Kategori: VOX POPULI

  • Luar Sekolah, Tanpa Pendidikan

    Luar Sekolah, Tanpa Pendidikan

    Saat ini, orang tua atau wali murid sedang disibukkan dengan proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di berbagai tingkat. Salah satu proses memberikan hak pendidikan kepada anak yang seringkali justru dipenuhi berbagai “drama” di dalamnya. Permasalahan pendidikan sendiri terkadang hanya disorot dalam rutinitas musiman semata.

    Padahal sebagaimana diketahui, tantangan dalam dunia pendidikan di Provinsi Banten saat ini cukup kompleks, mulai dari akses pendidikan sekolah yang belum merata dan paradigma masyarakat terhadap pentingnya pendidikan formal bagi anak-anak mereka. Hingga masalah pendidikan informal yang ada di luar sekolah.

    Rata-rata lama sekolah di Banten juga cukup rendah. Data tahun 2023 mencatat bahwa rata-rata lama sekolah hanya mencapai 9,13 tahun, setara dengan tingkat sekolah menengah pertama (SMP) saja. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak anak yang tidak melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.

    Anak-anak yang tidak mendapatkan akses pendidikan formal di sekolah menghadapi berbagai permasalahan di masa depan. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan karena tidak memiliki ijazah atau kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan. Lebih penting lagi, hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak tidak terpenuhi, yang dapat berdampak negatif pada perkembangan pribadi dan kesempatan masa depan mereka.

    Namun, hal ini bukan berarti anak-anak yang bersekolah tidak memiliki permasalahan sendiri. Beberapa berita terakhir menunjukkan bahwa meskipun bersekolah, anak-anak belum tentu memiliki pendidikan karakter yang memadai. Masalah perilaku kenakalan di kalangan anak sekolah semakin meningkat dan menjadi perhatian serius. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat untuk mendidik dan membentuk karakter, ternyata juga dapat menjadi ruang bagi anak-anak untuk mempelajari perilaku negatif dan potensial menuju tindakan kriminal.

    Beberapa kenalan guru sempat mengaku kesulitan untuk membendung perilaku negatif ini. Yang akhirnya, mereka harus menyerah dan lebih fokus untuk mengajar pengetahuan, ketimbang mendidik karakter anak. Di sekolah anak hanya diajar.

    Saat di luar sekolah, pendidikan informal di lingkungan masyarakat yang seharusnya menjadi sarana penting dalam mendukung pembentukan karakter anak-anak ternyata tidak berjalan maksimal.

    Terkadang, kita sebagai bagian dari masyarakat yang seharusnya memiliki peran dalam pendidikan informal sering abai terhadap perilaku kenakalan remaja, dan cenderung enggan untuk menegur tindakan yang tidak baik atau cuek terhadap perilaku anak di lingkungannya. Kita seringkali kurang peduli atau tidak memiliki kesadaran yang cukup akan pentingnya peran dalam pendidikan informal ini.

    Malas untuk membubarkan gerombolan anak usia sekolah yang masih berkeliaran dan nongkrong di malam hari. Atau pura-pura tidak melihat saat ada tindakan yang kurang terpuji dilakukan mereka.

    Selain itu, beberapa faktor lain yang mempengaruhi kurangnya peran masyarakat dalam pendidikan informal adalah kurangnya keterlibatan orang tua, kesibukan dalam kehidupan sehari-hari, dan ketidaktahuan akan pentingnya memberikan perhatian dan pengarahan yang positif kepada anak-anak di sekitar mereka. Adanya ketidakpedulian atau ketidaksensitifan terhadap perilaku anak-anak yang tidak pantas juga dapat menghambat upaya pembentukan karakter yang baik.

    Seringkali, orang tua baru bereaksi setelah pihak kepolisian melakukan penindakan. Namun, seperti sindiran dari salah satu video polisi yang sempat viral. Orang tua baru menangis minta anak dibebaskan, setelah sebelumnya diabaikan.

  • Ketika Ideologi ‘Dikebiri’ Popularitas 

    Ketika Ideologi ‘Dikebiri’ Popularitas 

    HARAP-HARAP cemas berakhir klimaks. Setelah sebelumnya beredar informasi yang menyebutkan Mahkamah Konstitusi bakal memutuskan sistem Pemilu Tertutup pada pemilu 2024, akhirnya lembaga penguji konstitusi itu masih melanggengkan sistem terbuka.

    Dengan keputusan ini, pemilih masih akan mencoblos, partai politik, atau Nomor urut atau nama caleg. Tak ayal, keputusan ini mendapat sambutan hangat, terutama dari Bakal Calon Legislatif (Bacaleg). Karena dalam beberapa bulan terakhir, mereka lah yang paling menunggu-nunggu keputusan ini.

    Wacana terbuka-tertutup yang ramai sebelumnya, memang mengganjal banyak hal yang sudah menjadi tradisi Pemilu di Indonesia. Banyak Bacaleg wait and see, menghitung untung-rugi sebelum menjalankan aksi.

    Yang menarik dari putusan itu sesungguhnya adalah alasan dari para penggugat. Mereka menganggap sistem pemilu proporsional terbuka telah dibajak para caleg pragmatis yang hanya bermodalkan popularitas tanpa ikatan ideologis dengan parpol. Akibatnya, ketika mereka menjadi anggota legislatif seolah-olah hanya mewakili diri sendiri.

    Alasan ini, sebenarnya cukup masuk akal. Figur populer belum tentu memiliki kompetensi dalam mengemban amanat rakyat di gedung perwakilan. Tak sedikit pula figur populer yuang justru ‘tenggelam’ di lembaga legislatif karena kalah vokal dan kalah kualitas dari para politisi ‘beneran’.  

    Bila ditelisik lebih jauh, kecenderungan parpol untuk merekrut figur populer, tak lepas dari keinginan parpol maupun figur itu sendiri. Parpol butuh suara sebanyak-banyaknya, sementara sang figur juga ingin memberikan pengabdiannya kepada bangsa, meskipun secara kualitas tak sedikit juga yang minus. 

    Hubungan simbiosis mutualisme antara popularitas figur dan raihan suara parpol memang berpengaruh cukup siginifikan. Buktinya adalah banyaknya figur populer nonpolitisi yang akhirnya duduk sebagai wakil rakyat.

    Para figur populer ini tentu tak serta merta menjadi wakil rakyat. Mereka juga menjalani kaderisasi dan pendidikan politik dari partainya masing-masing. Tetapi, sejauh mana pendidikan ‘singkat’ itu bisa memberi pengaruh kepada pola pikir dan pola aksi figur tersebut? Rasanya kita tak bisa terlalu berharap dari sini.

    Perekrutan figur populer memang menjadi shortcut bagi sebagian besar parpol di Indonesia. Menciptakan kader ideologis memang mahal dan butuh waktu panjang. Di sisi lain jalur instan lebih menarik karena bisa mengabaikan banyak proses.

    Kondisi ini tentu juga menjadi tanggung jawab parpol. Sebagai lembaga politik, mereka seharusnya bisa melahirkan tokoh-tokoh politik yang matang oleh proses perjuangan. Karena hanya dengan proses lah bisa lahir politisi-politisi yang benar-benar memiliki kompetensi, memiliki popularitas karena pengabdian dan pemikirannya yang bermanfaat untuk bangsa dan masyarakat. 

    Tapi, rasanya masih terlalu jauh berharap titik ideal politik Indonesia itu bisa terwujud dalam waktu dekat. Karena, dalam sistem pemilu sejak era reformasi, paradigma kebanyakan parpol masih begitu-begitu saja. Karena mereka masih berpikir bagaimana meraup suara sebanyak-banyaknya, ketimbang memberi manfaat sebesar-besarnya.

    Jadi, nikmati saja dulu sistem yang ada. Bagaimana pun, ini yang kita miliki saat ini. Kedepannya tentu kita berharap parpol bisa meningkatkan kualitas demokrasi kita dengan menyuguhkan kader-kader terbaiknya yang bukan hanya memiliki popularitas, tetapi juga kompetensi dan kualitas untuk menjadi garda terdepan perubahan bangsa menuju ke arah yang lebih baik.(*)