BUKAN hal mudah untuk mendapatkan gelar guru besar, sebab banyak hal yang harus dilalui oleh seorang dosen yang ingin mendapat sebutan Profesor. Penilaian yang sangat panjang, mulai dari penilaian akademis, non akademis hingga rekam jejak semasa ia menekuni profesi sebagai dosen.
Hal itu juga dirasakan oleh seorang Agus Ismaya Hasanudin. Meski usianya baru menginjak 43 tahun, namun ia berhasil menyandang gelar Profesor termuda dengan urutan ke 14 di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).
“Alhamdulillah, Allah meninggikan derajat saya melalui gelar ini. Tetapi disatu sisi, menjadi tugas yang berat juga buat saya, karena saya harus bisa memberikan nilai lebih minimal untuk pribadi saya dan maksimal untuk Untirta (almamater sarjana hukum),” ujar Agus, saat dijumpai BANPOS di kediamannya, Minggu (14/3).
Di Untirta sendiri terdapat lebih dari 800 dosen yang terdiri dari 7 Fakultas. Ia sendiri merupakan Profesor kedua di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
“Jujur mengapa saya mempunyai cita-cita menjadi Profesor di usia muda, karena melihat dulu ayah saya yang sempat fokus untuk pendidikan anak, sehingga beliau mendapatkan gelar Profesor di usia menjelang 65 tahun, usia pensiun,” jelasnya.
Ayahnya yang merupakan salah satu pendiri Untirta dan pernah menjadi rektor di Universitas ternama di Banten tersebut, usai menyandang gelar profesor, tak lama kemudian meninggal. Sehingga, melihat perjuangan sang ayah itu, pada tahun 2014, ia menetapkan salah satu capaian saat dinyatakan lulus menjadi Doktor, ingin menjadi Profesor termuda di Untirta.
“Alhamdulillah semuanya mendoakan, meskipun memang perjalanan menjadi Profesor ini banyak yang harus dilalui. Banyak yang mengajukan sebagai profesor ke Jakarta, tapi ada yang dari tahun 2015 sampai sekarang surat keputusan (SK) Profesornya tidak kunjung turun,” katanya.
Beruntungnya, Dosen yang sempat mencalonkan diri sebagai Rektor Untirta ini selalu dapat menempuh setiap tahapan. Tak semuanya mulus, ia bahkan sempat akan digagalkan karena adanya sebuah kesalahpahaman.
“Sempat mau dicancel (digagalkan) oleh Kemendikbud, karena pihak Kemendikbud mengira saya mendaftar untuk screening menjadi Profesor ini dengan mengikuti aturan yang baru, per Juli 2020. Padahal, saya mendaftar pada tanggal 22 Juni 2020, sehingga tidak memerlukan adanya sintesa dan disertasi, cukup jurnal internasional,” tuturnya.
Didukung penuh oleh keluarga, ia pun menerima SK dan terhitung mulai tanggal (TMT) Januari 2021 ia ditetapkan sebagai Profesor. Sehingga ia cukup menghabiskan waktu selama 6 bulan untuk menyelesaikan screening menjadi Profesor.
“Meski sudah ditetapkan melalui SK, namun di Untirta sendiri belum dikukuhkan sebagai Profesor. Mudah-mudahan ilmu saya bisa berkah dunia dan akhirat,” katanya.
Memiliki motto ikhtiar, doa dan pasrah, ia menyerahkan semua hasil yang akan dicapai kepada Allah SWT. Tidak menuntut untuk diberikan hasil yang terbaik, karena menurutnya apa yang terbaik versi manusia belum tentu terbaik menurut Allah Swt.
“Alhamdulillah diberi kesempatan memiliki dua gelar sarjana, pertama akuntansi di Unisba dan kedua hukum di Untirta,” ucapnya.
Memiliki gelar sarjana hukum, ia pun mengikuti tes sebagai anggota persatuan advokat Indonesia (Peradi). Dengan gelar akuntansinya, ia membekali diri untuk mengaudit dana kampanye anggota dewan di Papua dan Jawa Barat.
“Dengan dua gelar tadi, membawa saya menjadi lebih bermanfaat untuk umat. Kemudian, saya pribadi berharap dengan gelar Profesor ini bisa lebih menebar manfaat serta ilmu yang saya miliki berkah,” tandas Sekretaris kantor hukum Senopati. (MUF)