Tag: E-Katalog

  • Cara Kebut Berpotensi Fraud

    Cara Kebut Berpotensi Fraud

    METODE pengadaan e-purchasing menggunakan portal e-katalog diakui menjadi salah satu metode pengadaan yang tercepat sehingga pengadaan bisa dikebut. Selain sudah menggunakan sistem, transaksi pengadaan melalui e-katalog juga dapat dilakukan tanpa perlu bertatap muka.

    Kendati demikian, pengadaan barang dan jasa melalui e-katalog memiliki sejumlah celah yang dapat menjadi fraud atau kecurangan dalam pelaksanaannya. Sejumlah celah fraud tersebut dapat berpotensi merugikan keuangan negara.
    Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) berjudul ‘Pemetaan Potensi Kecurangan dalam Metode E-Purchasing pada Proses Pengadaan Barang/Jasa di Indonesia’, setidaknya terdapat sebanyak 8 potensi fraud yang muncul dalam pelaksanaan e-purchasing.

    Pertama, adanya persekongkolan antara penyedia di e-katalog dengan PP/PPK untuk pengaturan harga. Persekongkolan atau kongkalingkong tersebut terjadi karena adanya komunikasi antara pihak PP/PPK selaku pembuat paket pekerjaan, dengan pihak penyedia. Komunikasi tersebut untuk melakukan pengaturan harga, dengan maksud untuk memperkaya diri atau pihak penyedia.

    Kedua, PP/PPK tidak menggunakan fitur negosiasi harga yang ditawarkan e-katalog. Hal ini akan meningkatkan anggaran belanja, sehingga berpotensi menimbulkan pemborosan terhadap keuangan negara.

    Ketiga, adanya potensi kongkalingkong yang dilakukan oleh PP/PPK kepada pihak penyedia saat proses transaksi, dengan modus ‘biaya klik’ yang merupakan suap kepada PP/PPK. Modus tersebut juga sempat terjadi di Provinsi Banten, dalam kasus pengadaan komputer UNBK tahun 2018 pada Dindikbud Provinsi Banten.

    Sedangkan potensi fraud lainnya yakni tidak dilakukannya pemeriksaan terhadap barang yang dikirimkan oleh penyedia, yang mengakibatkan barang yang diterima dari pengadaan tersebut berpotensi tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati.

    Selanjutnya yakni dilakukannya penambahan ongkos kirim fiktif untuk dijadikan sebagai keuntungan pihak PP/PPK. Ongkos kirim fiktif tersebut seperti halnya biaya klik, dapat dikategorikan sebagai suap untuk PP/PPK.
    Cara lainnya yakni pengaturan ongkos kirim yang juga menjadi potensi kecurangan guna menguntungkan pihak PP/PPK, hingga pada pemilihan harga barang atau jasa yang termahal padahal terdapat harga yang lebih murah dengan spesifikasi yang diinginkan.

    Berdasarkan perbandingan yang dilakukan BANPOS pada dua mekanisme pengadaan barang dan jasa yakni SPSE dan e-katalog, setidaknya terdapat beberapa perbedaan yang mencolok. Pertama, terkait dengan keterbukaan pagu anggaran paket yang dibuat oleh pemerintah. Pada SPSE, pagu anggaran paket kegiatan dapat terlihat, sementara pada e-katalog tidak ditemukan laman yang memperlihatkan pagu anggaran paket kegiatan.

    Kedua, pihak penyedia yang mengerjakan paket kegiatan melalui e-katalog, tidak dapat terlihat oleh publik. Hal ini berbeda dengan SPSE yang memperlihatkan siapa penyedia yang mengerjakan paket kegiatan. Ketiga, alur pengadaan melalui SPSE dilakukan melalui mekanisme Pokja sehingga proses reviu, evaluasi hingga pemilihan penyedia cukup panjang. Sementara untuk e-katalog, PP/PPK memiliki kewenangan penuh untuk memilih penyedia.

    Plt Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa, Soerjo Soebiandono, mengatakan bahwa penggunaan e-katalog justru untuk menghindari potensi-potensi kecurangan. Sebab sistem tersebut berlangsung transparan, setiap transaksi pun tercatat. “Itu juga kan mempermudah proses, sebenarnya seperti itu,” ujarnya.

    Namun, Soerjo mengakui jika potensi kongkalingkong antara PP/PPK dengan pihak penyedia sebetulnya kembali kepada niat dari masing-masing pihak. Pihaknya tidak bisa mengatur sampai ke ranah tersebut, karena pihaknya hanya mempersiapkan wadahnya saja dalam bentuk etalase maupun pendampingan.

    “Itu sudah menjadi urusannya Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Aparat Penegak Hukum (APH). Tapi kan dengan e-katalog ini, dibuat transparan. Kalaupun mau seperti itu, nanti akan ketahuan. Awas saja itu. Semua kembali kepada niatnya. E-katalog itu kan tidak bisa disembunyikan, semua terekam dengan jelas,” jelasnya.

    Ia pun mengakui bahwa untuk pengadaan melalui e-katalog, masyarakat tidak dapat memantau prosesnya. Akan tetapi, proses dari pelaksanaan pengadaannya cepat, hal itulah yang menjadi kelebihan dari pengadaan melalui e-katalog.
    Plt Inspektur Provinsi Banten, Moch Tranggono, mengatakan bahwa meskipun PP/PPK memiliki kewenangan penuh terkait dengan pemilihan pihak penyedia, namun tetap ada aturan yang harus diikuti dalam penentuannya tersebut.

    “Itu semua kan ada prosedurnya. Jadi tidak serta merta bisa memilih A atau B. Nah tapi untuk mengantisipasi tadi, kami sudah meminta kepada mereka untuk melakukan identifikasi resiko. Salah satunya itu fraud,” ujarnya.

    Dari identifikasi tersebut, pihak OPD dapat melakukan antisipasi untuk menghindari terjadinya fraud. Sementara pihaknya, akan melakukan bimbingan kepada OPD untuk memastikan pengendalian pelaksanaan pengadaannya.

    “Meskipun memang untuk kepatuhannya itu kembali lagi kepada Kepala OPD. Nanti kita lihat, kita identifikasi. Ini kan masih dalam proses, cuma sedikit-sedikit sudah kami kerjakan,” ungkapnya.

    Untuk memastikan pelaksanaan penggunaan e-katalog berjalan sesuai dengan ketentuan, pihaknya pun akan menggelar kegiatan penyuluhan dan sosialisasi, agar para PP/PPK tidak terjebak dalam celah fraud yang berpotensi hukum.

    “Nanti ada penyuluhan, dan memang sebagian sudah kami lakukan penyuluhan dan sosialisasi yang dihadiri oleh pak Gubernur. Nanti akan kami kawal terus lah, supaya aman. Karena susah loh ini mempertahankan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP),” tandasnya.

    Direktur Eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP), Uday Suhada, mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan tender, metode e-purchasing lebih baik dari sisi efisiensi. Sehingga, penggunaan metode e-purchasing bisa dikatakan tepat.

    “Dari sisi efisiensi, metode e-purchasing lebih tepat. PP/PPK punya tanggung jawab besar. Tapi awas, dia harus mampu membuat hitungan yang terukur,” ujar Uday kepada BANPOS.

    Menurutnya, e-purchasing memberikan peluang bagi pengusaha lokal, untuk dapat berkembang dan meningkatkan taraf usahanya ke tingkatan yang lebih tinggi.

    “Metode e-purchasing akan memenuhi percepatan pengadaan barang dan jasa. Serta meningkatkan potensi-potensi pengusaha lokal,” tuturnya.

    Jika dibandingkan dengan metode tender, Uday menegaskan bahwa e-purchasing lebih baik. Pasalnya, tidak sedikit publik mendengar kekisruhan akibat adanya perebutan proyek kegiatan, di antara Pokja ULP.

    “Pola lama yang melalui tender, salah satu kuncinya ada di Pokja ULP. Kerap kita saksikan keramaian dalam memperebutkan proyek-proyek yang ada. Kalau soal potensi adanya intervensi dari tangan-tangan lain, di metode manapun tetap saja ada,” terangnya.

    Meski Uday lebih mendukung penggunaan e-purchasing, ia mengaku bahwa terdapat kekurangan. Kekurangan tersebut yakni pada pekerjaan tertentu seperti pondasi jembatan, tidak dapat menggunakan metode e-purchasing. Sebab, perlu ada perhitungan yang terukur dalam pengadaannya.

    “Tapi awas, e-katalog lokal itu harus siap-siap menghadapi pemeriksaaan BPK, yang bakal lebih ketat,” tegasnya. (DZH/ENK)

  • Gondok Karena E-Katalog

    Gondok Karena E-Katalog

    PEMERINTAH Provinsi (Pemprov) Banten berencana untuk meninggalkan metode pengadaan barang dan jasa melalui mekanisme tender menggunakan portal LPSE, dan mulai beralih ke metode e-purchasing melalui portal e-katalog. Transformasi metode pengadaan barang dan jasa tersebut, bahkan sampai pada pengadaan jasa konstruksi, yang pagu anggarannya mayoritas mencapai miliaran rupiah.

    Transformasi tersebut dilaksanakan sebagai upaya untuk mempercepat proses pemilihan penyedia, yang apabila menggunakan mekanisme tender membutuhkan minimal satu bulan lamanya, hingga penandatanganan kontrak kerja. Apabila menggunakan mekanisme e-purchasing, proses pemilihan penyedia dapat lebih sat set, karena proses yang ditempuh tidak sepanjang tender.

    Akan tetapi, transformasi yang hendak dilakukan oleh Pemprov Banten, bikin gondok pengusaha lokal. Mereka menolak kebijakan itu. Seperti yang disampaikan oleh Paguyuban Pengusaha Pribumi, F. Maulana Sastradijaya. Ia mengatakan bahwa pihaknya menentang kebijakan peralihan pengadaan jasa konstruksi, yang sebelumnya menggunakan mekanisme tender, menjadi mekanisme e-purchasing.

    Menurut Maulana, pihaknya menentang kebijakan tersebut lantaran dilakukan secara mendadak, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi para pelaku usaha konstruksi lokal, yang tidak terbiasa dengan mekanisme e-purchasing.

    Di sisi lain, pihaknya pun khawatir berubahnya metode pengadaan jasa konstruksi dari yang sebelumnya tender menjadi e-purchasing, dapat mengarah pada monopoli usaha jasa konstruksi, karena lebih mudah dikondisikan demi kepentingan pengusaha besar dan pemangku kebijakan.

    “Menurut kami, di daerah lain saja dan di portal Kementerian PUPR sendiri masih tidak harus dilakukan e-katalog di bidang jasa konstruksi, kenapa pemerintah Provinsi Banten seolah terkesan memaksakan mau melakukan sistem metode pemilihan yang belum dipersiapkan,” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima BANPOS.

    Ia mengatakan, hal itu diperparah dengan keluarnya Surat Edaran (SE) Nomor 027/1181-BPBJ/2023 tentang Afirmasi Belanja Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Kecil dan Koperasi melalui E-purchasing di Lingkungan Pemprov Banten, yang ditandatangani oleh Plh Sekda Provinsi Banten, Virgojanti.

    Maulana mengatakan, surat edaran itu disalahtafsirkan oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) bahwa pekerjaan konstruksi tidak akan mulai pemilihan penyedia, selain menggunakan e-katalog. Hal itu dapat dilihat dari minimnya pengadaan konstruksi pada portal LPSE.

    “Hal itu dikarenakan pelaku pengadaan barang jasa, baik pejabat pengadaan dan para pelaku usaha di lingkungan Provinsi Banten, masih kurang sosialisasi dan pemahaman untuk kesiapan dalam metode pemilihan e-katalog konstruksi,” ucapnya.

    Hal itu menurutnya, menjadi permasalahan tersendiri bagi pemerintah maupun pengusaha jasa konstruksi. Bahkan ia menuding kebingungan dunia usaha konstruksi di Provinsi Banten, terjadi akibat bablasnya Plh Sekda dalam memaknai kewenangan dirinya selaku Pelaksana Harian Sekda.

    “Ini bertentangan dengan Surat Edaran dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 1/SE/I/2021 Tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas. Di mana pada poin 3 sub poin (b) dijelaskan bahwa Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek penyelenggaraan negara,” ungkapnya.

    Kekacauan tersebut selain mengganggu arus kas para pengusaha, juga berdampak pada serapan anggaran yang rendah pada Pemprov Banten. Sebab, banyak proyek pembangunan fisik yang terhambat dan belum dilaksanakan, padahal sudah memasuki pertengahan tahun anggaran.

    Ia pun menegaskan bahwa apabila Pemprov Banten benar-benar ingin bertransformasi dari metode pengadaan tender menjadi e-purchasing, khususnya di bidang jasa konstruksi, seharusnya dilakukan secara perlahan sembari para pelaku usaha menyesuaikan diri dengan kebijakan tersebut.

    Penjabat Gubernur Banten, Al Muktabar, mengatakan bahwa penggunaan e-katalog dalam pengadaan barang dan jasa pemerintahan, merupakan arahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat melalui sejumlah peraturan. Tujuannya agar pemerintah daerah dapat memaksimalkan penggunaan e-katalog sebagai metode pengadaan barang dan jasa.
    “Ini dalam rangka kami membangun transparansi, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi. Kan tuntutan global, tuntutan nasional kuncinya itu,” ujarnya,

    Al Muktabar pun membantah bahwa penggunaan e-katalog untuk pengadaan jasa konstruksi, dapat mematikan para pengusaha lokal. Sebab, pelaksanaan e-katalog sendiri merupakan upaya untuk mengangkat derajat para pengusaha lokal.

    “Ada yang berpendapat dapat merugikan pihak tertentu. Ya tidak, orang judulnya aja katalog lokal kok. Harusnya kan kita yang meningkatkan kompetensi kita agar bisa masuk ke dalam etalase tersebut,” ungkap Al.
    Sementara itu, Plt Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa pada Setda Provinsi Banten, Soerjo Soebiandono, mengatakan bahwa transformasi yang dilakukan oleh Pemprov Banten dalam hal pengadaan barang dan jasa, termasuk jasa konstruksi, merupakan langkah untuk mengikuti imbauan dari Pemerintah Pusat untuk melakukan transformasi digital.

    “Jadi dalam Perka LKPP itu yang diutamakan adalah e-katalog lokal untuk menaikkan pengusaha lokal di sini. Jadi kami sekarang ada peralihan ke e-katalog lokal, dan instruksi pak Gubernur juga secara lisan, beliau menginginkan totally untuk menjadikan semua pembangunan fisik melalui e-katalog lokal. Biro Pengadaan Barang dan Jasa sudah siap untuk melakukan transformasi menggunakan e-katalog lokal,” ujarnya saat dikonfirmasi BANPOS.

    Ia mengatakan, dalam penggunaan e-katalog, tidak ada batas syarat pagu anggaran. Menurutnya, semua pengadaan barang dan jasa dapat dilakukan melalui e-katalog. “Tapi kan yang namanya peralihan itu pasti membutuhkan penyesuaian,” terangnya.

    Meski demikian, Soerjo mengaku jika tidak menutup kemungkinan pengadaan barang dan jasa nantinya tetap menggunakan metode tender melalui LPSE. Sebab, hal tersebut memiliki aturannya pula dalam pelaksanaannya.

    “Tapi kan pak Gubernur inginnya totally 100 persen menggunakan e-katalog. Ya kita menuju ke sana sih (tidak ada yang dilakukan menggunakan tender), tapi kan tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan. Dan kebijakan pusat kan memang akan mengalihkan semua ke elektronik,” katanya.

    Dinas PUPR Provinsi Banten menjadi salah satu OPD yang memiliki anggaran besar untuk pengadaan pekerjaan konstruksi. Saat ini, Dinas PUPR tengah menayangkan lima pekerjaan konstruksi pada situs LPSE Provinsi Banten, yang tahapannya masih pada ‘Pengumuman Pascakualifikasi’.

    Kepala Dinas PUPR Provinsi Banten, Arlan Marzan, mengatakan bahwa pihaknya akan mengikuti arahan kebijakan dari Pemerintah Pusat, untuk memaksimalkan penggunaan e-katalog, khususnya e-katalog lokal.

    “Karena itu merupakan kebijakan pusat. Termasuk untuk pekerjaan konstruksi itu masuk ke situ dalam Perpres 2018 disarankan melalui e-purchasing,” ujarnya saat ditemui di gedung Dinas PUPR Provinsi Banten.

    Menurut Arlan, memang untuk pengoptimalan pengadaan barang dan jasa, Dinas PUPR ke depannya akan menggunakan e-katalog sebagai metode pengadaan barang dan jasa, termasuk jasa konstruksi. Namun, pihaknya akan mencoba membuat standar-standar untuk bidang konstruksi.

    “Nanti kami juga akan berkoordinasi dengan LKPP, karena mungkin mereka ada template terkait dengan pekerjaan konstruksi yang bersifat standar. Sekarang kan sudah mulai tuh seperti bangunan sederhana, RiSHA tipe 36 sudah ada, lalu jalan yang sederhana sudah mulai e-katalog. Ke depan selama itu bisa distandarkan, kami upayakan untuk menggunakan e-katalog,” terangnya.

    Arlan menerangkan, dalam transisi menuju penggunaan metode e-purchasing sepenuhnya dalam pelaksanaan pengadaan jasa konstruksi, pasti akan menimbulkan gejolak. Sebab, perlu adanya penyesuaian bagi pihak penyedia maupun pemerintahan, dalam melaksanakannya. Hal itu juga pernah terjadi pada saat transisi lelang manual menjadi lelang sistem.

    “Arahan pak Gubernur juga untuk dilakukan pendampingan dari Kejaksaan, dari Kepolisian. Secepatnya kami akan laksanakan kebijakan ini, kemarin juga kami sudah melakukan sosialisasi dengan LKPP. Kami juga tidak mau lah bikin kebijakan tapi tidak memberikan waktu kepada penyedia untuk menyiapkan diri, nanti tidak fair itu,” ungkapnya.

    Keinginan untuk melakukan transformasi pengadaan barang dan jasa, khususnya di bidang konstruksi, menjadi mekanisme e-purchasing cukup signifikan mengganggu proses pembangunan fisik pada tahun 2023 ini. Beberapa OPD bahkan kesulitan untuk merealisasikan pekerjaan fisik, karena kebijakan tersebut.

    Seperti yang dialami oleh Dinas Pariwisata Provinsi Banten, untuk melakukan pembangunan destinasi wisata. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Banten, Al Hamidi, mengatakan pihaknya belum dapat melakukan realisasi dana hibah untuk pembangunan atau penataan destinasi wisata tahun 2023 karena masih menunggu e-katalog.

    “Realisasinya masih berproses, karena saat ini kita masih menunggu sistem e-katalog,” katanya usai melakukan Media Meeting di Kantor Dinas Pariwisata Provinsi Banten, Rabu (14/6).

    Al Hamidi mengatakan bahwa pada tahun 2023 ini, terdapat sebanyak 58 Destinasi Wisata yang akan mendapatkan hibah pembangunan. Dana hibah tersebut akan disalurkan melalui Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS).

    Menurut Al Hamidi, dana hibah yang akan disalurkan untuk destinasi wisata sebesar Rp10 miliar hingga Rp12 miliar. “Secara keseluruhan di tahun 2023 ini sekitar Rp10 miliar sampai Rp 12 miliar,” ujarnya.

    Meskipun penyaluran dana hibah dengan nilai miliaran rupiah itu masih menunggu sistem e-katalog, Al Hamidi menuturkan bahwa pihaknya telah menargetkan realisasi pembangunan itu paling lambat dilaksanakan pada 21 Juli 2023 mendatang.

    “Targetnya di bulan Juli, tanggal 21 Juli itu sudah paling telat kita sudah melaksanakan. Kalau yang lelang sudah mulai bergerak sekarang. Di tahun 2023 ini semua kabupaten kota mendapat bantuan, sehingga penyebaran kabupaten/kota itu sekarang merata, ada semua di kabupaten/kota. Titik-titik pembangunan objek wisata, baik wisata religi, wisata alam, wisata buatan dan juga wisata pantai,” ungkapnya. (MG-01/DZH)