SERANG, BANPOS – Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian (BBWSC3) akhirnya mengakui jika terjadi kerusakan pada Bendungan Sindangheula, khususnya pada komponen hidromekanikal Hollow Jet Valve atau katup pemancar air, pada saat banjir bandang terjadi di Kota Serang. Meski demikian, BBWSC3 tetap membantah bahwa banjir bandang yang terjadi, merupakan akibat dari bendungan Sindangheula.
Di sisi lain, salah satu pegiat pengelolaan air, Djoko Suryanto, yang juga merupakan penulis dari sejumlah buku seperti ‘Tanah Airku Salah Kelola Hujan’ dan Banjir Jakarta: Hujan Itu Rahmat Bukan Musibah’, sempat melakukan pengkajian terhadap pengelolaan Bendungan Sindangheula pada 16 Juli 2022.
Hasil pengkajian itu dipublikasikan olehnya melalui video pada kanal YouTube dia dengan judul: TIGA BUKTI KESALAHAN FATAL OPERASI BENDUNGAN SINDANGHEULA. Dalam video tersebut, terdapat sejumlah penilaian yang dia sebut sebagai kesalahan, dalam pengelolaan Bendungan Sindangheula.
Pertama, ia menyebut bahwa pengoperasian Bendungan Sindangheula, tidak sesuai dengan standar internasional pengoperasian bendungan. Pasalnya, tinggi muka air normal bendungan tersebut, sejajar dengan pelimpah atau spillway.
Padahal menurutnya, berdasarkan standar internasional, tinggi muka air normal bendungan seharusnya tidak sama tingginya dengan pelimpah. Sebab seharusnya, terdapat rentang ketinggian air, yang difungsikan sebagai kolam banjir. Hal itu ia paparkan dengan berbagai jenis bendungan, yang seluruhnya mengikuti standar tersebut.
“Ini manual baku secara internasional. Normal Water Level (tinggi muka air normal) itu selalu di bawah spillway,” ungkapnya.
Menurut Djoko, dia berani menyatakan bahwa pengoperasioan Bendungan Sindangheula tidak sesuai dengan standar baku internasional, berdasarkan pada data teknis yang dimiliki olehnya. Ia mengaku jika data tersebut merupakan data milik BBWSC3.
“Untuk data teknis Bendungan Sindangheula, muka air normalnya sama dengan spillway atau pelimpah. Bukti data teknis, elevasi muka air normal 106,613 El.m, sama dengan elevasi puncak pelimpah 106,613 El.m, dan elevasi muka air banjirnya 108,613 El.m. Jadi selama belum terjadi banjir kemarin, pengoperasiannya seperti ini, akhirnya terjadi banjir. Begitu hujan turun, run off, debitnya langsung melimpah. Jadi fungsi bendung tidak berguna sebagai pengendali banjir,” jelasnya sambil memaparkan presentasi data.
Djoko dalam videonya, juga menunjukkan data monitoring tinggi muka air Bendungan Sindangheula sejak awal tahun 2022, hingga 1 Maret 2022 yang merupakan waktu terjadinya banjir bandang Kota Serang.
Dalam data yang paparkan, terlihat bahwa sejak awal tahun 2022, tinggi muka air Bendungan Sindangheula kerap berada di atas muka air normal. Sebelum peristiwa banjir bandang terjadi, sempat terjadi lonjakan elevasi muka air pada kisaran 22 Januari 2022 hingga awal bulan Februari 2022. Posisi tinggi muka air berada di angka 107 El.m.
Ketinggian itu menurun pada 5 Februari, dan berada di kisaran tinggi muka normal hingga pada 26 Februari mulai terlihat ada kenaikan melebihi tinggi normal, dan membeludak pada 1 Maret 2022 dengan ketinggian melebihi tinggi muka air banjir 108,613 El.m.
“Ini data real dari Kepala BBWSC3. Muka air normal setelah banjir bandang selalu berada di bawah spillway. Namun sebelum banjir, muka air normal selalu 106,613 El.m. Setelah tanggal 16 (Maret) memang mulai ada perubahan, setelah adanya evaluasi. Ini yang benar. Jadi kalau musim hujan atau kering pun, muka air normal itu harus berada di bawah spillway,” terangnya.
Pada Kamis (10/8), BANPOS diundang oleh BBWSC3 untuk melakukan klarifikasi terkait dengan dugaan kerusakan Bendungan Sindangheula, yang sebelumnya telah diterbitkan oleh BANPOS dalam edisi Indepth beberapa waktu yang lalu.
BANPOS ditemui oleh beberapa pihak dari BBWSC3, di antaranya Kepala Satker Bendungan BBWSC3, Arbor Reseda dan Pelaksana Teknis Bendungan, Rommy Hamzah. Keduanya menjawab sejumlah pertanyaan BANPOS, termasuk dengan kajian yang disampaikan oleh Djoko Suryanto.
Arbor Reseda kepada BANPOS, mengatakan bahwa tidak dibukanya Hollow Jet Valve oleh pihaknya pada saat banjir bandang, merupakan hal yang disengaja. Menurutnya, kondisi di aliran sungai Cibanten sudah sangat parah, sehingga jika dibuka akan memperburuk keadaan.
“Kalau tidak ada bendungan, lebih parah atau tidak? Silakan dinilai secara logika. Kalau hollow jet dibuka, airnya keluar pasti lebih banyak. Otomatis, genangan akan makin tinggi. Jadi itu alasannya tidak dibuka,” ujarnya.
Menurut dia, Bendungan Sindangheula telah menjalankan fungsinya untuk mengendalikan banjir. Akan tetapi, kapasitas bendungan tidak dapat menampung debit hujan yang turun, sehingga air melimpah melalui spillway.
Selain itu, ia mengakui bahwa terkait dengan dugaan kerusakan Hollow Jet Valve yang merupakan bagian dari bendungan Sindangheula, memang benar. Ia mengatakan, Hollow Jet Valve memang mengalami kerusakan, karena alat tersebut berkaitan dengan air yang terdiri dari berbagai material.
“Kenapa harus diperbaiki? Ya karena rusak. Kenapa rusak? Karena hollow jet itu kan barang hidromekanikal. itu kan menjalankan fungsi, buka-tutup kemasukan air. Air itu bukan kayak air keran atau air lain, tapi air catchment area, luasnya 75 KM persegi. Di atas masuk semua, ada hutan, ada perumahan, ada sedimen. Setelah beberapa tahun pasti rusak. Kalau tidak diperbaiki kan tidak berfungsi,” ungkapnya.
BANPOS pun menanyakan kapan pastinya Hollow Jet Valve tersebut rusak, apakah sebelum banjir bandang atau setelah banjir bandang. Pelaksana Teknis Bendungan, Rommy Hamzah, menjawab bahwa kerusakan terjadi sebelum banjir bandang terjadi.
“Itu terdeteksi memang sebelum banjir, baru terdeteksi. Dan waktu itu kita mengoperasikan itu bukan tidak maksimal. Saat kejadian itu kan, seminggu sebelumnya hujan lebat. Pada saat itu tepat hollow jet kita tutup, karena air limpas. Hal itu biar tidak menambah genangan air,” ungkapnya.
Ia pun menjawab terkait dengan hasil kajian dari Djoko Suryanto. Ia menuturkan bahwa pihaknya telah melakukan penurunan muka air normal hingga tersedia kolam penampungan banjir, sejak Oktober 2021. Namun menjelang akhir tahun 2021, ia menuturkan bahwa terdapat potensi bencana hidrologi, yang berlangsung hingga awal tahun 2022.
“Di situ malah kami sudah menurunkan lebih dari yang disampaikan tadi, elevasi itu sudah di bawah 106. Kemarin kalau tidak salah di 104 kita turunkan. Tapi kan kita tetap mempertahankan itu. Karena di hilir juga masih butuh air, apalagi irigasi sama air baku. Seiring berjalannya waktu, hujan di Maret itu kan tinggi, puncaknya pas banjir itu,” katanya.
Menurutnya, BBWSC3 telah menyediakan kolam banjir setinggi dua meter lebih, dengan kapasitas hingga dua juta meter kubik lebih cadangan ruang untuk menampung banjir. Hal tersebut jika dibandingkan dengan data yang dipaparkan oleh Djoko Suryanto, tidak sesuai. Pasalnya, data yang dipaparkan oleh Djoko Suryanto menggambarkan bahwa tren ketinggian muka air sejak Januari 2022, selalu berada di kisaran 106,613 El.m, tidak pernah di bawah 106 El.m seperti yang diklaim oleh BBWSC3.
Namun ketika BANPOS meminta data terkait dengan riwayat tinggi muka air Bendungan Sindangheula sejak awal tahun 2022 hingga peristiwa banjir bandang, pihak BBWSC3 enggan memberikan dan mengarahkan untuk melakukan permohonan informasi.
Di akhir, Arbor Reseda pun sempat menanyakan dari mana data yang dimiliki oleh BANPOS terkait dengan kerusakan Bendungan Sindangheula. Menurutnya, data tersebut seharusnya rahasia, dan hanya dimiliki oleh kontraktor saja. BANPOS pun menjawab bahwa data tersebut didapatkan dari internet, tanpa tahu siapa pengunggahnya.
Selain itu, Arbor juga menuturkan kepada BANPOS untuk menyampaikan kepada Djoko Suryanto, referensi standar internasional bendungan apa yang dirinya gunakan. Ia mengatakan, jika memang Bendungan Sindangheula tidak sesuai standar, seperti apa pengoperasian yang sesuai dengan standar dalam pengoperasian bendungan.(DZH/PBN)