Tag: Aksi Teatrikal

  • Peringati Hari Penghapusan Kekerasan Perempuan, FPR Sebut Pembangunan Tidak Berbasis Gender

    Peringati Hari Penghapusan Kekerasan Perempuan, FPR Sebut Pembangunan Tidak Berbasis Gender

    Teatrikal yang dilakukan FPR Banten, Senin (25/11). Terlihat salah satu massa aksi memperagakan tindak kekerasan terhadap perempuan. (Diebaj/BantenPos)
    Teatrikal yang dilakukan FPR Banten, Senin (25/11). Terlihat salah satu massa aksi memperagakan tindak kekerasan terhadap perempuan. (Diebaj/BantenPos)

    SERANG, BANPOS – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) Banten menggelar aksi simpatik dalam memperingati hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan di depan Kampus A Untirta.

    Dalam aksi ini, mereka menuntut agar perempuan, terutama di Provinsi Banten, dapat lebih berdaya, menghentikan segala kekerasan terhadap perempuan, dan penuhi hak-hak para perempuan. Selain itu, mereka juga menuntut agar pembangunan di Provinsi Banten dapat lebih berbasis gender.

    Humas Aksi, Ega Khairunisa, mengatakan bahwa hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan diperingati untuk mengenang perjuangan tiga orang perempuan yang telah mati dalam memperjuangkan hak demokratisnya di Republik Dominika.

    “Sejarah mengatakan, ada perjuangan tiga bersaudari di Republik Dominika melawan diktator fasis, yaitu Rafael Trujilo. Mereka dibunuh karena menyuarakan hak-hak demokratisnya pada tanggal 25 November 1960,” ujarnya, Senin (25/11).

    Ia mengatakan, berdasarkan data yang pihaknya miliki, di Indonesia saat ini terdapat 237 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan di Banten sendiri, kata Ega, terdapat 36 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

    “Laporan tahunan Komnas Perempuan di Banten, mengatakan bahwa di Indonesia terdapat 237 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dan khusus di Banten, sebanyak 36 kasus sedang ditangani oleh LPA Banten, dan 82 persennya merupakan kasus kekerasan perempuan,” ucapnya.

    Mahasiswi yang juga merupakan ketua Seruni Ranting Untirta ini mengaku bahwa pembangunan di Provinsi Banten, masih belum berbasis gender. Akibatnya, banyak hak-hak dari perempuan yang masih belum dipenuhi oleh Pemerintah Daerah di Provinsi Banten.

    “Bahkan di Untirta pun dalam pembangunannya tidak memenuhi hak-hak daripada perempuan. Seperti disediakannya ruangan khusus untuk menyusui bagi dosen yang baru saja melahirkan. Sama dengan beberapa kantor pelayanan publik di Banten,” katanya.

    Ia juga mengaku, perampasan lahan yang kerap terjadi di pedesaan, memaksa para perempuan untuk pergi ke kota maupun ke luar negeri untuk mencari pekerjaan. Akibatnya, banyak dari para perempuan, khususnya yang bekerja sebagai TKW, menjadi korban kekerasan dari majikannya seperti Ruyati yang meregang nyawa akibat disiksa.

    “Selain itu juga, para buruh harian lepas di perkebunan sawit di Siak, Riau pun mendapatkan kekerasan yang serupa. Misalkan, para buruh ingin cuti karena haid, para mandor akan melakukan pelecehan dengan cara selangkangan buruh itu disenter dan diraba-raba,” jelasnya.

    Di akhir, ia menuntut agar segala bentuk kekerasan dan persekusi terhadap perempuan, harus dihapuskan dari Dunia, khususnya di Indonesia. Selain itu, ia menuntut agar pemerintah memenuhi seluruh hak perempuan, dengan melakukan pembangunan berbasis gender.

    “Hentikan seluruh bentuk persekusi dan penangkapan terhadap perempuan pejuang HAM, serta hentikan segala bentuk kekerasan dan kriminalisasi terhadap perempuan. Lakukan pembangunan daerah yang berbasis gender,” tandasnya. (DZH)