SERANG, BANPOS – Kedai Durian Jatohan Haji Arif (DJHA) di Kecamatan Baros, Kabupaten Serang, Banten jadi rebutan antara pemilik modal awal dengan pengelola.
Konflik saat ini berujung saling melaporkan ke polisi. Adalah Sabarto Saleh yang memulai pelaporan ke Polda Banten, dengan tuduhan telah terjadi perampasan aset pribadi oleh seseorang atas lahan dan bangunan yang dijadikan usaha sentra durian jatuhan dengan merek DJHA.
Nama yang dilaporkan adalah Aat Atmawijaya penanggung jawab usaha DJHA. Kepada wartawan, Sabarto memaparkan bahwa awal mula dirinya mendirikan usaha DJHA setelah berkenalan baik dengan pedagang durian bernama Haji Arif.
“Waktu itu dagangannya di pinggir jalan, di gubuk. Lalu pada tahun 2004 saya ajak kerja sama. Saya memanggil beliau dengan nama Abah,” ungkap Sabarto kepada wartawan Jumat pekan lalu.
Ajakan kerja sama ini disambut baik oleh Haji Arif. Sabarto lalu membeli tanah di pinggir Jalan Raya Serang-Pandeglang seluas 1.937 meter persegi.
Selanjutnya dibuatlah bangunan permanen lantai dua berbahan utama dari kayu. “Lahan dan bangunan ini telah bersertifikat atas nama saya,” katanya.
Modal pertama yang dikeluarkan Sabarto Saleh waktu itu adalah uang untuk membeli sebanyak 500 butir durian. Dari 500 butir durian itu usahanya berkembang pesat. Mekanisme pembagian untung adalah 50:50.
“Saya kemudian diangkat anak oleh Abah, dimasukan dalam Kartu Keluarga (KK) hingga dibikinkan identitas beralamat Baros. Sudah saya anggap orang tua sendiri. Sehingga ketika si Aat ini dilibatkan oleh Abah, saya tidak keberatan karena saya anggap keluarga saya,” ungkapnya.
Usaha ini terus berkembang pesat dan pembagian hasil usaha lancar. Usaha durian DJHA menjadi sangat terkenal, setelah dibantu promosi oleh pemerintah daerah dan media massa.
Selama bertahun-tahun, nyaris setiap hari DJHA selalu ramai dikunjungi penghobi durian. Terlebih pada akhir pekan Sabtu dan Ahad. Kunjungan para wisatawan sepulang dari obyek wisata pantai di Carita menambah nama DJHA semakin terkenal di luar Banten.
Selama Haji Arif masih hidup, lanjut Sabarto, hasil usaha di antaranya diperuntukan membeli beberapa bidang tanah di sejumlah desa di Kecamatan Baros. Luas seluruhnya kurang lebih lima hektare.
“Tanah ini dibeli oleh Abah dan saya dari hasil usaha. Berbeda dengan lahan dan bangunan DJHA yang murni dibeli oleh uang saya, dan bersertifikat atas nama saya. Lahan yang dibeli selanjutnya sertifikatnya atas nama saya, tetapi perjanjiannya adalah menjadi hak dua pihak, saya dan Abah,” ungkapnya.
Sabarto mengungkapkan, asal muasal dirinya melaporkan Aat ke polda didasari dari ketersinggungan dirinya setelah Aat meminta dia tidak ikut campur urusan DJHA.
Sebenarnya Sabarto telah menempuh komunikasi kekeluargaan dengan Aat, tetapi Aat bersikukuh meminta Sabarto tidak lagi berada di DJHA.
“Dia mengatakan bahwa saya tidak lagi ada hak di DJHA. Padahal tanah dan bangunan kan punya saya. Si Aat kaya raya juga awalnya dari saya. Ketika saya meminta sertifikat tanah DJHA, tidak diberikan. Akhirnya saya lapor ke Polda melalui kuasa hukum saya,” ujarnya.
Sabarto mengungkapkan, Aat pernah akan membeli seluruh lahan milik Sabarto dengan tawaran terakhir Rp9 miliar. Namun Sabarto menolak karena terlalu murah. Dia akan melepaslan seluruh tanahnya jika ada yang membeli dengan harga Rp50 miliar.
“Karena saya tidak mau dengan harga yang ditawarkan Aat, dia kemudian meminta saya meinggalkan DJHA, karena saya dianggap sudah tidak ada hak lagi. Nah, dari sinilah kemudian saya melaporkan ke Polda,” jelas Sabarto.
Kuasa hukum Sabarto, Afdil Fitri Yadi menjelaskan, laporan kliennya ditindaklanjuti oleh Polda, dan penyidik menetapkan status tersangka kepada Aat.
Tetapi status tersangka ini dicabut kembali oleh penyidik Polda, karena Aat melalui kuasa hukumnya melakukan upaya praperadilan ke PN Serang atas penetapan tersangka dirinya.
Oleh hakim praperadilan, penetapan tersangka atas nama Aat Atmawijaya dinyatakan tidak sah secara hukum.
“Perlawanan hukum Aat terus dilakukan dengan melaporkan klien kami ke Polresta Serang dengan tuduhan memalsukan identitas. Padahal identitas klien kami dibuat dengan legal di Pemerintah Kabupaten Serang melalui Kecamatan Baros. Dan usul pemindahan identitas diri ini atas saran Abah Haji Arif, setelah klien kami memeluk agama Islam dan menjadi anak angkat Almarhum Haji Arif,” jelas Afdil.
Ketika memenuhi panggilan penyidik Satreskrim Polresta Serang pada pekan kemarin, lanjut Afdil, Sabarto ternyata di-BAP tanpa dihadapkan dengan pelapor Aat. Padahal materi pada surat pemanggilan adalah untuk dikonfrontasi dengan pelapor.
“Kedatangan kami bersama klien ternyata kemudian melibatkan langsung Kapolres. Klien kami dipanggil oleh Kapolres empat mata, kami tidak dilibatkan. Hasil dari pertemuan antara Kapolres dan klien kami diinformasikan oleh salah seorang penyidik, bahwa Aat siap bertemu dengan klien kami pada Senin kemarin, dan berjanji akan menyerahkan seluruh sertifikat, baik sertifikat lahan DJHA atau lahan yang lainnya. Tetapi janji itu dia batalkan. Malah ngajak perang,” papar Afdil.
Rencananya, jika pertemuan yang dijanjilkan Aat tersebut jadi, Sabarto hanya akan mengambil haknya. Hak keluarga besar Haji Arif dari nilai lahan di luar DJHA, pasti akan diberikan setelah terjadi mufakat.
Afdil mengatakan, kini akan menempuh upaya hukum lain di luar litigasi. Di antaranya akan menyurati Komisi Yudisiak (KY) dengan tembusan ke Badan Pengawas Mahkamah Agung, Presiden, dan Komisi III DPR RI. Sebab amar putusan majelis hakim PN Serang dinilai oleh mereka sama sekali tidak berdasar kepada bukti-bukti materiil yang diserahkan oleh tergugat, yaitu penyidik Ditreskrimum Polda Banten. (RUS/AZM)