Tag: Hak Asasi Manusia

  • Akademisi UPH Nilai Tak Ada Pelanggaran HAM di Rempang

    Akademisi UPH Nilai Tak Ada Pelanggaran HAM di Rempang

    JAKARTA, BANPOS – Akademisi Universitas Pelita Harapan Agus Surono menilai, tak ada unsur pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat dalam konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

    “Peristiwa yang terjadi di Pulau Rempang, tidak dapat dikualifikasikan sebagai Pelanggaran Berat HAM, sebagaimana dimaksud pada UU No 26 Tahun 2000,” kata Agus dalam keterangannya, Rabu (20/9).

    Menurutnya, secara yuridis berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 26 Tahun 2000 menyebut bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

    Menurutnya, yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat di Indonesia adalah meliputi pertama ada kejahatan genosida.

    “Yakni setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,” lanjutnya.

    Kejahatan genosida dapat dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.

    Kemudian menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.

    “Lalu, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain,” terangnya.

    Kedua, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

    Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.

    Kemudian penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.

    Lalu, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.

    “Kemudian penghilangan orang secara paksa, atau kejahatan apartheid,” tambah Agus.

    Sementara itu, ia menyebut bahwa pelanggaran HAM adalah tindakan yang bersifat sistematis dan meluas.

    “Kedua kata tersebut merupakan kata kunci yang bersifat melekat dan mutlak dan harus ada pada setiap tindakan pelanggaran HAM berat, khusus kaitannya dengan kejahatan terhadap kemanusiaan,” lanjutnya.

    Berdasarkan UU, Agus mengatakan bahwa tidak unsur sistematis dan meluas dalam kejadian di Pulau Rempang.

    “Sebab ada faktor penting dan signifikan yang membedakan antara pelanggaran HAM berat dengan tindak pidana biasa menurut KUHP atau Perundang-undangan pidana lainnya,” tandasnya.

    Terpisah, relawan pendukung Jokowi di Pilpres 2019, Solidaritas Merah Putih (Solmet) berharap Presiden Jokowi bisa membantu penyelesaian masalah tanah masyarakat di tiga daerah yang kini disorot.

    Ketua Umum Solmet, Silfester Matutina meminta adanya perhatian khusus dari Jokowi untuk membantu penyelesaian sengketa tanah. Sehingga masyarakat kecil bisa mendapatkan keadilan dan haknya.

    Hal itu disampaikan Silfester dalam acara Rembug Nasional Persaudaraan Solidaritas Merah Putih Indonesia (Rembugnas Solmet) 2023 di Gedung Putih Tio Ma Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Selasa (19/9).

    “Rempang,Batam (Rempang Eco City) seluas 17.000 hektar dan masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Bojong-Bojong Malaka Depok (Universitas Islam Internasional Indonesia) seluas 111 hektar yang juga masuk dalam PSN. Kemudian tanah warga transmigran Desa Bantahan I, Mandailing Natal seluas 748 hektar yang diduduki PTPN IV Medan dan 168 hektar,” kata Silfester.

    Di hadapan Jokowi, Silfester juga mengimbau kepada Pemerintah agar lebih bijaksana dalam menyelesaikan hak tanah masyarakat.

    “Kami tidak mau keberhasilan Bapak Presiden ternodai oleh oknum-oknum di bawah kepemimpinan Presiden, yang tidak bisa menangani kasus-kasus tanah dengan bijaksana. Kami tidak mau nama baik Bapak Presiden tercoreng,” ungkapnya.

    Dia bercerita sempat ditemui warga Rempang. Silfester bilang, warga sedianya tidak mempermasalahkan pembangunan PSN Rempang Eco City. Asalkan hak-hak mereka diselesaikan.

    Juga, 16 kampung adat yang mereka tinggali sejak tahun 1834 tidak digusur, tapi ditata.

    “Begitu juga dengan warga Bojong-Bojong Malaka Depok yang tanahnya sudah digusur dan dibangun PSN UIII,” akunya.

    Kata Silfester, pada dasarnya warga mendukung pembangunan PSN asalkan hak ganti untung diselesaikan dengan baik.

    “Hal yang sama juga diminta oleh warga mantan transmigran Bantahan I Mandailing Natal yang tanahnya telah diberikan negara sejak tahun 1997, tapi kemudian diduduki PTPN sejak 2007 seluas 798 hektar, dan 186 hektar oleh PT. Pemaris Raya,” papar dia. (pbn/rmid)