Kategori: VOX POPULI

  • Tak Sadar Eksploitasi Anak

    Tak Sadar Eksploitasi Anak

    Di era modern ini, masyarakat semakin sering untuk mengabadikan berbagai momen karena kemudahan teknologi. Bahkan, dalam sebuah Smartphone, kini lebih diutamakan kualitas kamera dibandingkan komponen lain, karena masyarakat saat ini saling berlomba-lomba menjadi yang paling ‘eksis’ dibandingkan yang lainnya.

    Tak terlepas untuk mereka para orang tua yang memang selalu melakukan dokumentasi terhadap anak-anak mereka demi berbagai kepentingan, mulai dari sekadar mengabadikan momen untuk kenangan, hingga kepentingan hasrat ‘eksis’ tadi dengan mengharap pujian dan “like”, untuk anak-anaknya yang sedang lucu-lucunya.

    Sebenarnya, tidak ada niatan untuk menulis ini, namun setelah saya sedikit bercerita kepada redaktur saya tentang hasil diskusi saya bersama berbagai pegiat dan aktivis yang berfokus kepada anak dan perempuan, ia menyarankan dengan sedikit memaksa agar hasil diskusi tersebut disalurkan melalui tulisan di kolom Vox Populi yang kini ada di koran Banten Pos.

    Sebelumnya, saya yang sebagai Wartawan Banten Pos untuk wilayah Lebak pada awal 2023 lalu bergabung dalam Media Sahabat Anak Kabupaten Lebak. Selain bertemu dengan berbagai Wartawan, saya juga banyak berdiskusi dengan pegiat dari berbagai instansi dan lembaga baik dari pemerintah maupun organisasi independen.

    Baru-baru ini, saya melakukan diskusi terkait ‘eksploitasi anak’ yang sangat jarang disadari oleh masyarakat atau bahkan oleh orang tuanya sendiri.

    Hal ini berkaitan dengan apa yang saya tulis di awal, banyak orang tua bahkan orang dewasa yang secara terus menerus melakukan dokumentasi melalui foto maupun video, hanya untuk kepuasan pribadi tanpa memikirkan bagaimana perasaan anak yang bisa saja secara mental mereka, enggan atau merasa risih saat dipublikasikan seperti itu.

    Dalam salah satu artikel yang pernah saya baca, kegiatan ini bernama Sharenting yang berarti Oversharing dalam Parenting. Menurut ahli hukum asal Amerika, Stacey B. Steinberg, Sharenting tersebut beresiko membahayakan bagi anak mulai dari kejahatan kriminal, penculikan hingga dimanfaatkan oleh pelaku pedofilia atau kelainan sex yang berorientasi kepada anak kecil.

    Selain orang tua, hal yang membuat kami geram dalam diskusi saat itu adalah banyaknya tokoh-tokoh yang memanfaatkan anak sebagai alat meningkatkan popularitas, apalagi di masa sekarang yang lagi panas-panasnya menjelang Pemilu, hehehe.

    Misalnya, mereka yang memiliki niat baik untuk berbagi santunan namun harus selalu di dokumentasikan saat si anak sedang mencium tangan pemberi. Mungkin, karena sudah biasa begitu akhirnya hal ini dilumrahkan. Namun, kadang orang dewasa ini tidak sadar sebenarnya ada tekanan mental bagi anak yang malu untuk dipublikasikan, tapi karena yang dilawan adalah ‘orang tua’, mereka jadi tidak bisa melawan.

    Ya meskipun dalam 10 hak anak yang ditetapkan tidak ada soal itu, namun saya mencoba menyimpulkan bersama pegiat anak bahwa dalam 10 hak anak yang wajib dipenuhi, terdapat hak identitas dan hak perlindungan. Nah, berarti dalam perlindungan identitas inilah yang harus diperhatikan oleh masyarakat terutama kita sebagai orang dewasa.

    Sejatinya memang kita orang dewasalah yang harus peka terhadap anak-anak, bukan menunggu si anak mengatakan apa yang mereka inginkan atau yang tak mereka sukai tapi ujung-ujungnya kita hanya menjawab dengan “halahhh”. (*)

  • Kota Serang Butuh Investor

    Kota Serang Butuh Investor

    JIKA kita sering melalui kawasan pasar lama, pasar kepandean atau pasar rau tentu yang ada di benak kita adalah keprihatinan. Penataan yang belum maksimal menjadikan kawasan-kawasan tersebut kurang rapih bahkan mendekati kumuh.

    Kita ketahui, APBD Kota Serang yang hanya sekitar Rp1,3 triliun membuat pemerintah daerah tak dapat berbuat banyak, apalagi Pemkot Serang tengah fokus dalam mengurusi kebutuhan dasar masyarakat. Seperti bidang infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.

    Solusinya, agar kawasan-kawasan tersebut dapat sedap dipandang ialah harus ada pihak-pihak ketiga yang serius menggarapnya. Yah, dibutuhkan kerja keras dan keseriusan yang lebih lagi dari stakholder agar dapat menggaet investor.

    Jika berhasil, akan banyak keuntungan yang didapat pemerintah. Akan banyak penyerapan kerja saat proses pembangunan, juga akan ada uang yang masuk dari hasil kerjasama pihak ketiga itu. Serta akan ada perputaran uang yang banyak saat bangunan dipakai untuk keperluan perdagangan dan jasa.

    Informasi yang saya dapat, untuk menata ketiga kawasan tersebut dibutuhkan tak kurang dari Rp1 triliun. Tentu itu bukan uang yang sedikit, harus ada pemodal besar yang mendanani program tersebut.

    Saya, yang bagian dari masyarakat Kota Serang percaya, investor besar tersebut cepat atau lambat akan segera masuk. Namun, alangkah lebih baiknya jika prosesnya lebih cepat. Atau mungkin ada pengusaha lokal atau pengusaha banten sendiri yang sanggup untuk mengerjakannya. Kenapa tidak, pemerintah daerah mencoba untuk membuka proposal penawarannya. Jika memang bagus, tidak ada salahnya untuk diberikan kepercayaan kepada pengusaha lokal kita sendiri.

    Itu baru di tiga kawasan, karena kita juga tahu. Kota Serang banyak juga memiliki titik-titik strategis lainnya. Belum lagi ada pasar-pasar rakyat lainnya yang butuh perhatian dan butuh pemodal agar kawasan dapat berkembang. Sedih aset miliaran rupiah dibiarkan begitu saja karena kurangnya terobosan.

    Juga di kawasan kasemen misalnya, berapa ratus hektare lahan milik Pemda yang belum tergarap maksimal. Meski di kawasan pertanian, jika dapat dimaksimalkan sistem pertaniannya maka hasilnya juga akan maksimal. (*)

  • Sarjana Kedokteran Hasil Pandemi

    Sarjana Kedokteran Hasil Pandemi

    Saat Budi Gunadi Sadikin resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Kesehatan Kabinet Indonesia Maju Periode 2019-2024, menggantikan Terawan Agus Putranto di Istana Negara Jakarta pada akhir tahun 2020 yang lalu, saya langsung memikirkan bagaimana kondisi adik saya Panca yang saat itu baru saja masuk ke Jurusan Kedokteran.

    Bagaimana tidak, baru saja masuk kuliah tahun 2019, langsung menghadapi situasi Pandemi Covid 19 yang tentu saja membuat proses pembelajarannya menjadi berbeda jauh. Eh ditambah, punya pengambil kebijakan kesehatan yang bukan merupakan lulusan dari pendidikan kesehatan, tapi seorang Sarjana Fisika Nuklir yang malang melintang di dunia perbankan.

    Saat itu, saya sempat berharap Panca lulus, menkes sudah berganti.

    Namun ternyata, dalam masa pandemi ini, Panca dan beberapa rekan-rekannya bisa menyelesaikan pendidikan kedokteran hanya dalam tempo 3,5 tahun. Dan menkes masih pak Budi Gunadi Sadikin yang bersama DPR memberikan warisan Omnibus Law Kesehatan.

    Panca sempat bercerita, bagaimana sulitnya untuk melakukan praktik dalam mata kuliah yang sedang dilakukan. Masalah praktikum ini menjadi hal yang sepertinya paling banyak terjadi, apalagi profesi dokter tidak hanya sebagai ilmuwan saja, namun juga profesi yang membutuhkan kemampuan teknis, jadi kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik harus berjalan beriringan. Namun, mengutip dari tulisan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Prof. Dr. David S Perdanakusuma, dr., SpBP-RE(K), pada masa pandemi, pembatasan aktivitas fisik hanya memungkinkan pembelajaran jarak jauh terkait aspek kognitif secara online.

    Aspek psikomotor dan afektif sulit dilaksanakan sehingga kegiatan praktikum, tugas lapangan, kegiatan di rumah sakit, dan penelitian sulit berjalan. Kegiatan ini tidak dapat tergantikan dengan model pembelajaran jarak jauh secara online. Aspek psikomotor pada jenjang akademik merupakan aspek penting yang paling terdampak bencana ini karena memerlukan kehadiran fisik, misalnya praktikum anatomi, histologi, faal, biokimia, keterampilan medik, dan lain-lain.

    Saat saya mencoba bertanya kepada Panca, dia mengakui bahwa memang tantangan tersebut nyata adanya, dia merasa tidak memiliki ilmu pengetahuan yang cukup dengan adanya pembelajaran model jarak jauh tersebut. Akan tetapi, disisi lainnya, ia harus lulus dan menyesuaikan diri dengan tantangan tersebut.

    “Ya sudah saya perdalam ilmu itu di masa co-ass,” ujar Panca saat saya tanya terkait kesulitan belajar di masa pandemi.

    Sebagaimana diketahui, menurut data Kementerian Kesehatan yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah dokter di Indonesia mencapai 176.110 orang pada 2022.

    Angka tersebut merupakan gabungan dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.

    Dengan angka tersebut, rasio dokter Indonesia pun membaik. Menurut data World Health Organization (WHO) yang dihimpun Index Mundi, pada 2019 Indonesia hanya memiliki rasio 0,47 dokter per 1.000 penduduk.

    Kemudian pada 2022, dengan membandingkan data jumlah dokter dan total jumlah penduduk Indonesia terbaru, angka rasionya naik menjadi sekitar 0,63 dokter per 1.000 penduduk.

    Namun, rasio tersebut masih lebih rendah dari standar ideal WHO, yakni 1 dokter per 1.000 penduduk.

    Kebutuhan meningkatkan rasio dokter tersebut seharusnya tidak sampai mengabaikan aspek profesionalitas. Dokter masa depan itu bisa dipastikan diantaranya adalah dokter yang melalui proses pendidikan pada masa pandemi tersebut. Padahal sebagaimana menjadi perbincangan di masyarakat, dokter yang melalui proses normal saja terkadang dipertanyakan profesionalitasnya.

    Saat Panca menjawab merasa masih kurang ilmunya, saya sempat bercanda dengan serius.

    “Kalau begitu saya tidak mau dirawat dokter Panca deh,” gurau saya.
    Ya memang kita berharap akan sehat terus.

    Karena sakit akan lebih mahal, apalagi mandatory spending dihapuskan dalam Omnibus Law Kesehatan.

  • Sambat Kelakuan Pejabat

    Sambat Kelakuan Pejabat

    Karena Vox Populi (bahasa Latin) itu jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti ‘Suara Rakyat’, maka saya akan menuliskan kompilasi keluh kesah dari masyarakat, terkait dengan kelakuan pejabat, siapapun itu ya.

    Kenapa sih pejabat itu sok jual mahal? (Basri, Kota Serang). Memang sih, baik yang ASN, pejabat politis, maupun pejabat di instansi pemerintahan lainnya, kerap mengklaim diri sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Sehingga jika mereka benar-benar menjalankan tugas sebagai seorang abdi, harusnya sih jangan jual mahal, dan mengabdilah sepenuh hati demi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.

    Pejabat pemerintah itu kan pejabat publik, kenapa kok kelakuannya malah kayak pejabat ‘private’? (Yuu soo, Lebak). Memang ada jarak antara pejabat dengan masyarakat. Bisa dimaklumi sih, karena mereka punya bawahan yang biasa bekerja di lapangan untuk mengurus hal-hal teknis. Kalau sudah menduduki jabatan, biasanya mereka cuma mengurus hal-hal yang sifatnya perencanaan dan strategis saja. Sabar ya.

    Bisakah jadi pemangku jabatan yang amanah lagi adil, juga selaras ucapan dengan tindakannya? Bukan hanya pandai dan lihai bermanis ria dalam masa-masa kampanye (Asrar Loka, Cilegon). Biasanya korban kampanye calon nih. Perlu diketahui, dalam merealisasikan janji-janji politik itu terkadang memang harus menunggu satu periode RPJMD. Bahkan terkadang harus dua periode, makanya petahana pasti mau maju lagi, biar bisa terealisasi beneran.

    Jangan pamer-pamer kekayaan sih, jiwa misqueen saya kan memberontak jadinya! (Arya, Tangerang). Sepakat! Nonton Tuan Krab di kartun Spongebob yang mandi pakai uang saja bikin kesel, eh malah liat video pejabat BUMD ‘makan’ duit gepokan di atas piring. Kenyang kagak, gondok iya.

    Rakyat dilarang main slot, cukup wakil rakyat saja (Harum, Pandeglang). Yang lagi viral itu ya? Ingat, itu adalah oknum, yang ketahuan. Teman-teman pasti sudah baca liputan utama Banten Pos edisi Jumat (21/7) kemarin kan? Liputan utama kita berjudul ‘Kuasa Zeus di Tanah Jawara’ menggambarkan bagaimana kakek Zeus itu bisa membawa hamba-hambanya untuk melakukan ‘kesalahan’ lainnya, seperti pinjam uang di Pinjol, yang akhirnya merugikan diri dan keluarga sendiri. Semoga beliau oknum wakil rakyat itu, tidak terjebak oleh kakek Zeus dan melakukan ‘kesalahan’ lainnya demi Max Win.

    Jangan nunggu viral baru dikerjain (Remi, Kota Serang). Kalau kemarin ada yang bilang-bilang mau people power, sebenarnya memang warganet sih yang konkret gerakannya. Beberapa hal memang baru dikerjakan dengan benar, ketika warganet sudah bersuara. Di Lampung misalnya. Lampung ya, bukan Banten.

    Mengutip pernyataan Kumorotomo (2000) dan Widjaja (2003) dalam jurnal yang ditulis oleh Fabiola Daulima yang berjudul ‘Implementasi Etika Pejabat Publik di Sekretariat Daerah Kota Tomohon’, disebutkan bahwa seorang pejabat publik seharusnya terikat dengan etika administrasi publik. Etika administrasi publik mengatur bagaimana asas etis, pedoman perilaku, kebajikan moral, hingga norma-norma bagi pejabat publik dalam melaksanakan fungsinya dan memegang jabatan.

    Menurut Widjaja (2003), salah satu fungsi dari etika jabatan administrasi publik itu sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku dan tindakan pejabat publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji. Lebih jauh, Saefullah (2012) menyampaikan jika etika pejabat administrasi publik itu ada untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, dan melindungi kepentingan publik dari penyimpangan itu.

    Dalam pembentukan etika, sumber utamanya tentu dari masyarakat. Karena itulah, standar etis atau tidaknya perilaku tersebut, ditentukan oleh masyarakat. Apalagi untuk standar etis yang tidak diatur dalam aturan perundang-undangan. Tafsir kolektif masyarakat akan baik buruknya perilaku, itulah yang harus diperhatikan oleh para pejabat.

    Sambatan dari masyarakat yang di awal tulisan ini sudah disampaikan, tentu harus menjadi pikiran tersendiri bagi para pejabat publik, apakah benar demikian? Memang jika dilihat, sambatan yang ditulis ini terlihat ringan. Tapi, penilaian ringan inilah yang seharusnya dikhawatirkan oleh para pejabat publik. Sebab, pejabat publik harus menjadi teladan bagi publik.

    Coba bayangkan, ketika masyarakat ditangkap karena bermain judi online, tapi ternyata pejabat publiknya justru bermain juga? Atau ketika sambatan tentang ‘viral baru dikerjakan’ yang maknanya ‘pejabat gak mendengar keinginan masyarakat’, dibalik jadi ‘masyarakat gak mendengar keinginan pejabat’ dan akhirnya males bayar pajak. Pendapatan Asli Daerah (PAD) kita nanti makin jeblok dong! (*)

  • Kecil Gajinya, Banyak Kerjanya

    Kecil Gajinya, Banyak Kerjanya

    MENJADI seorang pegawai negeri saat sudah menjadi pilihan utama para pencari kerja, baik lulusan SLTA maupun perguruan tinggi. Namun, jumlahnya yang sangat terbatas membuat banyak orang berebut untuk menempatinya.

    Bahkan, karena saking inginnya menjadi pegawai negeri. Tak jarang orang-orang juga rela menjalani proses untuk menjadi honorer. Berharap kedepan akan ada kuota khusus bagi para honorer yang telah mengabdi. Walau harus ditempuh bertahun-tahun, bahkan bisa puluhan tahun.

    Yah benar, dibalik jalannya roda pemerintahan daerah maupun instansi vertikal lainnya. Selalu ada saja tenaga-tenaga honorer. Baik tenaga harian lepas maupun honorer dengan kontrak. Padahal, pemerintah sendiri telah berencana menghapus status honorer dari jajaran instansi pemerintah, baik di daerah maupun lembaga vertikal.

    Dengan memiliki jam kerja yang sama dengan para pegawai tetapnya. Honorer justru menjadi ujung tombak, ada yang tukang ketik, penerimaan pelayanan dan lain sebagainya. Bahkan, saya pernah melihat salah satu rekan honorer di lembaga vertikal yang kerjanya mengetik berkas di depan komputer dari pagi sampai petang. Yang mana pegawai negerinya atau tetapnya hanya tinggal menandatangani berkas saja.

    Urusan penghasilan, jangan ditanya pegawai negerinya ini bisa 10 kali lipat dari teman saya yang honorer tadi, itu baru tukang ketik. Rasa-rasanya di bidang pendidikan juga sama. guru honorer diakui atau tidak, saat ini juga menjadi ujung tombak dalam mencetak generasi bangsa. Bahkan, di sekolah yang tak jauh dari kediaman saya, lebih banyak guru honorernya ketimbang ASN-nya.

    Setali tiga uang dengan honorer di lembaga vertikal yang tadi. Tenaga pendidik dan tenaga kependidikan di daerah juga mengalami nasib serupa. Gajinya sangat kecil sekali, kalaupun ada tambahan nilainya tidak seberapa.

    Di Kota Serang misalnya, guru honorer hanya di kasih tambahan honor Rp250 ribu per bulan dari pemerintah daerah, di Kabupaten Serang juga tak jauh berbeda hanya Rp500 ribu-an per bulan. Suka tidak suka, mau tidak mau honorer memang menjadi ujung tombak di segala bidang dengan gaji yang sangat kecil tapi memiliki banyak pekerjaannya.

    Jika dipikir-pikir, untuk memenuhi kebutuhan hidup rasanya sudah tidak masuk akal. Tapi, itulah kenyatannya. Mudah-mudahan, kedepan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dapat memberikan solusi terbaik untuk kesejahteraan para honorer. (*)

  • Banyak Kerjanya, Kecil Gajinya

    Banyak Kerjanya, Kecil Gajinya

    MENJADI seorang pegawai negeri saat sudah menjadi pilihan utama para pencari kerja, baik lulusan SLTA maupun perguruan tinggi. Namun, jumlahnya yang sangat terbatas membuat banyak orang berebut untuk menempatinya.

    Bahkan, karena saking inginnya menjadi pegawai negeri. Tak jarang orang-orang juga rela menjalani proses untuk menjadi honorer. Berharap kedepan akan ada kuota khusus bagi para honorer yang telah mengabdi. Walau harus ditempuh bertahun-tahun, bahkan bisa puluhan tahun.

    Yah benar, dibalik jalannya roda pemerintahan daerah maupun instansi vertikal lainnya. Selalu ada saja tenaga-tenaga honorer. Baik tenaga harian lepas maupun honorer dengan kontrak. Padahal, pemerintah sendiri telah berencana menghapus status honorer dari jajaran instansi pemerintah, baik di daerah maupun lembaga vertikal.

    Dengan memiliki jam kerja yang sama dengan para pegawai tetapnya. Honorer justru menjadi ujung tombak, ada yang tukang ketik, penerimaan pelayanan dan lain sebagainya. Bahkan, saya pernah melihat salah satu rekan honorer di lembaga vertikal yang kerjanya mengetik berkas di depan komputer dari pagi sampai petang. Yang mana pegawai negerinya atau tetapnya hanya tinggal menandatangani berkas saja.

    Urusan penghasilan, jangan ditanya pegawai negerinya ini bisa 10 kali lipat dari teman saya yang honorer tadi, itu baru tukang ketik. Rasa-rasanya di bidang pendidikan juga sama. guru honorer diakui atau tidak, saat ini juga menjadi ujung tombak dalam mencetak generasi bangsa. Bahkan, di sekolah yang tak jauh dari kediaman saya, lebih banyak guru honorernya ketimbang ASN-nya.

    Setali tiga uang dengan honorer di lembaga vertikal yang tadi. Tenaga pendidik dan tenaga kependidikan di daerah juga mengalami nasib serupa. Gajinya sangat kecil sekali, kalaupun ada tambahan nilainya tidak seberapa.

    Di Kota Serang misalnya, guru honorer hanya di kasih tambahan honor Rp250 ribu per bulan dari pemerintah daerah, di Kabupaten Serang juga tak jauh berbeda hanya Rp500 ribu-an per bulan. Suka tidak suka, mau tidak mau honorer memang menjadi ujung tombak di segala bidang dengan gaji yang sangat kecil tapi memiliki banyak pekerjaannya.

    Jika dipikir-pikir, untuk memenuhi kebutuhan hidup rasanya sudah tidak masuk akal. Tapi, itulah kenyatannya. Mudah-mudahan, kedepan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dapat memberikan solusi terbaik untuk kesejahteraan para honorer. (*)

  • Antara Sportivitas dan Mental Pejabat

    Antara Sportivitas dan Mental Pejabat

    SEPERTI biasa, pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) diwarnai kontroversi. Pemberlakuan sistem zonasi, afirmasi maupun prestasi tak bisa berjalan mulus. Karena buktinya, banyak temuan yang ditemukan masyarakat di lapangan.

    Kontroversi dalam PPDB saya rasa layak terjadi. Karena sejatinya PPDB adalah kompetisi bagi para calon peserta didik untuk mendapatkan sekolah yang paling buat dia. Masalahnya, ibaratnya sebuah pertandingan, kompetisi harus dijalani dengan azas-azas sportivitas.

    Dalam azas sportivitas, kecurangan tentu menjadi sesuatu yang terlarang untuk dilakukan. Bahkan tindakan-tindakan yang tidak sportif cenderung menjadi aib bagi si pelakunya.

    Sayangnya, kompetisi masuk sekolah menjadi ajang orang tua untuk membuktikan ‘kesaktiannya’. Segala cara dilakukan demi memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah unggulan.

    Temuan masyarakat yang banyak mengemuka, termasuk beberapa yang dilaporkan kepada Ombusdsmad RI adalah penggunaan Kartu Keluarga (KK) asli tapi palsu (Aspal). Ombudsman juga merilis aduan adanya pungutan liar dalam PPDB.

    Sahabat saya, yang kebetulan menjabat sebagai ketua RT di sebuah lingkungan di Kota Serang, juga mengaku mendapatkan permintaan dari seorang dari luar Kota Serang untuk memberi surat domisili Kepada anaknya yang tahun ini bakal masuk SMA. Tak tanggung-tanggung, permintaan ini dia terima setahun lalu.

    Awalnya, sistem zonasi diberlakukan untuk memberikan pemerataan pendidikan kepada warga negara. Keberadaan sekolah harus bisa diakses oleh masyarakat yang berada di sekitar sekolah itu.

    Namun, niat awal yang baik itu ternyata tak berjalan sesuai rencana. Berbagai celah coba diakali oleh orang tua siswa agar anaknya bisa masuk ke sekolah yang ternama, atau dulu dilabeli sekolah favorit.

    Saya memprediksi, kisruh PPDB tak harus selalu berulang jika pemerataan pendidikan tak hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat kuantitatif. Hal-hal yang bersifat kualitatif juga perlu dikejar agar sekolah di setiap pelosok wilayah Provinsi Banten bisa memberikan kualitas pendidikan yang sama dengan sekolah di kota misalnya.

    Satu lagi yang membuat saya tertarik menulis soal PPDB sebagai isu dalam rubrik vox populi kali ini adalah soal mental pejabat kita. Ketika seorang pejabat mengatakan PPDB berjalan lancar karena dirinya tidak mendapat laporan tentang adanya kecurangan-kecurangan, maka sampai disitulah masalah itu disikapi.

    Pejabat di Pemprov Banten digaji dari pajak yang dikumpulkan masyarakat. Kalau pekerjaannya hanya menunggu laporan, tentu sia-sia pula pajak yang kita bayarkan untuk menggaji mereka.

    Apresiasi justru layak diberikan Kepada Penjabat Gubernur Banten, Al Muktabar yang mau langsung turun ke lapangan melakukan verifikasi. Faktanya, Pj gubernur menemukan indikasi-indikasi kecurangan seperti yang dirisaukan masyarakat.

    PPDB ini bukan soal si anak sekolah dimana. Tapi soal bagaimana sebuah kompetisi dijalankan dengan jujur, baik oleh peserta maupun oleh panitia kompetisinya.(*)

  • Aya Jangan Menangis

    Aya Jangan Menangis

    Mungkin karena sedang pergantian musim, akhirnya sekeluarga saya sakit demam dan pusing kepala sejak minggu kemarin. Bisa jadi karena tidak kuat dengan rasa sakitnya, anak-anak saya jadi sering menangis akhir-akhir ini.

    Tapi tulisan ini bukan soal anak yang menangis tersebut. Ini soal mahasiswa semester 5 yang sedang melakukan praktik kerja industri, dan tiba-tiba menangis bersamaan dengan anak saya. Sebut saja namanya Aya.

    Aya menjelaskan, bagaimana praktik kerja industri menurut mayoritas teman-temannya yang sudah/sedang melakukannya. Ia mengatakan bahwa dalam praktik tersebut, harus melihat bagaimana kerja-kerja industri, yang menurut versinya, harus bukan di dalam kantor, tapi terjun ke lapangan. Sedangkan dia saat ini praktiknya di dalam kantor.

    Saya mencoba menjelaskan bahwa dalam panduan yang dikeluarkan oleh kampusnya, disebutkan bahwa tidak harus seragam seperti itu praktiknya, namun Aya yang merupakan kelahiran 2004 atau bisa disebut Gen Z ini tetap kekeuh dan sedikit meneteskan air mata.

    Nanti dulu, jangan langsung melekatkan air mata dengan stereotype manja dan malas yang kerap dilabelkan kepada anak Gen Z. Aya yang saya tahu ini, memang cukup (terlalu) ‘serius’ jika berurusan dengan akademik. Hal ini yang menyebabkan, terlihat ada sedikit kekhawatiran bagi dia jika cara yang saya anjurkan, berdasarkan pengalaman saya, akan membuat nilai dia jelek atau versi dia adalah SALAH.

    Hasil survei dari Varkey Foundation untuk Gen Z menyatakan, kecemasan yang dihadapi oleh Gen Z mayoritas dipengaruhi oleh Uang, kemudian akademis, kesehatan dan keluarga. Lebih dari setengah responden atau sebanyak 51 persen mengatakan “uang” adalah satu dari tiga faktor utama yang berpengaruh pada rasa cemas mereka.

    Lalu sebanyak 46 persen merasa tertekan oleh kegiatan akademiknya di sekolah.

    Penyebab lain ketidakbahagiaan para anak muda ini adalah masalah kesehatan yang mengambil porsi 32 persen, keluarga 27 persen. Hanya sebanyak 30 persen dari responden Gen-Z ini yang merasa tak memiliki masalah dengan kesehatan emosi.

    Artinya, tak banyak masalah yang dipikirkan, tidak merasa cemas, diganggu, tidak dicintai, ataupun kesepian. Wajar saja, sebab hanya sebesar 17 persen Gen-Z yang mengaku mendapatkan tidur cukup, istirahat, dan refleksi.

    Faktor akademis yang menjadi peringkat kedua penyebab kecemasan dan ketidakbahagiaan Gen Z ini juga memberikan dampak tidak percayanya Gen Z terhadap pendidikan tinggi, setidaknya hal tersebut dapat ditunjukkan dari hasil survei Morning Consult, sebuah perusahaan teknologi riset, yang menyatakan, Sekitar 35 persen anggota dewasa Generasi Z yang disurvei mengatakan mereka cenderung tidak mempercayai pendidikan tinggi, mereka yang berusia 18-25 tahun yang termasuk dalam kelompok Generasi Z adalah yang paling tidak mempercayai pendidikan tinggi.

    David Stillman dan Jonah Stillman (2017) memberikan gambaran cukup komprehensif tentang karakter Gen Z. Dalam bukunya Gen Z @ Work: How The Next Generation is Transforming the Workplace, ayah dan anak ini mengidentifikasi tujuh karakter utama Gen Z, yaitu: figital, fear of missing out (FOMO), hiperkustomisasi, terpacu, realistis, Weconomist, dan do it yourself (DIY).

    FOMO yang merupakan satu dari 7 sifat unik Gen Z, yang saya rasa terdapat di Aya, sangat takut melewatkan sesuatu. Hal ini menyebabkan, Aya cenderung memiliki kekhawatiran kurang bergerak cepat/Tidak menuju arah yang benar. Selalu ingin melompat dan memastikan bahwa mereka tidak ketinggalan.

    Sebenarnya, jika dikelola dengan baik, FOMO ini menjadi satu hal yang baik dengan penguatan sifat unik realistisnya. Namun, terkadang ketakutan untuk tertinggal tersebut memang cenderung untuk mengabaikan keruntutan, kehati-hatian dan keseksamaan dalam melihat sesuatu, yang pada akhirnya justru menjebak Gen Z pada hal-hal yang tidak substansi.

    Walaupun cukup menyulitkan bagi saya untuk berhadapan dengan Aya versi Gen Z ini, namun sebagai milenial, saya tetap harus mempelajari bagaimana menghadapinya.

    Akhirnya untuk menenangkan Aya, setelah coba menjelaskan dengan ringkas sesuai panduan Praktik Kampusnya, saya langsung saja memberikan judul untuk artikel ilmiah luaran dari praktik ini.

    Aya jangan menangis lagi kalau dosen nanti nolak judul tersebut, soalnya saya milenial yang masih harus belajar menghadapi Gen Z.(*)

  • Ngampak Konstitusional

    Ngampak Konstitusional

    NGAMPAK, kata itu merupakan kata verbatim dari aktivitas membelah kayu menggunakan kapak atau kampak. Kata ngampak digunakan biar lebih sederhana aja dalam berkomunikasi. Namun pada kelompok tertentu, kata ‘ngampak’ memberikan makna yang berbeda.

    Secara sederhana, tafsir kata ‘ngampak’ yang dimaknai pada kelompok-kelompok tertentu itu adalah mengancam seseorang, biasanya seorang pejabat, dengan suatu hal yang dapat berakibat buruk bagi sang pejabat, dan meminta sejumlah uang atau keuntungan lainnya, jika tidak mau hal itu dilakukan. Istilah dalam bahasa Inggrisnya adalah blackmailing.

    Namun, aktivitas blackmailing masuk ke dalam aktivitas kriminal. Biasanya aktivitas itu dilakukan oleh para mafia atau gangster atau kelompok kriminal lainnya. Kalau masuk ke dalam aktivitas kriminal, maka sudah pasti tidak sesuai dengan konstitusi dong.

    Lalu bagaimana dengan ‘ngampak’ yang konstitusional? Apakah benar ada? Tentu bagi kalian yang membaca Vox Populi saya pada edisi terdahulu, pasti tahu arah tulisan ini kemana. Betul, kita akan mengulas dari sisi Drama Korea lagi.

    Dalam Drama Korea berjudul ‘Diary of Prosecutor’ episode 9, hampir seluruhnya menceritakan tentang pihak-pihak yang menggunakan celah hukum, untuk ‘ngampak’ para pejabat. Biasanya yang dikampak adalah pejabat publik seperti Kepala Polisi dan Kepala Kantor Pos, dengan cara melakukan gugatan.

    Ada tiga raja ngampak dalam drama tersebut. Namun dalam episode itu, hanya tersisa satu orang saja, namanya Kapak Hwang. Dia merupakan seorang peternak lebah, namun memahami dasar-dasar hukum Tata Usaha Negara hingga pidana.

    Meskipun bekerja sebagai seorang peternak lebah, Kapak Hwang akan menjadi pengangguran ketika musim ternak lebah berakhir. Saat itulah dia beraksi. Berbekal pemahaman akan dasar-dasar hukum, Kapak Hwang bekerja dengan giat dengan mencari-cari kesalahan kecil, dan melakukan gugatan.

    Dalam narasinya, Kapak Hwang memang memiliki hobi melakukan gugatan. Bahkan dalam lima bulan saja, dia mengajukan gugatan sebanyak 200 kasus. Artinya kalau dirinci, setidaknya dia mengajukan sebanyak 1 hingga 2 gugatan dalam sehari. Bahkan yang digugat, terkadang tidak tahu kenapa mereka digugat.

    Ibarat kalimat motivasi ‘Jadikan hobimu menjadi cuan’, hobi menggugat Kapak Hwang menjadi salah satu pemasukan bagi dirinya, selama masa libur ternak lebah. Disebutkan, Kepala Kantor Pos di Jinyeong kerap memberikan ‘upeti’ kepada Kapak Hwang, biar enggak digugat.

    Episode yang berdurasi 51 menit itu menggambarkan bagaimana malesnya Kejaksaan Jinyeong untuk ngeladenin Kapak Hwang. Pasalnya, mereka pun merasa bahwa Kapak Hwang hanya menjadikan mereka dan hukum sebagai alat untuk ‘ngampak’. Akan tetapi, mereka tidak bisa menolak, karena kalau menolak, Kapak Hwang akan mengajukan keberatan kepada atasan mereka.

    Gugatan yang disampaikan oleh Kapak Hwang memang sah, karena setiap orang berhak untuk mengajukan gugatan, sekalipun itu seorang jaksa. Namun beberapa cara yang dilakukan oleh Kapak Hwang lah yang akhirnya membuat dia harus terjebak oleh hobinya sendiri.

    Pada salah satu scene drama, Kapak Hwang menuntut seorang anggota polisi setempat. Tuntutan itu karena dia sempat mengajukan permohonan informasi, terkait dengan catatan kriminal dan penyidikan, yang seharusnya hal itu tidak boleh dilakukan sembarangan dan tanpa tujuan tertentu.

    Namun karena Kapak Hwang ternyata hanya mencari-cari kesalahan untuk melakukan gugatan, pada akhirnya dia mendapat ganjarannya. Dia digugat balik oleh para korbannya sebanyak 23 orang, atas tuduhan palsu yang dilakukan oleh si Kapak. Ending yang buruk bagi sang ‘penegak’ aturan.

    Itu di Drama Korea, bagaimana di Indonesia, khususnya di Banten? Alhamdulillah, tidak ada yang seperti itu. Pihak-pihak yang menggunakan haknya untuk menggugat dan mengajukan permohonan informasi, sama sekali tidak ada tujuan untuk ‘ngampak’.

    Pihak-pihak yang melakukan gugatan hingga permohonan informasi, melakukan tindakan tersebut hanya untuk menjaga hak mereka sebagai warga negara agar tidak direbut, secara sengaja maupun tidak sengaja, oleh orang lain. Jadi sekali lagi, Alhamdulillah ‘ngampak’ konstitusional itu hanya terjadi di Drama Korea ya Ce’es BANPOS.

  • MANG JASENG BALIK MANING

    MANG JASENG BALIK MANING

    BAGI pembaca setia koran harian Banten Pos maka tak akan asing jika mendengar rubrik ‘Mang Jaseng’. Kini, Mang Jaseng kembali menemani pembaca dalam bentuk tayangan Podcast.

    Mang Jaseng merupakan rubrik yang telah hadir sejak pertama kali koran Banten Pos cetak tahun 2011 silam. Awalnya, rubrik ini berisikan tentang pemberitaan peristiwa maupun isu yang ditranslite ke dalam bahasa jawa serang.

    Dalam perjalanannya, sempat mengalami pergeseran menjadi rubrik sentilan bagi pihak terkait yang ada dalam sebuah pemberitaan. Agar dapat segera mengambil tindakan atas peristiwa atau isu yang terjadi ditengah masyarakat.

    Bahkan, Banten Pos sempat mendapatkan apresiasi karena menjadi salah satu koran di Banten yang turut melestarikan bahasa lokal, yakni bahasa jawa serang.

    Setelah lebih dari tiga tahun vakum, kini melalui channel YouTube Banten Pos, Mang Jaseng hadir ditengah-tengah penikmat layanan Media digital Banten Pos. Tentu hadirnya Podcast Mang Jaseng ini juga bertujuan melestarikan bahasa lokal. Dengan harapan bahasa ibu asli Serang ini tetap lestari menemani kehidupan dalam dialog masyarakat serang dan sekitarnya.

    Terlebih lagi, informasi yang diberikan oleh para pelestari bahasa jaseng mengungkapkan jika penggunaan bahasa jaseng ini kian tahun kian menurun. Penyebabnya, misalnya pertama, karena sudah tidak diajarkan oleh orang tuanya. Kedua, ada gengsi orang serang menggunakan jaseng di ruang-ruang publik.

    Meski demikian, patut disyukuri juga saat ini bahasa jawa serang hadir pada muatan lokal (mulok) pada tingkat pendidikan dasar dan menengah di Banten dengan nama lain bahasa jawa banten.

    Podcast Mang Jaseng nantinya akan bermateri dan mengupas isu-isu kekinian yang ada ditengah-tengah masyarakat Serang khususnya dan Banten pada umumnya. Yang dibawakan secara ringan agar dapat dinikmati oleh semua kalangan. Tentunya dengan menggunakan bahasa jawa serang Mang Jaseng siap mewarnai kehidupan masyarakat serang. (*)