Tag: Biaya Penunjang Operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Dilaporkan ke Kejati

  • Penggunaan Biaya Penunjang Operasinal Kepala Daerah Hars Dibuka ke Publik

    Penggunaan Biaya Penunjang Operasinal Kepala Daerah Hars Dibuka ke Publik

    TANGERANG, BANPOS — Lembaga pemantau kebijakan publik, TRUTH, mendesak Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Khofifah Indarparawansa, Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil untuk membuka ke publik penggunaan Biaya Penunjang Operasional (BPO) mereka. Hal itu menyusul adanya dugaan penyelewengan BPO di Banten.

    Wakil Koordinator TRUTH, Jupri Nugroho, mengatakan bahwa keterbukaan itu sangat penting sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Termasuk pada penggunaan anggaran BPO oleh para Kepala Daerah.

    “Selama ini kami selaku publik tidak pernah tahu BPO tersebut besarannya berapa dan digunakan untuk apa saja,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (17/2).

    Terlebih untuk kepala daerah populer yang banyak melakukan pencitraan di media massa seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Khofifah Indarparawansa. Menurutnya, penggunaan dana BPO Gubernur oleh keempat nama tersebut penting diketahui publik, agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.

    “Karena kepala daerah ditunjang dengan anggaran yang tidak sedikit, terutama pada biaya penunjang operasional, apalagi di tengah kondisi masyarakat yang sedang sulit akibat pandemi, membutuhkan kepala daerah yang tidak hanya pintar menghabiskan anggaran, salah satunya BPO,” tegasnya.

    Jupri mengatakan, sesuai dengan aturan yang ada, besaran Biaya Penunjang Operasional (BPO) masing-masing kepala daerah berbeda-beda, sesuai PAD masing-masing daerah.

    “Merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2000 bahwa Kedudukan BPO adalah biaya untuk mendukung pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagai wakil Pemerintah Pusat dan fungsi desentralisasi,” katanya.

    Dalam aturan yang tertuang dalam pasal 9 PP tersebut, BPO kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi ditetapkan berdasarkan klasifikasi pendapatan Asli Daerah (PAD), dengan besaran mencapai 0,15 persen dari PAD.

    “Namun apakah kepala daerah ini pernah mempublikasikan penggunaan BPO tersebut? Selama ini banyak kepala daerah yang mengatakan bahwa mereka tidak pernah mengambil gaji mereka, namun bagaimana dengan BPO? Tentu dengan nilai yang fantastis dengan ukuran dari PAD masing-masing,” ucapnya.

    Menurutnya, DKI Jakarta pada 2021 memiliki mencapai Rp51,85 triliun. Jika diukur dari aturan, BPO Gubernur DKI Anies Baswedan sekitar Rp77,7 miliar, BPO Khofifah Indarparawansah sebagai Gubernur Jatim dengan PAD Rp18.9 triliun sekitar Rp28.3 miliar, BPO Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dengan PAD Rp26,578 triliun sekitar Rp39,8 miliar dan BPO Gubernur Jabar Ridwan Kamil dengan PAD Rp25,06 triliun sekitar Rp37,5 miliar.

    “Apakah pernah ada laporan penggunaan anggaran tersebut yang masyarakat dapatkan? Karena jelas anggaran tersebut berfungsi untuk menjalankan prinsip otonomi daerah yang kesemuanya untuk kesejahteraan masyarakat. Meskipun ada diskresi yang dimiliki oleh Kepala daerah, namun tetap saja harus menganut sistem bersih dan transparan,” tuturnya.

    Jupri mencontohkan, dalam salah satu temuan BPK Kantor Perwakilan Kalimantan Timur pada 2013 silam, dokumen pertanggungjawaban BPO yang diserahkan Gubernur Kaltim saat itu, Awang Farouk Ishak, hanya berupa daftar pengeluaran saja dan tanda bukti terima uang kepada pihak lain, namun tidak ada penggunaan secara rinci.

    “Pelaporan penggunaan BPO demikian yang kita khawatirkan masih terjadi juga hingga saat ini. Tidak terdapat dokumen yang mendukung bahwa kegiatan-kegiatan yang didanai dari BPO tersebut benar-benar dilakukan. Hal ini diduga bisa juga dilakukan oleh kepala daerah terutama di Pulau Jawa, dimana memiliki BPO yang besar, potensi kecurangan dan penyelewengan tentu ada,” tegasnya.

    TRUTH juga mendukung langkah Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang melaporkan dugaan potensi korupsi pada penggunaan BPO Gubernur Banten dan Wakil Gubernur Banten ke Kejati Banten.

    Menurutnya, hal itu menjadi pintu masuk untuk membongkar praktik penggunaan BPO di provinsi lain, tidak hanya itu, hal ini juga perlu diusut tuntas hingga tingkat Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia. “Ini sebagai langkah dari masyarakat dalam ikut serta mengawasi penggunaan anggaran yang bebas dari korupsi,” tandasnya.(DZH/PBN)

  • Biaya Penunjang Operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Banten Dilaporkan ke Kejati, Diduga Rugikan Negara Rp40 Miliar

    Biaya Penunjang Operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Banten Dilaporkan ke Kejati, Diduga Rugikan Negara Rp40 Miliar

    SERANG, BANPOS – Pencairan biaya penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Banten tahun 2017-2021, dilaporkan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) ke Kejati Banten. Hal itu menyusul adanya dugaan penyimpangan yang mengarah pada tindak pidana korupsi.

    Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengatakan bahwa biaya penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur telah diatur dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2000. Dalam aturan itu, biaya penunjang operasional merupakan biaya yang dipisahkan dari honorarium ataupun penghasilan tambahan.

    “Biaya penunjang operasional tidak dapat  digolongkan sebagai honorarium atau tambahan penghasilan, sehingga penggunaannya harus dipertanggungjawabkan melalui SPJ yang sesuai peruntukannya,” ujarnya dalam rilis yang diterima, Senin (14/2).

    Sementara itu, dalam dugaan penyimpangan yang mengarah pada tindak pidana korupsi yang dimaksud oleh pihaknya, lantaran dalam penggunaannya selama kurang lebih 5 tahun periode Wahidin Halim (WH) – Andika, diduga tidak dipertanggungjawabkan melalui SPJ.

    “Sehingga berpotensi digunakan untuk memperkaya diri atau orang lain, sehingga diduga melawan hukum dan diduga merugikan keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Ayat 1,” ucapnya.

    Menurutnya, patut diduga biaya penunjang operasional tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi dan dianggap sebagai honor (take home pay), dan tidak dipertanggungjawabkan dengan SPJ  yang  sah dan lengkap.

    “Sehingga dikategorikan sebagai dugaan Tindak Pidana Korupsi dengan kerugian negara sebesar kurang lebih Rp40 miliar atau dapat lebih kurang atau lebih besar dari jumlah tersebut sepanjang terdapat SPJ yang kredibel,” katanya.

    Dalam pelaporan ini, pihaknya menduga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan bendahara pencairan biaya penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, telah melakukan kelalaian dalam menjalankan tugasnya.

    “Jika pencairan tahun 2017 diduga tidak ada LPJ kredibel, maka semestinya PPK dan Bendahara tidak melakukan pencairan dana penunjang operasional tahun 2017 sampai 2021,” terangnya.

    Kendati demikian, Boyamin mengaku bahwa pihaknya tetap mengedepankan azas praduga tak bersalah, dan menyerahkan sepenuhnya laporan dugaan tindak pidana korupsi tersebut kepada Kejati Banten.

    “MAKI tetap menjunjung Azas Praduga Tidak Bersalah, laporan aduan ini hanyalah sebagai bahan proses lebih lanjut oleh Kejati Banten, untuk menentukan ada tidaknya dugaan penyimpangan dalam perkara tersebut diatas,” tandasnya. (DZH)