Tag: Dewan Pers

  • MK Tolak Gugatan Seorang Warga Banten Soal UU Pers

    MK Tolak Gugatan Seorang Warga Banten Soal UU Pers

    JAKARTA, BANPOS – Gugatan terhadap salah satu frasa pada Pasal 15 ayat (2) huruf (d) Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers atau UU Pers, ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, tidak ditemukan inkonstitusionalitas dalam frasa tersebut, sebagaimana yang diajukan oleh pemohon uji materiil.

    Untuk diketahui, gugatan terhadap UU Pers tersebut dilakukan oleh salah satu warga Banten, Moch Ojat Sudrajat, dengan nomor perkara 13/PUU-XXI/2023. Adapun frasa yang dimohon untuk dilakukan uji materiil yakni ‘kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers’ terkait dengan kewenangan Dewan Pers.

    Berdasarkan amar putusan yang BANPOS unduh melalui situs resmi Mahkamah Konstitusi, tertulis beberapa alasan Ojat melakukan gugatan tersebut. Salah satunya yakni tidak dapat dilaporkannya Perusahaan Pers kepada pihak Kepolisian, atas pemberitaan yang telah diterbitkan.

    Padahal menurut Ojat, Perusahaan Pers tersebut diduga telah melakukan pemberitaan hoaks karena menggunakan data palsu. Salah satu yang disebutkan oleh Ojat dalam permohonan uji materiil tersebut yakni Banten Pos, dalam pemberitaan terkait dengan dugaan honorer siluman.

    Baca Juga: HAK KOREKSI: DATA HONORER SILUMAN DI SMAN 2 PANDEGLANG DAN SMKN 2 KOTA SERANG TIDAK VALID

    Namun, dugaan pelanggaran delik pers tersebut tidak dapat dilaporkan kepada pihak Kepolisian, karena pihak Kepolisian menganggap permasalahan karya jurnalistik harus diselesaikan melalui Dewan Pers terlebih dahulu.

    Alasan lainnya, Ojat berpendapat bahwa pers yang dapat diselesaikan permasalahannya melalui Dewan Pers, hanyalah perusahaan pers yang telah terdaftar di Dewan Pers saja. Semenara pers yang tidak terdaftar di Dewan Pers, tidak perlu penyelesaian melalui Dewan Pers.

    Menurut Ojat, hal itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 J ayat (2), sehingga ia menilai norma Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Pers dianggap dapat dinyatakan inkonstitusional.

    Adapun salah satu petitum yang dimohonkan oleh Ojat yakni:

    Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 167 [Sic!], Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3887) terhadap Frasa: “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai semua pemberitaan pers termasuk yang mengandung delik pers dan dilakukan oleh perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers

    Atas hal tersebut, menilai atas dalil yang diajukan oleh Ojat, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa petitum yang diajukan oleh Ojat, justru bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945. Sebab, hal itu akan membatasi kebebasan pers hanya kepada perusahaan pers yang terdaftar di Dewan Pers.

    Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa argumentasi yang disampaikan oleh Ojat keliru, karena memahami norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers secara parsial atau tidak utuh. Sebab, persoalan perusahaan pers telah diatur pada Pasal 1 angka 2 UU Pers yang berbunyi:

    Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi

    “Dengan demikian, yang dimaksud dengan perusahaan pers sudah secara jelas diuraikan dalam Ketentuan Umum UU 40/1999. Lebih lanjut, menjadi fungsi Dewan Pers untuk mendata perusahaan pers dimaksud,” ucap Hakim Konstitusi, Manahan MP Sitompul, sebagaimana keterangan tertulis yang terdapat pada situs MKRI.ID.

    Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers tidak terdapat pertentangan UUD 1945. Dengan demikian, MK memutuskan permohonan Ojat tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

    “Menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Anwar Usman, dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya saat membacakan amar putusan. (DZH)

  • Dewan Pers Komitmen Lindungi Pers Mahasiswa, Simak Apa Saja Syaratnya

    Dewan Pers Komitmen Lindungi Pers Mahasiswa, Simak Apa Saja Syaratnya

    SURABAYA, BANPOS – Dewan Pers berkomitmen melindungi pers mahasiswa jika mereka terjerat kasus hukum, meski belum ada aturan yang spesifik. Tentu, perlindungan Dewan Pers ini disertai catatan, yakni hanya untuk produk pers mahasiswa yang sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik.

    “Sepanjang karya teman-teman pers mahasiswa sesuai dengan kaidah Kode Etik Jurnalistik, Dewan Pers akan siap memberikan perlindungan,” ungkap Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Yadi Hendriana, dalam Coaching Clinic pers mahasiswa se-Surabaya di Hotel Santika Premier, Surabaya pada Rabu (8/3), yang diselenggarakan oleh Dewan Pers.

    Yadi kemudian memberikan contoh kasus perselisihan antara pers mahasiswa dan kampus di Ternate, Maluku Utara, beberapa waktu lalu. Ia menjelaskan, Pers mahasiswa di sebuah kampus di kota tersebut diadukan ke polisi oleh pihak kampusnya sendiri. Dewan Pers kemudian diminta sebagai saksi ahli untuk memberikan pandangan, apakah produk pers mahasiswa itu produk pers atau bukan.

    “Kami melihat produk yang dihasilkan pers mahasiswa itu bisa disebut produk pers, karena mereka bekerja sesuai Kode Etik Jurnalistik,” jelasnya.

    Ia juga menyampaikan, kasus serupa pernah terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Dewan Pers selalu melindungi pers mahasiswa, asalkan produk yang menjadi polemik sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik.

    “Konten pemberitaan yang dimuat harus sesuai Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers. Harus ada verifikasi, konfirmasi, dan sesuai fakta,” tuturnya.

    Selain konten dan berita, Yadi juga mengingatkan para peserta coaching clinic untuk menegakkan self regulation sebelum mengunggah info di media sosial.

    “Sebelum meng-upload info ke media sosial, kita harus paham dampaknya. Apa dampak untuk saya, keluarga, maupun masyarakat?” ucapnya.

    Sementara itu, Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi Dewan Pers, Asmono Wikan, yang juga menjadi coach pada kegiatan tersebut, memfokuskan pandangannya tentang manajemen pers. Asmono menyebutkan, ada 6 tantangan yang dihadapi pers mahasiswa saat ini, yaitu masalah organisasi, personalia, manajemen, pasar, kreativitas, dan digitalisasi.

    Di era digital, ia mendorong pers mahasiswa untuk mendayagunakan platform digital yang tersedia seperti web dan media sosial.

    “Pers mahasiswa juga dapat meliterasi gaya hidup digital di kalangan mahasiswa, serta menjadi “clearing house” informasi-informasi yang tidak akurat, hoax, dan fake news,” tuturnya.

    Diakhir ia mengatakan, salah satu kelemahan pers mahasiswa adalah di bidang manajemen. Menurutnya, agar pers mahasiswa lebih baik, para pengelolanya harus mampu mengelola dengan benar, dimulai dari merencanakan liputan dengan baik, sistematis, dan terstruktur hingga memahami kebutuhan pembacanya.

    Usai mendengarkan pandangan para coach, 50 peserta coaching clinic dari 25 lembaga pers mahasiswa di Surabaya, diajak simulasi merencanakan liputan dengan baik secara berkelompok. (MUF)

  • Dewan Pers Goes to Campus, Sampaikan Pentingnya Etika Sebelum Terampil Berjurnalisme

    Dewan Pers Goes to Campus, Sampaikan Pentingnya Etika Sebelum Terampil Berjurnalisme

    SURABAYA, BANPOS – Tanggung jawab saat membuat berita merupakan hal yang penting bagi seorang jurnalis. Dengan bertanggung jawab penuh, seorang jurnalis tentu telah memikirkan dampak berita yang dibuatnya memberikan manfaat atau justru sebaliknya.

    Demikian disampaikan Wakil Ketua Dewan Pers, Muhamad Agung Dharmajaya, dalam talk show ‘Kemerdekaan Pers, Jurnalisme Warga, dan Peran Media Sosial’ yang digelar oleh Dewan Pers bekerja sama dengan Universitas Airlangga (Unair), di Surabaya pada Rabu (8/3). Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian program Dewan Pers Goes to Campus, yang bertujuan untuk menyemai bibit-bibit jurnalisme berkualitas di kalangan mahasiswa.

    “Pastikan produk pemberitaan yang dihasilkan dipahami dengan rasa tanggung jawab,” ujar Agung.

    Di hadapan 150 mahasiswa Unair dari berbagai fakultas yang mengikuti talk-show, Agung pun mencontohkan kasus kekerasan pada anak di bawah umur yang menghebohkan media belakangan ini. Kata dia, semua media seragam memberitakan kasus tersebut, namun ada sejumlah media yang mengambil angle berita tanpa klarifikasi.

    “Wartawan tidak boleh menulis berita hanya berdasarkan asumsi. Selain tanggung jawab, etika juga menjadi hal paling mendasar dalam praktik jurnalistik. Bahkan, sebelum belajar keterampilan menulis dan membuat konten jurnalistik, seorang jurnalis harus terlebih dahulu mempelajari etika,” tegasnya.

    Sementara itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Eben Haezer yang juga menjadi narasumber talk-show itu menyampaikan bahwa keterampilan dan kemampuan jurnalistik bisa dikembangkan, karena ilmu serta teknologi berubah setiap saat. Namun, dasar jurnalistik itu adalah etika.

    “Ekosistem pers yang merdeka membuat publik semakin kritis terhadap media massa. Mereka tidak akan segan-segan mengecam berita-berita yang tidak sesuai Kode Etik Jurnalistik, bahkan melakukan doxing pada penulis berita tersebut,” ujarnya.

    Menurut Eben, selalu ada tantangan dan tanggung jawab bagi insan pers, termasuk pers mahasiswa, untuk menghadirkan pers yang berkualitas. Sehingga, publik bisa tahu di mana mereka dapat mencari dan mendapatkan info yang tepat.

    “Pers merupakan kepanjangan tangan publik, yang berusaha memenuhi rasa keingintahuan publik. Sementara pers mahasiswa merupakan kepanjangan tangan publik kampus, yaitu mahasiswa, ketika mahasiswa tidak bisa mengakses kebijakan-kebijakan kampus, mereka bisa menggunakan pers mahasiswa,” tandasnya.

    Sementara itu, Dosen Komunikasi FISIP Unair, Suko Widodo, menyampaikan tentang perubahan khalayak yang memengaruhi konsumsi media di era digital. Menurutnya, media sosial telah menjadi rujukan utama anak muda dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk mengonsumsi berita.

    “Mahasiswa membaca berita bukan dengan membuka website media daring, melainkan berdasarkan info di media sosial maupun dari teman-teman mereka. Tak heran jika kemudian, anak-anak muda tidak lagi menjadikan kredibilitas pers sebagai pertimbangan karena mereka lebih fokus pada kredibilitas informasi,” ujarnya.

    Selain itu, kata dia, muncul pula reversed agenda setting. Hal-hal yang ramai dan menjadi trending topik di media sosial akan menjadi berita di media yang kian mengamplifikasi topik tersebut.

    “Oleh karena itu, pekerjaan rumah pers saat ini ada tiga. Pertama, mengedukasi publik. Kedua, menguatkan branding pers sebagai sumber kredibel. Ketiga, hijrah digital seutuhnya dengan produk yang customized, serta membangun interaksi dan engagement dengan audiens,” jelasnya.

    Pegiat media sosial, Anelies Praramadhani, yang juga berkesempatan menjadi narasumber, menyebutkan bahwa profesinya sebagai seorang content creator tetap membutuhkan tanggung jawab dan kesadaran penuh dalam beretika jurnalistik. Sebagai mantan jurnalis, ia paham betul dengan masalah etika dan tanggung jawab jurnalistik, tak heran jika sebelum membuat dan membagikan konten di media sosial, ia memikirkan betul dampak dan manfaat yang bisa ditimbulkan dari konten-konten tersebut.

    “Sebagai content creator, saya tak pernah lupa merujuk pada jurnal maupun sumber-sumber kredibel saat membuat konten,” tandasnya. (MUF)

  • Dewan Pers Minta Media Perhatikan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak

    Dewan Pers Minta Media Perhatikan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak

    JAKARTA, BANPOS – Dewan Pers menyampaikan Siaran Pers No.10/SP/DP/III/2023 berkaitan dengan penggunaan pedoman pemberitaan ramah anak. Hal ini merupakan buntut dari pemberitaan tentang kasus penganiayaan oleh tersangka MD (20 tahun) dan SL (19 tahun) masih menjadi perhatian utama media massa.

    Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, kasus ini melibatkan dua anak, satu anak menjadi korban yaitu DO, 17 tahun dan satunya lagi seorang anak perempuan AG, 15 tahun. Sebagai anak yang berkonflik dengan hukum, kini dalam penanganan LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial).

    “Sehubungan dengan hal itu, Dewan Pers menyerukan kepada semua media agar dalam melakukan pemberitaan kasus ini tetap berpegang pada Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak serta Kode Etik Jurnalistik (KEJ),” ujarnya dalam siaran Pers yang diterima BANPOS pada Sabtu (11/3).

    Dalam siaran pers tersebut, Dewan Pers mengingatkan kembali beberapa hal yang perlu menjadi perhatian media massa dalam memberitakan kasus hukum yang terkait anak adalah sebagai berikut.

    1. Wartawan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan, atau disebut sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak, khususnya yang diduga, disangka, dan didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.

    2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat diskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.

    3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya, seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orang tuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik, dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.

    4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi anak.

    5. Selain itu, berdasarkan Pasal 3 KEJ, dalam pemberitaan terkait tindak pidana, wartawan agar menerapkan asas praduga tidak bersalah, yaitu prinsip tidak menghakimi seseorang sebagai bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

    “Demikian siaran pers ini kami sampaikan. Terima kasih atas perhatian rekan-rekan pers,” tandasnya mengakhiri Siaran Pers. (MUF)

  • 97 Persen Pengaduan Pers Didominasi Media Online

    97 Persen Pengaduan Pers Didominasi Media Online

    SERANG, BANPOS – Pengaduan Pers yang masuk ke Dewan Pers sepanjang tahun 2022 mencapai 691 kasus. Jumlah tersebut meningkat sedikit dari tahun 2021 yang sebanyak 621, dan sebanyak 97 persen aduan yang masuk ke Dewan Pers tersebut terkait dengan sengketa pemberitaan, berasal dari media digital atau media online.

    Demikian diungkapkan oleh Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers pada Dewan Pers, Yadi Hendriana, dalam konferensi pers ‘Dewan Pers Menyapa’ pada Selasa (17/1).

    Yadi menjelaskan, pihaknya menyoroti bahwa saat ini merupakan era disrupsi, sehingga media online merupakan media yang dapat dengan cepat menjangkau banyak orang, atau borderless. Bersasarkan jenis pelanggarannya, salah satunya adalah verifikasi.

    “Berapa persen? Hampir 97 persen yang dilakukan oleh media online. Artinya apa? Artinya kita harus berbenah,” ujarnya.

    Menurutnya, beberapa media yang dilaporkan adalah tidak melakukan verifikasi. Meskipun demikian, untuk tingkat penyelesaian kasus atau sengketa pada tahun 2022 mencapai sekitar 96 persen atau di atas 631 kasus yang sudah diselesaikan.

    “Karena ilmu yang paling dalam dan harus dilakukan oleh pers adalah dalam setiap karyanya adalah verifikasi, verifikasi, dan verifikasi. Tapi untuk penyelesaian sengketa sudah sekitar 96 persen atau 631 kasus,” jelasnya.

    Selain pelanggaran verifikasi, jenis pelanggaran media online kedua yang yang dilaporkan yaitu adanya berita yang sifatnya hoaks dan fitnah. Maka, Yadi menegaskan bahwa Dewan Pers tidak menganggap berita hoaks dan fitnah adalah karya pers.

    “Itu justru adalah karya yang merusak pers. Jadi kami dari Komisi Pengaduan dan Dewan Pers menekankan kepada rekan-rekan semua, mengajak mari kita benahi konten kita sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers,” terangnya.

    Pada. kesempatan tersebut, Yadi menyampaikan bahwa Undang-undang (UU) Pers merupakan UU yang keberadaannya menjadi payung hukum bagi pers yang profesional, bukan pers yang hanya menumpang kemerdekaan pers. Tak hanya itu, ada juga karya jurnalistik yang dilaporkan dan diduga melanggar yaitu karya jurnalistik yang melakukan provokasi seksual.

    “Banyak sekali media online yang melakukan provokasi seksual. Ini kami kategorikan bukan karya pers,” tegasnya.

    Yadi mengaku, pihaknya menemukan beberapa kesalahan dan dianggap sebagai kelainan produk pers pada konten provokasi seksual. Maka, pihaknya tidak menganggap konten itu sebagai karya jurnalistik, karena berdampak buruk terhadap masyarakat.

    “Dewan Pers dalam menghadapi karya jurnalistik bersifat ‘provokasi seksual’, kami tidak menunggu aduan. Tetapi kami langsung melakukan pemanggilan dan langsung kami minta take down,” ucapnya.

    Ia menegaskan kepada awak media yang masih memiliki konten bernuansa provokasi seksual, untuk segera dihapuskan. Yadi pun meminta kepada awak media untuk bisa membuat konten-konten yang dapat menginspirasi publik, menjelang Pemilu 2024.

    “Kami meminta kepada seluruh awak media, untuk bisa membuat konten-konten yanh dapat menginspirasi publik jelang Pemilu 2024,” tandasnya. (MUF)