SERANG, BANPOS- Kepemimpinan Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Banten Ati Pramudji Hastuti disebut tidak baik. Hal ini disebabkan, hasil dari audit tujuan tertentu (ATT) oleh tim pemeriksa dari Inspektorat terkait pengelolaan anggaran Covid-19 tahun 2020 lalu menemukan banyak kejanggalan, diantaranya adalah penggelembungan harga (mark up).
Selain itu, persoalan mundurnya para pejabat Dinas Kesehatan Banten juga dianggap menjadi indikasi tidak baiknya manajemen yang diterapkan oleh Kadinkes Banten.
Direktur Eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP), Uday Suhada, mempertanyakan kualitas Ati sebagai pejabat eselon II dan tim pansel lelang jabatan pada saat proses pemilihan Kadinkes beberapa tahun lalu. Pasalnya, banyak temuan yang berindikasi kerugian negara.
“Kepala dinas (Ati Pramudji Hastuti) semestinya bicara soal banyaknya temuan di lingkungan Dinkes ini. Apalagi dana Covid-19 itu banyak difokuskan di Dinkes. Dan saya sangat meragukan sekali komitmen dan kualitas kepala dinas kesehatan, kenapa masih banyak temuan-temuan kerugian negara pada anggaran Covid-19, walaupun secara keseluruhan sudah diselesaikan,” kata Uday.
Pihaknya juga menduga ada yang tidak beres dalam kepemimpinan Ati Pramudji Hastuti nenginggat sebelumnya belasan pejabat di Dinkes ramai-ramai mengundurkan diri, dan berujung pada sejumlah pejabat dipecat sebagai aparatur sipil negara (ASN).
“Hasil evaluasi ini menunjukkan betapa bobroknya iklim di Dinkes. Manajemen pengelolaan keuangan begitu amburadul. Preseden buruk mundurnya sebagian besar pejabat di lingkungan Dinkes beberapa waktu yang lalu adalah cermin buruknya kepemimpinan Kadis. Itu adalah reaksi atas kasus pengadaan masker yang terendus Kejati. Mereka ketakutan menjadi korban kebijakan,” kata Uday.
Untuk diketahui, anggaran Covid-19 di Dinkes Banten pada tahun 2020 yang diambil dari Biaya Tak Terduga (BTT) sebesar Rp125 miliar, diduga terdapat penggelembungan anggaran pada setiap item kegiatan.
Sedikitnya ada 13 item yang menjadi temuan dalam anggaran Covid-19 di Dinkes Banten dari BTT tahun 2020 lalu.
Pertama, adalah dugaan korupsi harga masker N-95 yang diungkap Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten 2021 lalu, dan kasusnya kini dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Serang.
Selanjutnya adalah, pengadaan alat penanggulangan Covid-19, mulai dari baju cover all, sarung tangan steril, baju APD, sepatu boot, hingga kasur, honorarium dan upah lembur diduga juga dikorupsi.
Total BTT yang dicairkan senilai Rp 125 miliar lebih, terdiri BTT tahap I nilainya Rp 10 miliar lebih dan BTT Tahap 2 senilai Rp 115 miliar.
BTT tahap I seluruhnya digunakan untuk pengadaan alat kesehatan, sementara BTT tahap 2 digunakan untuk 16 item kegiatan
Secara rinci, temuan tersebut yakni, insentif dan honor tenaga kesehatan senilai Rp21,3 miliar, obat-obatan senilai Rp31,3 miliar, alat pelindung diri senilai Rp20,2 miliar, rapid test senilai Rp25 miliar, alat kesehatan senilai Rp7,040 miliar, tim posko pengendali Rp1,087 miliar, screening rapid test Rp92,5 juta, narasumber pusat Rp108 juta, honorarium tenaga ahli Rp57 juta, makanan dan minuman petugas dan pasien Rp5,7 miliar, sewa penginapan petugas Rp4,7 miliar, sewa kendaraan Rp4,5 juta, sewa tenda Rp 187 juta, desinfektan Rp 317 juta, perlengkapan kebersihan dan perlengkapan lainnya Rp 458,8 juta, alat dan bahan penunjang laboratorium Rp18,5 miliar.
Dalam kesimpulan hasil audit, tim memaparkan, hasil audit terhadap 80 kontrak dan swakelola 13 kegiatan senilai Rp 91,2 miliar yang dituangkan dalam Naskah Hasil Audit ditemukan 13 temuan.
Dihubungi melalui telepon genggamnya,Jumat pekan lalu, Sekretaris Inspektorat Banten, Nia Karmina Juliasih menjelaskan, anggaran Covid-19 tahun 2020 yang menjadi temuan berdasarkan ATT oleh tim auditor telah dikembalikan ke kas daerah.
“Semua temuan yang ada 13 item itu sudah diselesaikan. Dari temuan-temuan ATT itu, ada satu kasus memang yang belum selesai, dan sekarang dalam proses persidangan, kasus masker itu. Jadi kalau yang lain -lainnya tidak ada masalah,” kata Nia.
(RUS/PBN)