Kategori: VOX POPULI

  • Gusur, Geser, Giring, Geboy

    Gusur, Geser, Giring, Geboy

    PENGGUSURAN sejak dulu menjadi momok tersendiri bagi masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Ada pembangunan jalan, gusur. Ada pengembangan fasilitas pemerintah, gusur. Ada investor mau bangun gedung, gusur. Biasanya pula, kawasan-kawasan kumuh yang dihuni oleh MBR alias masyarakat berpenghasilan rendah lah yang dijadikan sasaran, mungkin karena ‘kontribusi’ terhadap bangsa dan negara ‘kurang’.

    Yang masih hot topic sampai saat ini adalah persoalan Pulau Rempang. Pembangunan Rempang Eco City dan pabrik kaca terbesar se-dunia (katanya) itu mengharuskan adanya penggusuran pemukiman masyarakat melayu Rempang. Masyarakat pun menolak penggusuran tersebut, bahkan hingga terjadi bentrokan beberapa waktu yang lalu.

    Sebenarnya, penggusuran menjadi momok bukan hanya karena kekhawatiran kehilangan tempat tinggal dan nilai ganti rugi yang tidak sesuai saja, namun juga ada rangkaian kenangan yang tidak bisa digantikan dengan mudah, dan dinominalkan dengan uang.

    Nah untuk meminimalisir dampak dari momok yang turun menurun itu, baru-baru ini untuk perkara Rempang, pemerintah mengganti kata gusur dengan geser. Strategi itu sebenarnya juga sudah dilakukan sejak lama, biar lebih manusiawi katanya.

    Namun, pergantian istilah untuk kegiatan ‘menghancurkan dan merelokasi pemukiman warga’ itu ternyata tetap saja ditolak oleh warga Rempang. Seperti dalam video yang saat ini tengah ramai usai dibagikan oleh LBH Jakarta di media sosial. Dalam video itu, perwakilan warga Rempang secara tegas menyampaikan menolak penggusuran dan seluruh sinonim kata dari kegiatannya.

    Gusur dan geser sudah ramai oleh Rempang, kini Tangerang ikut menyumbangkan kata yang mungkin akan menjadi momok selanjutnya. Adalah Perumda Pasar Niaga Kerta Raharja (NKR), menyumbangkan kata ‘giring’ yang menimbulkan korban, baik harta maupun luka.

    Dalam sebuah surat yang ditandatangani oleh Kepala Pasar Kutabumi, pihak pengelola Pasar Kutabumi meminta bantuan kepada sebuah kumpulan ormas, untuk melakukan pengamanan aset mereka, dan ‘menggiring’ para pedagang di Pasar Kutabumi menuju tempat penampungan sementara pasar.

    Dalam KBBI online, giring berarti: 1. menghalau binatang ke suatu tempat: ia ~ lembu ke kandang; 2. mengantarkan (membawa) penjahat dan sebagainya ke suatu tempat: polisi itu ~ para penjahat ke rumah tahanan; 3. cak membawa lari bola dengan kaki: ia mendapat bola dan terus ~ nya ke mulut gawang lawan.

    Sekumpulan ormas tersebut yakni Aliansi Masyarakat Peduli Pasar Rakyat Banten, yang terdiri atas sejumlah ormas di Kecamatan Kutabumi, setelah mendapatkan ‘order’ akhirnya melakukan ‘pengamanan’ aset dan ‘penggiringan’ pedagang, dengan menyerang Pasar Kutabumi sehingga menimbulkan sejumlah korban luka di pihak pedagang, dan penjarahan sejumlah toko.

    Baik gusur dan geser di Rempang maupun giring di Kutabumi, sudah menimbulkan cukup banyak korban. Demi tawaran keuntungan yang diklaim akan memajukan bangsa dan negara ini, masyarakat diminta untuk berkorban. Maka yang jadi pertanyaan adalah, dari gusur, geser dan giring tersebut, siapa yang benar-benar akan geboy atas keuntungan yang nantinya didapat? (*)

  • Apa Bisa Lurah Jadi Bidan

    Apa Bisa Lurah Jadi Bidan

    SERANG, BANPOS – APAKAH bisa seorang lurah mutasi atau dirotasi jabatannya menjadi bidan?. Hal inilah yang dipikirkan dalam beberapa waktu terakhir. Apa bisa? Kalau bisa dasarnya apa yah. Saya mencoba bertanya ke beberapa rekan, hal tersebut nyatanya memang ada yang tidak bisa dan ada yang bisa.

    Kenapa tidak bisa? Katanya, kalau lurahnya pria, maka sudah dipastikan tidak akan bisa menjadi bidan. Seperti sebuah kelakar saja, jawaban rekan saya yang satu ini. Kemudian ada hal lain yang membuat si lurah tidak bisa menjadi bidan, misalnya lurah tersebut berlatar belakang non kebidanan, seperti sarjana teknik, sarjana pendidikan , sarjana agama, sarjana hukum maupun sarjana lainnya. Bahkan, jika berlatar belakang keperawatan saja dipastikan juga lurah tersebut tidak akan menjadi bidan.

    Lalu saya bertanya, apa membuat si lurah bisa menjadi bidan. Katanya begini, bisa saja lurah menjadi bidan. Tapi itu bukan untuk posisi di lembaga kesehatan milik pemerintah. Mungkin hanya sebatas berpraktik mandiri di klinik-klinik kebidanan pribadi. Atas jawaban ini, saya jadi teringat beberapa orang yang saya kenal memang masih berpraktik mandiri.

    Tapi lurah yang berlatar belakang kebidanan, rasanya tidak ada yang kembali aktif bertugas menjadi bidan di lembaga kesehatan Pemerintah yah. Andai bisa, kan jadi adil. Apalagi kalau regulasinya membolehkan lurah dengan latar belakang apapun bisa menjadi bidan. Dan saya kira itu dapat memenuhi asas keadilan dalam jabatan.

    Namun nyatanya, belum ada juga yang begitu. Malah kebanyakan, setelah menjadi lurah kemudian naik jabatan ke sekmat atau pun camat, atau juga jabatan yang se-tingkat lainnya.

    Bahkan, kebanyakan yang ada adalah para bidan aktif di lembaga kesehatan pemerintah di mutasi atau promosi menjadi lurah maupun jabatan struktural lainnya. Kenapa bisa demikian yah? Bukankah dampaknya jika seorang bidan dimutasi ke jabatan lainnya akan mempengaruhi kinerja dan jumlah tenaga kebidanan milik pemerintah?. Dampaknya, nanti masyarakat yang tidak dapat dilayani secara maksimal karena kurangnya tenaga bidan.

    Sekali-sekali dong, lurah jadi bidan. Biar tenaga di lembaga kesehatan pemerintah kita bisa mencukupi kebutuhan idealnya. Jangan sampai nanti kekurangan-kekurangan tenaga melulu. Tapi tenaga yang ada dipindahkan kemana-mana. (*)

  • Perempuan Kota Serang Harus Berdaya

    Perempuan Kota Serang Harus Berdaya

    BEBERAPA kali kami di BANPOS mencoba mengangkat isu terkait kondisi perempuan di Banten, bahkan ada salah satu skripsi yang membahas pemberitaan pengarusutamaan Gender Equality and Social Inclusion di BANPOS. Hal ini sebagai wujud komitmen kami tentang pentingnya mendorong pembangunan yang tidak diskriminatif di Banten. Bahkan sempat kami buat edisi khusus ‘pink’ untuk membahas hal tersebut.

    Dalam obrolan-obrolan warung kopi yang biasa saya lakukan, ada salah satu ASN perempuan Kota Serang yang cukup asyik untuk diajak berdiskusi, baik yang ringan hingga ke hal yang cukup mendalam. Saya sempat mencetuskan, kenapa tidak berani mencoba untuk ikut lelang jabatan menjadi kepala dinas? Namun ia menyatakan tidak (belum) berminat.

    Iseng-iseng di BANPOS kami coba menelusuri, ternyata memang Kota Serang yang tepat hari ini berumur 16 tahun, belum pernah memiliki kepala dinas perempuan. Bahkan jika dilihat kembali, jumlah keterwakilan perempuan di DPRD Kota Serang sangat kecil, hanya sebesar 13 persenan saja, jauh dari kuota minimal 30 persen yang digaung-gaungkan.

    Kota Serang, sebuah kota baru yang disebut sebagai ibu kota Provinsi Banten telah mencapai usia yang ke 16 tahun. Namun, perayaan ini juga menjadi panggung untuk merenung tentang peran dan kesejahteraan perempuan dalam masyarakatnya.

    Indeks Pembangunan Gender IPG membawa kita ke dalam pandangan holistik tentang bagaimana perempuan di Kota Serang berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan. IPG adalah ukuran yang mencerminkan sejauh mana kesetaraan gender telah dicapai di berbagai bidang, termasuk kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Kota Serang telah membuat langkah penting dalam memperbaiki indikator ini, tetapi masih ada jalan yang harus ditempuh.

    Saat merayakan HUT Kota Serang, penting untuk menyoroti peningkatan Indeks Pembangunan Gender. Peningkatan dalam akses dan kualitas layanan kesehatan bagi perempuan, termasuk akses yang lebih baik terhadap pelayanan kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan berbasis gender, adalah langkah signifikan menuju kesetaraan gender yang sebenarnya.

    Di ranah pendidikan, Kota Serang telah mengalami kemajuan dalam memastikan perempuan memiliki akses dan kesempatan yang setara untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Program-program untuk mengatasi kesenjangan gender dalam literasi dan angka partisipasi perempuan dalam pendidikan formal serta nonformal perlu terus ditingkatkan. Hal ini tercermin dalam Indeks Pembangunan Gender Kota Serang yang telah mencapai angka 92,63 pada tahun 2022 kemarin. Hal ini menunjukkan bahwa dalam program pembangunan, kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara perempuan dan laki-laki sudah bisa diminimalisir.

    Namun, salah satu titik paling penting dalam upaya menuju kesetaraan gender adalah Indeks Pemberdayaan Gender (IPG). IPG mencerminkan tingkat pemberdayaan perempuan dalam berbagai aspek, seperti partisipasi politik, ekonomi, dan pengambilan keputusan. Kota Serang harus berfokus pada penguatan perempuan dalam berbagai posisi kebijakan dan pengambilan keputusan, baik di tingkat lokal maupun nasional.

    Dalam hal Indeks Pemberdayaan Gender tersebut, terlihat perempuan di Kota Serang masih belum berdaya secara maksimal, hal ini setidaknya tercermin dalam Indeks Pemberdayaan Gender Kota Serang yang hanya mencapai 62,39 persen, di bawah dari angka provinsi.

    Setidaknya dari dua hal yang sudah disebutkan sebelumnya, yaitu minimnya keterwakilan perempuan di DPRD dan juga tidak adanya Kepala OPD perempuan menunjukkan masih ada PR bagi Kota Serang untuk meningkatkan pemberdayaan perempuannya.

    Perayaan HUT Kota Serang seharusnya juga menjadi momen untuk merenung tentang tantangan yang masih dihadapi oleh perempuan dalam menggapai penuhnya potensi mereka. Kekerasan berbasis gender, kesenjangan upah, keterbatasan dalam akses terhadap pekerjaan yang bervariasi, dan minimnya perwakilan perempuan dalam posisi kepemimpinan adalah isu-isu yang harus ditangani secara serius.

    Oleh karena itu, HUT Kota Serang harus menjadi panggung bagi komitmen baru untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan, baik melalui kebijakan inklusif yang mendukung kesetaraan gender maupun melalui langkah-langkah nyata dalam memerangi ketidaksetaraan. Dengan memajukan perempuan, Kota Serang akan mewujudkan potensinya sebagai kota yang dinamis, inklusif, dan berkelanjutan untuk semua warganya.(*)

  • Serang oh Serang…

    Serang oh Serang…

    HARI ini tanggal 9 Agustus 2023. Artinya besok Kota Serang akan berusia 16 tahun. Namun, impian awal pembentukan Kota Serang, sampai saat ini masih jauh panggang dari api.

    Kota Serang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2007. Salah satu harapan dari pembentukan Kota Serang, 16 tahun lalu adalah untuk mengakselerasi kemajuan di Ibu Kota Provinsi Banten.

    Seperti disebutkan dalam salah satu konsideran menimbang dalam undang-undang itu, bahwa pembentukan Kota Serang diharapkan akan dapat mendorong peningkatan pelayanan dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta dapat memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah.

    Setelah 16 tahun, tak ada yang banyak yang berubah dari ketika Kota Serang masih menjadi bagian dari Kota Serang. Untuk masyarakat yang perlu mengakses pelayanan pemerintah, juga tak banyak berubah, karena pusat pemerintahan Kota Serang berada di wilayah yang dulunya merupakan ibukota Kabupaten Serang.

    Soal pembangunan, juga tak banyak yang berubah. Selain landscape-landscape yang dibuat untuk mempercantik kota, tak ada pembangunan atau program monumental yang bisa menjadi catatan sejarah. Bahkan, banyak orang luar dari Kota Serang yang tak menyangka kalau Kota Serang adalah ibu kota Provinsi Banten.

    Soal kemiskinan, BANPOS juga beberapa kali mengangkat isu kemiskinan di ibu kota. Belum lagi angka putus sekolah yang masih tinggi menggambarkan masih banyak yang perlu dilakukan di Kota Serang agar benar-benar bisa mewujudkan cita-cita awalnya.

    Hal-hal yang perlu dilakukan itu tentu bukan tugas mudah bagi para pemimpin di Kota Serang. Karena jangankan untuk mengakselerasi kemajuan, untuk membiayai jalannya roda pemerintahan dan pembangunan pun Pemkot Serang masih kesulitan. Salah satu buktinya adalah defisit APBD Kota Serang tahun 2023 yang mencapai Rp104 miliar.

    Salah satu sumber masalah dari defisit itu adalah minimnya sumber pendapatan daerah. Pemkot Serang saat ini sangat mengandalkan PAD dari sektor pajak, terutama Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

    Sebagai ibu kota provinsi, miris rasanya kalau Pemkot hanya mengandalkan PBB sebagai pendapatannya. Bahkan, Kota Serang tertinggal jauh dari Kota Tangerang Selatan yang terbentuk belakangan, tepatnya setahun kemudian.

    Untuk mengatasi persoalan itu, tentu diperlukan solusi-solusi kreatif dari para stakeholder di Kota Serang. Pemkot Serang perlu merubah mindsetnya agar akselerasi pembangunan bisa dilakukan secara kolaboratif dengan masyarakat. Menjaring investor tentunya perlu dilakukan karena pemerintah tak bisa sendirian menggerakkan ekonomi daerah.

    Sebagai masyarakat, tentu kita ingin Kota Serang bisa menjadi kota besar yang bisa dinikmati dan dikagumi siapa saja. Karena dengan begitu, kesempatan masyarakat untuk meningkatkan kesejahterannnya makin terbuka karena makin banyak peluang yang bisa dimanfaatkan.

    Walaupun baru besok Kota Serang berulang tahun, biarlah saya mengucapkannya sehari lebih cepat. Selamat Ulang Tahun Kota Serang yang ke-16. Semoga kita bisa berkolaborasi membangun peradaban yang bisa diwariskan menjadi kebanggaan anak cucu kita kelak. Amiin.*

  • Saya Bingung Mau Menulis Apa

    Saya Bingung Mau Menulis Apa

    Sejak ada tambahan ‘tugas’ menulis bagian Vox Populi, terjadi persaingan ide di dapur redaksi BANPOS. Biasa ada ritual diskusi, bahkan terkadang debat, seusai menyunting berita di tengah malam. Namun sejak bagian ini diluncurkan, intensitas diskusi mulai berkurang, para redaktur jadi sibuk memikirkan tulisan apa yang akan dibuat dalam Vox Populi nanti, bahkan saling menyembunyikan ide tulisannya.

    Termasuk kali ini, saat saya sudah mulai kehabisan ide menulis selain tentang maraknya kekerasan seksual di Banten, saya coba bertanya kepada salah seorang wartawan BANPOS dan dia menjawab, ada ide, cuma tidak boleh ditulis oleh saya. Jadi terasa bagaimana mahalnya sebuah ide menulis dalam kondisi saat ini.

    Sebagaimana diketahui, menulis sendiri merupakan sebuah keahlian yang tidak bisa berdiri sendiri, dia harus diiringi juga dengan hal yang paling dasar, yaitu membaca. Dalam hal ini, profesi kami sebagai jurnalis memang mewajibkan membaca dan menulis. Karena sebuah tulisan tidak akan berkualitas jika tidak diiringi dengan kegemaran membaca.

    Ada hal yang menarik tentang menulis dan membaca yang pernah saya alami. Suatu ketika, seorang teman meminta saya untuk membaca cerpen-cerpen karya nya. Namun, setelah saya baca, saya langsung merasa cerpen tersebut masih jauh untuk disebut layak, dan saat saya bertanya siapa penulis favoritnya, teman saya menjawab tidak suka membaca. Kala itu, saya menyarankan untuk mengikuti kelas menulis yang diadakan oleh Gola Gong di Rumah Dunia, dan juga memintanya untuk mulai rajin membaca agar dapat memperbanyak referensi tulisan. Yang saya ketahui, pada akhirnya ia berhasil menerbitkan beberapa novel setelahnya.

    Berbicara tentang kegemaran membaca, Banten pada tahun 2022 menempati peringkat ke-9 dalam Indeks Kegemaran Membaca (IKM) berdasarkan hasil penelitian Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Tahun 2022, dengan perolehan angka 65,7 poin, naik dari sebelumnya pada tahun 2020 dengan poin 58,77.

    Walaupun berada pada posisi 9, namun angka 65,7 poin dari rentang 1-100 ini sebenarnya cukup mengkhawatirkan. Kegemaran membaca dari warga Banten masih belum optimal. Hal ini mungkin dapat diwajarkan juga ketika melihat Indeks Pembangunan Literasi (IPL), Pemerintah Provinsi Banten yang masih harus masih bekerja keras, karena masih berada di bawah nasional dengan angka 9,04 poin, naik tipis dari tahun 2020 sebesar 8,90 poin. Hal yang mempengaruhi rendahnya IPL pada tahun 2020 tersebut yakni ketercukupan tenaga perpustakaan, perpustakaan berstandar nasional dan koleksi buku perpustakaan.

    Masalah membaca ini tidak hanya soal menulis saja, namun juga masalah karakter dan kemampuan lainnya yang akan sulit didapat ketika tidak dimulai dari kegemaran membaca.

    Sekitar tiga bulan terakhir saya akui sudah mulai jarang membaca buku. Di meja kerja saya ada 5 buku yang masih belum dibuka plastiknya. Sepertinya kebingungan saya untuk menulis kali ini adalah sebuah isyarat, saya harus mulai membaca buku lagi. Seperti kata pertama yang diwahyukan kepada Rasulullah, IQRA.

  • Darurat Guru Pencak Silat

    Darurat Guru Pencak Silat

    Budaya asli dari negara Indonesia, Pencak Silat merupakan olahraga yang telah diwariskan oleh leluhur dari generasi ke generasi. Saat ini perguruan-perguruan pencak silat semakin banyak dengan ciri khasnya masing-masing. Diberbagai daerah kesenian ini memiliki keunikan gerakan dan musik pengiringnya masing-masing

    Tradisi pencak silat juga telah diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda pada tahun 2019 karena pencak silat menjadi identitas sekaligus pemersatu bangsa. Selain itu, pencak silat mengandung nilai-nilai persahabatan, sikap saling menghormati, dan juga sportifitas.

    Seni beladiri khas indonesia ini memiliki banyak penggemar dan bisa dipelajari oleh semua kalangan usia, baik dari anak yang masih duduk di taman kanak-kanak (TK) maupun bapak-bapak dan ibu-ibu, bahkan para lansia pun bisa ikut serta dalam beladiri ini.

    Di Kota Serang contohnya, pencak silat menjadi salah satu muatan lokal (mulok) wajib terutama di kalangan sekolah dasar selain Bahasa Jaseng. Bahkan banyak sekolah yang mencari para pelatih pencak silat untuk bisa mengajar di sekolahnya.

    Namun demikian, Kota Serang masih darurat pelatih pencak silat, terutama mereka yang memiliki lisensi atau memiliki keahlian dibidangnya.

    Saat ini pelatih pencak silat banyak yang hanya karena suatu tingkatan diperguruannya. Akan tetapi tidak dilengkapi dengan suatu lisensi atau bukti yang menjadikan ciri dirinya benar pelatih pencak silat yang berkompeten dibidang tersebut.

    Selain itu, banyak juga pelatih yang berasal dari seorang guru bidang lain memaksakan diri menjadi guru pencak silat untuk menutupi kekosongan pelatih atau guru pencak silat di sekolahnya.

    Kejelasan seorang pelatih pencak silat pun masih mengambang. Dimana belum adanya status yang pasti seperti bisa diangkatnya menjadi seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Padahal, seorang pelatih pencak silat merupakan seorang yang melestarikan budaya bangsa Indonesia.

    Tak hanya itu, seorang pelatih pencak silat pun menjadi salah satu sosok guru yang banyak membawa peserta didik untuk bisa berprestasi di bidang non akademik serta mengajarkan anak untuk bisa mengendalikan emosinya.

  • Wartawan Imut Bukan Bodrek

    Wartawan Imut Bukan Bodrek

    BEGITU terhormatnya profesi seseorang yang bergelut di dunia jurnalistik atau lebih dikenal sebagai wartawan, membuat banyak oknum yang mengaku-ngaku sebagai wartawan demi mendapatkan keuntungan pribadi dari banyak orang yang tidak mengenal betul siapa dan seperti apa wartawan yang sebenarnya.

    Biasanya, oknum tersebut sering disebut sebagai wartawan ‘Bodrek’. Akibat ulah mereka, kini banyak pihak dan masyarakat selalu mengerutkan dahinya ketika mendengar kata wartawan.

    Tak terlepas saya, seorang pria yang imut, lucu dan lugu ini. Sejak awal saya bergabung dengan salah satu media massa terbaik se-Asia Tenggara yakni Banten Pos, banyak narasumber yang tidak percaya bahwa saya adalah seorang wartawan dengan alasan saya yang masih terlihat sangat muda dan menggemaskan.

    Namun juga, tidak sedikit dari mereka yang membusungkan dada dan memberikan nada tinggi seolah menekan saya sesaat setelah saya memperkenalkan diri sebagai wartawan.

    Dengan berbekal surat tugas dari Pimpinan Redaksi, akhirnya mereka mengakui sembari sedikit bercerita soal pengalaman-pengalaman yang mereka dapatkan setelah menemui Wartawan ‘Bodrek’.

    Sebelumnya saya cukup senang diizinkan untuk mengisi kolom Vox Populi yang ada di Banten Pos, selain saya bisa memasang foto di halaman utama koran, tentu ini juga jadi alasan agar masyarakat dan narasumber-narasumber nantinya tau bahwa ‘Pria Imut’ ini adalah seorang Wartawan “Beneran”.

    Saya pernah beberapa kali melakukan perubahan gaya style atau fashion saat melakukan peliputan. Mulai dari menggunakan pakaian formal dan rambut klimis, rambut berwarna biru atau pirang, hingga mengenakan pakaian selayaknya wartawan-wartawan senior yang sering saya jumpai ketika melakukan peliputan.

    Sayang beribu sayang, apa yang saya lakukan malah membuat banyak pihak semakin meragukan saya sebagai Wartawan, bukan karena style ternyata, namun karena anugerah yang Allah berikan pada saya dengan memiliki wajah yang menggemaskan.

    Tapi, meski demikian, tak sedikit dari mereka yang masih trauma dengan wartawan bodong yang trust issue tersebut dilontarkan kepada saya.

    Padahal sudah jelas, saya datang dengan tujuan melakukan peliputan, wawancara bahkan meminta klarifikasi dari narasumber-narasumber yang saya tuju tanpa meminta bahkan tidak sedikitpun berharap diberikan uang, karena memang saya sebagai Wartawan Profesional telah mendapatkan gaji dari perusahaan.

    Padahal, sudah jelas dalam Pasal 1 ayat (4) UU Pers dikatakan “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”.

    Teratur dalam artian terus-menerus, dengan tujuan melakukan pengumpulan informasi dan pemberitaan dengan benar, akurat dan berkualitas. Itu pesan yang saya ingat dari pimpinan.

    Maka dari itu, tujuan saya menulis naskah ini adalah selain untuk menegaskan bahwa saya adalah Wartawan “ASLI”, juga berharap dapat menyadarkan bahwa siapapun tidak perlu takut dengan kata ‘wartawan’.

    Sebab, tujuan kami terutama di Banten Pos ini untuk mengedukasi masyarakat, memberikan informasi kepada masyarakat serta menyampaikan fakta. Bukan untuk memeras atau bahkan memberikan ancaman. (*)

  • MARI PASANG BENDERA

    MARI PASANG BENDERA

    JELANG Peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 78, para pedagang bendera merah putih dan aksesoris lainnya mulai menjamur di seantero negeri ini. Ada yang berukuran kecil hingga yang berukuran besar.

    Meski sudah banyak yang menjual, tapi tidak sedikit pula warga yang enggan atau memang lupa untuk memasang bendera baik di rumah maupun di tempat umum lainnya. Padahal, di momen peringatan kemerdekaan ini bendera menjadi salah satu ungkapan rasa cinta kita kepada tanah air Indonesia.

    Tak perlu yang banyak ataupun yang mahal. Cukup satu atau dua bendera terpasang mungkin sudah menjadikan semangat kebangsaan kita bangkit. Terlebih lagi untuk mengisi kemerdekaan ini harus juga disertai kecintaan kepada tanah air indonesia. Salah satuya dengan memasang bendera.

    Jika kita melihat negeri jiran kita, yakni di Malaysia misalnya. Sepanjang tahun warganya selalu memasang bendera, baik di tempat tinggal, perkantoran bahkan di sepanjang jalan. Baik bendera bandar atau kotanya dan negara bagiannya maupun bendera nasional malaysia. Bendera-bendera tersebut berjejer rapih di setiap sudut kota. Bahkan, bendera tetap berkibar di kamar-kamar apartemen atau tempat tinggal warga Malaysia.

    Nah, inilah kira-kira yang membedakan Indonesia dan negara tetangga. Jika kita berada di negara tersebut rasa kebangsaan warganya terhadap bendera sangat luar biasa. Bisa kita jumpai di setiap sudut tempat.

    Sehingga, jika dalam perjalanan kita tertidur dalam kendaraan. Saat kita terbangun dan melihat ke luar kendaraan kita sudah tau sedang berada di mana. Karena benderanya ada dimana-mana. Bukan hanya saat momen kemerdekaan mereka saja, tapi memang sepanjang tahunnya begitu.

    Nah, kini sudah saatnya kita juga bisa lebih mencintai negara ini dengan meluangkan sedikit waktu dengan memasang bendera. Walau dengan memasang bendera kecil di kendaraan kita masing-masing rasanya sudah cukup, apalagi kalau sampai memasang bendera di rumah kita masing-masing. (*)

  • Panji Gumilang dan Panji Sakti

    Panji Gumilang dan Panji Sakti

    Dalam selancar saya di dunia maya, terutama di Instagram, dua nama yang saya jadikan judul ini sering lewat dalam lini masa. Panji Gumilang yang merupakan pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun dengan segala ‘keunikannya’. Kemudian Panji Sakti yang merupakan seniman dan berkarya melalui musikalisasi puisi.

    Nama Panji Gumilang sendiri sudah lama saya kenal, dan yang paling saya ingat adalah saat pemilihan presiden tahun 2004, dimana Wiranto yang saat itu menjadi capres mendatangi pondok pesantrennya saat masa kampanye.

    Sedangkan untuk Panji Sakti yang bernama asli Panji Siswanto, saya baru mengetahuinya setelah beberapa reel Instagram muncul dan menggunakan lagunya yaitu Kepada Noor.

    Viralnya duo Panji ini, baik di Instagram maupun platform media sosial lainnya menunjukkan bagaimana adanya perubahan sosial di masyarakat, terutama dalam hal mengakses dan mempercayai sebuah informasi, dan juga bagaimana menyikapinya.

    Kontroversi soal Panji Gumilang sebenarnya sudah muncul cukup lama. Berbagai media massa juga yang saya ingat sempat memberitakannya, bahkan MUI juga mengklaim telah melakukan penelitian pada tahun 2002 untuk Pondok Pesantren Al-Zaytun tersebut. Namun, saat itu media sosial belum sebesar dan berpengaruh seperti saat ini, sehingga eksklusifitas dalam mendapatkan informasi harus diakui pada zaman dahulu memang hanya dimiliki oleh sebagian kalangan saja. Sedangkan saat ini, ketika ada hal yang berbeda dari kebiasaan masyarakat yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Al-Zaytun maupun oleh pribadi Panji Gumilang langsung dapat diakses oleh sebagian besar masyarakat. Sehingga secara umum masyarakat dapat memberikan penilaiannya.

    Media sosial juga cukup memberikan dampak terhadap musisi seperti Panji Sakti. Yang saya ingat, dahulu mengenal musisi selain dari MTV, biasanya adalah dari radio yang menyetel lagu-lagu para musisi. Dahulu yang saya ingat ada istilah indie dan major label. Zaman dahulu, musisi seperti Panji Sakti kemungkinan besar masuk dalam kelompok indie, dan kecil kemungkinan masyarakat luas dapat mendengar lagu-lagunya di Radio apalagi di TV. Akan tetapi, terjadi pergeseran dengan adanya media sosial seperti YouTube dan Spotify. Tidak butuh waktu lama, lagu menjadi hal penting dalam media sosial seperti Tiktok dan Instagram, sehingga proses memperkenalkan lagu dari para seniman tersebut mengalami berbagai kemudahan. Masyarakat juga menjadi memiliki pilihan banyak dalam mendengarkan lagu lintas genre, tidak harus terpaku pada jenis musik tertentu saja.

    Dalam kasus Panji Gumilang, setidaknya dalam komentar yang saya baca di Instagram, cenderung dengan nuansa negatif dan menyalahkan praktik-praktik dan pemahaman yang dianut oleh Panji Gumilang. Jika merujuk pada riset yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melalui program Media and Religious Trend in Indonesia (MERIT) pada tahun 2020, diketahui memang adanya dominasi narasi paham keagamaan konservatif di media sosial. Walaupun pemahaman keagamaan lain juga banyak mewarnai diskursus agama terutama di platform twitter, namun dengung konservatisme menguasai perbincangan di ranah maya dengan persentase 67.2 persen, disusul dengan moderat 22.2 persen, liberal 6.1 persen dan Islamis 4.5 persen. Sementara itu berdasarkan riset dari Pengurus Pusat Muhammadiyah pada tahun 2020 juga menyebutkan bahwa 58 persen milenial belajar agama di media sosial.

    Sementara, terkait efektivitas promosi menggunakan media sosial seperti yang digunakan oleh Panji Sakti, diketahui berdasarkan kesimpulan riset yang dilakukan oleh Sujud Puji Nur Rahmat pada tahun 2019, kehadiran internet sebagai media baru memberikan dampak pada berbagai lini kehidupan, termasuk dalam ranah produksi, konsumsi dan distribusi musik. Layanan situs web atau media sosial untuk—atau yang digunakan oleh—kelompok musik bisa menjadi salah satu media promosi, publikasi dan diseminasi atas eksistensi dan karya-karya kelompok itu. Musisi atau band bisa menggunakan akun media sosial

    untuk membangun citra menampilkannya kepada para penggemar. Pada tataran tertentu,
    interaksi yang terjadi antara musisi atau band dengan penggemar di akun media sosial
    bisa digunakan sebagai salah satu—tapi bukan satu-satunya, apalagi bersifat mutlak—
    alat ukur, bukti, atau indikator popularitas mereka, sebab di akun semacam ini terdapat
    jejak digital dan statistiknya dapat dengan mudah dicatat.

    Internet, dalam hal ini layanan berupa media sosial, juga memunculkan pola interaksi antara musisi/band dengan penggemar yang cukup berbeda dengan pola-pola interaksi antara kedua pihak ini di masa lalu, yakni ketika internet belum populer sebagai wahana pendukung komunikasi. Kini, penggemar dan idolanya bisa berinteraksi secara lebih dekat, hanya diperantarai oleh akun media sosial. Konten komunikasinya pun beragam, mulai dari sekedar berkomentar, menyapa, menanyakan informasi, hingga info yang memang terkait dengan eksistensi musisi/band.

    Pada akhirnya, kehadiran media sosial terbukti memberikan perubahan sosial di masyarakat. Dampak negatif dan positif dalam sebuah perubahan memang menjadi hal yang berjalan beriringan. Saat ini memang diperlukan penguatan kembali kepada masyarakat untuk meminimalisir dampak-dampak negatif yang muncul. Adanya potensi polarisasi dan juga keengganan untuk belajar yang utuh di masyarakat memerlukan peran dari semua pihak untuk mencegahnya. Sedangkan, dengan munculnya efek positif yang ada, dapat dimanfaatkan peluang tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tidak hanya terpaku dengan cara-cara konvensional saja.(*)

  • Tiran yang Imut

    Tiran yang Imut

    Alkisah di sebuah Persemakmuran Negara-negara Penyintas, tepatnya di Negara Bagian 607, hiduplah seorang tiran bernama Latte. Ia adalah seorang Gubernur Negara Bagian 607, yang ditunjuk setiap satu bulan sekali. Memang seperti itu sistem pemerintahan di negara tersebut.

    Sebagai seorang pemimpin dengan waktu yang singkat, dia memimpin dengan lalim. Berbagai keuntungan yang bisa didapat oleh seorang Gubernur, ia selewengkan. Pos-pos jabatan hanya diisi oleh orang-orang dalam persekutuannya sendiri.

    Latte mencitrakan dirinya sebagai orang yang imut. Bagaimana tidak, ia mengidentifikasikan dirinya sebagai Loopy, salah satu karakter berwarna pink di animasi Pororo. Dia suka tersenyum.

    Ia punya beberapa orang kepercayaan, salah satunya bernama Dalri. Dia merupakan orang nomor dua di Negara Bagian 607. Dalri akhir-akhir ini mengemban tugas yang cukup besar dari Latte, komandan lapangan persekutuan KoR.

    Untuk mencapai puncaknya, Latte sebenarnya tidak bertindak sendiri. Dirinya dibantu oleh persekutuan lain yang dipimpin oleh pria bernama Huck. Tragisnya, Huck dan persekutuannya, HLL, menjadi korban kekejaman sang Tiran yang Imut ini.

    Beberapa waktu yang lalu, terjadi ketegangan antara Latte dan Huck. Ketegangan itu semakin memanas, hingga akhirnya memuncak dengan tindakan pengasingan terhadap Huck dan persekutuannya. Mereka didorong ke wilayah pinggiran negara bagian.

    Untuk diketahui, sebenarnya baik itu Latte, Dalri, maupun Huck, bukanlah penduduk asli Negara Bagian 607. Mereka merupakan imigran dari Negara Bagian 612 sebagai bagian dari Tour of Duty.

    Tindakan Latte bukan tanpa pertimbangan. Dia berani mengasingkan Huck yang merupakan sekutu terkuatnya, karena Latte mendapat sokongan dari pihak eksternal. Mereka adalah Mura dan persekutuan MER.

    Mura merupakan pria yang kejam. Dia siap untuk menyerang siapa saja yang dirasa mengganggu. Beberapa persekutuan lain seperti NGS, HMB, WwW bahkan kerap diganggu olehnya, tanpa sebab apapun.

    Saat ini, Mura dan persekutuan MER tengah mengincar Huck dan HLL. Pelenyapan tuntas atas kelompok tersebut akan memperkuat posisi Mura dan MER di hadapan Latte.

    Namun, beberapa pihak juga tidak tinggal diam. Mereka tengah menggalang kekuatan, guna menggulingkan sang Tiran Imut. Ketegangan hingga saat ini masih berlanjut, akankah sang Tiran Imut akan lengser?

    Catatan: semua ini adalah peristiwa yang terjadi pada gim daring State of Survival server State 607, yang mana saya merupakan salah satu pemainnya. Jika ada kesamaan kisah, misalkan di Provinsi Banten, mohon maklum. Hidup ini memang penuh kejutan.