SERANG, BANPOS – Masa pandemi Covid-19 tidak boleh dijadikan alasan pengusaha tidak memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada karyawannya. Namun demikian pemerintah memberikan keringanan seperti pemberian THR ditunda, cicil atau dicampur dengan barang.
Diketahui, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HI/00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan 2020 di Perusahaan Dalam Masa Pandemi Covid-19. Terdapat empat poin utama dalam surat tersebut. Pertama, gubernur harus memastikan perusahaan agar membayar THR keagamaan kepada seluruh pekerja atau buruh sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada poin ke dua, jika perusahaan merasa keberatan membayar THR, pertama, bagi perusahaan yang tidak mampu membayar THR secara penuh pada waktu yang ditentukan bisa dilakukan secara bertahap. Kedua, bagi yang tidak mampu juga pembayaran THR dapat dilakukan penundaan sampai jangka waktu yang telah disepakati. Lalu yang ketiga adalah soal waktu dan cara pengenaan denda keterlambatan pembayaran THR.
Selanjut poin tiga, jika perusahaan mengambil kebijakan di poin dua maka perusahaan wajib melaporkannya ke dinas terkait. Poin terakhir, kesepakatan adanya waktu dan cara pembayaran THR keagamaan dan denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayarnya. Denda kepada buruh atau pekerja dibayarkan di 2020.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Banten Al Hamidi, Senin (11/5) membenarkan, SE Menaker terkait pembayaran THR telah ditertibkan. Inti dari surat itu tetap mewajibkan perusahaan untuk membayarkan THR pekerja atau buruh.
“Kalau perusahaan melanggar ditindak, kalau nggak ya nggak usah ditindak,” katanya.
Ia menjelaskan, jika memang perusahaan merasa keberatan maka mereka diberi keringanan dalam metode pembayarannya. Misalnya, perusahaan bisa mencicil proses pembayaran dengan syarat ada kesepakatan terlebih dahulu dengan serikat pekerja atau buruh.
Begitu juga dengan pemberian THR yang dicampur dengan barang, hal itu diperkenankan. Syaratnya, nilai barang menjadi pengganti tidak boleh lebih dari 25 persen THR yang diterima pekerja atau buruh. Pun demikian dengan aturan lain, pengusaha bisa mengikuti aturan dari SE Menaker yang telah diterbitkan.
“Boleh lah kalau dari surat ketentuan Kementerian Ketenagakerjaan. Tetapi harus disepakati, dilaporkan ke kita. Berapa kali (pembayaran kalau dicicil) yang penting dia sepakat dulu. Kesepakatan itu dilaporkan ke kita supaya bisa terpantau,” katanya.
Untuk memantaunya, kata dia, pihaknya dalam waktu dekat akan membangun posko pengaduan THR di Kantor Disnakertrans Banten. Hal yang sama juga telah diinstruksikan kepada dinas terkait di tingkat kabupaten/kota.
“Kalau yang tidak ngadu ya kita tidak ini yah, kita anggap sudah membayar. Bilamana perusahaan mengalami kesulitan atau apapun itu juga harus ngadu. Yang tidak ngadu berarti normal sesuai dengan surat edaran,” ungkapnya.
Masih dikatakan Al Hamidi, posko perlu dibangun sebagai bentuk pengawasan pemerintah terhadap kewajiban perusahaan. Pasalnya, dikhawatirkan jika kesepakatan yang terjalin secara bipartit antara pengusaha dan pekerja tidak berjalan tanpa pengawasan dari pihak ketiga atau pemerintah.
“Dikhawatirkan kesepakatan itu tidak menjadi aturan atau ketentuan bagi mereka,” imbuhnya.
Disinggung apakah hingga saat ini sudah ada pekerja atau perusahaan yang mengadu, Al Hamidi mengaku belum mendapat laporan. Sebab, dalam ketentuannya THR wajib dibayarkan maksimal tujuh hari menjelang hari raya keagamaan.
“Kalau biasanya, bukan 14 hari sebelum hari raya pengaduan itu tapi setelah tujuh hari menjelang itu (hari raya, red). Musyawarah kalau tidak mencapai mufakat biasanya mengadukan. Kalau sekarang kan belum ada kewajiban membayarkan, belum tujuh hari. Biasanya timbul masalah setelah tujuh hari itu,” pungkasnya.(RUS/ENK)