Kategori: VOX POPULI

  • Nobar Videotron

    Nobar Videotron

    DALAM beberapa tahun belakangan, pemerintah Kota Serang terus berusaha meningkatkan komunikasi publiknya dengan masyarakat. Dalam dua tahun terakhir, videotron menjadi salah satu andalan untuk mempublikasikan dan mensosialisasikan program maupun kemajuan pembangunan di ibukota Provinsi Banten. Tapi kok saya merasa ada yang aneh.

    Beberapa videotron dipasang di sejumlah titik strategis di Kota Serang. Tampaknya sengaja di tempat yang ramai dilalui orang agar fasilitas itu dapat dilihat oleh masyarakat, terutama tentu saja masyarakat Kota Serang.

    Namun, tampaknya keinginan Pemkot Kota Serang untuk terlihat ‘canggih’, justru terlihat kebalikannya. Karena menurut saya, dua fungsi utama dipasangnya videotron-videotron itu tidak tercapai.

    Fungsi pertama yang saya soroti adalah fungsi informatif. Karena, ini adalah fungsi utama pemasangan videotron yang konon nilainya mencapai miliaran rupiah itu.

    Kenapa saya menganggap videotron tidak memenuhi fungsi informatif?

    Pertama, konsep informasi yang ditayangkan dalam videotron tidak sesuai dengan sifat videotron yang seharusnya menyajikan informasi yang singkat, padat dan mudah dipahami.

    Yang saya lihat justru sebaliknya. Banyak informasi yang disampaikan bersifat bertele-tele. Misalnya ada video Kepala derah menyampaikan sesuatu di dalam tayangan videotron. Namun, informasi apa yang disampaikan sangat tidak jelas karena videotron itu tidak mengeluarkan suara apa-apa.

    Yang harusnya dipahami, videotron yang dilalui di pinggir jalan ramai, kebanyakan dilihat oleh pengendara kendaraan yang melaluinya. Mereka tidak memiliki banyak waktu untuk melihat videotron itu karena justru bisa mengakibatkan kecelakaan.

    Karena itu, penting agar informasi yang disampaikan bisa bersifat singkat padat dan mudah dipahami. Informasi yang disampaikan harus sesingkat mungkin agar pengendara yang melaluinya masih bisa memahami informasi itu saat melintasi videotron itu.

    Saya sih mengusulkan agar informasi yang ditampilkan cukup dalam bentuk slide dengan tulisan-tulisan besar dan kontras agar mudah dibaca dan dipahami. Boleh juga disertakan foto Kepala daerah kalau memang harus.

    Karena, bila disampaikan dalam bentuk video, waktu yang diperlukan lebih lama, dan bila pun ada suaranya, belum tentu juga terdengar oleh pengendara yang mengendarai kendaraan karena berada di dalam mobil atau karena faktor kebisingan di lokasi videotron itu berada.
    Usul saya itu terkait juga dengan fungsi kedua dari videotron, yaitu fungsi estetis. Informasi yang disampaikan dalam bentuk slide tentu juga bisa menambah keindahan dari keberadaan videotron tersebut.

    Keindahan itu akan memicu orang yang melintasi videotron untuk melihatnya. Namun, karena informasinya yang singkat dan padat, informasi yang disampaikan tidak perlu mengancam keselamatan pengendara. Istilahnya, sekali lirik, oke saja lah. Artinya, sekali orang melihat, sudah memahami apa yang disampaikan dalam informasi tersebut.

    Tentu kita senang bila Kota Serang bisa meraih kemajuan, termasuk dalam bidang teknologi. Rasanya, anggaran yang sudah dialokasikan pun tidak menjadi masalah bila teknologi itu benar-benar tepat sasaran dan berfungsi sesuai niat awalnya.
    Saya yakin, masyarakat kota Serang juga ingin daerahnya terlihat maju, terlihat canggih, terlihat serba teknologi. Namun, treatment yang benar tentu akan menjadi nilai lebih bagi sebuah teknologi.

    Pemkot Serang pun tentu perlu diapresiasi karena sudah menyediakan sarana informasi yang bisa diakses seluruh masyarakat. Namun, perbaikan-perbaikan tentu harus dilakukan agar masyarakat benar-benar bisa menyerap informasi yang ingin disampaikan. Karena sejatinya, videotron bukan fasilitas untuk nobar.(*)

  • Jaksa Vs Polisi

    Jaksa Vs Polisi

    Ini adalah ide yang yang sebelumnya sempat mau diminta oleh Redaktur Pelaksana (Redpel) Banten Pos, yang Kamis kemarin curhat kalau dia bingung mau nulis apa. Mumpung masih fresh, maka saya akan tuangkan dalam tulisan ini, sambil memantau perkembangan yang terjadi.

    Tahukah kalian bahwa wewenang Kejaksaan saat ini tengah digugat oleh salah seorang warga ke Mahkamah Konstitusi? Wewenang yang dimaksud adalah terkait dengan penyidikan perkara tindak pidana korupsi (Tipikor) yang dimiliki oleh Kejaksaan.

    Singkatnya, gugatan dilandasi pada adanya dugaan inkonstitusionalitas dalam wewenang ganda Kejaksaan untuk melakukan penyidikan sekaligus penuntutan, atas perkara Tipikor. Pasalnya dengan adanya wewenang ganda tersebut, maka proses mulai dari penyidikan, prapenuntutan, pendakwaan hingga penuntutan, sepenuhnya dipegang oleh Kejaksaan, hingga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan.

    Gugatan atas kewenangan ini mengingatkan saya pada sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun 2019. Pada tahun itu, terjadi perseteruan antara Kejaksaan dengan Kepolisian, terkait dengan wewenang investigasi, dimana Kepolisian merasa bahwa Kejaksaan terlalu memiliki kewenangan yang besar atas investigasi, sementara mereka kekurangan wewenang di lapangan.

    Perseteruan tersebut berlangsung sengit, bahkan sampai terjadi peristiwa penculikan seorang Jaksa dan juga kematian seorang anggota Kepolisian. Peristiwa itu merupakan gambaran dari plot kisah Drama Korea berjudul ‘Stranger’ season 2.

    Drama yang diperankan oleh Jung Seung Woo sebagai Hwang Shi Mok, si jaksa bermuka lempeng, dan juga Bae Doo Na sebagai Han Yeo Jin, si detektif petakilan, ini memang menceritakan perebutan wewenang investigasi antara Polisi dan Kejaksaan. Soalnya di sana, Polisi itu dalam hal investigasi atau penyidikan, memang berada di bawah ketiak Jaksa. Kalau jaksa gak ngebolehin, ya gak boleh itu diinvestigasi.

    Besarnya wewenang Jaksa di Korea Selatan dalam hal penyidikan, kerap dijadikan latar cerita banyak Drakor lainnya, dengan cerita ‘Jaksa jahat’. Bahkan dalam Drakor berjudul ‘Diary of Prosecutor’, terdapat percakapan karakter di sana (saya lupa siapa) yang menyampaikan kalau mereka (para Jaksa) bete, banyak drama yang membuat citra mereka jelek.

    Sebetulnya, sudah banyak tulisan yang mengulas perbandingan wewenang Jaksa di Indonesia, dengan wewenang Jaksa di Korea Selatan berbasiskan pada Drakor. Saya sempat baca beberapa, dan berakhir pada ketidakmengertian karena tidak punya basis keilmuan hukum, hehe.

    Namun sebagai pecinta Drakor dengan tema hukum (romantis), kerajaan (romantis) dan aksi laga (romantis), saya sempat berkata ‘hah?’ saat baca berita gugatan ke Mahkamah Konstitusi tersebut. Karena menurut saya, menurut saya pribadi yang awam soal hukum, justru kalau bisa wewenang Kejaksaan diperkuat, biar bisa sekuat di Drakor, sampai kepada pidana umum.

    Mengapa demikian? Ini lah hidup, ada saja kejutannya. Kebetulan, beberapa pekan yang lalu kita dihebohkan dengan perkara ‘Revenge Porn’ atau ‘Sextortion’ yang menimpa salah satu mahasiswi asal Pandeglang. Perkara tersebut viral menurut alternatif pandangan saya, adalah karena Kejaksaan yang tidak memiliki kewenangan untuk ‘fleksibel’ dalam melakukan penuntutan perkara pidana umum, dan hanya menerima berkas dari Kepolisian saja.

    Dalam perjalanan perkara itu, diketahui jika korban dan keluarga korban sempat menyampaikan ke Kejari Pandeglang bahwa perkara ini tuh asal muasalnya dari peristiwa pemerkosaan. Namun karena Kejaksaan tidak memiliki kewenangan, akhirnya mereka hanya bisa menerima curhatan dari korban dan keluarga korban, dan mengarahkan untuk lapor ke Kepolisian.

    Coba bayangkan jika Kejaksaan memiliki kewenangan sebagaimana Kejaksaan di Drakor. Pada saat korban dan keluarga korban ‘curhat’ soal pemerkosaan di posko pertama dan satu-satunya di Indonesia itu, maka bu Kajari bisa langsung bilang “Oh begitu ya? Kenapa gak bilang dari awal. Mohon lengkapi buktinya, nanti Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan ubah surat dakwaan dan tuntutannya, untuk memasukan perkara pemerkosaan!”. Maka gak akan viral ini perkara. Meskipun memang ada beberapa hal lain yang menjadi landasan pihak keluarga, untuk memviralkan perkara itu.

    Tapi perlu diingat, kita tidak hidup di Drama Korea, kita hidup di Indonesia. Ada aturan-aturan berkaitan dengan Hukum Acara Pidana, yang menjadi pedoman aparat penegak hukum kita untuk bertindak. Kendati saya sempat gemas karena berpikiran ‘Kenapa Kejari Pandeglang gak inisiatif sih buat koordinasi dengan Polda, terkait dengan curhatan pihak korban dan keluarga’.

    Hari ini, sidang putusan atas perkara Revenge Porn akan digelar. Keluarga korban berharap, putusan yang diberikan berat, seperti tuntutan yang disampaikan oleh JPU. Semua kembali lagi kepada kebijaksanaan Majelis Hakim, semoga yang terbaik yang diputuskan.

    Akhir tulisan, kembali ke gugatan Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan itu keren loh. Kejati Banten saja mendapat penghargaan dari KPK sebagai Kejaksaan paling gokil dalam menangani perkara Tipikor. Gimana jadinya kalau kewenangan penyidikan Tipikor oleh Kejaksaan dihapus?

    Jawabannya, kita tunggu putusan Mahkamah Konstitusinya saja, sambil menunggu kabar apakah ‘Stranger’ season 3 akan diproduksi atau enggak. (*)

  • KOTA SERANG, KOTA PENDIDIKAN

    KOTA SERANG, KOTA PENDIDIKAN

    KOTA SERANG memang baru berdiri pada Agustus 2007 lalu. Meski demikian, jauh sebelumnya Kota Serang sendiri sudah menjadi magnet bagi para penuntut Ilmu. Baik di tingkat menengah atas maupun perguruan tinggi. Misalnya saja dahulu untuk STM Negeri, nyaris hanya STM Negeri Serang yang kini menjadi SMKN 2 Kota Serang dikejar oleh pelajar di Banten.

    Juga perguruan tinggi negeri, Untirta yang berdomisili di Kota Serang menjadi target utama para orang tua agar anaknya dapat berkuliah di kampus ini. Kini, sudah hampir memasuki usia 16 tahun Kota Serang berdiri. Tak kurang dari 17 kampus besar yang dua diantaranya berstatus perguruan tinggi negeri berada di Ibukota Provinsi Banten ini.

    Dari belasan kampus tersebut, tak kurang dari 50 ribu mahasiswa berada tinggal di Kota ini. Tentu jumlah ini tidak sedikit, dan keberadaannya sudah semestinya dapat dimanfaatkan baik bagi masyarakat maupun pemerintah daerah. Baik dalam sisi ekonomi maupun bidang lainnya. Pengembangan keilmuan juga sudah sepatutnya dapat menyumbangkan sesuatu bagi pembangunan Kota yang berjuluk Kota Madani ini.

    Menukil dari pernyataan Pembina Yayasan Insan Pelita Pratama Indonesia yang menaungi Universitas Primagraha Haerofiatna yang sangat mendorong terciptanya Kota Serang menjadi Kota Pendidikan. Karena menurutnya, Kota Serang saat ini memang sudah menjadi kota industri pendidikan karena berbanding lurus dengan kota perdagangan dan jasa. Terlebih lagi, multiplayer pendidikan berdampak luar biasa ke semua lini. Salah satunya bisa menghidupkan UMKM.

    Untuk itu, pembangunan sarana dan prasarana di Kota Serang sejatinya sudah harus lari jauh dari kata ketertinggalan. Bukan cuma karena statusnya sebagai Ibukota Provinsi Banten tapi sebagai wajah cerah pendidikan di Banten. Salah satunya jangan ada lagi lampu PJU yang di sekitaran kampus-kampus. Selain itu, perlu ditambahkan berbagai fasilitas di taman-taman yang ada di Kota Serang sebagai penunjang para pelajar maupun perantau yang sedang menuntut ilmu di Kota Serang.

    Disisi lain, Pemerintah Kota Serang juga perlu mulai mencontoh pemerintah daerah tetangga. Karena mereka sudah mampu memberikan beasiswa kepada warganya untuk perguruan tinggi, sedangkan di Kota ini hanya baru wacana. Jangan sampai nanti Kota Serang yang menjadi Kota Pendidikan warganya kesulitan dalam menggapai pendidikan. Juga jangan sampai warga Ibukota Provinsi Banten hanya menjadi penonton bagi para perantau yang sedang pendidikan. (AZM)

  • Bad News is Berita Jelek

    Bad News is Berita Jelek

    SEORANG mahasiswa melakukan penelitian di BANPOS untuk menyelesaikan tugas skripsinya. Dia pun mewawancarai saya selama kurang lebih satu jam lamanya. Dari banyak pertanyaan yang dia sampaikan, ada satu pertanyaan yang ingin saya bahas disini.

    “Apakah bad news is good news?” demikian sang mahasiswa bertanya pada saya.

    Selama ini, bad news alias berita buruk kerap disandingkan kepada berita-berita yang punya nilai-nilai negatif, baik kepada persona maupun kepada sebuah situasi atau peristiwa. BANPOS yang kerap memberi judul ‘panas’ di headline-nya, pun dicap mengusung prinsip bad news is good news.

    Berbicara bad news, tentu tak bisa lepas dari perspektif orang yang membaca sebuah narasi. Baik dalam sebuah pemberitaan maupun tulisan-tulisan lain.

    Buat orang atau kelompok yang diberitakan karena terbelit dalam sebuah permasalahan, tentu sebuah pemberitaan memiliki nilai negatif bagi dirinya. Namun, dari sisi lain pemberitaan itu justru memberi gambaran Kepada pembaca tentang sebuah permasalahan yang disorot dalam sebuah tulisan.

    Bisnis media massa tentu berbeda dengan bisnis lainnya. Sebagai pilar keempat demokrasi, ada tanggung jawab moral maupun sosial untuk memberi manfaat kepada publik. Karena, dalam Undang-undang Pers disebutkan, fungsi utama pers adalah menjadi media informasi, kontrol sosial, hiburan dan pendidikan.

    Karenanya, baik buruknya sebuah tulisan tidak hanya bisa dilihat dari konteksnya saja. Bagi sayang,bagus tidaknya sebuah pemberitaan harus diliat dari seluruh aspek, baik konteksnya, kualitas tulisannya, hingga dampak yang muncul setelah tulisan itu dibaca orang. Selain itu, keberimbangan sebiah berita juga menjadi faktor penentu kualitas sebuah tulisan.

    Kasus Pantai Terkumuh se-Indonesia di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, beberapa waktu lalu menjadi viral. Situasi itu bisa menjadi contoh bagaimana sebuah publikasi dengan negatif bisa menyatukan banyak stakeholder melakukan perbaikan.

    Dari unggahan media sosial yang viral, pers pun ikut menggaungkannya. Dampaknya adalah ketika semua pihak saling bahu membahu memberikan kemampuannya untuk menyelesaikan, atau minimal mengurangi, persoalan yang ada di pantai itu.

    Lalu, soal berbagai peristiwa korupsi di Banten. Apa yang terjadi bila pers tak memberitakannya?

    Padahal dari berita-berita itulah masyarakat bisa terlibat aktif ikut mengawasi perjalanan sebuah kasus, dari mulai terungkapnya sebuah indikasi korupsi hingga inkrah secara hukum.

    Lagi-lagi sebagai salah satu pilar demokrasi, pers harus menjadi watch dog bagi penyelenggaraan hukum dan pemerintahan. Karenanya, pemberitaan soal kasus-kasus yang muncul menjadi pendorong bagi penegak hukum untuk menjalankan fungsinya secara profesional, sekaligus memberikan informasinsebagai perwujudan asas transparansi dalam penanganan sebuah kasus.

    Jadi, kembali berbicara soal bad news, sekali lagi, tergantung pada perspektif orang yang membacanya.

    Selama ini, saya selaku pemimpin redaksi di BANPOS masih yakin kalau kami hanya menyampaikan good news kepada pembacanya. Artinya, berita yang disajikan memenuhi aspek kualitas, bisa dipertanggungjawabkan secara hukum maupun kode etik jurnalistik, juga memberi dampak terhadap perubahan yang terjadi di Provinsi Banten.

    Sedangkan bad news, bagi saya adalah berita yang benar-benar buruk secara harfiah. Kualitas penulisannya kacau, tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, melanggar kode etik jurnalistik dan tidak memberi manfaat apapun kepada pembacanya, apalagi kepada masyarakat secara umum.

    Jadi, buat saya bad news is berita jelek. Itu saja!(*)

  • Ting Bating

    Ting Bating

    KORAN merah, itulah sebutan yang disematkan oleh orang-orang terhadap Harian Banten Pos. Bukan karena merujuk pada suatu organisasi atau partai politik, melainkan ciri khas koran yang telah berusia 12 tahun ini, yang kerap bikin mata pembacanya merah membara: karena terpantik dengan isu yang diangkat, atau karena marah ‘Duh apa lagi ini?’.

    Meskipun terhitung baru, kurang lebih baru 5 tahun saya membersamai Banten Pos, saya telah melihat cukup banyak pandangan orang terhadap koran jaringan Rakyat Merdeka ini. Galak, banyak yang berkata demikian. Kritis, juga banyak. Memegang teguh idealisme dalam membuat karya jurnalistik, wah ngecap banget ya. Namun itulah inti dari tulisan ini.

    Alkisah, pada saat saya baru saja dipindah tugas wilayah peliputan dari Kota Serang menjadi Provinsi Banten, saya diharuskan untuk mengonfirmasi salah satu pejabat di Pemprov Banten. Karena yang bersangkutan tidak bisa ditemui, terpaksa harus mengonfirmasi via telepon.

    Awalnya, panggilan telepon yang saya lakukan tidak direspon. Buru-buru saya mengirimkan pesan WhatsApp kepada yang bersangkutan. “Assalamualaikum pak izin, saya Diebaj dari BantenPos. Mau mengonfirmasi beberapa hal pak, izin minta waktunya,” tulis saya melalui WhatsApp.

    Seketika itu juga, yang bersangkutan menelepon saya. Yang diungkapkan olehnya pada saat awal-awal perbincangan adalah “Saya gak mau diberitain judulnya merah,” ujarnya kepada saya. Penggunaan judul warna merah memang juga menjadi ciri khas dari Banten Pos.

    Kisah lainnya, suatu ketika ada seorang pejabat pemerintah yang menyampaikan bahwa Banten Pos merupakan salah satu koran favoritnya. Apalagi edisi Indepth yang rutin terbit setiap hari Jumat. Dia menyampaikan kalau Banten Pos berani mengulik isu-isu secara mendalam, disajikan secara lugas tanpa ada takutnya.

    Beberapa waktu kemudian, dia justru mencak-mencak ke Banten Pos. Alasannya, Banten Pos memberitakan suatu permasalahan yang melibatkan dirinya. Mungkin edisi Banten Pos saat itu menjadi edisi yang bukan favoritnya. Karena pada edisi selanjutnya, dia kembali menjadi Ce’es BANPOS seperti sedia kala.

    Baru-baru ini, Banten Pos mengangkat sebuah Indepth yang cukup membuat ‘gaduh’ sejumlah pihak di daerah maupun pusat. Running berita sampai saat ini masih terus berjalan. Pekan lalu, saya bertemu dengan salah satu pihak yang terkait dengan pemberitaan itu. Mereka minta supaya berita tidak perlu dilanjutkan, sambil diselipi marah-marah plus dalil agama.

    Mereka suka sama Banten Pos, karena beritanya ‘nendang’. Tapi sialnya, yang diberitain itu mereka, jadilah marah-marah. Namun di akhir pertemuan, mereka malah mempercayakan sebuah isu yang cukup menarik untuk diulik. Katanya, mereka yakin kalau Banten Pos bisa menguliti isu tersebut sampai tuntas.

    Realita itulah yang dihadapi oleh Banten Pos. Belum lagi ketika harus menghadapi pertanyaan ramai-ramai “Emang ada masalah apa sih Banten Pos dengan si anu, OPD itu, lembaga itu?”, jawabannya adalah: tidak ada.

    Sebagai media yang profesional, Banten Pos berpegang teguh pada aturan-aturan yang berlaku seperti Kode Etik Jurnalistik, Undang-undang Pers serta pedoman-pedoman lainnya. Salah satu amanatnya ialah melakukan pengawasan atau kontrol sosial sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Hal itulah yang menjadikan Banten Pos terkadang galak, selalu kritis, dan dianggap idealis. Jadi bukan soal like and dislike seperti yang biasa muncul pada saat pelaksanaan rotasi dan mutasi pejabat, enggak.

    Sebetulnya, saya sangat meyakini bahwa publik, khususnya para pejabat, memahami bahwa salah satu fungsi pers adalah kontrol sosial. Namun yang bikin jengkel adalah, fungsi itu seolah-olah tidak boleh berlaku kalau menyangkut persoalan mereka.

    Saking jengkelnya, kami sampai-sampai membuat adagium sendiri: Gua seneng sama Banten Pos, asal jangan gua yang diberitain. Sementara imajinasi saya, membuat sebuah anekdot yang kisahnya ditutup dengan dialog logat khas Jaseng, ‘Ting buating, jangan gue yang diberitain’. (*)

  • BERKAH IDUL KURBAN

    BERKAH IDUL KURBAN

    BARU saja kita semua melewati Hari Raya Idul Adha, atau yang biasa disebut lebaran haji atau sebagian dari kita menyebutnya Hari Raya Idul Kurban yang jatuh pada 10 Dzulhijah kemarin. Hari Raya Idul Adha sendiri sejatinya merupakan dirayakan dalam rangka memperingati peristiwa Nabi Ibrahim yang bersedia mengorbankan putranya Ismail sebai wujud kepatuhan terhadap Allah SWT.

    Di Banten sendiri, gegap gempitan perayaan Idul Kurban sudah terasa sejak calon jamaah haji di tanah air mulai berangkat ke tanah suci Mekah. Disaat itu pula, sebagian dari pengusaha dadakan hewan kurban sudah mulai menjajakan dan memamerkan barang dagangannya berupa domba, kambing, sapi hingga kerbau.

    Kondisi ini sudah terjadi sejak tahun 2000-an, dimana saya sendiri selaku penulis mengalami hal serupa saat almarhum ayah saya menjadi pedagang hewan kurban dadakan di kala itu. Makin, tahun, makin ramai pedagang serta pembelinya. Tak kurang dari Terlebih lagi, kondisi ekonomi masyarakat sudah mulai setelah beberapa tahun sebelumnya dihajar pandemi.

    Saya juga masih ingat pepatah orang tua dahulu yang menyatakan, berapapun jumlah hewan kurban yang dijual. Ketika memasuki hari H, tidak ada kata tidak habis. Tadinya saya seolah tak peduli dengan kata-kata ini, tetapi saat saya mencoba bertanya ke beberapa pedagang. Memang betul, jika hewan kurban yang mereka jual sudah habis terjual. Kalaupun masih ada hewan yang dipajang di lapak. Itu sudah ada pembelinya, tinggal menunggu untuk diantarkan atau diambil sendiri oleh pembeli.

    Misalnya untuk warga Ciruas dan sekitaranya, mengenal Haji Satibi sebagai pedagang hewan kurban. Ia meniti karir sebagai penjual hewan ternak di bilangan pasar ciruas dan kalodran. Melalui momen Idul Kurban nasibnya melompat menjadi konglomerat hewan kurban dan segala jenis kebutuhan pertanian. Karena sekali musim, ia mampu menjual hingga ratusan ekor hewan kurban, baik domba, sapi maupun kerbau.

    Pedagang lainnya di kawasan Carenang, Kabupaten Serang, M. Hadi misalnya sudah beberapa tahun ini ia belajar membuka lapak hewan kurban di kawasan tersebut. Ia mengaku tidak pernah mengalami hewan kurban yang tidak laku. Karena meski sudah memasuki Idul Adha, masih ada dua hari tasyrik lainnya untuk proses penyembelihan hewan kurban. Ia bersyukur tahun ini ada peningkatan penjualan meski belum banyak.

    Saya sendiri optimis akan geliat ekonomi dari berkah Idul Adha semakin tahun akan semakin lebih baik. Terlebih lagi, masih ada perkampungan-perkampungan di Banten yang belum ada aktivitas penyembelihan hewan kurban. Meski demikian, diperlukan dorongan alim ulama atau pihak-pihak terkait untuk mendorong dan membiasakan titik-titik kampung yang belum terbiasa dengan penyembelihan hewan kurban. (*)

  • Bu Risma Salah Marah

    Bu Risma Salah Marah

    Siapa sih yang tidak kenal bu Risma? Wanita yang bernama lengkap Tri Rismaharini ini terkenal saat menjabat sebagai Walikota Surabaya, tidak tanggung-tanggung, dua periode Risma pimpin kota dengan simbol Hiu dan Buaya tersebut. Pada masa kepemimpinannya, Bu Risma telah mencapai berbagai prestasi gemilang dalam bidang tata kelola sampah dan pembangunan infrastruktur. Karena prestasinya yang luar biasa, banyak yang menganggap Bu Risma memiliki kemampuan yang sangat baik, bahkan setara dengan seorang menteri.

    Meskipun telah meraih ratusan penghargaan yang layak diperhitungkan, masyarakat terkadang lebih mengingat gaya kepemimpinan Bu Risma yang sering dianggap mirip dengan Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta. Gaya kepemimpinannya yang tegas dan tanpa ragu untuk menunjukkan kemarahannya terkadang mencuri perhatian.

    Salah satu contoh gaya kepemimpinan tersebut terjadi saat Bu Risma mengunjungi Kabupaten Pandeglang, salah satu kabupaten miskin di Banten. Sebagai Menteri Sosial, ia hadir untuk memberikan penghargaan kepada APH yang dianggap berhasil mengungkap kasus perdagangan orang (TPPO). Saat itu, Bu Risma turut melihat langsung pelaku TPPO yang baru saja ditangkap oleh pihak kepolisian.

    Seperti yang kita ketahui, Bu Risma akhirnya marah kepada pelaku TPPO tersebut dan meminta agar hukumannya sangat berat, karena dianggap tidak menunjukkan penyesalan. Namun, sayangnya pada hari yang sama, terjadi aksi protes masyarakat terkait dugaan pemotongan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) di Pandeglang. Hal ini sepertinya tidak diketahui oleh Bu Risma, sehingga ia tidak sempat mengomeli pelaku yang diduga terlibat dalam pemotongan bantuan tersebut.

    Bantuan PKH dan kasus TPPO pada dasarnya memiliki akar permasalahan yang sama, yaitu kemiskinan dan pengangguran. Orang-orang tergoda oleh iming-iming gaji tinggi meskipun harus bekerja di luar negeri, karena di daerah mereka tidak ada lapangan pekerjaan yang memadai. Namun, program-program pemerintah yang seharusnya membuka lapangan kerja dan mengurangi angka kemiskinan masih belum berhasil, bahkan diduga menjadi sarana penyalahgunaan bagi oknum yang memanfaatkan kondisi kemiskinan dan ketidakmampuan masyarakat.

    Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dirilis pada bulan Agustus 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pandeglang, angka kemiskinan di wilayah tersebut mengalami penurunan selama tahun 2022. Namun, angka pengangguran justru mengalami peningkatan. Pada tahun tersebut, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Pandeglang mencapai 114.650 jiwa atau sekitar 9,32 persen dari total penduduk. Sementara itu, angka pengangguran meningkat menjadi 9,24 persen atau sebanyak 50.910 orang. Melihat kondisi ini, seharusnya Bu Risma dapat menyalahkan pihak yang bertanggung jawab atas penanganan masalah kemiskinan dan pengangguran di masyarakat, bukan hanya pelaku TPPO saja.

    Dalam menghadapi tantangan kemiskinan dan pengangguran, diperlukan kerja sama yang kuat antara pemerintah dan masyarakat. Penting bagi pemerintah untuk melibatkan berbagai pihak dalam merancang dan melaksanakan program-program yang efektif guna mengatasi masalah ini.

    Selain itu, transparansi dan pengawasan yang ketat juga dibutuhkan agar program-program bantuan sosial dapat dikelola dengan baik dan tepat sasaran. Dengan demikian, diharapkan upaya mengurangi kemiskinan dan pengangguran dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat yang membutuhkan.

    Saya harap, suatu saat nanti Bu Risma berani untuk marah-marah ke pemegang kebijakan, karena lalai untuk mensejahterakan masyarakatnya.

  • Soal Zakat, yang Tak Tuntas di Untirta

    Soal Zakat, yang Tak Tuntas di Untirta

    AKHIR Mei lalu, saya kebetulan diundang menjadi salah satu pembicara dalam sebuah Talk Show yang digelar Forum Zakat di kampus Untirta. ‘Temanya adalah Peran Mahasiswa dalam Membangun Masyarakat Melalui Gerakan Zakat’.

    Sebenarnya diskusi berlangsung menarik. Selain saya, kegiatan talk show diisi pembicara yang termasuk pakar-pakar zakat di Provinsi Banten. KH Zainal Abidin Suja’i yang merupakan pakar dari Baznas Banten, lalu ada Kepala Bidang Penerangan Agama Islam, Zakat dan Wakaf Kanwil Kemenag Banten, Masyhudi, dan narasumber dari Forum Zakat Perwakilan Provinsi Banten, Dewi Nurmaliza.

    Sebenarnya talk show berlangsung menarik, setidaknya bagi saya. Banyak insight baru yang saya dapatkan dari narasumber lain. Sayangnya, waktu yang terbatas membuat diskusi seperti berjalan terburu-buru. Karena itu, saya merasa talk show itu belum tuntas buat saya, dan saya mencoba menuliskan apa yang ingin saya sampaikan disini. Mumpung juga, pekan ini umat Islam akan merayakan Hari Raya Idul Adha.

    Yang sangat menarik perhatian saya dalam talk show itu adalah pernyataan Bapak Masyhudi soal potensi zakat di Banten. Menurutnya, Banten memiliki potensi zakat lebih dari Rp1 triliun per tahunnya. Dari jumlah itu, perputaran zakat di Banten mencapai Rp600 miliar per tahun.

    Namun, dari jumlah itu, baik Baznas maupun 21 lembaga amil zakat yang ada di Banten baru mengelola Rp60 miliar lebih. Artinya masih ada lebih dari Rp500 miliar dana zakat yang tidak terkoordinir dan dikelola secara mandiri oleh individu maupun kelompok-kelompok masyarakat.

    Kondisi ini tentu menjadi peluang bagi para mahasiswa ataupun kelompok muda lainnya untuk terjun di bidang zakat. Karena, sebagai sistem ekonomi syariah, zakat memiliki multi flyer effect yang sangat besar bila dioptimalkan secara baik.

    Selain bisa membangkitkan ekonomi umat melalui beragam program pemberdayaan, zakat juga bisa menjadi lapangan pekerjaan, terutama bagi mahasiswa. Mahasiswa dengan cara berpikir yang kekinian, tentu sangat dibutuhkan untuk menciptakan inovasi-inovasi baru, baik ketika mereka bergabung dengan lembaga amil zakat yang ada maupun membentuknya secara mandiri.

    Yang jadi masalah, selain soal zakat fitrah, soal zakat secara umum terhitung asing di dunia mahasiswa. Terutama di kampus-kampus konvensional yang kurikulumnya tidak banyak memberi ruang pada ilmu keagamaan. Para pembicara di talk show itu juga mengakui masih minimnya literasi tentang zakat yang bisa menjadi referensi mahasiswa.

    Karena itu, penting adanya sebuah gerakan membangun budaya zakat mulai dari generasi muda. Di era kekinian, berbagai platform media, baik media massa maupun media sosial bisa dimaksimalkan oleh para penggerak zakat maupun lembaga zakat yang ada.

    Hari ini informasi bisa diakses secara massal melalui berbagai platform digital. Dan bisa di-blasting melalui perangkat yang setiap saat menempel dengan penggunanya. Paltfortm digital ini juga yang hari-hari ini menjadi trend setter, bahkan bisa merubah budaya dan gaya hidup banyak orang berdasar ketertarikannya masing-masing.

    Nah, di sinilah amil zakat harus aktif berperan agar zakat ini bisa menjadi gaya hidup bagi generasi muda dengan memanfaatkan berabagai platform media sosial maupun media massa.

    Saya punya contoh menarik, misalnya bagaimana puasa Ramadan sekarang menjadi sebuah budaya populer yang bukan hanya dijalankan oleh umat muslim. Karena, sejak youtube menjadi salah satu platform mainstream di dunia digital, kita bisa melihat banyak sekali orang-orang nonmuslim yang mencoba untuk menjalankan puasa, baik hanya sehari, seminggu, bahkan selama bulan Ramadan.

    Dari ikut-ikutan demi merasakan sensasi berpuasa, ataupun hanya sekedar demi membuat konten, tidak sedikit orang nonmuslim yang mendapatkan insight baru soal Islam, bahkan tak sedikit yang memilih hijrah dan menjadi mualaf. Ini menjadi bukti bagaimana penyebaran informasi bisa merubah gaya hidup dan pandangan orang tentang sebuah ritual keagamaan.

    Nah, ini menjadi tantangan untuk menjadikan zakat juga bisa menjadi gaya hidup. Tentu lembaga amil zakat dengan semua platform digitalnya, dan tentu saja pers yang juga punya beragam platform untuk menyebarkan gerakan zakat, bisa mengemas zakat dalam sebuah gerakan yang menarik, lebih masiv dan berdampak besar.

    Karena itu, sangat diperlukan informasi-informasi yang menginspirasi dan memotivasi orang untuk menjadi penggerak zakat. Saat ini tak terlalu banyak informasi inspiratif yang menjadi konsumsi media massa.

    Media massa cenderung lebih suka memberitakan orang miskin yang tinggal di dekat kantor bupati misalnya, ketimbang peran lembaga zakat mengerakkan ekonomi masyarakat di sebuah desa.

    Padahal, saya menjamin, cerita perjuangan kader atau pengurus lembaga amil zakat saat terjun ke suatu daerah juga pasti menarik dan memiliki news value yang tinggi. Karena salah satu unsur dalam teori kelayakan berita adalah human interest, yaitu berita-berita yang menggugah perasaan atau memotivasi pembaca untuk melakukan hal serupa dengan apa yang diberitakan.

    Dalam cerita inspiratif itu misalnya, Kita bisa gambarkan mulai dari perjalannnya, proses perjuangannya sampai kesuksesannya menjalankan misi zakat yang diembannya. Atau kita bisa menggambarkan bagaimana kondisi suatu keluarga atau suatu kelompok masyarakat yang bisa berubah karena sentuhan lembaga zakat.

    Cerita-cerita inspiratif ini tentunya bisa menggerakkan generasi muda untuk lebih mengetahui seluk-beluk zakat dan bagaimana mengelola zakat atau terlibat langsung dalam lembaga-lembaga amil yang ada di Banten.

    Nah, tentunya penyebarluasan informasi ini menjadi hal yang tidak kalah penting. Karena itu dituntut kreatifitas dari lembaga zakat untuk memanfaatkan semua celah platform yang ada agar informasi yang disebarkan bisa memberi trigger kepada generasi muda agar menjadikan sektor zakat menjadi cita-citanya kelak.

    Bukan hanya itu, berdasarkan Undang-undang Zakat atau UU Nomor 23 tahun 2011, generasi muda atau mahasiswa juga bisa berperan ikut menjadi pembina dan pengawas untuk lembaga-lembaga zakat yang ada. Jadi generasi muda bisa mengekspresikan ide-idenya tentang pengelolaan zakat melalui lembaga-lembaga zakat yang ada. Wallahualam Bisshawab.(*)

  • Semua Berhak Tahu, Yang Tahu Tahu Aja

    Semua Berhak Tahu, Yang Tahu Tahu Aja

    Redaktur BANTEN POS, Debaj Ghoorofie

    SETIAP tanggal 28 September, masyarakat se-Dunia memperingati Hari Hak untuk Tahu. Peringatan tersebut menjadi penanda bahwa masyarakat memang berhak tahu akan informasi-informasi yang sifatnya publik.

    Di Provinsi Banten, mungkin juga daerah lainnya, setiap OPD memperingati Hari Hak untuk Tahu dengan membentangkan spanduk ucapan di depan kantor mereka, yang dapat diartikan bahwa mereka berkomitmen untuk memenuhi hak masyarakat terkait dengan informasi. Namun, apa benar masyarakat berhak tahu atas informasi-informasi badan publik, khususnya di Provinsi Banten?

    Diketahui, Indonesia meregulasi secara spesifik hak masyarakat untuk tahu, melalui pengesahan Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mengklasifikasikan informasi menjadi tiga yakni serta-merta, berkala dan setiap saat. Diantara tiga informasi itu, ada informasi yang dikecualikan.

    Asas informasi publik sebagaimana termaktub pada Undang-undang tersebut ialah bersifat terbuka dan dapat diakses oleh siapapun (Pasal 2 ayat 1), dan cara-cara memperoleh informasi publik harus dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana (Pasal 2 ayat 3).

    Merujuk pada Bab IV Undang-undang KIP, prinsipnya semua informasi yang ada pada Badan Publik ialah informasi publik. Kecuali yang dikecualikan, setelah dilakukan uji konsekuensi atas informasi itu.

    Sebetulnya kalau membaca Undang-undang tersebut, masyarakat benar-benar diberikan hak yang cukup besar untuk mengakses informasi-informasi publik. Mulai dari struktur organisasi sampai perencanaan dan penggunaan anggaran. Dan simpel dalam memohonkan informasinya.

    Namun faktanya, untuk bisa mengakses informasi publik tidaklah mudah. Terlepas dari prosedur permohonan informasi yang memang telah diatur, dalam prosesnya kerap menghadapi masalah. Mulai dari ketidakpahaman Badan Publik akan informasi publik, hingga keengganan Badan Publik untuk memberikan informasi yang berstatus informasi publik.

    Sebagai contoh, saya pernah mengajukan permohonan informasi kepada Biro Umum Provinsi Banten, terkait dengan dokumen informasi publik. Permohonan informasi yang saya ajukan tidak dapat diterima, karena diklaim masuk dalam daftar informasi yang dikecualikan. Padahal, PTUN telah memutuskan bahwa informasi tersebut adalah informasi publik.

    Hingga saat ini, keberatan yang saya ajukan kepada atasan PPID atas jawaban Biro Umum belum juga keluar. Terhitung sejak permohonan informasi pertama saya ajukan hingga saat ini, telah berlalu satu bulan lebih. Informasinya sih, uji konsekuensi telah memutuskan agar informasi tersebut diberikan. Akan tetapi ada pihak-pihak tertentu yang bersikeras untuk tidak membukanya.

    Jika demikian, apakah benar ‘semua berhak tahu’ apabila untuk tahu saja masih menghadapi berbagai rintangan dan hambatan? Semua berhak tahu? Kalau kata anak gaul zaman sekarang mah, YTTA (Yang Tahu Tahu Aja). (*)

    BalasTeruskan
  • Odong-odong Marak Lagi

    Odong-odong Marak Lagi

    MASIH Terngiang akan peristiwa nahas kecelakaan kendaraan angkutan massal odong-odong atau yang biasa disebut kereta kelinci yang tertabrak Kereta Api di Perlintasan KAI Kampung Silebu, Desa Sukajadi, Kecamatan Kragilan, Kabupaten Serang pada Selasa 26 Juli 2022 lalu.

    Belum genap setahun setelah kecelakaan maut  menewaskan sepuluh orang warga Kelurahan Pengampelan, Kecamatan Walantaka, Kota Serang. Tiga orang diantaranya anak-anak dan satu balita lainnya tewas setelah menjalani perawatan di rumah sakit beberapa pekan. Kini, di kampung-kampung baik di Kota maupun Kabupaten Serang sudah marak kembali keberadaan angkutan massal yang sistem keselamatannya masih dipertanyakan.

    Yang lebih mencolok, sekarang kita juga bisa melihat banyak odong-odong yang berasal dari kawasan timur utara Banten diantaranya tanara maupun kronjo, mauk dan Tanara yang melintas di jalan pantura menuju kawasan religi banten lama, Kota Serang.

    Padahal, setelah kejadian tersebut Pemkot Serang berjanji akan menertibkan keberadaan odong-odong tersebut. Pun dengan aparat keamanan yang membidangi persoalan angkutan, seperti tutup mata akan maraknya keberadaan odong-odong. Padahal, secara aturan, kendaraan odong-odong hanya diperkenankan dioperasionalkan pada kawasan pariwisata.

    Disatu sisi, angkutan ini menjadi sarana alternatif penghibur anak-anak dari pengaruh buruk gadget. Namun, disisi lain, tak ada tindak lanjut atas peristiwa tragis kecelakaan odong-odong. Padahal, bisa saja dilakukan uji kelayakan kendaraan pada odong-odong serta pengecekan surat-surat kendaraan tersebut.

    Sudah semestinya pemerintah juga perlu menegakan aturan yang sudah ada. Dengan harapan, peristiwa kecelakaan maut yang terjadi di perlintasan silebu tidak terulang di tempat lain.

    Juga dengan Disbub Kabupaten dan Kota Serang yang seolah membiarkan kendaraan roda empat yang syarat modifikasi tersebut bebas berkeliaran di jalan raya. Aparat kepolisian selaku alat negara yang mengatur keamanan dan ketertiban masyarakat dan sempat menangani perkara odong-odong pun ikutan terdiam seolah tak pernah terjadi sesuatu akan keberadaan odong-odong. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya bengkel-bengkel modifikasi odong-odong yang beroperasi.

    Padahal, baik pemerintah melalui dinas perhubungan serta aparat kepolisian melalui satlantasnya dapat dengan mudah menegakan aturan-aturan tentang angkutan kendaraan yang beroperasi di jalan raya.

    Kita tak boleh tutup mata atas peristiwa diatas, dan harus menjadikannya pelajaran. Jangan ada lagi kendaraan angkutan massal yang tidak laik berkeliaran di jalan raya. Terlebih lagi, mereka mengangkut sanak saudara kita.(*)