Tag: al muktabar

  • Pemprov Masih Akui Al Muktabar Sebagai Sekda

    Pemprov Masih Akui Al Muktabar Sebagai Sekda

    KEPALA BKD Provinsi Banten, Komarudin, mengatakan bahwa ditunjuknya Muhtarom sebagai Plt. Sekda dan bukan Pj. Sekda lantaran sebenarnya Al Muktabar hanya berhalangan tugas sementara saja, tidak berhalangan tetap.

    “Plt atau Plh sesuai dengan Perka BKN itu ditunjuk ketika pejabat definitifnya berhalangan menjalankan tugas, artinya tidak menjalankan tugas. Tidak menjalankan tugas itu banyak macem, bisa karena tugas luar, sakit atau cuti dan lain sebagainya. Itu lah yang melatarbelakangi kenapa dipilih Plt,” ujarnya.

    Sedangkan untuk Pj, diangkat apabila Sekda definitifnya berhalangan tetap. Sebab, Al Muktabar hanya berhalangan tugas sementara waktu dan lebih dari beberapa hari sehingga ditunjuk Plt Sekda. “(Al Muktabar) berhalangan sementara,” terangnya.

    Ditanya terkait dengan Al Muktabar berhalangan sementara hingga berapa lama, Komarudin justru meminta BANPOS untuk menanyakan langsung kepada Al Muktabar, kapan dia akan mulai bekerja kembali sebagai Sekda Banten.

    “Ya tanya ke pak Al, saya tidak tahu. Tanya ke pak Al Muktabar sampai kapan tidak masuk kerjanya. Kan tidak menjalankan tugas dia,” ungkapnya.

    Menurutnya, pengangkatan Muhtarom sebagai Plt Sekda berdasarkan pada fakta bahwa Al Muktabar berhalangan sementara untuk menjalankan tugasnya. Sehingga, diambil langkah untuk menunjuk Plt Sekda.

    “Kan faktanya tidak ada, sedangkan fungsi pemerintahan harus berjalan. Aturannya memang bisa ditunjuk Plt dan Plh, masa harus dibiarkan,” katanya.

    Ia mengatakan, secara aturan Plt Sekda dapat menjabat hingga tiga bulan dan bisa diperpanjang. Apalagi secara fakta, Al Muktabar sebagai Sekda definitif tidak pernah melaksanakan tugasnya pasca mengambil cuti.

    “TIga bulan bisa diperpanjang. Tapi masalahnya ketika yang pejabat definitif enggak masuk kerja terus bagaimana. Kenapa yang ditanya tidak yang tidak pernah masuk kerja, kenapa Pemprov Banten terus yang ditanya,” ucapnya.

    Dari surat cuti yang diajukan oleh Al Muktabar, Komarudin menuturkan bahwa Al Muktabar hanya mengajukan cuti selama 24 hari. Namun setelahnya, Al Muktabar tidak kunjung kembali menjalankan tugas dia.

    “Awalnya begitu (jabatan Plt Sekda hanya 24 hari). Namun ya itu, karena tidak hadir maka diteruskan,” terangnya.

    Dikonfirmasi terkait beberapa pernyataan dari Pemprov Banten, termasuk Komarudin sendiri, yang menyatakan bahwa Al Muktabar sudah dipindahtugaskan menjadi staf biasa di BKD, ia membantahnya.

    Komarudin menegaskan bahwa Al Muktabar tidak dipindahtugaskan ke bagian manapun, lantaran kewenangan mengganti atau memindahtugaskan Sekda merupakan kewenangan dari Presiden, bukan Gubernur.

    “Enggak itu, enggak ada ditempatkan sebagai staf BKD. Yang mengangkat dan memberhentikan itu presiden, maka penempatannya ya presiden lagi,” katanya.

    Untuk diketahui, pada Oktober 2021 lalu, Komarudin sempat menyatakan kepada beberapa media bahwa Al Muktabar kini ditempatkan sebagai staf biasa di BKD, sembari menunggu kejelasan pemindahan tugas dirinya.

    Untuk diketahui, pada Oktober 2021 lalu, Komarudin sempat menyatakan kepada beberapa media bahwa Al Muktabar kini ditempatkan sebagai staf biasa di BKD, sembari menunggu kejelasan pemindahan tugas dirinya.

    Menurut Komarudin, pihaknya telah mencoba menghubungi Al Muktabar agar kembali bekerja sebagai Sekda. Akan tetapi beberapa kali coba dihubungi, Al Muktabar tidak kunjung merespon Komarudin.

    “Dihubungi enggak menjawab, gimana. Harusnya media tuh yang menanya,” ucapnya.

    Sementara terkait dengan kebenaran di balik isu pengunduran diri Al Muktabar sebagai Sekda Banten, Komarudin enggan membenarkan maupun menyalahkan. Sebab, hal itu merupakan hak pribadi Al Muktabar.

    “Kalau soal pengunduran diri atau hal yang lain, silahkan tanya ke pak Al ya. Karena kan itu hak pribadi beliau. Kalau surat-surat yang sifatnya pribadi itu sebenarnya saya tidak boleh buka, lebih tepatnya silahkan tanya ke sana, ke Al Muktabar,” ujarnya.

    Komarudin pun mengakui bahwa secara de jure, Al Muktabar merupakan Sekda definitif Provinsi Banten. Kendati demikian secara de facto, Al Muktabar tidak menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang Sekda.

    (DZH/PBN)

  • Bom Waktu Tafsir Sekda

    Bom Waktu Tafsir Sekda

    POLEMIK jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten kian hari kian meruncing. Bahkan perkara tersebut diprediksi dapat terseret ke ranah hukum, lantaran adanya kebijakan yang diduga telah menabrak aturan yang ada.

    Saat ini, permasalahan jabatan sekda tersebut tengah dipersidangkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Serang, untuk mencari kebenaran terkait dengan polemik yang terjadi. Bahkan, saksi fakta yang digadang-gadang bakal membuka tabir permasalahan tersebut bakal dihadirkan dalam waktu dekat ini.

    Mengejutkannya lagi, Pemprov Banten melalui BKD mengakui bahwa sebenarnya Al Muktabar masih menjabat sebagai Sekda definitif. Akan tetapi, Al Muktabar diklaim ‘hilang’ dan tidak pernah ngantor semenjak mengambil cuti sebagai Sekda selama 24 hari.

    Ketua Perkumpulan Maha Bidik Indonesia, Moch Ojat Sudrajat S, mengatakan bahwa polemik jabatan Sekda diduga bermula atas salah tafsirnya Pemprov Banten, dalam hal ini Gubernur dan BKD Provinsi Banten, atas surat permohonan pindah tugas yang disampaikan oleh Al Muktabar sebagai pengunduran diri dari jabatan Sekda.

    “Kan kalau yang namanya pindah, maka seharusnya menurut saya mengacu pada Peraturan BKN nomor 5 tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Minggu (30/1).

    Dalam peraturan tersebut, pada Pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa mutasi adalah perpindahan tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu) instansi pusat, antar-Instansi pusat, 1 (satu) Instansi Daerah, antar-Instansi Daerah, antar-Instansi Pusat dan Instansi Daerah, dan ke perwakilan Negara Indonesia di luar negeri serta atas permintaan sendiri.

    Menurut Ojat, dalam pelaksanaan mutasi ASN tersebut juga harus dilakukan oleh Pejabat yang Berwenang. Adapun untuk jabatan Sekda, berdasarkan PP Nomor 11 tahun 2017 jo PP Nomor 17 tahun 2020, merupakan kewenangan dari Presiden.

    “Pada pasal 3 ayat 2 memang Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS. Namun pada pada ayat 3 mengecualikan dari ayat 2, pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian bagi pejabat pimpinan tinggi utama, pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat fungsional keahlian utama. Sekda Provinsi Banten itu ada di mana sih? Ada di pejabat pimpinan tinggi madya. Artinya kewenangannya ada di Presiden, dan tidak bisa didelegasikan,” ungkapnya.

    Oleh karena itu, menurutnya sudah jelas bahwa jika memang surat permohonan yang diberikan oleh Al Muktabar adalah surat pindah, maka Gubernur tidak memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak permohonan tersebut.

    “Artinya kalau menurut saya, seharusnya (Gubernur) meneruskan permohonan pindah tersebut kepada Kementerian Dalam Negeri. Kan harusnya seperti itu ya,” terangnya.

    Sehingga menurutnya, seharusnya dalam perkara jabatan Sekda Al Muktabar tersebut, tidak buru-buru mengajukan surat pemberhentian Sekda kepada Kemendagri. Sebab yang diajukan oleh Al Muktabar hanyalah surat pindah tugas dan cuti.

    Di sisi lain, penunjukkan Muhtarom sebagai Plt Sekda pun dianggap tidak tepat. Sebab berdasarkan aturan yang pihaknya dapat, Plt Sekda sudah tidak ada untuk kasus Sekda definitif yang berhalangan tetap serta meninggal dunia dan digantikan menjadi Penjabat Sekda.

    Ojat mengacu pada Permendagri Nomor 91 tahun 2019 tentang Penunjukkan Penjabat Sekretaris Daerah dan Perpres Nomor 3 tahun 2018 tentang Penjabat Sekretaris Daerah.

    Dalam Permendagri Nomor 91 tersebut, pada pasal 2 ayat 1, disebutkan bahwa Penunjukan penjabat sekretaris daerah dilakukan dalam hal: a. jangka waktu 3 (tiga) bulan terjadinya kekosongan sekretaris daerah terlampaui; dan b. sekretaris daerah definitif belum ditetapkan.

    Pada ayat 2, diterangkan bahwa penunjukan penjabat sekretaris daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara: a. Menteri menunjuk penjabat sekretaris daerah provinsi; dan b. Gubernur menunjuk penjabat sekretaris daerah kabupaten/kota.

    Sedangkan dalam Perpres Nomor 3 tahun 2018, pada Pasal 3, disebutkan bahwa kekosongan Sekretaris Daerah terjadi karena Sekretaris Daerah diberhentikan dari jabatannya, diberhentikan sementara sebagai pegawai negeri sipil, dinyatakan hilang, atau mengundurkan diri dari jabatan dan/atau sebagai pegawai negeri sipil.

    Pada pasal 7 ayat 1, disebutkan bahwa Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengusulkan secara tertulis 1 (satu) calon penjabat sekretaris daerah provinsi kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak sekretaris daerah provinsi tidak bisa melaksanakan tugas atau terjadinya kekosongan sekretaris daerah provinsi.

    “Saya melihatnya, itu yang menurut saya lebih sesuai dengan aturan perundang-undangannya,” kata Ojat.

    Terpisah, Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Lampung (Unila), Yhannu Setiawan, mengkhawatirkan Plt Sekda Muhtarom tak sengaja bertindak ‘di luar batas’ sebagai seorang Plt. Sebab, terdapat beberapa kebijakan yang berpotensi tidak dapat dilakukan oleh seorang Plt Sekda, seperti mengangkat pegawai.

    Menurutnya, dalam proses administrasi kepegawaian harus mengacu pada aturan hukum yang berlaku. Sehingga, hasil dari kebijakan itu tetap memiliki legitimasi secara hukum.

    “Maka nanti akan muncul pertanyaan, seberapa legitimate suatu produk kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara administrasi kepegawaian dan keuangan di pemerintahan,” ujarnya.

    Ia mengatakan, dalam sebuah proses rekrutmen jabatan, baik itu pratama, utama maupun yang lainnya, tetap harus berpegang teguh pada aturan perundang-undangan yang berlaku.

    “Legitimate kah proses yang dilakukan. Baru kemudian yang kedua, prosedur langkah proses yang dilakukan, yang ketiga apakah bisa efektif perbuatan dan tindakan administrasi kepegawaian dilakukan melalui proses rekrutmen itu,” ucapnya.

    Ia mengatakan, lantaran di setiap kebijakan harus berlandaskan hukum, maka Pemerintah Daerah, dalam hal ini Pemprov Banten, harus menjalankan aturan sesuai dengan aturan yang telah tertulis. Jangan sampai pemerintah menafsirkan sehingga terjadi bias aturan.

    “Tugasnya pemerintah itu mengeksekusi, melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan. Tidak usah ditafsir, enggak usah dibelok-belokin, enggak usah dipergunakan argumen yang lain,” katanya.

    Menurut Yhannu, prinsip dari negara hukum adalah proses hukum dan akibat hukum. Maka dari itu, apabila terdapat kebijakan yang tidak sesuai dengan hukum, akan menimbulkan akibat hukum pula. Hal ini jelas akan menjadi bom waktu jika pelaksanaan administrasi tidak sesuai dengan peruntukannya.

    “Laksanakan saja, kalau enggak melaksanakan sesuai teksnya, ya nanti akan muncul akibat-akibatnya. Jadi jangan pernah berpikir bahwa suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan teks itu tidak akan menimbulkan akibat. Pasti menimbulkan akibat,” ucapnya.

    (DZH/PBN)

  • Nasib Al Muktabar  Terkatung-katung, Sengaja ‘Digantung’?

    Nasib Al Muktabar Terkatung-katung, Sengaja ‘Digantung’?

    SERANG, BANPOS – Tidak jelasnya nasib Al Muktabar menimbulkan berbagai spekulasi dan analisis. Kemendagri pun dituding turut andil dan membuat Al Muktabar seolah digantung nasibnya. Namun, di sisi lain, terdapat tudingan juga bahwa pemecatan Sekda Banten ini terlalu diburu-buru dan tidak memenuhi syarat, sehingga menyebabkan Kemendagri belum mengabulkan permohonan pemberhentian tersebut.

    Pegiat informasi Banten, Moch Ojat Sudrajat, mengatakan bahwa terjadi kesalahan berpikir yang disampaikan oleh pengamat politik Kajian Politik Nasional (KPN), Adib Miftahul, yang menuding Kemendagri sengaja tidak memproses pemberhentian Al Muktabar untuk memuluskan menjadi Pj. Gubernur Banten. Menurut Ojat, terdapat perbedaan yang jelas antara surat pindah dan surat pengunduran diri.

    “Mundur sebagai Sekda dan mengajukan surat pindah itu dua proses hukum yang berbeda. Jangan dicampuradukkan agar cara berpikir kita tidak bercampur,” ujarnya dalam rilis yang diterima BANPOS, Selasa (25/1).

    Menurutnya, tidak mungkin Kemendagri mempersulit proses pemberhentian Sekda, jika syarat sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 3 tahun 2018 dan Permendagri Nomor 91 tahun 2019 telah terpenuhi.

    “Untuk proses pindah tugas PNS, jangankan untuk JPT Madya, untuk level staf dan/atau Eselon IV atau III saja tidak sederhana. Mungkin bisa dibaca tuh aturan tentang pindah PNS,” terangnya.

    Ia pun mencontohkan Pemprov Banten yang sempat melakukan tes untuk PNS dari luar Banten, yang ingin menjadi PNS di Banten namun sampai saat ini tidak ada kejelasannya.

    “Mungkin masih ingat Pemprov Banten melalui BKD pernah melakukan tes untuk PNS luar Banten untuk menjadi PNS Banten sekitar tahun 2019 atau 2020. Tapi sampai saat ini BKD Banten belum mengumumkan hasilnya,” katanya.

    Ojat juga mengajak Adib untuk membalik spekulasi yang digunakan dalam argumentasi terkait Sekda tersebut. Menurut Ojat, yang perlu ditanyakan ialah urgensi mengangkat Plt. Sekda Banten, padahal Sekda definitif masih dijabat oleh Al Muktabar.

    “Coba spekulasinya kita balik, apa sebenarnya urgensinya mengangkat Plt Sekda Banten, padahal Sekda Definitifnya masih ada, hanya sedang mengajukan surat pindah yang disambung cuti,” ucapnya.

    Bahkan menurut Ojat, jika memang ada yang menunggangi permasalahan jabatan Sekda, justru Gubernur lah yang memiliki kepentingan tersebut. Sebab, pusat pun berwacana untuk mengangkat Sekda sebagai Pj. Kepala Daerah.

    “Pada berbagai pemberitaan sejak Februari 2021 lalu, Ditjen Otda pada Kemendagri mengatakan bahwa Sekda berpotensi menjadi Pj. Kepala Daerah. Maka sebenarnya siapa yang punya kepentingan sehingga sampai mengangkat Plt. Sekda yang jika Presiden memberhentikan Sekda (definitif), maka akan ada Open bidding Sekda,” tandasnya.

    Sebelumnya diketahui, Pengamat politik Kajian Politik Nasional (KPN), Adib Miftahul, menuding Kemendagri sengaja tidak memproses pemberhentian Al Muktabar sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten, dengan niatan untuk menjadikan Al Muktabar sebagai Pj. Gubernur Banten.

    Dalam pemberitaan di salah satu media, Adib menuturkan bahwa dirinya curiga lambatnya proses pemberhentian Al Muktabar merupakan akal-akalan dari Kemendagri saja, agar bisa menempatkan Al Muktabar sebagai Pj. Gubernur Banten.

    “Saya mencurigai, ada skenario dari Kemendagri untuk menjadikan Al Muktabar sebagai Pj Gubernur menggantikan Wahidin Halim yang akan berakhir masa jabatan pada bulan Mei mendatang,” ujarnya seperti dikutip dari Indoposco.

    Menurut pria yang juga merupakan akademisi Universitas Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang ini, perkara jabatan Sekda sebenarnya merupakan hal sederhana. Namun karena diduga adanya kepentingan politis, maka pemberhentian Al Muktabar jadi berbelit-belit.

    (DZH/PBN)

  • KASN dan Pansel Saling Lempar Soal Penghentian Lelang Jabatan

    KASN dan Pansel Saling Lempar Soal Penghentian Lelang Jabatan

    SERANG, BANPOS – Sekda Banten, Al Muktabar menegaskan Panitia Seleksi (Pansel) lelang jabatan (open biding) Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama sudah bekerja berdasarkan aturan yang berlaku.

    Hal itu disampaikan Muktabar menanggapi adanya tudingan jika Pansel tidak profesional karena membatalkan lelang jabatan untu Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Asisten Daerah I Pemrov Banten.

    “Pansel punya kewenangan sesuai peraturan perundang-undangan dalam (lelang jabatan ) untuk dua posisi yaitu Asda I dan Kepala Dindikbud. Kita menggunakan dasar tentang kompetensi dasar aparatur sipil negara (ASN),” kata Muktabar saat ditemui di KP3B, Kota Serang, kemarin.

    Muktabar menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Pemberdayagunaa Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) Nomor 38 Tahun 2017 tentang tata cara pengisian jabatan pimpinan tinggi, setidaknya terdapat empat komponen kompetensi dasar ASN yang harus dipenuhi.

    “Di situ disebutkan harus kompetensi dasar harus memenuhi skala 4, salah satunya itu soal kompetensi managerial yang nilainya 70 ke atas. Sementara, sekarang yang ada tidak terpenuhi komptensi dasar itu. Perbandingannya kalaus seseoeang syarat administratifnya tidak terpenuhi, apa harus dilanjutkan dan itu juga seperti itu,” jelasnya.

    Oleh karena itu, lanjut Muktabar, Pansel berasumsi jika proses tersebut tidak bisa dilanjutkan. Ia juga mengaku jika pihaknya telah melaporkan hal tersebut ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

    “Kita juga meminta pendapat kepada KASN apakah bisa dilanjut atau tidak. Bila ada pendapat lain dari KASN selaku pemegang ororitas misalkan dilanjut yah kita lanjut, dan kita akan patuh,” katanya.

    Terpisah, Asisten Komisioner (Askom) bidang Advokasi dan Mediasi KASN, Nurhasni justru menyayangkan terjadinya penghentian lelang jabatan. Karena menurutnya, seharusnya langkah itu diambil setelah berkonsultasi dengan KASN terlebih dahulu.

    “Mereka itu sebelum melaksanakan open bidding kan minta rekomendasi dari kita, seyogiyanya kalau ada masalah atau menghentikan proses open bidding harus konsultasi lagi dengan kita,” kata Nurhasni.

    Pekan depan, lanjut Nurhasni, KASN akan memanggil ketua Pansel yang juga Sekretaris Daerah (Sekda) Banten, Al Muktabar unuk dmintai keterangan dan klarifikasi terkait adanya penghentian proses open bidding oleh Pansel yang tak lazim, karena peserta belum mengikuti semua tahapan yang disusun oleh Pansel.

    “Rencananya pekan depan kita akan memanggil ketua Pansel untuk dimintai keterangan atau klarifikasi terkait penghentian proses open bidding saat baru memasuki tahap asesmen tanpa koordinasi dengan KASN,” terang Nurhasni.

    Nurhasni membantah, pihaknya telah membuat kegaduhan terkait polemik penghentian proses open bidding JPT Pratama oleh Pansel yang ramai di media massa.

    “Justru kami sebagai wasit atau pengawas dalam proses tersebut sebagaimana diatur dalam Undang undang Nomor 5/2004 tentang ASN agar pelaksanaan open bidding berjalan fair dan prosedural sesuai dengan sistem merit,” cetusnya.(RUS/ENK)