Undang-Undang 8 / 2015 Banyak di Judicial Review
ACHMADUDIN rajab dalam jurnal hukum & pembangunan 47 No. 3 (2016) : 196-213 dalam “Tinjauan Hukum Eksistensi Dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 Setelah 25 kali Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Pada Tahun 2015” : UU 8/2015 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 1/2015), keduanya adalah UU Pilkada yang dijadikan sebagai dasar hukum pelaksanaan Pilkada serentak pada tanggal 9 Desember 2015. UU 8/2015 ini merupakan perubahan dari UU 1/2015 yang lahir dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu 1/2014). Adapun Perppu 1/2014 ini lahir seminggu setelah pada Paripurna tanggal 26 September 2014 disetujui bersama UU Pilkada yang mengatur pemilihan secara tidak langsung yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU 22/2014). Dinamika politik yang terjadi antara pembentukan UU 22/2014, UU 1/2015, hingga UU 8/2015 juga dipisahkan dari dampak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 97/PUU-XI/2013 yang membawa angin revolusi bagi Pilkada yang dipisahkan dari rezim Pemilu.
Dalam perkembangannya UU 8/2015 dilengkapi oleh peraturan teknis yang dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), terkait pencalonan yang seringkali menimbulkan permasalahan KPU menghadirkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota (PKPU 9/2015) dan perubahannya yakni Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2015 (PKPU 12/2015).
Bahkan dalam rangka menyikapi Putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015 mengenai pasangan calon tunggal, KPU pun menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Dengan Satu Pasangan Calon (PKPU 14/2015).
Sejak UU 8/2015 berlaku telah terdapat 25 gugatan pengujian UU 8/2015 terhadap UUD NRI Tahun 1945 (judicial review) di MK. Tentunya banyaknya pengajuan judical review di MK ini merupakan fenomena yang menarik untuk didalami dan dikaji.
Tiap perkara tersebut pun memiliki kharakteristik tertentu dan beberapa diantaranya mendapatkan reaksi yang beragam di masyarakat ketika terbitnya putusan tersebut, seperti misalnya dalam putusan dalam Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015 terkait dengan pembatalan norma yang semula membatasi dinasti politik, putusan dalam Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang menghasilkan putusan yang memiliki pemaknaan sedikit berbeda dengan putusan MK sebelumnya yakni Putusan No. 4/PUU-VII/2009, bahkan yang terakhir Perkara Nomor 100/PUU-XIII/2015 yang menjawab mengenai polemik hanya terdapatnya 1 pasangan calon di suatu daerah yang menyelenggarakan Pilkada.
53 Persen Daerah Melakukan Pemilu Kada Tahun 2015
Dalam liputan6.com, 17 April 2015 “KPU Resmikan Pelaksanaan Pilkada Serentak 2015” : Komisi Pemilihan Umum (KPU) meresmikan pelaksanaan pemiihan umum kepala daerah (pilkada) secara serentak pada 2015. Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan, pilkada serentak ini menjadi penting dan sebagai momen bersejarah bagi Indonesia. “Launching pilkada serentak ini penting bagi kita, karena jadi momentum bangsa kita untuk memilih kepala daerah secara masif yang terorganisir dan terstruktur,” ujar Husni dalam pidato peresmian pilkada serentak di Kantor KPU Pusat, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (17/4/2015).
Husni mengatakan, Pilkada serentak gelombang pertama akan dilaksanakan pada 9 Desember 2015. Gelombang ini untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memasuki akhir masa jabatan (AMJ) 2015 dan semester pertama 2016. Kemudian gelombang kedua dilakukan pada Februari 2016 untuk AMJ semester kedua tahun 2016 dan seluruh daerah yang AMJ jatuh pada 2017. “Sedangkan gelombang ketiga dilaksanakan pada Juni 2018 untuk yang AMJ tahun 2018 dan AMJ tahun 2019,” ucap Husni.
Husni menambahkan, model pemilihan serentak ini merupakan yang pertama kali di Indonesia, bahkan di dunia. Indonesia harus dicatat dalam sejarah demokrasi dunia karena tercatat ada 269 daerah terdiri atas 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten yang serentak memilih kepala daerah. Artinya, sekitar 53 persen dari total 537 jumlah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia akan melaksanakan pilkada serentak gelombang pertama.
Hal-hal Yang Baru Dalam Pemilihan GBW Tahun 2015
Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Malik, menyatakan ada banyak hal baru lainnya dalam pilkada serentak kali ini. Mulai dari uraian kegiatan maupun jadwal atau tahapannya. Secara dasar hukum juga ada yang baru. Mulai dari UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, Peraturan KPU dari Nomor 2 sampai Nomor 12, dan Putusan MK Nomor 100/PUU-XII/2015 tentang Pilkada dengan Pasangan Tunggal yang kemudian diatur dalam PKPU Nomor 14.
Berikut beberapa hal baru dalam pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota tahun 2015 :
1. Pemilih harus punya KTP Elektronik (e-KTP)
Surat domisili ataupun KTP manual, tak akan diterima sebagai identitas pemilih. Hanya KTP elektronik (e-KTP) yang diakui sebagai identitas resmi. Menurut Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh, Surat Keterangan Domisili bukanlah kartu identitas diri. Maka, pemegang kartu ini tidak serta merta mempunyai hak pilih.
2. Hanya satu putaran
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1/2015 tentang Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pilkada hanya akan berlangsung satu putaran. “Jangan harap ada putaran kedua. Begitu gol (pemungutan suara dan diketahui pemenangnya), pemilihan selesai,” kata Ketua KPU, Husni Kamil Manik, dikutip Viva.co.id.
3. Bisa satu pasangan calon
Pilkada kali ini juga dapat dilaksanakan dengan satu pasangan calon, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XII/2015 tentang Pilkada dengan Pasangan Tunggal, yang kemudian diatur dalam Peraturan KPU No 14/2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 08 Tahun 2013 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Daerah.
4. Rekapitulasi suara
Rekapitulasi hasil penghitungan suara langsung di kecamatan. Panitia Pemungutan Suara (PPS) di desa/kelurahan tidak lagi melakukan rekapitulasi penghitungan suara. “Dari TPS langsung ke kecamatan,” kata anggota KPU, Arief Budiman, dilansir Viva.co.id. Ini sesuai Peraturan KPU No 11/2015 tentang Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat.
5. Calon sesuai rekomendasi DPP Partai
Pasangan calon yang maju bertarung ke dalam pilkada serentak, wajib mengantongi rekomendasi DPP (Dewan Pengurus Pusat) Partai yang mengajukannya. Ini untuk menghindari konflik antar pengurus dalam penentuan calon. Terkadang muncul masalah karena DPP merekomendasi calon tertentu, tetapi di tingkat DPD (Dewan Pengurus Daerah) setingkat provinsi, dan DPC (Dewan Pengurus Cabang) setingkat kabupaten/kota, merekomendasikan orang lain. Dasar aturan ini adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 9/2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
6. Pemantau pemilu boleh menggugat
Pilkada serentak ini mengizinkan calon tunggal, sehingga pilihannya hanya Setuju atau Tidak Setuju. Tapi calon tak bisa dengan mudah melenggang. Sebab, pemantau pemilu punya hak untuk menggugat. Dasarnya Peraturan MK (PMK) No 4/2015 mengenai penyelesaian sengketa pilkada untuk pasangan calon tunggal. PMK tersebut salah satunya secara detail mengatur soal siapa yang berhak atas legal standing untuk mengajukan gugatan pilkada calon tunggal ke MK. “Yang diberi legal standing atas pertimbangan yuridis, filosofis, dan sosiologis, kita beri akses pada yang setuju atau tidak setuju,” ujar Arief, Senin 26 Oktober 2015, demikian laporan Viva.co.id.
7. Biaya ditanggung APBD
Untuk menghelat pemungutan suara ini, biaya ditanggung masing-masing daerah. Presiden Joko Widodo mengatakan dana pilkada serentak yang mencapai Rp7 triliun seluruhnya ditanggung Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). “Hanya biaya pengamanan dari kepolisian yang sepenuhnya tidak bisa dibiayai oleh APBD,” kata presiden saat memimpin rapat terbatas di Kantor Kepresidenan Jakarta, seperti dikutip Antaranews. Dasarnya, Undang-undang No 8/2015 tentang Pilkada. Biaya yang ditanggung termasuk biaya alat peraga. Akibatnya, ongkos pilkada jadi mahal untuk pemerintah daerah. Kabupaten Jember, Jawa Timur misalnya, mengeluarkan ongkos Rp71,6 miliar. Menurut Titi dari Perludem, perlu ditimbang alat peraga lain agar ongkos pilkada lebih efisien.
8. Tidak Ada Sanksi Pidana bagi Politik Uang.
Tentu saja politik uang, seperti menyogok, memberikan imbalan, dan membeli suara, dilarang. Ini tegas disebutkan dalam UU No. 8/2015 yang menjadi dasar bagi Pilkada 2015 ini. Tetapi, berbeda dengan pelanggaran-pelanggaran ketetentuan lain yang ditetapkan sanksi pidananya oleh UU ini, tak ada ketentuan tentang sanksi pagi pelanggaran ketentuan tentang politik uang. Jadi kalaupun ada yang tertangkap basah membagikan uang, menyuap, dan sebagainya, tidak ada ketentuan tentang hukuman bagi para pelaku itu. Peluang yang tersisa untuk menghukum pelaku politik uang addalah pidana dengan KUHP. “Tetapi prosesnya jauh lebih lama, dan tak dibatasi tenggat waktu,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokras Perludem, Titi Anggraini.
Manfaat Pemilihan Kepala Daerah Serentak
Nike K. Rumokoy dalam Jurnal hukum Unsrat Vol.22 No. 6 ulli 2016 “Pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Setelah Berlakunya UU No. 9 Tahun 2015” : Pada tahun 2014, DPR-RI kembali mengangkat isu krusial terkait pemilihan kepala daerah secara langsung. Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD. Putusan Pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DPR-RI yang terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang, dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang. Keputusan ini telah menyebabkan beberapa pihak kecewa. Keputusan ini dinilai sebagai langkah mundur di bidang “pembangunan” demokrasi, sehingga masih dicarikan cara untuk menggagalkan keputusan itu melalui uji materi ke MK.
Pilkada serentak tahun 2015 ini sempat membuat polemik karena di beberapa wilayah hanya terdapat satu pasang calon kepala daerah, atau calon tunggal. Namun Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memperbolehkan pemilihan kepala daerah bagi daerah yang hanya memiliki calon tunggal.
Mahkamah Konstitusi beralasan, jika pilkada ditunda karena kurangnya calon, maka akan menghapus hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih. Mahkamah juga menilai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pilkada juga tidak memberikan jalan keluar seandainya syarat-syarat calon tidak terpenuhi.
Untuk proses pemilihan kepala daerah calon tunggal, surat suara akan dibuat berbeda. Surat suara khusus ini hanya akan berisi satu pasangan calon kepala daerah, dengan pilihan “Setuju” atau “Tidak Setuju” dibagian bawahnya. Apabila pilihan “Setuju” memperoleh suara terbanyak, maka calon tunggal ditetapkan sebagai kepala daerah yang sah.
Namun jika pilihan “Tidak Setuju” memperoleh suara terbayak, maka pemilihan ditunda hingga pilkada selanjutnya. Berbagai analis menyatakan bahwa pilkada serentak memiliki manfaat, diantaranya:
1. Efisiensi anggaran
2. Efektivitas lembaga pemilihan umum
3. Sarana menggerakkan kader partai politik secara luas dan gencar.
4. Mencegah kutu loncat (gagal di satu wilayah, menyeberang ke wilayah lain) seperti Rieke yah Pitaloka (gagal di Jakarta dan Jawa Barat, jadi bakal calon di Depok)8 dan Andre Taulany (gagal di Tangerang Selatan, jadi bakal calon di Depok).