Tag: GP Ansor

  • Akar Kekerasaan Mario Dandy

    Akar Kekerasaan Mario Dandy

    Oleh : Ahmad Nuri
    Ketua GP Ansor Banten.

    TADI malam baru saja penulis menengok Cristalino David Ozora Latumahina, korban kekerasaan keji yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo. Keadaan David alhamdulillah sudah membaik, ada tanda-tanda pemulihan meski tidak signifikan paling tidak perkembangannya membuat kita terus berharap berangsur-angsur pulih dengan perawatan dokter dan doa-doa semua.

    Penulis sendiri merasa terpanggil untuk memberikan suport, doa langsung ketempat dimana david di rawat, yang sebelumnya penulis telah menggerakan doa bersama lewat mujahadah dengan para ulama, santri dan pengurus NU, Ansor Banser Banten. Upaya ini sengaja dilakukan sebagai bentuk solidaritas organik sesama kader dan kemanusiaan untuk saling mendoakan sesama ketika ditimpa musibah termasuk musibah yang dialami oleh David yang merupakan putra dari sahabat saya, Jonathan Latumahina pengurus PP GP Ansor.

    Kejadian Kekerasan Mario ini, belakangan tengah menjadi sorotan berbagai media di Tanah Air. Video kekerasan yang memperlihatkan tindakan keji, brutal dan biadab Mario Dandy pun tersebar. Atas perbuatannya, Dandy telah ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat Pasal 76c Juncto Pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana maksimal 5 tahun subsider Pasal 351 Ayat 2 tentang Penganiayaan Berat dengan ancaman pidana maksimal 5 tahun.

    AKAR KEKERASAAN MARIO

    PELAKU kekerasan Mario Dandy, merupakan anak seorang pejabat di direktorat jendral pajak dibawah Kementerian Keuangan. Merasa sebagai anak pejabat yang bergelimang harta dan tahta bapaknya, Mario merasa bisa melakukan apa saja pada orang lain yang memiliki masalah dengan dirinya atau dengan kepentinganya di sekelilingnya termasuk soal remeh temeh bisikan perempuan.

    Dalam banyak kejadian biasanya akar kekerasan dimulai dengan hal yang perinsip dalam kehidupan seperti ideologi, agama, ekonomi dan politik tapi kejadian kekerasan mario ini berakar dari remeh temeh dan soal bisikin perempuan semata, Kejadian Kekerasaan medel Mario ini kalau kita mengutip Gus Ulil sangat relevan bahwa kekejian ini menurut Gus Ulil sangat mirip dengan analisa lama dari filosuf Hannah Arendt, yang pernah penulis bahwa fenomena “the Banality Of Evil,” tentang akar kejahatan yang berkar remeh temeh.

    Menurut Gus Ulil Maksud yang disebut Arendt adalah tindakan kejahatan yang di dorong bukan oleh motif yang akarnya dalam sekali [prinsip] seperti ideologi, agama, rasisme sentimen lain yang bersifat intens melainkan oleh motif motif yang remeh temeh itulah.

    Sungguh, Kekerasaan biadab Mario ini sangat mengagetkan publik dan hampir berdampak pada institusi dimana bapaknya bekerja. Instutusi negara kementrian keuangan yang mengurusi keuangan dan pajak harus goncang oleh kejadian kekerasan yang berakar remeh temeh Padahal akar kekerasaanya Mario bukan hal yang luar biasa menyangkut negara dan bangsa serta ideologi agama atau etnik yang kadang menyulut kekerasaan tersendiri. Tapi soal yang biasa anak muda tapi menjadi tidak biasa karena tindakanya diluar batas manusia, ini kebiadaban manusia sejenis Mario yang terbaiasa dengan kehidupan mewah dengan didikan ahlak dan adab yang minim sebagimana postingan hidupnya di medsos, hal ini bisa mengakibatkan dirinya merasa memiliki nyali besar karena bisa membeli apapun termasuk membeli hukum, terbukti dari pernyataan dirinya bahwa dia tidak takut akan dilaporkan pada aparat penegak hukum setelaah dia melakukan kekerasaan pada David

    SIKAP SABAR AYAH DAVID

    KETIKA penulis menjenguk David sambil memberikan suport moral pada ayah David (Jonathan Latumahina) yang merupakan pengurus Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), ada ketegaran dan kesabaran dengan telah memaafkan pelaku sembari menjelaskan bahwa proses hukum tetap berjalan.

    Kebesaran jiwa sang ayah sebagai seorang sahabat, saya kenal Jonathan atau yang akrab disapa “Jo” sebagai pribadi yang baik dan periang. Dirinya dikenal oleh orang disekitarnya sebagai orang yang tegas tetapi juga berhati lembut. Ia seorang yang memiliki kebesaran jiwa luar biasa. Bahkan ketika mendapati sang buah hati tidak sadarkan diri akibat mengalami tindakan kekerasan ia tetap memaafkannya tanpa perlu menunggu waktu lama.

    Penulis yang juga seorang ayah ini belum tentu mampu menghadapi situasi sulit dan menyat jiwa ini dengan perasaan sabar. Saya mungkin memerlukan waktu lama untuk menerima kenyataan tersebut alih-alih harus memaafkan pelaku dalam waktu singkat. Ini juga mungkin berlaku bagi Menteri agama yang juga Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Quomas (Gus Yaqut) tatkala menjenguk David di RS Mayapada Kuningan.
    Gus Yaqut tidak kuasa untuk menyembunyikan kepiluan dan sekaligus kemarahannya. Ia menyatakan dengan tegas bahwa “Anak kader, anaku juga”. Catat itu !!!.

    Luapan emosi dan kejengkelan juga ditumpahkan oleh para netizen Tanah Air yang menimpali Dandy sebagai seorang biadab, tidak berperikemanusiaan, serta gelar-gelar buruk lainnya. Netizen mengutuk keras tindakan keji yang dilakukan oleh Dandy dan menutut tindakan hukum yang sepadan.

    Semua umpatan dan luapan emosi yang diperlihatkan oleh berbagai pihak merupakan suatu ekspresi yang wajar. Tetapi sekali lagi apa yang diperlihatkan oleh Jo sama sekali berbeda. Ia membuat saya dan siapapun mau tidak mau akan berdecak kagum. Kata-katanya tatkala menerima permohonan maaf keluarga pelaku sungguh mencerminkan kebesar jiwa dari seorang manusia.

    “Keluarga pelaku datang minta maaf, saya maafkan. Saya hanya meniru anak saya yang sangat pemaaf.” Jo dengan santun kemudian menambahkan kalimatnya “Dan mohon maaf juga, proses hukum sudah bergulir”

    MENOLAK DAMAI PADA KEKERASAN

    KENDATI memaafkan, Jo tetap menggarisbawahi bahwa memaafkan tidak sama dengan mendiamkan. Dengan lain perkataan Jo menolak untuk berdamai pada kekerasaan. Penolakan untuk berdamai itu menurut penulis merupakan sikap yang tepat dan dilandasi dengan penuh kesadaran sebagai warga negara yang patuh dan taat teradap perlunya menjunjung penegakan hukum. Selain itu menurut penulis kata damai memang memiliki duduk definisi tersendiri. Damai bukanlah kita didholimi, di aniaya di tindas dengan kekerasa lalu kita diam saja.

    Damai juga bukan tanah kita dirampas lalu kita menyerahkannya pada si perampas. Damai adalah sikap saling mengerti dan saling memahami dengan penuh hormat satu sama lain. Damai adalah kesadaran untuk menghargai hak tiap-tiap individu ataupun kelompok dalam suatu lingkungan negara.

    Bila terdapat suatu kondisi dimana kedamaian terganggu atau dirusak, baik oleh seseorang atau sekelompok orang maka sebagai konsekuensinya negara perlu untuk hadir untuk menengahi, memproses, dan memberikan keadilan serta kepastian hukum bagi pihak-pihak terkait.Secara khusus, dalam hal ini segala tindakan kekerasan yang memunggungi nilai-nilai serta merusak perdamaian yang terjadi di negara merdeka jelas perlu diproses secara hukum.

    Tujuannya agar terdapat efek jera bagi pelaku serta siapapun yang terlibat aktif didalamnya. Selain itu, pelaku kejahatan perlu diingatkan bahwa penjahat bukan saja menghadapi atau berurusan dengan sang korban. Melainkan juga dengan negara sebagai penjamin tegaknya keadilan dan supremasi hukum. Terlebih kejahatan kekerasan atau lebih tepatnya kekejian yang dilakukan oleh Dandy ketika menganiaya David yang sudah tidak berdaya tersebut sangat sulit untuk dicerna oleh akal manusia yang siuman.

    TAK HABIS FIKIR
    Manusia dengan akal yang masih siuman tentu akan keheranan melihat perilaku Dandy yang sebenarnya sudah melampaui kata keji. Pukulan serta tendangan yang diarahkan terhadap bagian-bagian tubuh David yang sudah tak berdaya dan hanya melakukan “perlawanan alami” melalui reflek syarafnya tersebut begitu pilu dan sesak untuk dilihat. Keheranan kita tidak berhenti sampai disitu, Dandy juga tertangkap menirukan selebrasi layaknya megabintang sepakbola Cristiano Ronaldo saat berhasil menciptakan gol.

    Dandy bahkan tidak menampakan raut penyesalan ketika dirinya sudah berbalut baju orange sebagai tahanan Polres Metro Jakarta Selatan. Hal serupa juga diperlihatkan oleh sahabatnya yakni Shane sebagai perekam video kekerasan terhadap David. Shane yang juga sudah resmi berstatus tahanan ini tertangkap kamera tengah tertawa disalah satu ruang Polres Jaksel.
    Entah apa yang ada didalam benak mereka berdua. Bisa-bisanya mereka menampakan raut tanpa sesal seolah mereka lupa atas tindakan keji yang dilakukan terhadap David. Sebesar apa kesalahan David sehingga mereka seperti layak merayakan kekejian yang dilakukan seolah sebagai kemenangan. Setumpuk keheranan yang bisa melahirkan ratusan bahkan ribuan pertanyaan ini belum tentu memperoleh satu jawaban yang tepat.

    Keheranan dan tak habis fikir serupa juga nampaknya dirasakan oleh publik termasuk oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. Menkopolhukam menyatakan bahwa tindak kekerasan yang dilakukan oleh Dandy tersebut sebagai tindakan amat jahat. Tak lupa Menkopolhukam juga megajukan pertanyaan kepada awak media yang isinya ditujukan terhadap ayah pelaku. “Kalau perlu bapaknya dipanggil juga, kok bisa punya anak seperti ini”.

    Diluar semua respon yang membalut peristiwa memilukan yang dialami David, kita hanya bisa berharap yang terbaik bagi proses penegakan hukum dan terutama bagi kondisi kesehatan David sendiri. Kabar baiknya ialah bahwa sampai tulisan ini dibuat kondisi David berangsur-angsur mulai membaik dan kesadarannya meningkat.

    Semoga Allah yang maha penyembuh, mengkaruniakan kesembuhan terhadap David. Amin

  • Dengan Dakwah yang Ramah, BIN Berharap Ansor Banser Jadi Garda Terdepan Tangkal Gerakan Radikal

    Dengan Dakwah yang Ramah, BIN Berharap Ansor Banser Jadi Garda Terdepan Tangkal Gerakan Radikal

    SERANG, BANPOS – Jajaran Badan Intelejen Negara Daerah (Binda) Provinsi Banten bersama Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Banten sepakat menjalin komitmen bersama dalam meneguhkan komitmen kebangsaan. Binda juga mengajak Ansor Banser menjadi garda terdepan menangkal intoleransi dan radikalimse.

    Kesepahaman membangun komitmen bersama antara Binda Banten dan PW Ansor Banten berlangsung di Sekretariat PW Ansor, di Link Dalung, Kota Serang, Rabu (16/03).

    Kegiatan silaturahmi yang diisi komitmen kebangsaan ini dipimpin oleh Kepala Binda Banten, Brigjen Pol Hilman beserta jajaran yang diterima oleh ketua PW Ansor Banten Ahmad Nuri beserta Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang GP Ansor Banser se-Provinsi Banten.

    Kabinda Banten Brigjen Pol Hilman mengharapkan agar Ansor Banser menjadi garda terdepan dalam menangkal radikalisme dan terorisme, sehingga kejadian seperti di Kabupaten Tangerang dimana ada ASN yang menjadi terduga jaringan terorisme.

    Harapan lain Binda Banten kepada kader Ansor Banser untuk turut menjadi penggerak vaksinasi kepada masyarakat, baik di perkampungan maupun di perkotaan. Hal itu penting dilakukan karena saat ini pandemi Covid-19 masih belum berakhir.

    Brigjen Pol Hilman juga berharap agar kader Ansor Banser Banten membantu Binda dan TNI, Polri dalam melakukan deteksi dan langkah dini untuk melindungi masyarakat dari adanya gerakan radikalisme dan terorisme.

    Ansor Banser juga diharapkan tak lelah untuk terus membangun silaturahmi dengan para ulama dan tokoh masyarakat untuk terus menyebarkan dakwah yang rahmah kepada masyarakat.

    “Deteksi dan langkah dini harus terus dilakukan untuk menangkal radikalisme dalam melindungi masyarakat dari upaya kelompok kiri dan kanan. Ansor Banser jangan lelah untuk terus bersama Binda, TNI dan Polri serta ulama dan tokoh masyarakat menjaga NKRI,” ucap Brigjen Hilman.

    Sementara, Ketua PW GP Ansor Banten, Ahmad Nuri dalam rilis yang diterima media mengatakan kunjungan tersebut membahas kerjasama dalam hal nilai- nilai kebangsaan dan beberapa hal strategis yang bersifat kerja nyata untuk masyarakat.

    Ahmad Nuri menjelaskan, silaturahmi Kabinda Banten bersama pengurus PW Ansor bersama PC Ansor Banser se-Banten dalam rangka konsolidasi kebangsaan, dimana Ansor sebagai organisasi kepemudaan yang konsen dalam menangkal radikalisme dan meneguhkan komitmen kebangsaan.

    “Binda Banten mengajak besama-sama untuk bersatu padu melawan intoleransi dan pemahaman radikalisme,” ujar Tum Nuri demikian ia biasa disapa.

    Menurutnya, di Banten disinyalir masih ada potensi potensi yang sangat luar biasa terkait dengan radikalisme dan terorisme. Maka dari itu Ansor Banser diinstruksikan agar menjadi komunitas yang memberikan pemahaman yang moderat di tengah masyarakat.

    “Bukan hanya menolak radikalisme dan terorisme, tetapi Ansor Banser saya instruksikan memberikan pencerahan terhadap ummat agar proses pemahaman tentang radikal itu mengalami penurunan, tereliminasi melalui dakwah Islam rahmatan lil alamin. Mengajak toleransi dan mengajak moderasi dalam beragama,” tandas Tum Nuri.

    Selain membahas nilai kebangsaan, dalam silaturahmi itu juga dibahas tentang vaksinasi terutama di kota-kota yang selama ini vaksinasinya masih minim. Ansor Banser berkomitmen akan menggerakkan vaksinasi bersama Binda Banten sampai ke tingkat kecamatan.

    “Kita awali dari warga Ansor Banser se-Banten untuk vaksinasi, khusus bagi anggota Ansor Banser yang belum vaksin 1, 2 dan 3,” terang Tum Nuri.

    Pada kesempatan tersebut Ansor Banten berkomitmen membangun sinergi dengan TNI, Polri, dan Binda untuk bersama menjaga NKRI dari beberapa ideologi yang mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara. Baik itu ideologi kiri maupun kanan yang mencoba mengganti Pancasila. Maka dari itu Ansor Banser harus tampil menjadi bagian garda terdepan menjaga NKRI.

    “Dalam waktu dekat ini kita juga akan mengadakan apel bersama. Apel kebangsaan bersama seluruh organisasi kepemudaan untuk meneguhkan bahwa Banten ini sudah NKRI harga mati,” paparnya.(BAR)

  • Hadiri Apel Akbar di Cilegon, Gus Yaqut Ajak Ansor Banser Jangan Lelah Mencintai Indonesia

    Hadiri Apel Akbar di Cilegon, Gus Yaqut Ajak Ansor Banser Jangan Lelah Mencintai Indonesia

    CILEGON, BANPOS,- Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor menginstrusikan agar para kader Ansor Banser untuk tidak lelah mencintai Indonesia, meski banyak rintangan san cacian.

    “Kalau hari ini ada terpaan, ada badai yang sedang menyerang, sudah tidak apa- apa. Mari kita contoh tauladan Nabi Muhammad yang dibenci dan dicaci ketika menegakkan Islam. Kita boleh dicaci, dimaki tetapi kita tidak boleh berhenti memperjuangkan kebaikan. Kira tidak boleh berhenti menegakkan Indonesia sebagaimana diinginka para Kyai kita. Saya titip jangan pernah lelah mencitai Indonesia. Jangan menyerah karena cacian,” ujar Gus Yaqut pada acara Tabarukan Ulama Moderat Do’a Bersama dan Apel Siaga Kesiapsiagaan Bencana di Ponpes Bani Latif, Cibeber, Kota Cilegon, Kamis (3/3).

    Gus Yaqut mengaku bangga kepada kader Ansor Banser yang tetap tegak lurus merawat dan menjaga Indonesia.

    “Meski banyak tantangan dan halangan bahkan cacian, tetapi kita tidak boleh berhenti menegakkan Indonesia. Jangan menyerah atas tantang yang kita hadapi. Saya yakin Sahabat Ansor Banser tegak lurus untuk Indonesia,” tandas Gus Yaqut.

    Merawat dan menjaga Indonesia, kata Gus Yagut harus dilakukan oleh kader Ansor Banser sebagai bentuk kecintaan dan terimakasih atas perjuangan muasis jamiyah Nadlatul Ulama yang turut andil berjuang demi kemerdekaan bangsa Indonesia.

    “Tugas kita saat ini adalah menjaga indonesia untuk tetap utuh. Dulu para kyai berjuang untuk kita. Sekarang kita jaga Indonesia untuk masa depan anak cucu kita. Ini bakti kita untuk Indonesia yang beragam dan pluralis, baik agama dan bahasa tetapi tetap dalam satu ikatan Indonesia,” papar Gus Yaqut.

    Dengan nada tegas, Gus Yaqut menyerukan agar kader Ansor Banser untuk tetap menjaga negeri Indonesia. Hal ini sebagai bentuk bakti dan cinta kepada kyai pejuang bangsa.

    “Sebagai bakti kita ke para kyai muasais maka siapa saja yang berani merusak Indonesi yang beragam, maka kita wajib menjadi garda terdepan melawannya,” tandas Gys Yaqut.

    Gus Men juga tak bosan mengjngatkan kader Ansor Banser untuk tetap menjaga protokol kesehataan. Yaqut juga mengapresiasi kinerja Polri yang sangat berperan dalam program vaksin.

    Sementara Ketua PW Ansor Banten, Ahmad Nuri mengajak kader Ansor Banser Banten setia kepada pimpinan tertinggi yang saat ini banyak dicaci dan disalahkan.

    “Ansor Banser Banten Samoe Gepeng Bersama Gus Yaqut. Kita berkumpul bukan sedang unjuk kekuatan, tetapi sedang Tabarukan ke kyai di Ponpes Cibeber.

    Hadir dalam acara tersebut, Pimpinan Ponpes Bani Latif, Kyai Akrom Latifi, dan para kyai NU se Banten.

    (BAR)

  • Merdeka Dari Despotisme Agama

    Merdeka Dari Despotisme Agama

    SAAT ini di bulan kemerdekaan penyakit Gastristis atau Mag penulis mendadak kambuh kembali, akibat salah makan dan kecapean dengan gejal badan lemas, mual dan kepala sedikit pusing. Namun di tengah merasakan indahnya getaran sakit mag, cape badan, kepala terasa nyut-nyutan, mata berkuang-kunang, tangan di infus, ada kegelisah nalar-pikir melihat bagimana entitas bangsa memeriahkan bulan kemerdekaan ini.

    Kegelisahan penulis bukan tentang nalar pikir ikut sakit tapi tentang keterpanggilan nalar dan pikiran melihat kondisi objektif kebangsaan dan keagamaan di Indonesia dalam kaitannya dengan upaya memaknai hakekat kemerdekaan ini, terutama tentang adanya fenomena destruksi dan despotisme relasi umat beragama.
    Kegelisan ini juga, berangkat dari keteladanan para pemikir terdahulu yang telah meletakan fondasi berbangsa, dan bernegara.

    Mereka para pahlawan bangsa, para pemikir bangsa selalu bergerak untuk berjuang melawan penjajah meski diterpa sakit pada dirinya, sebut saja misalkan Jendral Sudirman, meski beliau sedang sakit tapi semangat juang beliau tetap menyala-nyala untuk kemerdekaan bangsa ini, sampai-sampai kondisi sakit pun ikut melakukan perang gerilya di tengah hutan.

    Belum lagi pemikir dan pejuang kemerdekaan seperti Tan Malaka dan Soekano bukti teladan bagi bangsa ini, dimana beliau-beliau ini meski dalam keadan sakit, semangat juang untuk kemerdekaan selalu dilakukan dengan cara perlawanan, baik lisan maupun tulisan.

    Ada beberapa buku perlawanan dan pencerahan yang ditulis oleh Tan Malaka dan Soekarno ketika beliau dalam keadan sakit.

    Perlu diingat bahwa kedua tokoh revolusioner ini sebagai pejuang kemerdekaan ketika mencari inspirasi dan literasi keilmuan, serta fatwa perlawanan, selalu berdiskusi dan tetap meminta pendapat sebagai upaya tambahan khasanah keilmuan kepada Khadarus Syeh KH. Hasyim Asy’ari, tokoh kemerdekaan pendiri Indonesia dan Muasis NU dengan haluan berdimensi Islam aswaja yang moderat dan rahmah.

    Sosok Khadratus Syeh Kiai Haji Hasyim Asyari adalah ulama pejuang kemerdekaan yang dijadikan sumber inspirasi, sebagai rujukan bagi pejuang kemerdekaan lainnya dalam melakukan perlawanan terhadap penjajajah dan kolonialisme Belanda, Inggris dan Jepang.

    Selain ulama, Kiai Hasyim juga sebagai pemikir kebangsaan dengan puncak dari pemikirannya adalah hasil proses ijtihadiyahnya yang berdampak luas bagi bangsa Indonesia adalah tentang fatwa Hubull Wathon Minal Iman [mencintai tanah air adalah sebagian dari iman] dan mewajibkan bagi umat atau fardu a’in membela tanah air ini.

    Nah, berangkat dari hal tersebut penulis bukan sedang sok-sokan atau metasbihkan diri sebagai pemikir atau penulis seperti para pejuang kemerdekaan itu. Tidak sama sekali. Hanya saja penulis merasa terpanggil untuk melakukan refleksi kemerdekaan pada sudut pandang berkaitan teladan para pejuang kemerdekaa yang selama ini diabaikan oleh entitas bangsa sehingga bukan memaknai kemerdekaan secara kaffah, tapi menciptakan adanya penjajahan model baru pada kebebasan pemikiran kegamaan, ditengah kita sedang menyerukan kemerdekaan substansial segala dimensi, terutama kemerdekaan tentang pemikiran keagamaan.

    Penjajahan pemikiran dan sikap keagamaan ini adalah hal yang paling berbahaya bagi keberlangsungan sebuah negara bangsa merdeka dan beragama, untuk terus dilawan agar bangsa ini pula merdeka dalam kebebasan keagamaan. Meskipun itu memerlukan perjuangan panjang dan lebih sulit, karena Soekarno sendiri telah memberikan nasehat, kedepan musuhmu akan lebih sulit, karena saudaramu sendiri.

    Saat ini, ada fenomena penjajahan baru pada pemikiran dan sikap keagamaan umat oleh kelompok kegamaan yang mencoba mereduksi komitmen kebangsaan atau menjauhkan agama dengan kebangsaan.
    Padahal selama ini Indonesia adalah negara kebangsaan yang tidak lepas dari nilai agama sebagai guidance dalam mengisi kemerdekaan hasil konsensus para pejuang kemerdekaan. Konsensus kebangsaan ini telah di bangun oleh para founding fathers yang beragam agama, suku, bahasa, adat dan kepercayaan dengan ikatan perasaan senasib untuk merdeka.

    Fenomena penjajahan model ini bisa diistilahkan sebagai despotisme agama, yang muncul setelah kaum agama melakukan show of force mengelilingi monas, sebagai klaim bela agama akibat Ahok keceletot omong tentang Al quran.

    Sesungguhnya Ahok sendiri tak etis bicara agama orang lain, apalagi terkesan menistakan agama. Namun, apalah daya semua itu telah terjadi, dengan divonisnya Ahok sebagai penista agama oleh proses peradilan.

    Harusnya kasus Ahok ini menjadi pelajaran berharga bagi keberlangsungan kebangsaan dan kegamaan di Indonesia. Namun disadari atau tidak kasus ini Ahok ini pula telah menyulut pembentukan karakter dan wajah Islam baru yang berorientasi politik ideologis agama dengan model politik radikal dan munculnya despotisme agama.

    Penulis tidak sedang menuduh kelompok ini melakukan Despotisme Agama. Tapi fenomenanya adalah, aksi bela agama secara simbolik keliling monas ini, dengan klaim tujuh juta umat, telah membuat konfigurasi politik agama menjadi tren dan bergelora mewarnai atmosfer kebangsaan dan keagamaan di Indonesia.

    Mungkin tadinya, aksi bela agama ini bentuk reaksi perlawanan temporal pada Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan latar belakang non muslim. Namun, justru dikristalkan dengan model dan wajah politik keagamaan. Mirisnya, mulai digeser oleh sebagian dari mereka, yaitu kelompok kecil yang bermazhab Wahabi dan Neo Khowarij menjadi kekuatan baru dengan selalu menggunakan jargon bela agama padahal mulai bergeser menjadi “hara” agama, karena cenderung menjadi despotisme agama dengan menakut-nakuti umat berbeda dengan gerak politik komunitas ini, atau meneror secara psikis atas bersatunya umat. Jika tidak mengikuti, mereka dituduh sebagai anti persatun umat Islam maka akan di vonis sebagai musuh Islam. Belum lagi tekanan pada nalar dan psikis umat bahwa dialah sebagai repesentasi katalis gerakan umat Islam yang wajib dipatuhi fatwa dan seruannya. Model ini lah sesungguhnya bentuk penidasan terselubung pada umat Islam atau pada umat yang berbeda agama.

    Hal Ini bisa dilihat dari Istrumen intimidatifnya seperti , tuduhan tidak Islami, jika tidak berada dalam shaf mereka adalah munafik dan, tak segan segan menuduh kafir bahkan menghalalkan darahnya untuk dipercikan ke dalam neraka milik kelompok ini. Model ini sejatinya bukan sedang bela agama tapi sedang melangsungkan dan mempraktekkan despotisme agama.

    Apa sesungguhnya despotisme agama itu. Jika kita mendefinisikan terminologi despotisme dengan makna aslinya adalah bentuk kekuasaan dengan satu penguasa, baik individual maupun oligarki, yang berkuasa dengan kekuatan politik absolut.

    Namun, kali ini istilah despotisme ini digunakan penulis untuk menjelaskan sikap berkuasa dengan tiran mayoritas [dominasi melalui ancaman hukuman : kafir dan neraka ditambah kekerasan : jihad dan grudug] atau absolutisme teks-teks normatif dengan justifikasi teks-teks suci agama oleh satu imam besar atau kelompok orang yang mengunakan simbol agama.

    Jika meminjam istilah Johan Galtung, mungkin bisa setipe atau satu rumpun antara despotisme agama dengan “penindasan terselubungnya” Galtung, dimana kekerasan atas kebebesan ini melalui justifikasi ideologi.

    Galtung menggunakan istilah justifikasi ideologi, sementara penulis mengunakan justifikasi agama, padahal sama-sama melakukan penindasan terselubung, sama-sama menggunakan kekerasan psikis maupun fisik.

    Dalam tulisan ini, despotisme ini sengaja disematkan pada sejenis kaum beragama hasil tawaf di monas dengan model kegurun-gurunan atau orang menyebut dengan “Kardun,” sifatnya merasa paling benar, merasa paling berkuasa, merasa paling mayoritas, merasa paling berhak melakukan kehendak apapun dengan menggunakan teks-teks suci untuk kepentingan menjajah dan memenjarakan kebebasan nalar beragama, maupun kebebasan sikap keagamaan terhadap sesama umat beragama atau umat yang berbeda agama.

    Ini penting ditulis dan menjadi diskursus kita bersama, dalam upaya memerdekakan nalar dan sikap beragama kita di bumi pertiwi yang hampir satu abad merdeka, tepatnya sudah 75 tahun para muasis Indonesia meletakan kemerdekan bagi umat di negara bangsa ini. Ada beberapa sebab diantaranya, semakin menguatnya kelompok yang ingin mendestruksi kebangsaan dan nasionalisme umat dengan cara menawarkan ideologi agama sebagai jalan alternatif politik ideal bagi dunia dan akhirat, mereka tak segan menggugat nasionalisme karena tidak ada dalil agama, sambil menuduh kafir dan mengajak perang dan perlawanan pada mereka yang mencoba mempertahankan negara bangsa ini, sambil menganalogikan sebagai perang melawan kafir dengan legitimasi teks-teks kitab suci.

    Sesungguhnya tulisan ini tidak sedang berpretensi sedikitpun untuk meninjau terhadap wacana keberagamaan dalam konteks normatif [teks-teks suci yang terkandung dalam kitab suci], tapi lebih pada mencari hakekat kemerdekaan beragama kita yang semakin lama semakin tertindas oleh kelompok agama yang merasa berkuasa dan merasa paling benar dengan mengunakan teks-teks suci agama.

    Sebagai contoh terkini, di bulan kemerdekaan, masih ada kasus penyerangan dengan kekerasaan pada keluarga habib Umar Asegaf di Solo yang sedang melaksanakan ritus budaya atau tradisi kultural lokal sebelum proses pernikahan keluarganya. Penyerangan ini dilakukan oleh sekelompok umat yang menggunakan simbol agama, sambil teriak takbir, berkata jihad, menyatakan darahnya halal, memvonis hukumnya masuk neraka, adalah bukti kemerdekaan beragama baik nalar dan sikap keagamaan sedang dirampas melalui despotisme agama.
    Wallahu ‘alam..