Tag: Demokrasi

  • KAMMI Banten Tuntut Netralitas ASN Selama Pemilu 2024

    KAMMI Banten Tuntut Netralitas ASN Selama Pemilu 2024

    SERANG, BANPOS – Menyikapi situasi politik saat ini, kelompok mahasiswa yang menamakan dirinya sebagai Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Banten menggelar unjuk rasa ‘Taubat Demokrasi’ pada Jumat (9/2).

    Unjuk rasa tersebut diselenggarakan di sekitaran Alun-alun Kota Serang dimulai sekitar pukul 09.00 WIB.

    Ada beberapa hal yang menjadi sorotannya, namun yang paling utama disampaikan adalah perihal pentingnya menjaga netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

    Dalam aksinya, para mahasiswa itu mengawali unjuk rasa dengan berjalan jongkok mundur.

    Hal itu mereka lakukan, sebagai simbol mundurnya demokrasi yang mereka nilai telah mengalami kemunduran.

    Barulah setelah itu sejumlah orator menyampaikan aspirasinya.

    Ketua Bidang Kebijakan Publik KAMMI Banten, Emar Muamar dalam orasinya menyampaikan pentingnya pentingnya pemerintah kembali pada prinsip dasar demokrasi dan semangat reformasi.

    Prinsip demokrasi dan semangat reformasi yang dimaksud adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN.

    “Oleh karena itu KAMMI menyerukan agar pemerintah dan penyelenggara Pemilu 2024 melakukan taubat, memperbaiki diri, dan mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan proses Pemilu berjalan secara adil dan transparan,” ujarnya.

    Kemudian ia pun juga mengajak kepada seluruh masyarakat untuk bersama-sama aktif mengawasi jalannya Pemilu yang dilaksanakan di tahun ini, agar Pemilu benar-benar berjalan dengan adil dan transparan.

    “Dengan partisipasi masyarakat diharapkan tindakan-tindakan yang merugikan demokrasi dapat dihindari, dan upaya untuk memperbaiki sistem demokrasi bisa lebih efektif dilakukan,” imbuhnya.

    Sementara itu Ketua KAMMI Cabang Serang Roja Rohmatullah dalam orasinya menyerukan agar civitas akademika kampus turut ambil peran dalam menjaga demokrasi bangsa.

    “Kami mengajak kepada seluruh civitas akademik seluruh Indonesia untuk bersama menyuarakan sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang tidak baik-baik saja. Hentikan intimidasi pemerintah serta agar menjaga netralitas dengan sebenar-benarnya,” katanya.

    Sedangkan Koordinator Lapangan (korlap) aksi Peri Irawan menilai bahwa pemerintah harus memberikan keteladanan, dan tidak mengkhianati reformasi dengan mengkebiri demokrasi.

    “Karena gelombang perlawanan, baik dilakukan secara langsung maupun tidak langsung adalah bentuk tamparan, salah satunya yang sedang kita lakukan agar pemerintah membuka pola pikir yang benar dan menjaga demokrasi, bukan mengkhianati apalagi mengkebiri untuk kepentingan pribadi atau kelompok,” tegasnya.

    Dalam unjuk rasa tersebut, KAMMI Banten menyampaikan tiga poin utama sebagai tuntutannya di antaranya seperti: 1). Menuntut netralitas Presiden dan penyelenggara Pemilu 2024. 2). Menuntut Presiden dan penyelenggara Pemilu 2024 menjalankan konstitusi dengan penuh integritas. 3). Jika Presiden dan penyelenggara Pemilu 2024 tidak mematuhi konstitusi, menuntut mereka untuk turun dari jabatan. (CR-02)

  • Prof. Lili: Dibajak Elite, Demokrasi Alami Kemunduran

    Prof. Lili: Dibajak Elite, Demokrasi Alami Kemunduran

    JAKARTA, BANPOS – Peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Lili Romli mengaku kecewa dengan berbagai praktek dinasti politik yang ada di Indonesia.

    Menurut Prof. Lili, penyebutan dinasti politik diawali dengan membajak dan membonsai demokrasi. Praktek ini untuk negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

    “Bukan hanya itu saja, politik dinasti saat berkuasa dan untuk mempertahankan kekuasaannya memberlakukan aturan main tertutup atau close game,” kata Prof. Lili dalam keterangannya, Senin (06/11/2023).

    Banyak kasus di Indonesia, tambah dia, karena demokrasi elektoral hanya sekadar formalitas. Hal itu terjadi karena semua kekuatan politik dikendalikan, media massa dilemahkan, dan civil society dikooptasi. Dinasti politik juga menguasai sumber daya ekonomi dan bahkan koruptif.

    “Kalau di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak menunjukkan hal yang positif. Itu karena prosesnya membajak demokrasi dan ketika berkuasa mereka koruptif,” tuturnya.

    Lili menyebut negara-negara maju juga ada dinasti politik yang melalui proses sesuai dengan prosedur demokrasi. Tidak ujug-ujug berkuasa. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui.

    Misalnya melalui pengkaderan dan rekrutmen politik yang sama seperti kader lain.

    “Mereka juga memiliki kualifikasi dan kapasitas yang baik sehingga ketika berkuasa juga berhasil dengan baik, tidak koruptif. Jika gagal, publik tidak akan memilihnya kembali, ada punishment,” sambungnya.

    Lili menilai jika kondisi dinasti politik berlanjut, bukan tidak mungkin demokrasi akan meradang. Sebagai proyeksi ke depan, jika politik dinasti tetap bercokol dan menang dalam Pemilu, demokrasi Indonesia akan terancam.

    “Sekarang saja demokrasi Indonesia mengalami kemunduran, apalagi nanti jika yang berkuasa dinasti politik,” ujarnya.

    Di kesempatan sama, pakar Ilmu politik dari Universitas Airlangga, Prof. Kacung Marijan menilai, subur tidaknya dinasti politik tergantung oleh mekanisme kontrol.

    “Kontrolnya bisa dua. Pertama adalah di level proses pemilihannya. Ketika masyarakat anggap itu tidak baik, masyarakat bisa secara kolektif menolak dan tidak memilihnya,” sebut Prof Kacung.

    “Ketika calonnya itu sudah terpilih, bagaimana terjadi proses kontrol sehingga penyalahgunaan kekuasaan bisa dihindari. Dalam hal ini lewat DPR,” lanjut Prof. Kacung.

    Legislator, aku dia, memiliki fungsi pengawasan yaitu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang, APBN dan kebijakan Pemerintah.

    “Kalau DPR-nya lebih kuat, harusnya kontrol kepada Pemerintah harus lebih kuat,” kata Kacung.

    Menurutnya, dinasti politik terjadi karena proses rekruitmen politik yang tidak demokratis.

    “Proses rekrutmen politik dinasti itu dibangun dan dibungkus melalui pemilihan secara demokratis formal. Hal ini terlihat di sejumlah daerah. Misal, habis jadi kepala daerah, istri atau anaknya yang gantikan,” tutup Prof. Kacung.(RMID).