LEBAK, BANPOS – Kasus dugaan penyerobotan tanah warga Desa Jayasari, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak masih belum mendapatkan titik terang dari pihak kepolisian setelah sebelumnya masyarakat diberi informasi oleh Bareskrim Polri bahwa kasus tersebut telah naik ke tahap penyidikan dan dijanjikan dalam waktu dekat akan segera ditetapkan tersangka.
Aktivis Pemuda Pejuang Keadilan, Harda Belly, mempertanyakan profesionalisme Polda Banten dalam mengusut penyerobotan lahan warga Desa Jayasari tersebut. Menurutnya, proses hukum atas laporan masyarakat masih jauh dari rasa keadilan.
“Polda Banten jangan tebang pilih dalam mengusut dugaan penyerobotan lahan di Desa Jayasari Lebak. Segera umumkan siapa-siapa yang menjadi tersangka karena proses hukum sudah lama berjalan dari penyelidikan naik ke penyidikan,” kata Harda kepada BANPOS, Rabu (20/9).
Harda menilai, penegakan hukum masih cenderung merugikan masyarakat. Hal tersebut terjadi lantaran menurutnya masih adanya kesenjangan dalam penegakan hukum terhadap masyarakat menengah kebawah.
“Kalau seperti itu maka jangan disalahkan kalau masyarakat tidak percaya dengan aparat kepolisian karena dalam prakteknya hukum masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah,” ujarnya.
Harda minta Polda Banten agar dapat segera menetapkan tersangka dan mengusut kasus ini sampai ke akarnya lantaran sejak awal laporan dibuat, masyarakat masih menanti dan berharap besar bagi penegakan hukum untuk haknya.
“Penetapan tersangka dari kepolisian dinantikan oleh masyarakat Lebak maupun seluruh masyarakat Indonesia,” jelasnya.
Harda yang selama ini mengawal kasus tersebut menyadari kalau masyarakat sedang berlawanan dengan kekuatan besar. Karena itu, lanjut Harda,
masyarakat percaya Aparat Kepolisian untuk menegakkan supremasi hukum yang berkeadilan.
“Memang diduga ada kekuatan besar dibalik ini semua, Namun hukum harus tetap ditegakkan dan Aparat Kepolisian lah yang bisa melakukan itu,” terang Harda.
Harda berharap, kasus tersebut cepat diselesaikan oleh Aparat Kepolisian dengan menetapkan semua yang terlibat dan tanah yang dirampas diganti dan dikembalikan ke pemiliknya.
“Segera tangkap semua mafia tanah di Lebak dan kembalikan tanah yang sudah dirampas ke warga,” tandasnya.(MYU/DZH)
LEBAK, BANPOS – Kasus dugaan penyerobotan tanah warga Desa Jayasari, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak yang diduga melibatkan eks Bupati Lebak, Jayabaya, memasuki babak baru.
Pihak kepolisian beberapa waktu yang lalu telah melakukan gelar perkara terkait laporan kasus tersebut. Namun, berdasarkan informasi belum ada yang ditetapkan tersangka.
Menanggapi hal tersebut, Aktivis Pejuang Keadilan yang juga mendampingi masyarakat Jayasari sedari awal, Harda Belly, mengatakan bahwa gelar perkara yang dilakukan kepolisian harus objektif dan tidak merugikan warga desa Jayasari yang benar-benar butuh keadilan.
“Kasus penyerobotan tanah di desa Jayasari ini nyata. Warga yang merasakan, warga desa yang dirugikan. Apalagi hal ini diduga dilakukan oleh mantan Bupati, kepolisian harus bertindak tegas tanpa tebang pilih,” kata Harda kepada BANPOS, Minggu (10/9).
Harda menjelaskan, kasus penyerobotan tanah di Kabupaten Lebak ini sekaligus menguji profesionalitas Polri.
“Penyerobotan tanah ini sudah lama menjadi perhatian teman-teman, begitu alot karena mungkin warga desa melawan kekuatan besar, yaitu mantan Bupati. Sekarang tidak boleh dibiarkan, profesionalitas Polri untuk melayani masyarakat sedang diuji, masyarakat menanti ketegasan Polri dalam memberantas mafia tanah,” jelas Harda.
Ia memaparkan, pihaknya bersama teman-teman aktivis akan terus mengawal kasus penyerobotan tanah ini sampai warga desa mendapatkan keadilan dari perlakuan tidak bertanggung jawab.
“Kami akan terus kawal kasus penyerobotan tanah ini. Gelar perkara sudah dilakukan kepolisian, tinggal kita menunggu siapa yang akan menjadi tersangka, apakah aktor utamanya atau hanya kroni-kroninya saja. Kita tunggu dan awasi terus,” tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, Puluhan Warga Jayasari yang menjadi korban dugaan Mafia Tanah di Desa Jayasari, Kecamatan Cimarga Kabupaten Lebak kembali mendatangi Mabes Polri.
Diketahui, kedatangan warga tersebut menindaklanjuti undangan yang ditujukan dari Polda Banten dengan Nomor : B/3596/IX/Res.1.10./2023/Ditreskrimum dengan perihal : Undangan Gelar Perkara Khusus.
Berdasarkan informasi yang dihimpun BANPOS, Sebanyak 30 orang warga datang ke Mabes Polri menggunakan Bus. Pada gelar perkara tersebut dipaparkan tindak lanjut dari persoalan mafia tanah yang ada, bahwa dalam waktu dekat akan ada penetapan tersangka.(MYU/DZH/PBN)
Persoalan tanah sampai saat ini masih menjadi hal yang tak kunjung selesai. Tangan-tangan dari para ‘mafia’ yang diduga melakukan korupsi tanah, tak henti-hentinya mencoba merebut tanah dari masyarakat, dengan berbagai cara. Berbagai upaya dari pemerintah seakan-akan tak berguna, lantaran celah terbesar bagi para mafia tanah untuk beraksi, justru dari sistem administrasi pertanahan itu sendiri.
SUASANA rumah TJ sepi saat BANPOS mendatanginya. Rumah tingkat dua itu berada di pinggir Jalan Sawahluhur, Kelurahan Kilasah, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Beberapa kali BANPOS mencoba memanggil TJ maupun orang yang berada di dalam rumah tersebut, namun tidak ada yang merespon. Meski demikian, sayup-sayup terdengar suara aktivitas mencuci dari dalam rumah tersebut. Sekitar dua jam pada hari-hari yang berbeda BANPOS menunggu, namun tidak membuahkan hasil.
Menurut keterangan warga sekitar, memang TJ jarang terlihat keluar rumah. Pria yang merupakan mantan Kepala Desa serta mantan Anggota DPRD Kota Serang ini, disebut-sebut sebagai biang kerok atas permasalahan pertanahan di Kelurahan Kilasah. Pasalnya, TJ mengambil alih 25 persen tanah yang berada di Kelurahan Kilasah.
“Informasi ini kami dapatkan saat kami tengah membantu klien kami yang saat ini tengah mengalami penyerobotan lahan. Warga dan pihak kelurahan menyampaikan bahwa TJ ini memang menguasai secara ilegal, 25 persen luas tanah di Kilasah,” ujar Sekretaris Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) DPN Permahi, Rizki Aulia Rohman.
Menurut Rizki, TJ mulai menguasai 25 persen tanah di Kelurahan Kilasah, pada saat TJ masih menjabat sebagai Kepala Desa kisaran tahun 2000-an. TJ pada saat itu, memanfaatkan program pemerintah yakni Program Nasional Agraria (Prona), untuk mematok-matok tanah dan menerbitkan sertifikat secara asal, tanah milik warga. Setelah itu, sertifikat tersebut dikuasai oleh TJ seorang.
“Memang pada saat itu, pemerintah sedang gembar-gembor melakukan sertifikasi terhadap tanah. Dengan dalih mengejar target, TJ ini akhirnya asal melakukan pendataan tanah. Lalu sebanyak 25 persen tanah di Kilasah dikuasai oleh dia administrasinya,” ungkapnya.
Tanah-tanah yang sertifikatnya dikuasai oleh TJ tersebut, kata Rizki, banyak yang digadaikan hingga dijual oleh TJ. Hal itu bahkan menimbulkan konflik antara pemilik tanah, dengan mereka yang memegang sertifikat tanah hasil gadaian atau penjualan tersebut.
Rizki mengatakan, dugaan mafia tanah yang bercokol di Kecamatan Kasemen, sangat kuat terasa. Saat ini, LKBH DPN Permahi bahkan tengah mengadvokasi sejumlah masyarakat di Kecamatan Kasemen, yang menjadi korban praktik mafia tanah.
Salah satu perkara yang tengah ditanganinya yakni penyerobotan lahan yang terjadi di Kelurahan Sawahluhur. Perkara tersebut menurutnya salah satu bentuk dugaan mafia tanah, dengan memanfaatkan celah pada sistem pertanahan.
Pasalnya, tanah milik kliennya yakni AS, yang merupakan warisan dari ibunya yakni TK, tiba-tiba berganti status kepemilikan menjadi atas nama CD. Padahal, pihaknya tidak pernah merasa menjual tanah tersebut, apalagi dokumen girik miliknya masih dipegang. Usut punya usut, pergantian kepemilikan tanah itu terjadi sejak tahun 1997, dengan terbitnya Akta Jual Beli (AJB), yang terjadi antara JNR dengan MYD.
“Anehnya, tanah tersebut bisa diperjualbelikan tanpa adanya dokumen kepemilikan dari pihak penjual. Dalam AJB yang kami telah pegang pun, tidak ada dasar atas kepemilikan tanah. Harusnya kan misalkan berdasarkan AJB, girik atau dokumen kepemilikan lainnya seperti bukti waris, ini tidak ada,” terangnya.
Setelah secara diduga ilegal berpindah kepemilikan, tanah milik kliennya pun menurut Rizki, kembali berpindah kepemilikan kepada CD. Dalam AJB yang tertera, CD tertulis sebagai warga Kecamatan Kasemen. Namun saat ditelusuri pada alamat yang tertera, CD tidak ada di sana. Bahkan Rizki mengaku, dirinya mendapatkan surat resmi dari RT/RW setempat yang menyatakan bahwa tidak pernah ada warga yang bernama CD, di lingkungan tersebut.
“Setelah kami telusuri lagi datanya, ternyata CD ini merupakan warga Medan. Dia menggunakan domisili di Kasemen cuma biar lebih mudah dalam transaksinya,” ungkap Rizki.
Menurut dia, saat ini perkara tersebut masih dalam proses penyelesaian. Yang lucu menurunya, ada salah satu oknum pejabat kewilayahan di Kecamatan Kasemen, yang merayu untuk mendamaikan permasalahan tersebut, dan siap membayar tanah seluas 4.485 m2 dengan harga Rp100 ribu per meter persegi. “Ya kami menolak, pasarannya aja di atas Rp500 ribu,” katanya tertawa.
Terpisah, berdasarkan informasi yang diterima BANPOS dari masyarakat sekitar, terdapat pula permasalahan tanah yang melibatkan dugaan pemalsuan dokumen pertanahan. Kasus tersebut juga melibatkan mantan Kepala Desa lainnya berinisial MS.
Kasus yang melibatkan MS dan terjadi pada tahun 2020 ini berkaitan dengan penerbitan akta hibah bodong. Penerbitan akta hibah bodong itu terjadi antara MS dan LM. Keduanya masih terikat persaudaraan. Disebutkan, MS telah membuat sekitar 10 Sertifikat Hak Milik (SHM) milik LM, dihibahkan kepada dirinya dan orang lain dengan akta bodong tersebut.
Modus yang dilakukan oleh MS yakni mengetik sendiri akta hibah mengatasnamakan LM dan suaminya selaku pihak yang turut menghibahkan, dan memalsukan tanda tangan dari pihak-pihak terkait. Setelah keluar akta hibah yang disebut bodong itu, beberapa diantaranya diregister ke Kantor Pertanahan, dan beberapa lainnya digadai serta dijual.
Salah satu staf Kelurahan Kilasah yang bertugas mengurusi pertanahan, Syamsudin, membenarkan bahwa terdapat sejumlah permasalahan terkait dengan pertanahan di Kelurahan Kilasah. Bahkan, permasalahan tersebut bisa dikatakan cukup pelik, hingga membuat bingung masyarakat hingga ke pihak-pihak lainnya seperti Perbankan.
Bagaimana tidak, Syamsudin menuturkan bahwa 25 persen dari tanah yang ada di Kelurahan Kilasah, ‘bergentayangan’. Pernyataan tersebut membenarkan informasi dari yang disampaikan oleh Rizki, terkait penguasaan tanah oleh mantan Kepala Desa, TJ.
Menurut Syamsudin, 25 persen tanah yang disebutnya bergentayangan itu, terjadi akibat kegiatan Prona pada tahun 2000 lalu. Pada saat itu, berbagai tanah milik masyarakat maupun tanah bengkok, disertifikatkan secara asal. Selanjutnya, tanah yang telah terbit sertifikatnya itu, fisik sertifikatnya tidak pernah sampai kepada yang berhak.
“Memang permasalahannya cukup banyak. Kami pernah bahkan mendapatkan persoalan sertifikat tanah yang dimiliki oleh orang Tangerang. Dalam sertifikat yang dipegang itu, tertulis tanahnya seluas 10 ribu meter persegi. Tapi setelah dicek fisik, ternyata hanya ada seribu meter persegi saja. Mungkin ditambah nol-nya di sertifikat,” ungkapnya.
Permasalahan seperti itu kata Syamsudin, sudah kerap dia hadapi. Beberapa waktu yang lalu, terdapat pihak dari Perbankan, datang ke Kantor Kelurahan. Kedatangan mereka untuk melakukan eksekusi sita terhadap bidang tanah, atas pinjaman yang diambil menggunakan SHM milik warga Kilasah.
“Saya yang mengurus pada saat itu. Ketika tahu bahwa ini sertifikat tanah yang ternyata masuk ke dalam 25 persen itu, saya sampaikan kepada pihak Bank yang mau mengeksekusi. Namun ketika tetap ingin mengeksekusi, saya sampaikan ‘pak punten, kalau nanti Senin datang lagi, bapak bawa alat pertahanan diri saja saya titip. Karena ini orang (pemilik asli tanah) jawara’. Ternyata benar, ketika mau eksekusi, pemilik tanahnya sudah mengasah golok,” cerita dia.
Menurutnya, pemilik tanah saat didatangi oleh pihak bank, sudah menjelaskan bahwa sejak tahun 2000, mereka sama sekali tidak memegang sertifikat tanah tersebut. Alasannya, sertifikat tanah yang merupakan hasil Prona, belum juga jadi. Persoalan itu pun telah Syamsudin sampaikan kepada pihak bank.
“Jadi sertifikat tanahnya itu katanya belum jadi saja sejak tahun 2000. Tapi tiba-tiba rumahnya mau dieksekusi. Dulu mah kan KTP belum elektronik. KTP milik bapak misalkan, ditempel foto saya. Bisa kita gadaikan akhirnya. Data kami, ada tiga sertifikat yang digadaikan ke bank, dan itu tiga bersaudara,” terang dia.
Ia mengatakan, saat ini pun tengah mengurusi permasalahan serupa, yang melibatkan warga Menes, Pandeglang. Ia mengatakan, belum lama ini, ada warga Menes yang datang ke kantor Kelurahan Kilasah, dan mengaku memiliki tanah di Kilasah. Klaimnya karena warga Menes tersebut, memegang sertifikat tanah. Namun Syamsudin tahu jika tanah itu pun masuk ke dalam daftar tanah 25 persen itu.
“Mereka datang dua mobil. Akhirnya saya tanya, ini sertifikat tanah warga Kilasah, bisa bapak pegang dalam rangka apa? Apakah jual beli, apa gadai, atau pinjam? Atau jangan-jangan ini bapak gelapkan? Karena ini bisa dilaporkan, ini hak orang lain. Terlebih tanah ini sebenarnya sudah diwakafkan oleh pemilik tanah yang asli. Luasnya 5 ribu meter persegi,” katanya.
Syamsudin menduga, hampir seluruh sertifikat tanah yang masuk ke dalam 25 persen tersebut, sudah dijual maupun digadaikan. Pasalnya, sertifikat-sertifikat tersebut sudah bertebaran di mana-mana, dan kerap datang ke kantor Kelurahan Kilasah dengan cara yang menurutnya tidak tepat.
“Jadi banyak memang yang lagi sengketa. Kami itu kalau ada orang yang datang ke sini membawa sertifikat, kami sampaikan ‘awas pak kalau yang sebenarnya punya (sertifikat) tahu, nanti bapak dituduh penggelapan, bisa dilaporkan. Kecuali bapak punya dokumen yang jelas terkait dengan kepemilikan itu’. Jadi kami sekaligus mencari tahu keberadaan sertifikat tanah itu,” ucapnya.
Selain dugaan penggelapan sertifikat tanah oleh TJ, Syamsudin pun membenarkan terkait dengan pembuatan sejumlah akta hibah diduga palsu, yang dilakukan oleh MS. Menurutnya, salah satu akta hibah itu diterbitkan pada bidang tanah yang ada di Kelurahan Kilasah seluas 7.487 meter persegi.
Syamsudin mengatakan, persoalan itu terjadi memang karena adanya ketidakakuran antar keluarga. Ditambah, MS merupakan mantan Kepala Desa, sehingga memahami terkait dengan administrasi pertanahan.
“Yang tua (MS) memang mantan lurah. Dia bisa otak-atik, dibuat lah hibah, hibah, hibah. Mereka tidak akur, malah sempat marah-marah kepada saya karena saya pernah memproses salah satu penjualan tanahnya. Kenapa saya proses, karena ketika dicek di BPN pun tanahnya terdaftar atas nama MS, terlepas bagaimana itu bisa teregister,” jelasnya.
Bukan hanya terjadi di Kota Serang saja persoalan dugaan mafia tanah, hal itu juga terjadi di Kabupaten Lebak. Bahkan, masyarakat yang merasa menjadi korban praktik mafia tanah itu, sampai melakukan aksi unjuk rasa di depan Mabes Polri, guna meminta kejelasan atas permasalahan yang sebelumnya telah dilaporkan itu.
Adalah warga Desa Jayasari Kecamatan Cimarga, yang diduga menjadi korban mafia tanah. Dipimpin oleh Harda Belly, puluhan masyarakat desa tersebut mendatangi Mabes Polri, bahkan sampai menginap di sana. Perjuangan mereka pun membuahkan hasil.
Aktivis Pemuda Pejuang Keadilan (PPK), Harda Belly, saat dikonfirmasi BANPOS mengatakan bahwa kasus mafia tanah yang ada di Desa Jayasari, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak telah naik ke tahapan penyidikan.
Bahkan, lanjutnya, pada saat aksi yang dilakukan oleh puluhan masyarakat di depan Mabes Polri beberapa waktu silam, pihak Bareskrim Polri menyatakan akan segera menetapkan tersangka pada kasus tersebut.
“Iya kami semua percaya dengan petugas Kepolisian di bawah kepemimpinan Kapolri pak Listyo Sigit Prabowo, yang akan memberantas segala bentuk mafia tanah,” kata Harda kepada BANPOS, Kamis (24/8).
Ia menjelaskan, selain penyerobotan rumah masyarakat, permasalahan tersebut juga berdampak pada lingkungan seperti lahan milik warga setempat.
Harda menegaskan, terdapat banyak pihak yang ikut andil dalam penyerobotan lahan tersebut. Menurut informasi yang ia dapatkan, pasca aksi demonstrasi beberapa hari lalu, terdapat sebagian warga yang menerima kembali sertifikat tanahnya.
“Tentunya ini menjadi tanda tanya besar. Ya, saya sekali lagi yakin, tidak ada yang kebal hukum, kami (PPK) akan terus mengawal kasus ini,” tegasnya.
Berdasarkan informasi yang didapat BANPOS, modus operandi yang dilakukan oleh mafia tanah di Desa Jayasari, tak berbeda dengan yang dilakukan di Kecamatan Kasemen, yakni menguasai secara ilegal sertifikat tanah milik masyarakat. Sertifikat itulah yang akhirnya diperdagangkan hingga menimbulkan peristiwa penyerobotan tanah milik warga.
Aksi yang dilangsungkan oleh puluhan warga Desa Jayasari di depan Mabes Polri, sempat ‘dilawan’ oleh aksi yang dilakukan oleh warga Desa Jayasari lainnya. Namun, aksi tersebut justru menyoroti terkait dengan dukungan terhadap investasi yang dilakukan oleh eks Bupati Lebak, Mulyadi Jayabaya, di sana. Aksi tandingan itu tidak membicarakan terkait dengan dugaan penyerobotan lahan.
“Alhamdulillah, sejak adanya galian pasir milik Pak JB (Mulyadi Jayabaya) di sini, jalan menuju Jayasari dari Rangkasbitung, yang dulunya sulit dilalui kendaraan kini sudah dibeton. Begitu juga warga yang belum teraliri listrik kini diberi listrik gratis,” ungkap Masri, warga Kampung Sari Mulya, Desa Jayasari, dalam aksi itu, dilansir dari RM.ID.
Di tempat yang sama, Arwan dari Forum Solidaritas Jayasari mengatakan, kelompok masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi Jakarta menuntut berbagai hal. Karena minimnya informasi yang diterima warga, sehingga banyak warga yang terprovokasi dan tidak tahu masalah ikut berdemonstrasi.
“Warga salah menerima informasi tanpa melakukan tabayyun, sehingga sulit dipertanggungjawabkan sebagai sebuah fakta. Akibat dari dentuman informasi tersebut, membuat masyarakat Jayasari telah dipolarisasi,” ucapnya.
Menurut Arwan, warga Jayasari yang tanahnya terkena pembebasan lahan galian pasir, baik yang sudah memiliki sertifikat maupun tanah Garapan, telah mendapatkan keadilan dalam bentuk pembayaran yang tuntas. Forum Solidaritas Jayasari pun merasa perlu melakukan menyampaikan hal ini tidak lagi terjadi kesalahpahaman.
“Kami berhimpun dalam bentuk klarifikasi atas tuduhan yang didengungkan, karena sesungguhnya kami hanya butuh ketenangan,” tandasnya.
Harda Belly mengaku enggan merespon pemberitaan tersebut. Namun yang pasti, dirinya bersama warga yang menggelar unjuk rasa di depan Mabes Polri, mengaku puas dengan jawaban dari pihak Kepolisian. (MYU/MUF/DZH)
LEBAK, BANPOS – Program Kapolri, Jendral Listyo Sigit Prabowo, dalam menuntaskan permasalahan mafia tanah di Indonesia mendapatkan dukungan dari aktivis Lebak. Apalagi jika Kapolri dapat berfokus juga pada persoalan mafia tanah yang ada di Lebak.
Hal itu disampaikan oleh Perkumpulan Pemuda Pejuang Keadilan (PPK), Harda Belly. Ia mengaku bahwa pihaknya sangat mengapresiasi, atas ketegasan Kapolri tersebut. Menurutnya, dengan program Presisi maka mafia tanah yang selama ini sudah merugikan masyarakat akan dituntaskan.
“Kami percaya dengan Pak Sigit, ketegasannya untuk memberantas mafia tanah harus didukung,” kata Harda dalam keterangannya, Minggu (9/7).
Harda berharap, peristiwa perampasan tanah masyarakat yang terjadi di Desa Jayasari, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak yang diduga dilakukan oleh eks Bupati Jayabaya, mendapat atensi dari aparat Kepolisian untuk diusut dan dituntaskan.
“Dengan perintah yang disampaikan Kapolri itu maka aparat kepolisian harus segera turun ke Desa Jayasari. Di sana ada tanah warga diduga dirampas oleh mantan Bupati Lebak yaitu Jayabaya. Hak warga harus dikembalikan karena mereka tidak tahu lagi kemana harus melapor kecuali kepada aparat penegak hukum,” tuturnya.
Ia mengatakan, warga yang merasa telah dirampas tanahnya, melalui kuasa hukum sudah melaporkan kejadian itu ke pihak Kepolisian.
“Sekarang tinggal menunggu tindak lanjut dari penanganan oleh Polisi, karena warga sudah melapor ke Polres, Polda bahkan ke Mabes Polri,” jelasnya.
Terakhir, Harda memastikan akan mengawal permasalahan ini sampai tuntas. Terlebih salah satu warga yang menjadi korban merupakan keluarganya.
“Kami akan bantu masyarakat untuk lawan siapapun itu. Selama mafia tanah yang telah merampas hak warga Desa Jayasari belum memberikan hak warga, maka peristiwa ini harus terus disuarakan hingga Kapolri bisa mendengar langsung dan menindak tegas,” tandasnya.
Bahkan ia mengaku akan mengajak seluruh teman-teman OKP di pusat untuk ikut mengawal perjuangan masyarakat Desa Jayasari Kecamatan Cimarga Lebak untuk sama-sama berjuang untuk menuntut keadilan. (MYU/DZH)