Tag: 10 Anak Tidak Sekolah

  • 10 Anak Cihara Tidak Sekolah

    LEBAK, BANPOS – Ditemukan sebanyak 10 Anak Tidak Sekolah (ATS) di Kecamatan Cihara, Kabupaten
    Lebak. Temuan itu berdasarkan hasil verifikasi dan validasi yang dilakukan oleh Badan Perencanaan,
    Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) Kabupaten Lebak beberapa waktu yang lalu.

    Dari hasil tersebut, Ketua Tim Verifikasi dan Validasi ATS pada Bapelitbangda Lebak, Yulia Marina Sari,
    menyebut bahwa terdapat sebanyak 10 anak yang berstatus ATS, yang ditemukan di Desa Ciparahu,
    Kecamatan Cihara.

    ”Dari hasil verifikasi dan validasi, kami menemukan ada 10 anak tidak sekolah. Mereka terdiri dari 3
    orang tidak lanjut sekolah SMP/MTs, 6 orang tidak lanjut sekolah sekolah SMA/SMK/MA, satu orang
    putus sekolah SMP/MTs,” ujar Yulia.

    Menurutnya, berdasarkan hasil tracking data dan observasi lapangan, terdapat beberapa alasan
    terjadinya kasus ATS di Kecamatan Cihara tersebut.

    ”Di antaranya karena faktor ekonomi keluarga, jarak dari rumah ke sekolah yang jauh, akses jalan yang
    rusak, pilihan untuk mondok ke pesantren salafi. Ada juga yang karena alasan tidak memiliki
    smartphone untuk menunjang metode pembelajaran daring, dan tidak punya sepeda motor untuk
    sarana transportasi ke sekolah,” ungkap Yulia.

    Ditambahkan Yulia, di Desa Ciparahu terdapat dua sekolah MTs yang sampai saat ini tidak memiliki
    fasilitas untuk kegiatan belajar mengajar (KBM).

    ”Kami juga menemukan dua sekolah MTs yang terpaksa numpang di majlis taklim dan madrasah diniyah
    karena tak memiliki gedung untuk KBM,” terangnya.

    Setelah melakukan verifikasi, validasi dan negosiasi dengan ATS beserta orang tuanya, Yulia mengaku
    bahwa mereka mau kembali ke sekolah, dengan belajar di pusat kegiatan belajar-mengajar masyarakat
    (PKBM).

    ”Akhirnya ke 10 anak itu bersedia kembali untuk bersekolah dengan memilih tempat belajar non formal
    yaitu di PKBM. Mereka memilih di PKBM dengan alasan agar waktu untuk membantu pekerjaan orang
    tua tidak terganggu, dan kegiatan mondok di pesantren salafi bisa terus dilakukan,” jelasnya.

    Selain alasan itu, jika mereka melanjutkan ke sekolah reguler, dikhawatirkan merasa minder, takut di
    bullying oleh siswa lain, karena usianya di atas anak sekolah reguler,” imbuh Yulia.

    Karenanya, untuk meringankan beban ekonomi keluarga, kata Yulia, mereka berharap pemerintah bisa
    memenuhi kebutuhan perlengkapan sekolah seperti seragam, tas, buku tulis, buku bacaan serta
    peralatan olahraga.

    ”Selain itu mereka juga berharap bantuan biaya untuk jajan, smartphone untuk menunjang
    pembelajaran daring, perbaikan akses jalan menuju sekolah dan bantuan kendaraan untuk menunjang
    siswa kembali sekolah,” katanya.

    Sementara, Wakil Ketua PKBM Cundamanik, Iim Saripudin, merasa gembira lantaran 10 anak yang putus
    sekolah itu akhirnya bersedia melanjutkan sekolah di PKBM yang dikelolanya.

    Menurutnya, ia sudah terbiasa melakukan pendampingan dan proses pembelajaran bagi siswa-siswi
    yang hampir putus sekolah di PKBM-nya.

    ”Dengan segenap rasa tanggung jawab, kami akan selalu melakukan kegiatan pembelajaran secara
    konsisten bagi siswa-siswi yang mengenyam pendidikan melalui jalur PKBM yang kami kelola,” tutur Iim.

    Ditambahkan Iim, di PKBM yang dikelolanya itu, sudah ada ratusan siswa yang berhasil lulus. Bahkan,
    lulusannya kini banyak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan kuliah di perguruan tinggi.

    ”Alhamdulillah, lulusan PKBM Cundamanik ada yang sudah bekerja di sektor formal, ada juga yang
    berhasil terpilih menjadi Kepala Desa,” ungkapnya bangga. (WDO/DZH)