Tag: Aksi Demonstrasi

  • Mahasiswa Duduki Gedung Negara Kabupaten Lebak

    Mahasiswa Duduki Gedung Negara Kabupaten Lebak

    LEBAK, BANPOS – Aksi dari Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Lebak Menggugat berhasil menerobos paksa gedung Sekretariat Daerah Kabupaten Lebak pada Senin (6/11) sekitar pukul 14.00.

    Massa sempat berorasi menuntut Pj Bupati Lebak menemui massa, namun tensi menjadi panas ketika pergesekan fisik antara mahasiswa dan pihak pengamanan Setda Lebak tak dapat dihindari.

    Berdasarkan pantauan BANPOS, terdapat salah satu pengaman Setda yang tersulut emosi dan membuat puluhan mahasiswa tersebut naik pitam.

    Akhirnya, mereka mengejar petugas tersebut hingga ia memasuki Gedung Negara Kabupaten Lebak. Puluhan mahasiswa tersebut memaksa masuk dan berkumpul memadati teras gedung.

    Ketua Umum dari masing-masing Organisasi pun berhasil meredam emosi massa aksi dan membuat seluruh massa menunggu di depan gedung.

    Tak berselang lama, Sekretaris Daerah Kabupaten Lebak, Budi Santoso hadir dan memberikan informasi bahwa Pj Bupati Lebak akan menemui massa aksi menunggu kondusifitas massa dapat dikontrol.

    “Pak Pj baru selesai rapat, kita tunggu disini hingga beliau hadir. Saya harap tenang dan jaga sopan santun, jangan terpancing emosi,” tandas Budi. (MYU/DZH)

  • Waduh! Baru Sehari Ngantor, Pj Bupati Lebak Kena Tegor

    Waduh! Baru Sehari Ngantor, Pj Bupati Lebak Kena Tegor

    LEBAK, BANPOS – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Lebak Menggugat menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Bupati Lebak, Senin (6/11).

    Diketahui, aliansi tersebut merupakan gabungan dari berbagai organisasi mahasiswa yakni HMI, HMI-MPO, GMNI, PMII, KAMMI, KUMALA dan IMALA.

    Koordinator Aksi, Tami, mengatakan, aksi ini sebagai refleksi dari selesainya jabatan Bupati dan Wakil Bupati Lebak selama 10 tahun menjabat, yang masih perlu adanya perbaikan serta peningkatan yang saat ini
    menjadi tanggung jawab Pj Bupati Lebak.

    Ia menjelaskan, salah satunya terkait Indeks Pembangunan Manusia. Dari 8 Kabupaten/Kota Se-Banten, IPM Lebak berada diperingkat terakhir setelah Pandeglang.

    “Tentu ini menjadi PR yang cukup besar bagi Pj Bupati Lebak untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Lebak,” kata Tami.

    Ia menjelaskan, Infrastruktur sekolah serta tingkat kelulusan pendidikan di Lebak masih menjadi tugas berat bagi Pj Bupati Lebak.

    Selain itu, Infrastruktur khususnya pada jalan desa di wilayah Kabupaten Lebak masih perlu menjadi perhatian bagi PJ Bupati Lebak.

    “Banyak sekali jalan-jalan desa serta jalan-jalan kabupaten yang hingga hari ini masih belum tersentuh oleh pemerintahan Kabupaten Lebak,” jelasnya. (MYU/DZH)

  • Rencana Demonstrasi Terganjal Intimidasi

    Rencana Demonstrasi Terganjal Intimidasi

    SERANG, BANPOS – Rencana Aksi Demonstrasi yang akan dilakukan para pegawai Non ASN yang akan
    digelar pada 7 Agustus 2023 mendatang mendapatkan apreasiasi dari Kementerian Pendayagunaan
    Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Meskipun demikian, para pegawai Non
    ASN tersebut diduga mendapatkan intimidasi dari Sekda Provinsi  Banten.

    Sekretaris Presidium Forum Honorer se-Provinsi Banten Achmad Herwandi mengapresiasi
    Kemenpan-RB yang mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada tenaga Non ASN.
    "Hari ini kita ketahui bersama bahwa kemenangan kecil sudah diraih. Pemerintah melalui Menteri
    Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah mengeluarkan Surat Dinas Nomor
    B/1527/M.SM.01.00/2023 perihal Status dan Kedudukan Eks THK-2 dan Tenaga Non ASN tertanggal
    25 Juli 2023," Ungkap Herwandi yang juga tenaga Non ASN di lingkungan Pemkot Serang, Kamis
    (3/8).

    Dalam Surat Dinas tersebut pada prinsipnya, pertama, mengharapkan kepada seluruh Pejabat
    Pembina Kepegawaian (PPK) Instansi Pusat dan Instansi Daerah agar menghitung dan tetap
    mengalokasikan anggaran untuk pembiayaan Tenaga Non ASN yang sudah terdaftar.
    Kedua, dalam mengalokasikan pembiayaan tenaga Non ASN dimaksud, pada prinsipnya tidak
    mengurangi pendapatan yang diterima oleh Tenaga Non ASN selama ini.

    Ketiga, PPK dan pejabat lain dilarang mengangkat pegawai Non-PNS dan atau Non-PPPK untuk
    mengisi jabatan ASN atau tenaga Non ASN lainnya.

    Selain itu, MENPANRB juga menerbitkan Surat Keputusan Nomor 571 Tahun 2023 tentang
    Optimalisasi Pengisian Kebutuhan Jabatan Fungsional Teknis Pada Pengadaan Pegawai Pemerintah
    Dengan Perjanjian Kerja Tahun Anggaran 2022, Keputusan ini ditandatangani pada tanggal 2 Agustus
    2023.

    Dalam Keputusan tersebut dijelaskan bahwa optimalisasi pengisian jabatan fungsional teknis pada
    pengadaan tahun 2022 dilakukan terhadap jabatan terpenuhi kebutuhannya, dioptimalkan
    pengisiannya dari peserta eks (Tenaga Honorer Kategori) THK-2 atau Peserta Non ASN yang
    memenuhi reformulasi nilai ambang batas seleksi kompetensi teknis dengan peringkat terbaik.
    "Dari dua kemenangan kecil ini dapat diambil kesimpulan bahwa perjuangan yang kita lakukan
    sejatinya tidak ada yang sia-sia. Rencana aksi massa yang akan kita lakukan pada tanggal 7 Agustus
    2023 mendatang memiliki harapan besar untuk dikabulkan dalam menuntut tiga tuntutan besar
    yang kita inginkan, ujarnya.

    Diketahui tiga tuntutan tersebut yaitu, pertama segera sahkan RUU Perubahan tentang ASN, kedua
    Revisi PP 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK dan ketiga mendesak pemerintah mengeluarkan
    Peraturan Pemerintah tentang pengangkatan tenaga Non ASN menjadi ASN.
    Herwandi juga berharap para peserta aksi agar terus konsisten terhadap perjuangan yang sedang
    berlangsung. Karena dalam memperjuangkan hal tersebut perlu kekompakan dari para pegawai Non
    ASN.

    Tiga tuntutan itu tidak mustahil akan dikabulkan jika tenaga Non ASN bersatu padu
    memperjuangkan nasibnya secara bersama-sama. Harus diingat bahwasanya kuantitas menentukan
    kualitas, semakin banyak yang terlibat dalam menuntut maka kualitasnya akan semakin kuat, niscaya
    tuntutannya dapat terkabul, ucapnya.

    Namun demikian, Herwandi menyayangkan upaya intimidasi dari Sekda Provinsi Banten yang
    mengeluarkan surat pembinaan dan pendisiplinan nomor 800/2622- BKD/2023 karena berencana
    aksi ke Jakarta pada 7 Agustus 2023 mendatang.

    Sangat mengecewakan, bukannya membantu kami, malah mengintimidasi," Ungkap Herwandi yang
    kesal rekan-rekan honorernya yang bekerja di lingkuang Pemerintah Provinsi Banten diintimidasi.
    Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa aksi yang direncanakan akan tetap berjalan. Meskipun yang
    terlibat dari berbagai elemen honorer di Banten. Herwandi mengimbau bahwa dalam aksi nanti,
    tetap dilakukan dengan menjaga stabilitas keamanan.

    Pada tanggal 7 Agustus 2023 kami dari Presidium Forum Honorer se-Provinsi Banten yang
    merupakan gabungan dari Forum Honorer Provinsi Banten, Forum Honorer Kota Serang, Forum
    Honorer Kota Tangerang Selatan, Forum Honorer Kota Cilegon, Forum Honorer Kabupaten Lebak,
    Forum Honorer Kabupaten Pandeglang, Forum Honorer Kabupaten Serang, dan Forum Honorer
    Kabupaten Tangerang menyerukan kepada seluruh tenaga Non ASN yang ada di wilayah Provinsi
    Banten untuk terlibat aksi massa pada tanggal 7 Agustus 2023,” paparnya.

    “Serta mengimbau bagi yang akan mengikuti aksi agar tetap menjaga stabilitas keamanan, tidak
    melakukan perbuatan yang melanggar hukum, dan senantiasa mematuhi aturan hukum yang
    berlaku dalam mengeluarkan pendapat, lanjutnya.

    Selian itu, dalam aksi yang akan digelar para pegawai Non ASN pada 7 agustus mendatang, Herwandi
    juga merasa terharu, karena banyak juga dukungan solidaritas dari Provinsi lain.
    "Aksi massa pada tanggal 7 Agustus 2023 ini juga akan diikuti oleh kawan-kawan dari tenaga Non
    ASN dari Jawa Tengah. tandasnya (CR-01/AZM)

  • Democratic Policing: Polisi dan Demonstran

    Democratic Policing: Polisi dan Demonstran

    Oleh Zunnur Roin
    Sekretaris Jenderal PB HMI MPO

    Pemolisian Demokratis (Democratic Policing) patut menjadi konsekuensi agenda reformasi Polri, suatu agenda reformatif terhadap postur Polri dalam sistem politik NKRI melingkupi kultur personil Polri dalam pelaksanaan keamanan nasional. Sederhananya begitulah titik tolak konsep pemolisian yang di urai oleh Tito Karnavian dan Hermawan Sulistyo dalam buku yang mereka tulis lebih dari 400 halaman, terbit di tahun 2017 dengan judul Democratic Policing. Kritik dan perdebatan konseptual sempat mencuat, hingga merangsang aspek historis ABRI (TNI/Polri) dan skeptis profesionalisme terhadap institusi maupun personil Polri itu sendiri.

    Fakta reformasi Polri sebagai anak kandung reformasi adalah keniscayaan demokratisasi Indonesia. Yang sebelumnya pemungsian institusi keamanan dan pertahanan Negara oleh rezim Orde Baru dibingkai sebagai power play pada banyak aspek, melaui pola yang otoriter. Dengan demikian reformasi polri pada tataran nilai demokratis mewajibkan penyelenggaraan keamanan nasional berbasis civilian, yang menjadi paradigma utuh konsep Democratic Policing tersebut. Disokong dengan argumentasi modernitas serta diintegrasikannya Polri dalam bangunan politik dan hukum yang dicita-citakan Reformasi. Mengutip artikel di Media Indonesia yang berjudul Polri,politik dan polemik democratic policing (https://bit.ly/2HkOM8I), menyebutkan bahwa penghormatan terhadap HAM, pelayanan yang adil dan nondiskriminasi, penggunnaan kekerasann yang minimal, serta Polri yang akuntabel dan profesional ialah aspek-aspek yang penting untuk terinternalisasi dalam institusi Polri.

    Manifestasi Democratic Policing semakin tampak dalam butir-butir Tagline Promoter (Profesional,Modern,Terpercaya),yang salah satunya menjadi jargon praktik penyelenggaran keamanan nasional oleh Polri, pastinya terbangun sebagai nilai yang berpayung Hukum. Artinya,atas nama Hukum praktik Promoter punya ruang pelaksanaan yang mengikat. Meskipun dalam opini publik, pelaksanaan supremasi hukum oleh Polri selalu diwarnai pesimistis.

    Sebagai aktor sipil yang saaat ini aktif di organisasi gerakan mahasiswa, penulis ingin mengulik problem klasik Demonstran dan Polisi ikhwal penyampaian pendapat dimuka umum, yang syarat dengan pelanggaran nilai-nilai HAM. YLBHI dalam siaran pers yang dikutip dari situs LBH Yogyakarta (https://bit.ly/3ckm4Ao) mencatat, bahwa aparat Kepolisian merupakan aktor paling dominan dalam kasus pelanggaran fiar trial pada tahun 2019, terdapat 1.847 korban dari 160 kasus. Angka yang sangat tinggi tersebut berkaitan erat dengan aksi-aksi massa yang terjadi sepanjang 2019. Maka menarik kemudian jika tema Democratic Policing direfleksi, disaat banyaknya catatan-catatan buruk pemolisian, terkhusus hubungannya dengan massa aksi.

    Sebelum tulisan ini tayang, problem klasik ini menimpa kader HMI MPO Cabang Bogor, saat aksi demonstrasi didepan kantor Bupati Kabupaten Bogor pada tanggal 17 september 2020 lalu. Beberapa demonstran mengalami perlakuan represif oknum Polri dan Satpol PP Kabupaten Bogor. Di Sulawesi Tenggara, meninggalnya dua Mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) pada gerakan Reformasi Dikorupsi september 2019 lalu (Randi dan Muh. Yusuf Kardawi) menyulut solidaritas Mahasiswa Kendari, dan menggelar Aksi pada 26 September 2020. Bentrokan antara massa aksi dengan aparat kepolisian tak terhindari, hingga Polisi mengerahkan Helikopter untuk membubarkan massa. Selanjutnya, beredar video ketua umum HMI MPO Cabang Serang di seret dan diperlakukan tidak manusiawi saat aksi bersama puluhan mahasiswa lainnya dalam peringatan HUT Provinsi Banten ke 20 di kantor DPRD Banten (4/10/2020). Secara umum, peristiwa-peristiwa tersebut melulu dibenarkan atas nama Hukum, ragam macam dalil regulasi yang lentur bahkan mengikat di pakai sebagai landasan tindakan-tindakan pengendalian massa yang berujung represif tersebut.

    Demonstrasi dan Regulasinya

    Langkah demonstrasi menjadi pilihan demokratis masayarakat sipil dalam upaya mengemukakan pendapat dengan dalil-dalil pro keadilan. Langkah konstitusional tersebut dilindungi oleh UUD 1945 pada Pasal 28E, dan mekanisme pelaksanaannya di atur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaiakan Pendapat di Muka Umum. Polri sebagai institusi keamanan dalam negeri diamanatkan dalam Pasal 13 ayat 3 UU No. 9 Tahun 1998 untuk bertanggungjawab menyelenggarakan pengamanan guna menjamin ketertiban umum. Sebagai acuan turunan, Polri menerbitkan Peraturan Kapolri (Perkap) No.16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa dan Perkap No. 9 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Selain itu ikhwal perlindungan HAM terdapat Perkap No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, serta Perkap No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    Teks-teks peraturan dan perundangan-perundangan tersebut di claim mengatur hak demokrasi dan menjamin perlindungan HAM terhadap Demonstran yang diklasifikasikan dalam kerangka ideal. Namun beberapa tindakan represif yang terjadi,menurut hemat penulis selalu disebabkan oleh dua perspektif tindakan kontrademokratis-kontra yuridis, sehingga beberapa aksi demonstrasi berujung pada konflik.

    Pertama, dengan dalil menjamin keamanan dan ketertiban umum, langkah demonstrasi diatur ketat dan santun sebagai manifestasi yuridis dan tata krama Demokrasi Indonesia. Dalam hal itu Polri merujuk segala Pasal hukum yang tertuang dalam keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut diatas. Dengan demikian, persitiwa aktual dalam keseluruhan proses aksi massa terkungkung dalam fatwa-fatwa Hukum yang bisa bersifat diskresi fungsional oleh personil dilapangan. Dirujuk dari artikel Hukum Online yang berjudul Penting! Meski Dijamin Hukum, Ini 5 Jenis Demonstrasi yang Dilarang (https://bit.ly/30cGyWX).

    Kedua, Metode demonstrasi ideal relatif tidak layak pakai jika kritik direspon melalui metode pembelaan atau pengekangan yang nondemokratis, meskipun kritikan atas objek masalah yang diperjuangkan oleh para demonstran adalah narasi keadilan. Secara teoritis kontradiksi itu dapat disebut sebagai Deprivasi Relatif yang bermuara pada kebutuhan perjuangan. Sehingga metode demonstrasi yang berenergi perjuangan seperti itu cenderung/terkesan sporadis, dan tak jarang menimbulkan kerugian materil dan immateril. Disisi lain, metode demonstrasi ideal pun mengalami ambiguitas demokratis jika konten gerakannya memenuhi syarat pelarangan dengan dalil-dalil hukum yang lentur, naif jika polisi dalam asumsi liar diduga terlibat mengaburkan konten-konten persoalan yang diperjuangkan.

    Jembatan Keadilan, Prasyarat Keamanan Nasional

    Polri merupakan salah satu institusi Negara yang secara massif memiliki intensitas interaksi yang tinggi dengan masyarakat sipil, artinya polri merupakan representasi konkret dari Negara pada konteks mengukur sejauh mana keadilan dapat dinikmati serta dapat mencermati kebebasan dan efektifitas pelayanan Negara. Sepatutnya ruang tersebut potensial difungsikan optimal untuk pro keadilan.

    Dua perspektif tersebut diatas seyogyanya dapat direfleksi guna memperkaya aktualisasi Democratic Policing. Artinya, Proporsi nilai demokratis tidak di interpretasikan pada pengayaan Institusional Polri sebagai fungsi penegakan hukum semata, Tidak pula mengakuisisi peran kepolisian pada banyak sektor, praktik tersebut jelas bertentangan dengan prinsip reformasi polri yang mengurai paradigma superioritas institusi ABRI pada banyak aspek. Namun lebih kepada pengamalan institusi yang menjembatani Demokratisasi untuk seluruh elemen sipil dalam mencapai keadilan.

    Merubah Regulasi Pengendalian Massa

    Penerapan Democratic Policing tercermin dari terjaganya nilai-nilai HAM , termasuk pada proses pengendalian massa. Dengan demikian, pada domain pengendalian massa diperlukan pendekatan transformatif, yang bertumpu pada keberpihakan atas hak-hak sipil secara utuh.

    Secara kultural, pengamalan Democratic Policing mesti keluar dari bayangan superioritas institusional yang justru mempengaruhi pola pemolisian personal polri. Maka perilaku demokratis personil Polri dalam fungsi-fungsi keamanan Nasional harus dinternalisasikan sejak dalam sistem pembinaan hingga pengawasan personil Polri.

    Secara yuridis, pendekatan transformatif tersebut terwujud dengan perlunya Perubahan regulasi-regulasi pengendalian massa yang saat ini masih memberi ruang diskresi fungsional secara berlebihan. Sehingga pelanggaran HAM tak terelekkan dalam tiap aksi massa yang bercorak Deprivasi Relatif.

    Menengok masa depan aksi massa, Situasi ekonomi politik indonesia saat ini membuka celah tingginya gelombang gerakan massa. Dengan demikian, urgensi pendekatan transformatif tersebut tersebut tidak semata mengupayakan Demonstrasi berjalan lancar dan damai, tapi situasi Keamanan dan Pertanahan negara stabil dari dampak kondisi ekonomi-politik Global.

  • Tak Izinkan LBH Mendampingi Massa Aksi, Polda Dinilai Langgar KUHAP

    Tak Izinkan LBH Mendampingi Massa Aksi, Polda Dinilai Langgar KUHAP

    SERANG, BANPOS – LBH Rakyat Banten selaku penasihat hukum massa aksi yang ditahan oleh Polda Banten, membenarkan bahwa mereka sampai saat ini tidak diperkenankan mendampingi para mahasiswa.

    Humas LBH Rakyat Banten, M. Syarifain, mengatakan bahwa pada sekitar pukul 22.00 WIB pasca penahanan pada Selasa (7/10) kemarin, pihaknya telah mendatangi Polda Banten untuk melakukan pendampingan hukum

    Namun, meskipun telah melakukan negosiasi dengan pihak kepolisian, mereka baru bisa masuk ke dalam ruangan pada pukul 00.00 WIB. Itu pun mereka masih belum diperkenankan untuk melakukan pendampingan hukum dan hanya bertemu salah satu massa aksi yang sedang diperiksa.

    Ia pun menyayangkan hal tersebut. Menurutnya, tindakan yang dilakukan oleh Polda Banten telah melanggar pasal 54 KUHAP terkait dengan pendampingan hukum di segala tingkatan.

    “Dalam pasal 54, guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (7/10).

    Pada prinsipnya, ia menerangkan bahwa penasihat hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya.

    “Ini yang sangat disayangkan sebenarnya. Karena kami tidak diberikan space untuk memberikan pendampingan pada saat berita acara,” tuturnya.

    Bahkan, ia mengaku bahwa pihaknya sampai saat ini masih belum mengetahui bagaimana kondisi para massa aksi yang ditahan oleh pihak kepolisian. Saat ini, pihaknya hanya bisa menduga dengan melihat foto yang tersebar di media sosial.

    “Kalau dari gambar yang beredar, itu kami melihat dan ini baru dugaan ya, da seperti luka lebam. Belum bisa dipastikan karena kami belum boleh bertemu. Tapi pada saat penangkapan dan dibawa ke pos polisi, memang ada gesekan tubuh yah dari gamparan dan pukulan,” tandasnya. (DZH)

  • Di Medsos, Peserta Aksi Olok-olok Wartawan

    Di Medsos, Peserta Aksi Olok-olok Wartawan

    SERANG, BANPOS – Beredar di kalangan wartawan tangkapan layar unggahan Snapgram salah satu mahasiswa, yang mengolok-olok wartawan lantaran tidak meliput ke dalam kampus pada saat terjadi bentrokan antara massa aksi dengan Kepolisian.

    Akun instagram yang diketahui bernama @ddn_ibrahim tersebut mengunggah tangkapan layar percakapan dirinya melalui Direct Message dengan salah satu akun media cetak lokal di Banten.

    Dalam percakapan tersebut, ia mengatakan bahwa seharusnya para wartawan masuk ke dalam kampus untuk mencari mahasiswa yang menjadi korban bentrokan. Ia menuturkan bahwa mahasiswa tidak akan menyerang awak media, selama tidak menggunakan seragam aparat kepolisian.

    “Wajar ga kalo saya sebagai mahasiswa geram karena yang kalian ekspos cuma polisi yang kena timpuk doang?,” tulisnya.

    Admin akun instagram media cetak lokal tersebut pun menanggapinya. Sang admin menuturkan bahwa bagaimana awak media bisa mendekat ke arah mahasiswa, jika awak media saja ditimpuk dan diteriaki oleh massa aksi.

    “Lo mau jamin kalau kita gak ditimpukin. Kita aja mendekat dikatain anjing goblok ditimpuk segala,” ungkapnya.

    Tangkapan layar percakapan tersebut diunggah oleh @ddn_ibrahim ke snapgramnya dengan dibubuhi beberapa pernyataan dirinya.

    “Yaelah lemah bgt wartawannyaaa, gamau kena lecet sedikit pun… wkkw,” tulisnya.

    Namun saat BANPOS mencoba untuk melihat snapgram dari akun tersebut pada Rabu (7/10), ternyata sudah dihapus oleh pemiliknya.

    BANPOS pun mencoba melakukan konfirmasi kepada akun tersebut, namun sayangnya hingga berita ini diterbitkan tidak kunjung mendapatkan respon. (PBN)

  • Tuding Terima Gratifikasi, GMNI Demo DPRD Banten

    Tuding Terima Gratifikasi, GMNI Demo DPRD Banten

    SERANG, BANPOS – Puluhan anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Banten menggeruduk DPRD Provinsi Banten. Mereka mengecam tindakan anggota dewan yang menerima CSR beras Bank BJB yang menurut mereka diduga kuat merupakan gratifikasi.

    Mereka juga menduga hal tersebut yang membuat anggota dewan menghentikan upaya interpelasi pemindahan RKUD dari Bank Banten ke Bank BJB, hingga hanya tersisa 15 anggota saja yang tetap lanjut melakukan interpelasi.

    Ketua Umum DPD GMNI Banten, Indra Patiwara, mengatakan bahwa aksi yang pihaknya lakukan merupakan langkah awal dalam menggugat dugaan gratifikasi DPRD Provinsi Banten. Mereka pun berencana melaporkan kepada KPK apabila tuntutan tidak dipenuhi.

    “Kalau kami ini merupakan langkah pertama yakni aksi. Nanti kami juga akan meminta Kejati Banten menekan MOU terkait penyelesaian kasus ini selama 7 hari. Kalau ternyata tuntutan kami tidak digubris oleh Kejati, maka kami akan ke KPK,” ujarnya di sela aksi, Senin (15/6).

    Ia mengatakan, berdasarkan Undang-undang Tindak Pidana Koruosi (UU Tipikor), pejabat tidak boleh menerima fasilitas ataupun barang karena merupakan bentuk gratifikasi.

    “Kalau melihat UU Tipikor, pejabat baik pusat maupun daerah itu tidak boleh menerima barang ataupun fasilitas dari pihak lain, itu sudah masuk dalam tindakan gratifikasi. Sedangkan setiap dewan menerima beras sebanyak 2 ton dari BJB,” ungkapnya.

    Menurutnya, hal itu yang menjadi upaya penggunaan hak interpelasi DPRD untuk menanyakan prihal pemindahan RKUD, dari Bank Banten ke Bank BJB menjadi hilang.

    “Dari puluhan anggota DPRD Provinsi Banten, akhirnya dibungkam oleh pemberian beras CSR BJB. Saat ini hanya tersisa 15 orang anggota dewan yang mengajukan hak interpelasi untuk menanyakan pemindahan RKUD. Sisanya kemana?,” tegasnya.

    Berdasarkan pantauan BANPOS, aksi yang digelar oleh mahasiswa di depan DPRD Provinsi Banten hanya berlangsung sekitar setengah jam saja. Selanjutnya, massa aksi berangkat menuju Kejati Banten untuk kembali melangsungkan aksi. (DZH)

  • Pegiat dan Penyandang Disabilitas Aksi Longmarch, Sweeping Guiding Block

    Pegiat dan Penyandang Disabilitas Aksi Longmarch, Sweeping Guiding Block

    SERANG, BANPOS – Gabungan pegiat dan penyandang disabilitas di Kota Serang melakukan aksi unjuk rasa untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional.

    Dalam aksi tersebut, mereka melakukan aksi unjuk rasa sekaligus sweeping kendaraan yang parkir dan pedagang yang berjualan di atas guiding block, sepanjang jalan menuju Alun-alun Kota Serang.

    Terpantau, beberapa kali massa aksi berhenti untuk memberitahukan kepada masyarakat yang memarkir kendaraannya di atas guiding block, agar segera memindahkan kendaraannya.

    Mayoritas dari masyarakat pun segera memindahkan kendaraannya seusai diberitahu oleh massa aksi.

    Selain orasi dan sweeping guiding block, mereka juga melakukan pantomim yang dilakukan oleh massa aksi dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tuli Indonesia (Gerkatin).

    Koordinator aksi, Gilang Septian Pratama, mengatakan bahwa aksi yang dilakukan oleh pihaknya merupakan langkah sosialisasi, agar masyarakat Kota Serang dapat menciptakan lingkungan yang ramah disabilitas.

    “Karena yang kami lihat hari ini adalah masyarakat Kota Serang masih kurang perduli terhadap eksistensi warga penyandang disabilitas,” ujarnya saat diwawancara oleh awak media, Rabu (4/12).

    Menurutnya, hal ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui bahwa jalur kuning atau guiding block yang ada di trotoar jalan, merupakan pemandu jalan bagi penyandang tunanetra.

    “Sepanjang kami melakukan longmarch hingga alun-alun, kami menemukan banyak sekali kendaraan bermotor yang parkir di atas guiding block. Tentu ini berbahaya bagi penyandang tunanetra,” tuturnya.

    Selain itu, ia juga mengatakan bahwa terdapat bangunan yang justru dibangun di atas trotoar jalan. Sehingga, tidak ada ruang bagi pejalan kaki, bahkan penyandang disabilitas, untuk berjalan.

    “Selain itu, ada juga di depan Ramayana Kota Serang, guiding block yang di atasnya melintang tangga dan kerangka JPO. Kami pun bisa saja kepentok kerangka ini,” tegasnya.

    Namun ia mengaku sangat mengapresiasi masyarakat Kota Serang, yang masih menerima aksi yang dilakukan oleh teman-teman disabilitas.

    “Banyak dari orang yang parkir di atas guiding block maupun yang berjualan di atasnya, meminta maaf dan langsung memindahkan motornya dari sana. Ini membuktikan bahwa sebenarnya mereka peduli, namun kurang sosialisasi,” terangnya.

    Oleh karena itu, ia meminta kepada Pemkot Serang maupun Pemprov Banten, agar dapat lebih gencar melakukan sosialisasi untuk menciptakan lingkungan yang ramah disabilitas.

    “Tentu kami tidak hanya menuntut, kami pun siap untuk bersinergi dengan pemerintah agar bagaimana Kota Serang ini dapat menjadi kota yang ramah disabilitas,” ujarnya.

    Sementara itu, salah satu penyandang tunarungu, Jajang, dalam orasi menggunakan bahasa isyaratnya mengaku bahwa saat ini penyandang disabilitas masih kurang diperhatikan.

    “Saya harap pemerintah dapat memperhatikan penyandang disabilitas di Kota Serang secara penuh,” jelasnya melalui penerjemah bahasa isyarat. (DZH)