Tag: Bonnie Triyana

  • Sejarawan Bonnie Triyana Ungkap Warisan Kolonialisme yang Masih Melekat di Indonesia

    Sejarawan Bonnie Triyana Ungkap Warisan Kolonialisme yang Masih Melekat di Indonesia

    LEBAK, BANPOS – Sejarawan Bonnie Triyana mengungkapkan masih terdapat perilaku kolonialitas yang melekat di tengah kehidupan masyarakat.

    Meski kolonialisme sudah berakhir seiring hengkangnya kekuasaan Belanda di Indonesia, tapi perilaku tersebut masih membelenggu dalam kehidupan sehari-hari.

    Hal itu diungkapkan pria asal Lebak itu dalam pidato kebudayaan yang disampaikan di hadapan ratusan warga yang hadir dan berkumpul di Pendopo Museum Multatuli, Jumat (16/6) malam.

    “Kolonialitas sebagai sebuah konsep untuk menggambarkan dampak sosial, budaya, dan epistemik dari kolonialisme masih bisa kita kenali hingga hari ini, mengacu pada cara-cara warisan kolonial yang berdampak pada sistem budaya dan sosial serta pengetahuan dan produksinya,” ujarnya.

    Dalam catatan miliknya, paling tidak ada 10 hal dalam kehidupan sehari-hari yang masih terwarisi dampak kolonialisme di berbagai bidang.

    Seperti halnya sektor pendidikan, Pemerintah kolonial menyediakan pendidikan tidak untuk semua golongan, melainkan hanya kepada kaum bangsawan yang semenjak kedatangan kolonialisme ke Indonesia, menjadi rekan sejawat dalam memerintah negeri ini.

    “Hanya golongan elit yang mampu mengakses pendidikan bermutu tinggi tersebut hari ini, sebagaimana golongan bangsawan di masa lalu,” ucapnya.

    Sementara, bidang lain yang masih terwarisi kolonialisme yaitu masih berlangsungnya feodalisme sebagai hal paling erat di sistem politik Indonesia.

    Sejak terbentuknya VOC pada 1602, mulai berlaku sebutan bupati yang diartikan sebagai sebutan para anggota kelompok elit yang berdinas.

    “Mereka dipilih atas hubungan darah, keturunan , dan banyaknya pemberian upeti. Bahkan cara kerja pemilihan ini dibuat oleh petinggi pribumi, sedangkan Gubernur VOC tidak tahu,” tuturnya.

    Menurutnya, feodalisme memang berangkat dari pribumi sendiri yang memiliki keistimewaan atas kekayaan yang dimiliki.

    “Mereka dipilih atas dasar kepemilikannya, bukan seberapa bagus kinerjanya,” terangnya.

    Sementara itu, Adipati memiliki tugas untuk memantau kegiatan masyarakat dalam sektor agraris dan pemberian upeti, bahkan mereka juga mengumpulkan upeti dari masyarakatnya.

    Selain itu, jabatan-jabatan terendah seperti kepala distrik diwajibkan untuk memberikan hadiah kepada atasannya, agar jabatannya bisa bertahan.

    “Pemberian hak istimewa kepada mereka tidak sepadan dengan kinerja yang dilakukannya. Hal ini memiliki pola yang sama pada saat ini, dengan nuansa feodalisme gaya baru yang hari ini praktiknya bisa kita lihat berkelindan dalam praktik demokrasi elektoral,” ungkapnya.

    Bonnie juga menyoroti sektor kesehatan yang sejak zaman Belanda banyak warga belum terpenuhi kebutuhan dasar gizinya.

    Hal itu mengakibatkan kekurangan gizi dan bertendensi pada stunting yang menjadikan tumbuh kembang anak terhambat.

    Begitu juga dengan diskriminasi rasial yang secara formal sejak 1812, merancang aturan melalui lewat kesepakatan Belanda dan kesultanan untuk melindungi orang Tionghoa dan melahirkan banyak masalah.

    Belanda juga menganggap orang Jawa sebagai orang yang mendalami sejarah, tetapi tertinggal dalam segi perkembangan ilmiah lewat ‘mitos pemalas’.

    Trauma terhadap paham kiri dan kanan juga jadi hal lain yang disorot Bonnie. Kekerasan sering dilazimkan sebagai resolusi saat merespon segala hal yang terjadi di status quo, oleh sebab itu Bonnie tegas menolak mitos buruh pemalas.

    “Jadi mitosnya, kalau gaji buruh dinaikan, maka akan semakin malas bekerja,” kata Bonnie.

    Selain itu, Bonnie juga memberikan kritik terhadap praktik stratifikasi sosial dan menyebabkan diskriminasi terhadap kelas bawah.

    “Jabatan-jabatan tertinggi terus diisi oleh pihak yang kuat dan mempunyai hak istimewa sedari awal. Ketika mereka sudah berada di strata atas, maka dengan mudahnya membuat kebijakan yang bisa menyengsarakan kelas bawah. Seperti pungutan liar dalam sekolah, setoran atau pemberian hadiah kepada atasan, dan gratifikasi,” jelasnya.

    Saat itu, Bonnie ikut mengecam patriarki dalam politik. Menurutnya, kolonialisme merangkul feodalisme yang melestarikan sistem patriarkis, yang cara kerjanya masih berlaku hingga hari ini.

    Terakhir, Bonnie menyorot apartheid dalam pembangunan kota. Bukan rahasia lagi jika pengembang perumahan kelas menengah atas mampu menghadirkan berbagai fasilitas umum dan sosial bagi warganya.

    “Jauh lebih baik dari warga yang tinggal di perkampungan tanpa kehadiran berbagai fasilitas sebagaimana yang dinikmati oleh mereka yang hidup di dalam komplek perumahan elit,” tandasnya. (MUF)

  • Sejarawan Bonnie Triyana Tanggapi Pengakuan Belanda atas Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945

    Sejarawan Bonnie Triyana Tanggapi Pengakuan Belanda atas Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945

    SERANG, BANPOS – Bonnie Triyana, Sejarawan asal Rangkasbitung, Banten, menyambut baik pengakuan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang disampaikan oleh Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, dalam debat di Parlemen Belanda pada Rabu (14/6) waktu setempat.

    Menurutnya, pengakuan tersebut secara formal menandai babak baru pemahaman sejarah Belanda terhadap revolusi kemerdekaan Indonesia, sebab selama 70 tahun lebih Pemerintah Belanda tidak pernah mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia.

    “Bagi Pemerintah Belanda, Indonesia baru merdeka saat Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB). Pengakuan ini mengakhiri ambiguitas sikap pemerintah Belanda, namun demikian ada beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi menanggapi pengakuan kemerdekaan tersebut,” ujarnya dalam keterangan yang diterima di Kota Serang, Kamis (15/6).

    Seperti diketahui, pada tahun 2005 Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot, pernah menyatakan bahwa pemerintah Belanda menerima kenyataan bahwa Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Pernyataan tersebut lebih bermakna secara politis yang tak berimbas secara legalistis, karena menerima kenyataan atau aanvaarden berbeda arti dengan mengakui (erkent atau to recognize).

    “Inilah yang membedakan pernyataan Perdana Menteri Mark Rutte kali ini—yang jelas-jelas mengatakan bahwa dia, atas nama pemerintah Belanda, mengakui (erkent) kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,” katanya.

    Bonnie mengungkap Rutte tampaknya enggan memasuki dampak legalistik dari pernyataannya dengan mengatakan kekerasan yang terjadi semasa revolusi kemerdekaan Indonesia, di luar jangkauan Konvensi Jenewa, karena kesepakatan internasional yang mengatur perlindungan kemanusiaan dalam perang itu belum berlaku.

    “Pernyataan Rutte yang mengakui kekerasan Belanda terhadap warga Indonesia secara moral, namun tidak secara yuridis, berujung dengan kesimpulan yang dibangunnya sendiri, bahwa secara legal kekerasan serdadu Belanda terhadap warga Indonesia tidak bisa dianggap sebagai kejahatan perang,” ucapnya.

    Menurut Bonnie, pernyataan Rutte yang menghindari konsekuensi hukum dari tindakan Belanda semasa revolusi kemerdekaan Indonesia 1945–1949, menjadikan pengakuan ini tak berbeda secara esensial dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya dari pejabat Belanda. Melihat kembali catatan sejarah, sebulan semenjak Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, serdadu Belanda masuk kembali ke Indonesia di bawah bendera tentara sekutu Inggris.

    Kedatangan serdadu Belanda itu membuat situasi tegang serta penuh kekerasan. Kemudian, pada 21 Juli 1947 Belanda melancarkan Agresi Militer Pertama. Menyusul kemudian, pada 19 Desember 1948 Agresi Militer Kedua.

    Pengakuan PM Rutte atas kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 memiliki arti bahwa dia, atas nama pemerintah Belanda, mengakui bahwa Indonesia sudah menjadi sebuah negara merdeka. Maka dua agresi militer yang dilakukan oleh Belanda ke Indonesia sama artinya dengan invasi ke sebuah negara merdeka.

    “Agresi itu bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Atlantik Charter 1941 yang memberikan keleluasan kepada rakyat sebuah wilayah untuk menentukan nasibnya sendiri, sekaligus menyatakan perluasan wilayah melalui sebuah agresi tidaklah dibenarkan. Dua agresi itu pun melanggar Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan pada 10 Desember 1948 atau sembilan hari sebelum Belanda menyerang Indonesia,” jelasnya.

    Meski begitu, pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia ini menjadi momentum penting bagi kedua bangsa untuk belajar dari sejarah kelam kolonialisme. Praktik perbudakan, penindasan, diskriminasi, rasialisme, dan kekerasan oleh negara terhadap warganya dan kekerasan horizontal antarwarga harus segera diakhiri.

    “Penulisan sejarah seyogianya mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sebagai pembelajaran bagi generasi muda di masa kini dan masa depan. Melalui pemahaman sejarah yang lebih baik, diharapkan hubungan kedua bangsa semakin erat di masa yang akan datang, tanpa harus melupakan apa yang terjadi di masa lalu, atau bahkan menghindari soal-soal penting di dalam pengungkapan sejarah itu,” tuturnya.

    Bonnie mengatakan, kerjasama kedua negara mestinya bisa lebih baik dan lebih erat berdasarkan prinsip-prinsip kepercayaan atau trust dan kesetaraan atau equality. Menurutnya, bentuk konkret dari kerjasama ini bisa saja dalam bentuk pemberian visa on arrival kepada warga Indonesia yang hendak berkunjung ke Belanda.

    “Karena selama ini pemberian fasilitas tersebut sudah disediakan bagi warga Belanda saat berkunjung ke Indonesia untuk kunjungan singkat. Kerja sama lain yang bisa menjadi wujud hubungan baik kedua negara adalah dalam bidang pendidikan, pertanian, atau sektor penting lainnya,” tandasnya. (MUF)