda dan belum adanya surat dari Presiden atas usulan pemberhentian Al Muktabar, Gubernur Banten menunjuk Inspektur Provinsi Banten Muhtarom sebagai Plt Sekretaris Daerah. Penunjukkan itu dilakukan sebelum habis masa cuti Al Muktabar.
“Masa jabatan Muhtarom sebagai Plt Sekretaris Daerah telah berakhir pada tanggal 24 November 2021 (selama 3 bulan). Karena belum adanya persetujuan menteri dalam negeri, maka jabatan Muhtarom sebagai Plt Sekda hanya selama 3 bulan saja dan tidak dapat diperpanjang lagi,” ungkapnya.
Menurut Nanang, apabila ternyata benar Al Muktabar hanya mengajukan permohonan mutasi dan cuti, serta tidak pernah mengajukan atau membuat surat pengunduran diri, maka Gubernur Banten tidak bisa membuat keputusan untuk menunjuk Muhtarom sebagai Plt Sekda sebelum masa cuti berakhir.
“Selain itu, jika Gubernur menganggap terdapat kekosongan jabatan Sekda, maka berdasarkan Perpres nomor 3 tahun 2018 tentang Penjabat Sekda, seharusnya Gubernur menunjuk pelaksana harian selama Al Muktabar sebagai Sekda tidak bisa melaksanakan tugasnya karena cuti 15 hari, dan atau proses penerbitan keputusan pemberhentian sekretaris daerah kurang dari 7 (tujuh) hari kerja dan/atau pengangkatan penjabat sekretaris daerah,” terangnya.
Rencana Gubernur Banten untuk melakukan Open Bidding jabatan Sekda pun hingga saat ini belum jelas, mengingat belum adanya kejelasan atas surat permohonan pemberhentian Al Muktabar sebagai Sekda kepada Presiden, yang memiliki kewenangan untuk melantik dan memberhentikan Sekda.
“Dengan alasan apapun, Al Muktabar masih sah sebagai Sekda Banten definitif sebelum adanya surat keputusan pemberhentian dari Presiden. Apalagi jika ternyata Al Muktabar tidak pernah membuat atau menandatangani surat pengunduran diri sebagai Sekda Banten,” katanya.
Dengan diangkatnya Muhtarom sebagai Sekda Provinsi Banten, berdampak pada bertambahnya pos belanja pada APBD untuk membayar Muhtarom sebagai Plt Sekda, dan beberapa biaya lainnya serta konsekuensi terkait keuangan lainnya.
“Maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 1 tahun 2004, semua akibat yang terkait dengan keuangan tersebut, termasuk kategori kerugian daerah. Maka semua pihak yang terlibat dalam penyusunan Keputusan Gubernur patut diduga secara bersama-sama menyebabkan kerugian keuangan daerah,” tegasnya.
Apalagi diketahui, Muhtarom saat ini selain menjabat sebagai Kepala Inspektorat, juga mengemban jabatan sebagai Komisaris BUMD Agribisnis Banten Mandiri. Di sisi lain, jabatan ketua Baperjakat dan Ketua TAPD Provinsi Banten pun melekat pada Muhtarom lantaran bertindak sebagai Plt Sekda.
Hal ini menurutnya menimbulkan berbagai macam permasalahan dalam penyelenggaraan roda pemerintahan Provinsi Banten. Seperti persoalan pelantikan beberapa pejabat di lingkungan Pemprov Banten oleh Muhtarom, yang menurutnya patut dipertanyakan keabsahannya.
“Apakah Muhtarom memiliki kewenangan untuk melakukan pelantikan, sementara Al Muktabar masih menjabat sebagai Sekda definitif dan apakah pejabat yang telah dilantik oleh Muhtarom sah secara hukum,” ujarnya.
Sebagai ketua TAPD yang melekat pada jabatan Sekda, Muhtarom juga dinilai tidak memiliki kapasitas untuk dapat memproyeksikan pendapatan Pemprov Banten pada APBD Perubahan 2021. Hal itu berdampak pada kosongnya Kas Daerah (Kasda).
“Kekosongan Kasda juga berpengaruh pada terlambatnya pembayaran tunjangan kinerja (tukin) yang seharusnya dibayarkan setiap bulan pada tanggal 10, tapi sampai saat ini ASN Pemprov Banten belum menerima pembayaran tukin tersebut,” tegasnya.
Ia pun meminta agar DPRD Provinsi Banten dapat lebih optimal melakukan fungsi pengawasan atas kebijakan dan keputusan Gubernur Banten tentang tentang pembebasan sementara Al Muktabar dari jabatan Sekda dan pengangkatan Muhtarom sebagai Plt Sekda.
Apalagi dinamika dan ekses yang terjadi menurutnya telah berdampak luas pada penyelenggaran pemerintahan Provinsi Banten dan telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Bahkan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan berpotensi merugikan keuangan daerah.
“Sehingga sudah selayaknya DPRD Provinsi Banten untuk dapat menggunakan Hak Angket kepada Gubernur atas kebijakan yang diduga atau telah bertentangan dengan perundang-undangan,” tandasnya.(DZH/PBN)