LEBAK, BANPOS – Aktivis pejuang demokrasi, Harda Belly, menyampaikan ucapan duka cita mendalam atas meninggalnya seorang anggota Satpol PP, Yadi Suryadi, saat menjalankan tugas pengamanan dalam aksi demonstrasi di Kabupaten Lebak.
Yadi, yang berusia 50 tahun, meninggal setelah mengalami cedera serius akibat tertimpa pagar besi gedung DPRD saat mengamankan aksi penolakan pelantikan ketua DPRD dari PDI Perjuangan.
Sebelumnya, Yadi dirawat di dua rumah sakit, yaitu RSUD Adjidarmo Lebak dan RS Hermina Daan Mogot di Jakarta.
Harda Belly menegaskan perlunya pengusutan tuntas terhadap insiden tersebut.
“Tragedi ini harus diusut oleh aparat kepolisian, demi keadilan dan kemanusiaan,” ujarnya dalam pernyataan kepada awak media, Kamis (10/10).
Harda menekankan pentingnya kegiatan demonstrasi dalam sistem demokrasi, namun dengan catatan harus sesuai dengan ketentuan yang ada agar tidak menimbulkan kekacauan.
“Saya mendukung aksi penyampaian pendapat, tapi harus menghindari tindakan anarkis yang bisa merugikan banyak pihak,” jelasnya.
Harda juga menyerukan pemerintah daerah untuk memberikan santunan kepada keluarga Yadi dan menjamin pendidikan anak-anaknya, karena Yadi adalah tulang punggung keluarga.
“Beliau harus diberikan penghargaan setinggi-tingginya atas pengabdiannya,” tambahnya.
Yadi meninggalkan seorang istri, Nurbaeti, dan empat anak, termasuk anak sulungnya yang menderita talasemia.
“Pemkab Lebak harus memberikan beasiswa dan dukungan kepada keluarga Yadi,” harap Harda.
Dia menekankan pentingnya menjaga iklim demokrasi yang sehat dan berharap insiden serupa tidak terulang di masa depan.
“Kita semua harus belajar dari kejadian ini agar demonstrasi berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku, tanpa mengorbankan jiwa dan merusak fasilitas umum,” tandasnya. (MYU)
JAKARTA, BANPOS – Sekitar seribu tenaga kesehatan (nakes) dan non nakes menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI di Senayan, Jalan Jendral Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Senin (7/8). Aksi tersebut menuntut agar mereka diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Pol Komarudin, menjelaskan bahwa peserta unjuk rasa menuntut agar bisa segera diangkat menjadi ASN.
“Minta diterbitkan surat pengangkatan menjadi ASN,” kata Komarudin saat dikonfirmasi.
Terkait unjuk rasa itu, Komarudin mengatakan pihaknya menerjunkan 2.000 personel pada beberapa titik, untuk pengamanan dan mengatur lalu lintas di sekitar lokasi.
“Kami menerjunkan 2.000 personel untuk pengamanan termasuk dari TNI, karena unjuk rasa tidak hanya berlangsung di DPR RI saja tetapi juga ada di lokasi lain,” kata Komarudin
Komarudin juga menyiapkan pengalihan lalu lintas, terutama di Jalan Gatot Subroto arah Slipi.
“Rekayasa yang disiapkan tentunya manakala nanti massa bertambah dan kantong ataupun titik unjuk rasa yang disiapkan itu tidak mencukupi pasti nanti akan bertambah terhadap ini, makanya nanti akan dialihkan sekiranya dibutuhkan,” terangnya.
Sebagai informasi, aksi Nasional Nakes dan Non Nakes Fasyankes 2023 menuntut beberapa poin meliputi: Mendesak Presiden menerbitkan PP atau Perpres tentang meningkatkan status non ASN dengan tambahan nilai afirmasi 60 persen, mendesak Presiden menjalankan amanat PP No 49 tahun 2018 Pasal 99 ayat 1, 2 dan 3.
Kemudian tuntutan ketiga, mendesak Presiden agar membuat regulasi khusus untuk pengalokasian anggaran Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) nakes dan non nakes melalui Kementerian Kesehatan; dan keempat, ASN PPPK Fasyankes mendapatkan hak jaminan pensiun dan mendapatkan hak perpanjangan kontrak sampai batas masih pensiun.
Kelima, ASN PPPK Fasyankes mendapatkan kesejahteraan jenjang karier. Keenam, mendesak Pemerintah untuk menyiapkan regulasi jabatan pelaksana atau jabatan fungsional umum PPPK untuk tenaga non nakes di Fasyankes dan membuka formasi sesuai yang ada (existing) sesuai data Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan (SISDMK).
Terakhir, pendataan nakes dan non nakes dalam SISDMK melibatkan seluruh non ASN tanpa melihat klasifikasi status non ASN. (DZH/ANT)
SERANG, BANPOS – Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) PKC Provinsi Banten, menggelar aksi demonstrasi menjelang HUT Banten ke 19 di Kawasan Pusat Pemerintah Provinsi Banten (KP3B), tepatnya di Kantor Gubernur Banten, Selasa (1/10).
Dalam aksinya, mahasiswa menilai, menjelang tiga tahun kepemimpinan Gubernur Banten, Wahidin Halim (WH) dan Wakil Gubernur Banten, Andika Hazrumy, tidak nampak perubahan yang dirasakan oleh masyarakat secara umum. Bahkan, janji politik yang tertuang dalam visi misi dan program prioritas belum mampu mengejar target-target capaian pembangunan.
“Ini menjadi salah satu indikator kegagalan Wahidin Halim dan Andika Hazrumy dalam memimpin Banten,” ujar ketua PKC PMII Banten Ahmad Solahudin dalam rilisnya.
Dalam aksinya, ia menilai visi-misi Gubernur dan Wagub Banten dalam hal memperbaiki tata kelola pemerintahan tidak maksimal. Selain itu, reformasi birokrasi dengan mewujudkan good governance and good will melalui keterbukaan informasi publik, juga tidak dilakukan. Sebagaimana dalam catatan LHP LKPD BPK RI Perwakilan banten, Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp620.344.000 untuk belanja software website.
“Namun ternyata, ini fiktif. Bahkan, websitenya pun tidak memuat informasi tentang data penunjang pembangunan daerah seperti RPJMD dan RKPD,” tegasnya.
Solahudin menuntut janji Gubernur dan Wagub Banten dalam membangun dan meningkatkan kualitas infrastuktur pendidikan berkualitas yang saat ini dinilai hanya narasi kosong. Belum lagi, kata dia, dugaan korupsi yang terjadi di Dinas Pendidikan, baik pada persoalan korupsi pengadaan komputer Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) atau yang lain, yang sampai saat ini belum juga menemukan titik terang.
Gubernur dan Wagub Banten juga berjanji untuk meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan berkualitas serta pengembangan RS Provinsi menjadi RS rujukan regional dan pengobatan gratis dengan menggunakan E-Ktp.
“Alih-alih terealisasi, justru hanya fiksi. Begitu juga isu kesehatan jiwa yang sampai saat ini belum juga diperhatikan, apalagi diprioritaskan dengan cara membuat regulasi yang menunjang,” tuturnya.
Selain itu, para mahasiswa juga menuntut agar Banten bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme, menuntaskan persoalan pengangguran yang masihbtinghibdi Banten dan penegakan Perda CSR No 5 Tahun 2016.
“Tegakan Perda No 4 Tahun 2016 tentang keenagakerjaan. Jika gubernur dan wakil gubernur Banten tidak sanggup memimpin, maka lebih baik mundur,” kata Pengurus Kordinator Cabang PMII Banten Ahmad Solahudin dalam tuntutannya.
Sementara itu Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) saat menemui mahasiswa menyampaikan apa-apa saja yang telah dilaksanakan dan dilakukan oleh Provinsi Banten selama kepemimpinannya bersama Wagub Andika Hazrumy, karena diyakini jika banyak mahasiswa yang belum tahu berbagai program pembangunan yang tengah dan telah dilaksanakan provinsi Banten saat ini.
Ia juga menyampaikan terimakasihnya atas kritik yang disampaikan Mahasiswa kepada Pemprov Banten, hal ini merupakan bukti kecintaan mahasiswa kepada Provinsi Banten.
Ia menjelaskan berbagai program yang dipertanyakan mahasiswa dan dianggap tidak berjalan diantaranya persoalan pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Gubernur Banten langsung menjawab tuntutan mahasiswa melalui pengeras suara dipakai koordinator aksi. WH juga mengajak mahasiswa untuk ikut melihat bersama-sama berbagai program pembangunan tersebut dan membuka ruang bagi para mahasiswa di Banten dalam memberikan masukan kepada Pemrov Banten. (RUS)
TANGERANG, BANPOS – Pernyataan Menteri Ristek Dikti M Nasir yang bakal memberi sanksi kepada rektor yang menggerakkan mahasiswanya untuk berdemonstrasi dinilai pernyataan kurang bijak. Pendapat tersebut salah satunya disampaikan Rektor Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) Ahmad Amarullah.
Menurut, Ahmad Ammarullah, mestinya Mensitekdikti mempercayai para rektor yang tidak mungkin menginstruksikan mahasiswanya mengikuti kegiatan yang berpotensi mencelakai. “Ini merupakan sebuah dugaan, bagi saya sebagai rektor menyikapi perkembangan terakhir, kami sudah mengimbau mahasiswa sebelumnya untuk beraktivitas di kampus, tidak harus ikut,” terang Ahmad, Sabtu (28/9).
Amarullah menjelaskan, pastinya semua rektor menyampaikan hal tersebut kepada mahasiswanya agar tidak mengikuti aksi unjuk rasa di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta dalam menolak RKUHP dan UU KPK.
“Tidak mungkin rektor menyuruh-nyuruh lah, itu dugaan yang nggak terbukti, karena rektor mikir panjang. Namun, saat sudah di luar kampus, mahasiswa berangkat ke demo itu ya itu di luar kemampuan rektor dan institusi lainnya,” tegasnya.
Kata dia, Menteri Pertahanan justru mempersilakan kepada mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi sepanjang itu baik untuk Indonesia, pastinya tidak dengan cara anarkis. “Harusnya semua pihak menahan diri, pemerintah atau aparat jangan merasa tugasnya untuk menertibkan lalu melakukan tindakan yang mencelakai. Dan mahasiswa yang berintelektual tidak anarkis apalagi merusak fasiltas umum,” paparnya.
Ahmad menambahkan, kalau memang hal seperti ini terjadi dengan yang tidak diinginkan patut dicari bersama siapa sesungguhnya provokator yang membuat saat aksi unjuk rasa itu chaos. “Menurut saya seperti itu, jangan seolah-olah mahasiswa yang disudutkan. Itu kan seperti mahasiswa diadu sama aparat, perlu ketengan untuk menyikapi hal yang saat terjadi,” katanya.
Sebelumnya Menristekdikti M Nasir menyayangkan adanya dosen yang mengizinkan mahasiswanya berdemo. Nasir mengatakan nantinya akan ada sanksi kepada rektor perguruan tinggi (PT) jika terjadi pengerahan mahasiswa di kampusnya.
“Nanti akan kita lihat sanksinya ini. Gerakannya seperti apa. Kalau dia mengerahkan ya dengan sanksi yang kita lakukan sanksi keras yang kami lakukan ada dua, bisa dalam hal ini peringatan, SP1, SP2,” kata Nasir di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (26/09).
Nasir mengatakan sanksi hukum juga siap menanti jika aksi unjuk rasa menyebabkan kerugian pada negara. “Nah kalau dalam hal ini menyebabkan kerugian pada negara dan semuanya ini bisa tindakan hukum. Yang rektornya yang saya ini, nanti dosen rektor yang bertanggung jawab,” ujarnya.(IQBAL/MADE/ENK/BNN)
SERANG, BANPOS – Aksi mahasiswa di Jakarta yang berujung ricuh beberapa waktu yang lalu, membuat satu orang mahasiswa asal Banten ditangkap pihak kepolisian. Mahasiswa berinisial MRN dari kampus Universitas Serang Raya (Unsera) sempat dinyatakan hilang beberapa saat, hingga berhasil ditemukan di Mapolda Metro Jaya.
Presiden Mahasiswa (Presma) Unsera, Diky Benarivo, mengatakan bahwa hasil pendampingan pihaknya selama ini, isu yang mengatakan sebanyak tiga mahasiswa Unsera ditangkap, itu tidak benar.
“Iya masih ada mahasiswa Unsera yang masih ditahan di Polda Metro Jaya. Saya sudah ke Polda Metro Jaya, data di sana hanya ada satu mahasiswa Unsera yang ditahan,” ujarnya kepada BANPOS melalui pesan singkat, Minggu (29/9).
Ia mengaku, kondisi MRN yang ditahan oleh pihak Kepolisian, dalam kondisi yang baik. “Untuk kondisinya Alhamdulillah baik-baik saja,” ucapnya.
Dalam penanganan kasus hukum tersebut, MRN didampingi oleh BEM Unsera dan juga Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Hasil pendampingan, disepakati bahwa MRN akan dibebaskan dan kembali ke Serang pada Senin (30/9/2019).
“Iya, kami sudah minta pendampingan hukum dari YLBHI. Kemarin sudah ada negosiasi dengan pihak Polda Metro Jaya, dan InsyaAllah Senin (hari ini, red) mahasiswa Unsera bisa dibebaskan,” jelasnya.
Pembebasan MRN diikuti oleh beberapa syarat. Diantaranya yaitu surat permohonan penangguhan penahanan dari orang tua, dan juga pihak kampus.
“Untuk syaratnya surat pemohonan penangguhan penahanan dari orang tua dan lembaga kampus Unsera,” ucapnya.
Saat dipertegas apakah proses hukum tetap berlanjut, ia menegaskan bahwa proses hukum tidak berlanjut. MRN, lanjut Diky, juga tidak dibebankan dengan wajib lapor.
“Proses hukum tidak berlanjut, tidak wajib lapor juga. Dari pihak Polda Metro Jaya meminta surat penagguhan penahanan dari orang tua, lembaga kampus Unsera dan jaminan tidak mengulangi aksi demonstrasi yang anarkis. Itu permintaan dri pihak Kepolisian,” tandasnya.(DZH/ENK)
Aksi mahasiswa mendapatkan berbagai dukungan dari kalangan akademisi kampus. Beberapa dosen tercatat mengizinkan mahasiswanya untuk turut serta dalam aksi demonstrasi, seperti yang dilakukan oleh akademisi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Akademisi Fisip Untirta Abdul Hamid mengatakan, kondisi saat ini dapat menjadi salah satu laboratorium bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliahnya untuk dapat mengamati secara langsung dinamika demokrasi di Indonesia.
“Saya tidak mengerahkan anak-anak untuk demo, tapi saya ingin anak-anak memiliki sensitifitas dan kemudian bisa melihat dan belajar, mulai dari tuntutan mahasiswa itu apa, dan mengorganisasi massa itu bagaimana, itu hal yang menarik untuk diamati,” ujar dosen pengajar mata kuliah Pengantar Ilmu Politik tersebut.
Ketika ditanyakan, apakah mendukung gerakan mahasiswa terkait penolakan beberapa RUU yang sedang dibahas saat ini. Pria yang akrab dipanggil Abah tersebut mengatakan, mahasiswa menjadi pelaku sejarah dalam menyuarakan aspirasi masyarakat.
“Saya berharap mahasiswa tersebut dapat memahami substansi dari aksi tersebut, sebagai bentuk partisipasi politik murni karena kegelisahan mereka terhadap tindakan DPR di akhir masa jabatan yang terkesan terburu-buru dalam menetapkan beberapa UU,” jelas pria yang akrab dipanggil Abah tersebut.
Ia menjelaskan, beberapa RUU yang ditetapkan juga cenderung bertentangan dengan harapan masyarakat, seperti revisi UU KPK dan yang lainnya.
“Prinsipnya, saya senang ketika mahasiswa turut andil dalam gerakan moral ini,” jelasnya.
Sementara itu, tersebar status WA dari Akademisi FKIP Untirta Dodi Firmansyah yang menyatakan bahwa mahasiswa yang ingin melakukan demonstrasi untuk tidak usah meminta izin kepadanya, namun berangkat saja, dan diakhiri dengan pernyataan selamat berjuang.
“Pagi tadi, ketua BEM dan DPM FKIP Untirta datang menghadap saya, dan meminta izin untuk berangkat aksi. Saya nyatakan, tidak usah meminta izin, dan langsung saja berangkat, karena aksi ini bagus untuk menambah kepekaan mereka terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat,” ujar Dodi.
Senada dengan Abdul Hamid, Dodi menyatakan, tidak dalam konteks mengerahkan mahasiswa untuk berdemonstrasi. Namun, mengingat mahasiswa harus dapat memahami dan peka terhadap isu di masyarakat, maka perlu untuk turut serta menjadi bagian aksi tersebut.
“Ini juga mendukung secara akademik. Dalam status saya selanjutnya, saya meminta kepada mahasiswa untuk saatnya meninggalkan hal-hal yang tidak menunjang akademisnya, seperti game online, kemudian turut belajar menyuarakan aspirasi masyarakat,” tegasnya. (PBN)