SERANG, BANPOS – Meskipun ada klaim perbaikan, Provinsi Banten masih harus menghadapi masalah serius dalam mengatasi tingkat pengangguran yang tinggi dan ketimpangan ekonomi yang belum sepenuhnya teratasi. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran yang tinggi di provinsi ini, yang merupakan tertinggi di seluruh Indonesia. Walaupun ada klaim tentang penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), tetapi ketimpangan antara wilayah Selatan dan Utara Banten tetap menjadi permasalahan yang belum sepenuhnya terselesaikan, memunculkan keraguan terhadap klaim perbaikan tersebut.
Diketahui, jumlah pengangguran di Provinsi Banten tertinggi di Indonesia, dan terbanyak di wilayah perkotaan yakni 8,06 persen sedang di perdesaan 7,73 persen. Berdasarkan data BPS, Februari 2023 tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebanyak 486,35 ribu orang atau 7,97 persen.
Disebutkan, terdapat 253,07 ribu orang atau 2,73 persen penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19. Terdiri dari pengangguran karena COVID-19 sebanyak 30,99 ribu orang, Bukan Angkatan Kerja (BAK) karena COVID-19 sebanyak 8,10 ribu orang.
Sementara tidak bekerja karena COVID-19 sebanyak 19,58 ribu orang, dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena COVID-19 sebanyak 194,40 ribu orang Pj Gubernur Banten Al Muktabar pada rapat paripurna istimewa HUT ke-23 Provinsi Banten, menyampaikan kondisi ketenagakerjaan. Menurutnya, pada tahun 2022 mengalami perbaikan yang ditandai dengan penurunan TPT dari 8,98 persen pada tahun 2021 menjadi 7,97 persen pada tahun 2023.
“Hal ini menunjukkan pemulihan aktivitas perekonomian yang berdampak pada penguatan penyerapan tenaga kerja (Naker),” ujarnya.
Selanjutnya, tingkat kemiskinan di Provinsi Banten juga lanjut Al Muktabar mengalami perbaikan dari tahun 2007 sebesar 9,07 persen menjadi 6,17 persen pada Maret 2023. Capaian tersebut masih lebih baik dari tingkat kemiskinan nasional sebesar 9,36 persen.
Selain itu, Al menyampaikan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau pengeluaran perkapita masyarakat di Provinsi Banten tumbuh dengan cepat. Pada tahun 2007 sebesar Rp13,03 juta naik menjadi Rp60,99 juta pada tahun 2022.
“Pertumbuhan ekonomi Banten tahun 2023 ditargetkan pada kisaran 5,02-5,15 persen. Namun pada triwulan II 2023 sudah mengalami pertumbuhan sebesar 4,83 persen (y-on-y). Artinya target itu kita optimis bisa capai, bahkan bisa melampaui,” kata Al Muktabar.
Kemudian gini ratio pada tahun 2007 sebesar 0,370 menjadi 0,368 pada tahun 2023 kondisi itu lebih baik dibandingkan kondisi ketimpangan nasional dengan tingkat gini ratio sebesar 0,388 poin. Demikian juga dengan pembangunan manusia di Banten yang secara konsisten terus mengalami kemajuan.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Banten mengalami peningkatan yang luar biasa. Pada tahun 2007 sebesar 61,14 persen dan pada tahun 2022, IPM Banten telah mencapai 73,32 poin atau meningkat 0,60 poin dibandingkan tahun 2021 sebesar 72,72 poin.
“Capaian itu berada lebih tinggi bila dibandingkan dengan capaian IPM nasional yang sebesar 72.91 poin. Angka tersebut menempati peringkat delapan nasional,” pungkasnya.
Berkenaan dengan kemarau panjang akibat dari El Nino, dijelaskan Al Muktabar, kondisi terkini Banten yang terdampak kekeringan per 22 september 2023 mencapai 4.722 hektar atau 1,02 persen dari total luas tanam seluas 463.613 hektar. Dengan rincian kekeringan ringan 1.789 hektar, kekeringan sedang 1.532 hektar, kekeringan berat 887 hektar dan puso 514 hektar.
Atas kondisi itu, Pemprov Banten melakukan berbagai langkah antisipasi seperti menyalurkan cadangan pangan pemerintah sebesar 214,99 ton beras yang bersumber dari dana insentif daerah sebesar 2.139,17 ton beras yang siap disalurkan apabila masyarakat sudah membutuhkan.
Peningkatan ketersediaan air dengan membangun/memperbaiki embung, dam, parit, sumur pantek, power thresher, sumur resapan, dan pompanisasi serta pengelolaan jaringan irigasi sepanjang 361,3 kilometer dengan luas layanan 29,211 hektar serta dukungan pembiayaan KUR dan asuransi pertanian, dan penyiapan lumbung pangan.
“Provinsi Banten juga memiliki pangan lokal seperti jagung, pisang, porang, singkong, talas beneng, sukun dan ubi jalar,” ujarnya.
Selain itu, ketimpangan pembangunan di Provinsi Banten terutama antara wilayah Selatan dengan Utara diklaim perlahan sudah mulai teratasi. Hal itu ditandai dengan adanya perhatian yang lebih dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten terkait dengan politik anggaran dalam penyusunan APBD.
Wakil Ketua DPRD Provinsi Banten, M. Nawa Said Dimyati menjelaskan, jika dilihat dalam lima tahun terakhir ini, alokasi anggaran pada APBD Provinsi Banten banyak diperuntukan untuk pelaksanaan pembangunan di wilayah Selatan seperti Kabupaten Lebak dan Pandeglang.
“Lima tahun ini kalau kita lihat sebenarnya, sampean bedah APBD itu alokasi pembangunan itu lebih banyak untuk Selatan, agar ketimpangan jarak antara Selatan dan Utara yang begitu tinggi itu semakin kecil,” katanya kepada BANPOS saat ditemui di ruangannya.
Ia bahkan menyebutkan, alokasi anggaran yang disediakan untuk pelaksanaan program pembangunan di wilayah Selatan angkanya mencapai 60 persen dari total APBD. Sehingga menurutnya tidak benar jika pemerintah tidak menaruh perhatian terhadap kesenjangan yang terjadi antara wilayah Selatan dan Utara Banten.
“Makanya APBD Provinsi Banten itu hampir 60 an persen larinya ke Selatan,” jelasnya.
Di samping itu pria yang akrab disapa Cak Nawa itu menjelaskan, dirinya kerap mendapatkan komplain dari sejumlah pemerintah daerah. Namun bukan pemerintah daerah dari wilayah Selatan yang mengadu kepadanya, melainkan pemerintah daerah dari wilayah Tangerang Raya yang kerap disebut-sebut lebih mendapatkan perhatian soal pembangunan. Cak Nawa mengatakan, pemerintah daerah dari wilayah Tangerang Raya merasa kebijakan anggaran Pemprov Banten selama ini tidak adil.
“Kadang-kadang teman-teman di Tangerang itupun juga komplain, kami ini penyumbang terbesar pendapatan di Provinsi Banten, tapi kenapa kami cuman dikasihnya kecil,” tuturnya.
Sehingga atas hal itulah kemudian, Cak Nawa menyanggah bila ada pihak yang mengatakan jika Pemprov Banten tidak serius menangani masalah ketimpangan pembangunan antara wilayah Selatan dengan Utara.
Sebab secara alokasi anggaran APBD pun nyatanya, pemerintah jauh lebih menaruh perhatian kepada wilayah Selatan dibandingkan wilayah Utara.
“Jadi sebenarnya sekarang sudah agak mulai baguslah, cuman memang belum sempurna masih jauh dari harapan,” tandasnya.(CR-02/RUS/PBN)