Tag: Berita Korupsi Banten

  • Meski Sudah Dikembalikan, Proses Hukum Temuan Setwan 2015 Tetap Berjalan

    Meski Sudah Dikembalikan, Proses Hukum Temuan Setwan 2015 Tetap Berjalan

    SERANG, BANPOS – Meski mantan pejabat eselon IV di Sekretaris Dewan (Setwan) Banten, Ali Hanafiah telah melunasi seluruh uang kerugian negara sebesar Rp2,6 miliar atas kegiatan publikasi media pada tahun anggaran 2015, namun proses hukum dugaan korupsi tersebut masih tetap berjalan.

    Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidananya.

    Demikian disampaikan Direktur Eksekutif, Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP), Uday Suhada, kepada BANPOS, Rabu (16/2).

    Penjelasan Uday disampaikan setelah sebelumnya Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Banten, Reda Manthovani menyampaikan kelanjutan penanganan penyelidikan dugaan kasus korupsi anggaran publikasi yang merugikan negara miliaran rupiah di Setwan tujuh tahun silam.

    “Kalau urusan hilang tidaknya unsur melawan hukum, dalam aturannya sudah jelas, sebagaimana ditegaskan oleh Kajati (Reda Manthovani) beberapa hari yang lalu bahwa pengembalian uang tidak serta merta menghapus unsur pidananya,” kata Uday.

    Uday mempercayakan proses kelanjutan atas dugaan perbuatan melawan hukum oleh jajaran di Setwan Banten pada tahun 2015 lalu, dan terus melakukan pengawalan. Apalagi persoalan tersebut sudah sejak lama ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

    “Karena itu, kita lihat saja langkah apa yang akan diambil pihak Kejati. Pasti Pak Reda akan menghitung betul langkah apa yang akan dilakukan. Sebab setau saya masalah ini sudah menjadi perhatian Gedung Bundar (Kejagung) sejak 2019,” terangnya.

    Disinggung mengenai uang miliaran yang sudah dikembalikan oleh Ali Hanafiah, pihaknya mengaku berterima kasih. Ada hak rakyat yang harus digunakan sebagaimana mestinya.

    “Jika benar, saya pribadi bersyukur bahwa uang negara yang digelapkan sudah kembali. Sebab selama ini urusan saya adalah mengamankan uang rakyat, bukan memenjarakan seseorang. Bahwa kemudian ada orang yang dipenjara, itu hanyalah akibat saja,” katanya.

    Diberitakan sebelumnya, proyek publikasi di Setwan Banten tahun anggaran 2015 sebesar Rp2,6 miliar, terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) 2016 atas LKPD Pemprov Banten tahun 2015.

    Namun uang miliaran rupiah tersebut baru saja dilunasi oleh mantan pejabat eselon IV Setwan Banten yang saat ini menjabat Kepala UPTD Samsat Balaraja (eselon III) pada Bapenda, Ali Hanafiah pada Jumat tanggal 4 Februari tahun 2022.

    Pengembalian uang negara yang mengendap selama hampir tujuh tahun, dikembalikan oleh Ali Hanafiah, setelah tim dari Kejati Banten melakukan proses pengumpulan data dan keterangan kepada sejumlah pejabat dan mantan pejabat di Setwan Banten.

    mereka yang telah dipanggil Kejati Banten, selain Ali Hanafiah yakni, Iman Sulaiman (sekarang sudah pensiun) sebagai Sekwan tahun 2015, Tb Mochammad Kurniawan sebagai Kepala bagian keuangan Setwan tahun 2015, Suryana sebagai Bendahara pengeluaran Setwan tahun 2015, dan Awan Ruswan (sekarang sudah pensiun) sebagai Kepala bagian Humas dan Protokol Setwan tahun 2015.

    (RUS/PBN)

  • Dugaan Korupsi SMKN 7 Tangsel Seperti Hilang Ditelan Bumi

    Dugaan Korupsi SMKN 7 Tangsel Seperti Hilang Ditelan Bumi

    SERANG, BANPOS – KPK telah melakukan proses penyelidikan dugaan mark up atau pengelembungan pembelian harga lahan SMKN 7 Tangerang Selatan (Tangsel) APBD Banten tahun 2017 yang merugikan keuangan negara Rp10,5 miliar. Namun, setelah tiga bulan berjalan, kasus tersebut belum menunjukkan kemajuan berarti. Padahal sebelumnya pada November 2021, tersiar kabar telah ada sejumlah nama tersangka yang diduga terlibat dalam mark up pembelaian lahan sekolah tersebut.

    Direktur Eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP), Uday Suhada dihubungi melalui pesan tertulisnya, Selasa (15/2) mempertanyakan kinerja KPK yang belum juga mengumumkan hasil penyelidikannya kepada masyarakat terkait dengan dugaan korupsi pembelian lahan SMKN 7 Tangsel.

    “Justru mempertanyakan langkah yang diambil oleh KPK,” katanya.

    Dikatakan Uday kasus dugaan mark up pembelian lahan sekolah ini saat ini seperti ditelan bumi. Karena itu, Uday menilai wajar jika masyarakat mempertanyakan kinerja KPK.

    “Dengan timbul tenggelamnya perkara ini membuat publik jadi bertanya-tanya.
    Kasus itu kan dilaporkan 20 Desember 2018. Hasil audit BPK (badan pemeriksa keuangan) atas permintaan KPK sudah di meja pimpinan KPK,” ujarnya.

    Apalagi beberapa waktu lalu, KPK sempat melakukan penggeledahan sejumlah tempat dengan mengamankan barang bukti pendukung atas dugaan mark up lahan SMKN 7 Tangsel.

    “Menjelang akhir tahun 2021 sempat dilakukan penggerebekan sejumlah tempat bahkan menyita kendaraan roda empat dan sejumlah alat elektronik milik para pihak terkait. Tapi sejak itu hilang ditelan bumi,” katanya.

    Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri saat dihubungi melalui pesan tertulisnya mengaku belum ada kelanjutan atas progres penyelidikan dugaan mark up lahan SMKN 7 Tangsel. “Nanti dikabari kalau ada,” ujarnya.
    Bahkan Ali belum bersedia menyebutkan apakah ada tersangka baru lagi dalam penyidikan pembelian lahan sekolah tersebut. “Nanti akan disampaikan jika penyidikan sudah cukup,” ujarnya.

    Diberitakan sebelumnya, KPK telah menetapkan Frd sebagai tersangka dalan dugaan tindak pidana korupsi mark up atau penggelembungan harga pembelian lahan SMKN 7 Tangsel) sekitar Rp10,6 miliar pada APBD Banten tahun 2017.

    Tak hanya Frd, lembaga rasuah itu juga menetapkan Mantan Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) AP dan kuasa pemilik tanah bernama Ags.

    Diketahui Frd merupakan Ketua Forum Pemuda Betawi (FPB) di Tangsel, juga Ketua WH (Wahidin Halim) Network yang merupakan, kelompok relawan pendukung Pasangan Calon (Paslon) Gubernur Banten Pilkada 2017 Wahidin Halim-Andika Hazrumy (Aa) di Kota Tangsel.

    Frd diduga merupakan orang kepercayaan AS yang merupakan adik kandung dari WH. Frd membeli lahan SMKN 7 Tangsel dari pemilik pertama hanya Rp7,3 miliar, yang kemudian dibeli oleh Pemprov Banten sebesar Rp17,9 miliar. Sehingga ada selisih Rp10,6 miliar.

    Sementara AP saat ini menjabat sebagai Sekretaris Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Banten.(RUS/ENK)

  • Dugaan Korupsi BPRS CM Dituding Libatkan Oknum Anggota DPRD Cilegon

    Dugaan Korupsi BPRS CM Dituding Libatkan Oknum Anggota DPRD Cilegon

    CILEGON, BANPOS – Upaya Kejaksaaan Negeri (Kejari) Cilegon mengungkap dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Cilegon Mandiri (BPRS CM) tahun 2017-2021, mendapat banyak dukungan. Kejari diminta untuk mengusut kasus itu hingga tuntas tanpa pandang bulu.

    Salah satu dukungan datang dari anggota Komisi III DPRD Kota Cilegon Edison Sitorus. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini mendesak agar orang-orang yang ikut terlibat bisa diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

    “Peraturan harus dijalankan, jangan pandang bulu. Mau itu (Anggota) dewan, mau itu pegawai BPRS, ya harus diusut. Dengan dia menandatangani kredit itu, ada konsekuensi ketika dia tidak melakukan kewajibannya,” ujar Edison kepada BANPOS saat dihubungi melalui telepon selulernya, Selasa (15/2).

    Menurutnya, kasus di BPRS CM merupakan dari adanya sejumlah transaksi pinjam-meminjam yang mekanismenya tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Masalah menjadi lebih besar ketika kesepakatan soal pembayaran dilanggar karena adanya penundaan pembayaran yang menyebabkan kredit macet.

    “Ketika dia delay (menunda) bayar, ada konsekuensinya dan kita harus mendorong seperti itu (Penegakan hukum). Jadi jangan pandang bulu, kan sebenarnya (anggota) dewan-dewan terdahulu juga banyak yang terlibat disana,” ungkapnya.

    Ia pun merasa aneh lantaran kredit macetnya mencapai 42 persen dari total aset yang dimiliki oleh BUMD milik Pemkot Cilegon itu.

    “Kredit macetnya sampai 40 persen atau Rp44 miliar dari aset yang dimiliki oleh BPRS sendiri yaitu Rp105 miliar, makanya saya aneh itu,” akunya.

    Dengan adanya pengusutan dan berbagai penyitaan yang dilakukan Kejari Cilegon, ia berharap kedepan BPRS CM bisa jauh lebih baik lagi dan manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat Kota Cilegon. Karena, perushaaan pelat merah itu berjalan menggunakan uang rakyat Cilegon yang seharusnya tidak dipermainkan untuk kepentingan oknum-oknum tertentu.

    “Itu namanya penggelapan, pinjem nggak bayar itu namanya penggelapan. Mereka punya uang tapi niatan bayar ngga ada ngga mau. Itu saya rasa harus ditegakkan harus dijalankan itu peraturan jangan pandang bulu. Kalau tidak membayar ada konsekuensi diambil hartanya,” terangnya.

    Anggota DPRD Kota Cilegon ini mendukung Kejari Cilegon agar mengusut sampai tuntas kasus yang ada di BUMD milik Pemkot Cilegon ini.

    “Kejaksaan sudah benar, saya setuju banget karena apa, untuk mempertanggungjawabkan di dunia daripada dia mempertanggungjawabkan di akhirat,” tandasnya.

    Diketahui, kasus ini bermula dari adanya pembiayaan bermasalah dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemkot Cilegon ini menyusul besarnya Non Performing Financing (NPF) atau kredit macetnya mencapai Rp44 miliar.

    Kemudian, penyidik Kejari Cilegon menggeledah kantor BPRS-CM yang berlokasi di komplek perkantoran Sukmajaya, Kelurahan Sukmajaya, Kecamatan Jombang, Kota Cilegon, Kamis (6/1) silam. Penggeledahan tersebut dalam rangka pengusutan kasus dugaan korupsi di BUMD milik Pemkot Cilegon ini. Hasil penggeledahan ditemukan benda (barang) atau dokumen yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan, dan terhadap benda atau barang atau dokumen dilakukan penyitaan sebagaimana Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    Kasus dugaan korupsi ini telah masuk di tahap penyidikan. Kejari belum memastikan berapa kerugian negara dalam perkara tersebut. Hingga saat ini Kejari Cilegon juga belum menetapkan tersangka terkait dengan kasus tersebut.

    Diberitakan sebelumnya, pasca adanya penyitaan sejumlah aset milik Manager Marketing Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Cilegon Mandiri (BPRS CM) berinisial TT oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Cilegon. Korps Adhyaksa kini akan kembali memburu aset – aset milik pejabat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon ini yang ada kaitannya dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) pemberian fasilitas BPRS CM tahun 2017 – 2021.

    Diketahui aset-aset yang disita oleh Kejari Cilegon pada Kamis (10/2) lalu yaitu barang bergerak dan tidak bergerak yang terdiri dari delapan bidang tanah dan bangunan yang berada di Kota Cilegon, satu unit tanah yang berada di Kabupaten Pandeglang, tiga unit mobil dan empat unit motor.

    Kepala Seksi Intelijen Kejari Cilegon Atik Ariyosa membenarkan barang yang disita Kejari beberapa waktu lalu merupakan milik Manajer Marketing PT BPRS CM. Selain itu, pihaknya juga akan melakukan penelusuran terhadap aset-aset para pejabat BPRS CM yang lain terkait tindak pidana tersebut.

    “Bahwa aset tersebut milik Manajer Marketing BPRS CM dan keluarga yang bersangkutan,” kata Ari sapaan akrabnya kepada awak media saat ditemui di kantornya, Senin (14/2).

    (LUK/ENK)

  • Laporan Dugaan Penyimpangan Anggaran BPO, Andika: Pemprov Terbuka Bantu Kejati

    SERANG, BANPOS – Wakil Gubernur Banten, Andika Hazrumy, membantah Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) yang melaporkan dugaan penyimpangan anggaran belanja penunjang operasional (BPO) Gubernur dan Wakil Gubernur Banten ke Kejaksaan tinggi (Kejati) Banten. Bahkan dia menyatakan selama ini Pemprov Banten selalu mendukung terhadap apa yang dibutuhkan Kejati Banten.

    Saat diwawancara sejumlah awak medeia di Kawasan Pusat Pemerintahan provinsi Banten, Andika mengklaim pelaksanaan pencairan anggaran BPO sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Dia mengklaim bahwa Pemprov Banten dalam menjalankan kebijakan anggaran, sangat berhati-hati. Sehingga, dirinya memastikan bahwa aturan terkait dengan pencairan BPO telah dipenuhi oleh Pemprov Banten.

    “Pelaksanaan kebijakan terkait dengan penyerapan BPO ini sudah dilakukan sesuai dengan aturan. Karena kami juga sangat berhati-hati dalam melaksanaan kebijakan anggaran negara,” ujarnya saat diwawancara awak media di KP3B, Selasa (15/2).

    Kendati merasa yakin, Andika mengaku tidak tahu aturan apa saja yang menjadi acuan dalam pencairan BPO tersebut. Sebab, yang mengetahui ialah Badan Pengelola keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) selaku OPD yang mengatur keuangan daerah.

    “Untuk teknisnya, silahkan ditanyakan kepada BPKAD ya. Biar nanti aturannya, Permennya, Ppnya jelas yah. Kalau kami, memberikan tanggapan apapun yang kami lakukan, dalam pelaksanaan programnya, apalagi kebijakan anggaran, kami laksanakan sangat hati-hati,” ucapnya.

    Sementara terkait dengan tudingan bahwa pencairan BPO telah menyimpang dari aturan administrasi yang ada, Andika menuturkan bahwa seharusnya dilaporkan kepada Inspektorat terlebih dahulu. Jika memang ada penyimpangan, maka dapat ditindaklanjuti oleh Aparat Penegak Hukum (APH).

    “Kalau dalam konteks administrasi, kan kita ada kalau tidak salah itu, UU 30 tahun 2014. Masyarakat kan berhak melaporkan apabila ada kejadian instansi atau daerah. Dalam kejadian ini kan ada Inspektorat. Nah apabila ada penyimpangan, bisa ditindaklanjuti oleh APH,” terangnya.

    Ditanya apakah dirinya siap untuk diperiksa oleh Kejati Banten terkait dengan dugaan penyimpangan pada pencairan BPO, Andika tidak tegas menjawabnya. Ia hanya menyatakan bahwa selama ini, Pemprov Banten telah terbuka dalam membantu Kejati Banten.

    “Kan selama ini kami sudah memberikan informasi, koordinasi apa yang dibutuhkan oleh pak Kajati. Kami terbuka, tidak ada yang ditutup-tutupi. Kan selama ini juga kami memberikan informasi, supporting,” tandasnya.

    Sebelumnya diberitakan, pencairan BPO Gubernur dan Wakil Gubernur Banten tahun 2017-2021, dilaporkan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) ke Kejati Banten. Hal itu menyusul adanya dugaan penyimpangan yang mengarah pada tindak pidana korupsi.

    Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengatakan bahwa biaya penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur telah diatur dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2000. Dalam aturan itu, biaya penunjang operasional merupakan biaya yang dipisahkan dari honorarium ataupun penghasilan tambahan.

    “Biaya penunjang operasional tidak dapat digolongkan sebagai honorarium atau tambahan penghasilan, sehingga penggunaannya harus dipertanggungjawabkan melalui SPJ yang sesuai peruntukannya,” ujarnya dalam rilis yang diterima, Senin (14/2).

    Sementara itu, dalam dugaan penyimpangan yang mengarah pada tindak pidana korupsi yang dimaksud oleh pihaknya, lantaran dalam penggunaannya selama kurang lebih 5 tahun periode Wahidin Halim (WH) – Andika, diduga tidak dipertanggungjawabkan melalui SPJ.

    “Sehingga berpotensi digunakan untuk memperkaya diri atau orang lain, sehingga diduga melawan hukum dan diduga merugikan keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Ayat 1,” ucapnya.

    Menurutnya, patut diduga biaya penunjang operasional tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi dan dianggap sebagai honor (take home pay), dan tidak dipertanggungjawabkan dengan SPJ yang sah dan lengkap.(DZH/ENK)

  • Aset Pejabat BPRS Cilegon Mandiri Terus Diburu oleh Kejari

    Aset Pejabat BPRS Cilegon Mandiri Terus Diburu oleh Kejari

    CILEGON, BANPOS – Pascapenyitaan sejumlah aset milik Manager Marketing Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Cilegon Mandiri (BPRS CM) berinisial TT oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Cilegon. Korps Adhyaksa kini akan kembali memburu aset – aset milik pejabat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon ini yang ada kaitannya dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) pemberian fasilitas BPRS CM tahun 2017 – 2021.

    Diketahui aset – aset yang disita oleh Kejari Cilegon pada Kamis (10/2) lalu yaitu barang bergerak dan tidak bergerak yang terdiri dari delapan bidang tanah dan bangunan yang berada di Kota Cilegon, satu unit tanah yang berada di Kabupaten Pandeglang, tiga unit mobil dan empat unit motor.

    Kepala Seksi Intelijen Kejari Cilegon Atik Ariyosa membenarkan barang yang disita Kejari beberapa waktu lalu merupakan milik Manajer Marketing PT BPRS CM. Selain itu, pihaknya juga akan melakukan penelusuran terhadap aset – aset para pejabat BPRS CM yang lain terkait tindak pidana tersebut. “Bahwa aset tersebut milik Manajer Marketing BPRS CM dan keluarga yang bersangkutan,” kata Ari sapaan akrabnya kepada awak media saat ditemui di kantornya, Senin (14/2).

    Penyitaan aset – aset tersebut kata Ari merupakan benda yang seluruh atau sebagian diperoleh dari hasil dugaan tindak pidana dan benda yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana. “Yang mana tindak pidana tersebut yaitu BPRS CM dalam perkara korupsi pada pemberian fasilitas pembiayaan oleh PT BPRS CM sejak tahun 2017 sampai tahun 2021,” tuturnya.

    Hingga saat ini, Kejari Cilegon belum menetapkan tersangka dalam perkara tersebut. Pihaknya mengaku bahwa kasus tersebut masih dalam penyidikan dan pihaknya masih mengumpulkan alat bukti dan keterangan saksi-saksi.

    Mantan Kasi Intelijen Kejari Lampung Barat ini melanjutkan untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu diharapkan bisa membuat terang tentang tindakan pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. “Sampai dengan saat ini, kami sampaikan belum ada ditetapkan satupun tersangka. Kami baru mengumpulkan seluruh alat bukti untuk mendukung perkara ini,” ungkapnya.

    “Sampai saat ini, saya diberitahu baru 19 saksi yang diperiksa,” tambahnya.

    Sementara itu di bagian lain, saat BANPOS mendatangi rumah yang disita Kejari Cilegon di Lingkungan Barokah, RT 01/RW 13, Kelurahan Jombang Wetan, Kecamatan Jombang. Terlihat pada bagian depan rumah terpasang pita berwarna merah muda dan putih bertuliskan Kejaksaan. Kemudian pada pintu rumah juga terpasang stiker merah muda yang bertuliskan ‘Tanah dan Bangunan Ini Telah Disita Penyidik Kejaksaan Negeri Cilegon’.

    Menurut warga sekitar bahwa rumah tersebut merupakan milik Manajer Marketing BPRS-CM berinisial TT. Rumah tersebut sudah kosong sekitar dua mingguan. “Sudah dua mingguan kosong tapi suka ada yang kesini ambil baju,” ujarnya.

    Diketahui TT sendiri, menurut warga sekitar sudah menempati rumah tersebut sekitar dua tahunan. “Ada sekitar dua tahunan,” ujarnya.

    Ia juga tidak mengetahui saat penyegelan terjadi di rumah tersebut. “Nggak liat pas ada yang menyegel, tahunya sudah disegel. Ini mah segelnya merah kan biasanya kuning kalau polisi mah,” tutupnya.

    Diketahui, kasus ini bermula dari adanya pembiayaan bermasalah dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemkot Cilegon ini menyusul besarnya Non Performing Financing (NPF) atau kredit macetnya mencapai Rp44 miliar.

    Kemudian, penyidik Kejari Cilegon menggeledah kantor BPRS-CM yang berlokasi di komplek perkantoran Sukmajaya, Kelurahan Sukmajaya, Kecamatan Jombang, Kota Cilegon, Kamis (6/1) silam. Penggeledahan tersebut dalam rangka pengusutan kasus dugaan korupsi di BUMD milik Pemkot Cilegon ini. Hasil penggeledahan ditemukan benda (barang) atau dokumen yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan, dan terhadap benda atau barang atau dokumen dilakukan penyitaan sebagaimana Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    Kasus dugaan korupsi ini telah masuk di tahap penyidikan. Kejari belum memastikan berapa kerugian negara dalam perkara tersebut. Hingga saat ini Kejari Cilegon juga belum menetapkan tersangka terkait dengan kasus tersebut.

    (LUK/PBN)

  • Kejati akan Telaah Dugaan Penyimpangan Anggaran Belanja Operasional WH-AA

    Kejati akan Telaah Dugaan Penyimpangan Anggaran Belanja Operasional WH-AA

    SERANG, BANPOS – Pencairan biaya penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Banten tahun 2017-2021, dilaporkan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) ke Kejati Banten. Hal itu menyusul adanya dugaan penyimpangan yang mengarah pada tindak pidana korupsi.

    Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengatakan bahwa biaya penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur telah diatur dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2000. Dalam aturan itu, biaya penunjang operasional merupakan biaya yang dipisahkan dari honorarium ataupun penghasilan tambahan.

    “Biaya penunjang operasional tidak dapat digolongkan sebagai honorarium atau tambahan penghasilan, sehingga penggunaannya harus dipertanggungjawabkan melalui SPJ yang sesuai peruntukannya,” ujarnya dalam rilis yang diterima, Senin (14/2).

    Sementara itu, dalam dugaan penyimpangan yang mengarah pada tindak pidana korupsi yang dimaksud oleh pihaknya, lantaran dalam penggunaannya selama kurang lebih 5 tahun periode Wahidin Halim (WH) – Andika, diduga tidak dipertanggungjawabkan melalui SPJ.

    “Sehingga berpotensi digunakan untuk memperkaya diri atau orang lain, sehingga diduga melawan hukum dan diduga merugikan keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Ayat 1,” ucapnya.

    Menurutnya, patut diduga biaya penunjang operasional tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi dan dianggap sebagai honor (take home pay), dan tidak dipertanggungjawabkan dengan SPJ yang sah dan lengkap.

    “Sehingga dikategorikan sebagai dugaan Tindak Pidana Korupsi dengan kerugian negara sebesar kurang lebih Rp40 miliar atau dapat lebih kurang atau lebih besar dari jumlah tersebut sepanjang terdapat SPJ yang kredibel,” katanya.

    Dalam pelaporan ini, pihaknya menduga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan bendahara pencairan biaya penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, telah melakukan kelalaian dalam menjalankan tugasnya.

    “Jika pencairan tahun 2017 diduga tidak ada LPJ kredibel, maka semestinya PPK dan Bendahara tidak melakukan pencairan dana penunjang operasional tahun 2017 sampai 2021,” terangnya.

    Boyamin menduga, pencairan anggaran biaya penunjang operasional yang bernilai Rp57 miliar itu telah melanggar sejumlah ketentuan. Diantaranya yakni UU Nomor 30 Tahun 2014, UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 15 Tahun 2004, Permendagri Nomor 13 tahun 2006 dan Nomor 109 Tahun 2000.

    Kendati demikian, Boyamin mengaku bahwa pihaknya tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah, dan menyerahkan sepenuhnya laporan dugaan tindak pidana korupsi tersebut kepada Kejati Banten.

    “MAKI tetap menjunjung Asas Praduga Tidak Bersalah, laporan aduan ini hanyalah sebagai bahan proses lebih lanjut oleh Kejati Banten, untuk menentukan ada tidaknya dugaan penyimpangan dalam perkara tersebut di atas,” ucapnya.

    Kasi Penkum Pada Kejati Banten, Ivan H. Siahaan, membenarkan bahwa pihaknya telah menerima laporan dari MAKI, terkait dengan dugaan penyimpangan pada pencairan biaya penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Banten.

    “Laporan MAKI baru masuk hari ini (kemarin), melalui sarana online dan pengaduan online di Kejaksaan Tinggi Banten,” ujarnya ditemui di Kejati Banten.

    Menurutnya, Kejati Banten akan menindaklanjuti laporan tersebut, dengan melakukan penelaahan atas laporan yang dilayangkan oleh MAKI.

    “Tindak lanjutnya yang pasti nanti akan ada disposisi dari pimpinan, akan ke mana disposisi tersebut, nanti akan dilakukan penelaahan. Jadi untuk membuktikan kebenaran laporan, dilakukan penelaahan dulu,” tandasnya.

    (DZH/PBN)