Tag: Hibah Ponpes

  • Dikepung Laporan Korupsi, Al Muktabar Akui Lanjutkan Perencanaan Hibah Ponpes

    Dikepung Laporan Korupsi, Al Muktabar Akui Lanjutkan Perencanaan Hibah Ponpes

    SERANG, BANPOS – Sejumlah mahasiswa Banten mendatangi Kantor JAM Tindak Pidana Khusus, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Selasa (24/10/2023).

    Mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Mahasiswa Pejuang Keadilan (KOMPAK) Banten mendatangi Kejagung RI untuk melaporkan dugaan keterlibatan PJ Gubernur Banten dalam kasus korupsi hibah pondok pesantren Provinsi Banten tahun anggaran 2020.

    “Yang dilaporkan itu terkait dugaan keterlibatan PJ Gubernur terkait korupsi dana hibah Ponpes 2020, Baang,” ujar Sifan Rusdiansyah, Ketua Presidium Koalisi Mahasiswa Pejuang Keadilan (KOMPAK) kepada wartawan, Rabu (25/10/2023).

    Sifan mengatakan dugaan keterlibatan Al Muktabar terjadi saat yang bersangkutan menjabat sebagai Sekda Provinsi Banten.

    “Pada tahun tersebut Al Muktabar menjabat sebagai Sekda Pemprov Banten, sekaligus mengetuai TAPD (Tim Anggran Pemerintah Daerah). Otomatis yang bersangkutanlah yang meloloskan anggaran para calon penerima dana hibah tersebut yang hanya berupa usulan dan bukan hasil rekomendasi yang telah terverifikasi,” katanya.

    Sifan menegaskan bahwa akar dari korupsi dana hibah ponpes terletak pada persetujuan anggaran dan juga calon penerima yang tidak diverifikasi terlebih dahulu.

    “Menurut saya, akar persoalan korupsi dana hibah ponpes itu berawal dari persetujuan anggaran tersebut (oleh Ketua TAPD–red) dan para calon penerima yang tidak diverifikasi terlebih dahulu. Dengan demikian, perlu dibuka pengusutan kembali terkait pihak-pihak yang terlibat,” tegasnya.

    Sifan mendorong Kejagung kembali mengusut semua pihak yang terlibat dalam kasus korupsi dana hibah Ponpes 2020.

    “Harapan saya kejagung dapat mengusut kembali semua pihak yang terlibat dalam kasus ini dan dapat ditindak secara tegas, supaya menciptakan pemerintahan banten yang bebas dari KKN,” ujarnya.

    Sementara itu Deputi Direktur Pattiro Banten, Amin Rohani, mengatakan  turut prihatin atas dugaan keterlibatan Sekretaris Daerah Provinsi Banten dalam kasus Hibah Pondok Pesantren 2020.

    Dalam konteks ini, perlu melihat beberapa aturan yang relevan, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 33 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

    “Berdasarkan UU 23/2014, Sekretaris Daerah (Sekda) mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membantu kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) dalam koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Selain itu, sekda juga menjadi penghubung antara kepala daerah dengan kepala perangkat daerah,” ujarnya.

    Sementara itu, Permendagri Nomor 33 Tahun 2019 menegaskan peranan Sekda sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). TAPD bertanggung jawab menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang mencakup komponen hibah, seperti halnya hibah Pondok Pesantren.

    “Oleh karena itu, dugaan keterlibatan Sekda dalam kasus ini menimbulkan pertanyaan mengenai kuntabilitas dan transparansi dalam proses perencanaan anggaran,” kata Amin.

     

    Dalam konteks ini, sangat penting untuk mendalami dugaan keterlibatan Sekda yang saat itu dijabat Al Muktabar terkait penyimpangan dalam proses perencanaan hibah Pondok Pesantren 2020. Langkah ini sejalan dengan upaya pemerintah dan masyarakat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang serta memastikan pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel dan transparan.

    Amin juga menerangkan akuntabilitas, terutama dalam peran Sekretaris Daerah, harus ditegaskan. Pemerintah harus memastikan ada mekanisme untuk memeriksa dan menegakkan pertanggungjawaban dalam pengelolaan keuangan daerah, termasuk dalam hal pengelolaan hibah.

    “Dengan mempertimbangkan ketiga aspek ini, kita dapat meningkatkan tata kelola keuangan daerah yang lebih transparan, partisipatif, dan akuntabel, yang pada gilirannya dapat mengurangi risiko penyalahgunaan wewenang dan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Langkah ini sejalan dengan upaya pemerintah dan masyarakat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang serta memastikan pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel dan transparan,”terangnya.

    Menanggapi hal itu PJ Gubernur Banten Al Muktabar membantah terlibat, meski ia mengakui telah melanjutkan perencanaan usulan dana hibah tersebut yang belakangan bermasalah.

    “Pertama saya menjadi Sekda itu dilantik 27 Mei 2019 dan saya mulai aktif itu di bulan Juni 2019. Proses perencanaan pada waktu itu secara menyeluruh itu sudah berjalan oleh sekda-sekda sebelumnya. Dan di dalam kerangka itu tim TAPD bekerja, dan saya sebagai ketua TAPD ex officio dengan momen itu kan tidak mungkin saya menghentikan program karena itu harus berlanjut terus, maju ke KUA dan PPAS,” ujarnya.

    Al Muktabar mengatakan setelah program dilaksanakan, pelaksanaannya ada masalah dan itu tanggung jawab teknis pelaksanaan.

    “Dan itu semua proses berjalan. Dan sampai programnya ditetapkan, lalu dilaksanakan. Nah tingkat pelaksanaannya ada problem itu adalah tanggungjawab teknis pelaksanaan. Di proses perencanaan semua sudah kita lakukan dengan sebaik-baiknya dan juga itu telah masuk ke proses hukum. Dan dalam proses hukumnya sudah ditetapkan siapa yang bertanggung jawab terhadap itu,” katanya.

    Al Muktabar mengaku siap kembali diperiksa oleh kejaksaan terkait hal itu bila kasus korupsi dana hibah  ponpes 2020 kembali dibuka pihak kejaksaan.

    “Yah, tentu kan sebagai warga negara, saya taat hukum. Terus apa yang harus disampaikan, saya sampaikan. Keterangannya seperti itu,” ujarnya. (Red)

  • Kasus Hibah Ponpes, Kuasa Hukum Terdakwa: Jaksa Harus Obyektif

    Kasus Hibah Ponpes, Kuasa Hukum Terdakwa: Jaksa Harus Obyektif

    SERANG, BANPOS – Menjelang pembacaan tuntutan kasus dugaan korupsi hibah Ponpes dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Senin 3 Januari 2022 nanti, kuasa hukum terdakwa Irvan Santoso, Alloys Ferdinand, angkat bicara. Alloys berharap, JPU dapat lebih objektif melihat fakta-fakta persidangan terkait pemberian hibah pondok pesantren.

    “Dari fakta yang terungkap di persidangan, berkaitan dengan penempatan Pasal 2 dan 3 terhadap terdakwa 1 (Irvan Santoso) dan terdakwa 2 (Toton Suriawinata) tidak bisa terbukti. Karena tidak ada kewenangan yang diperbuat oleh terdakwa 1 dan terdakwa 2 yang melawan hukum,” ujarnya, Jumat (31/12).

    Menurut Alloys, terkait hibah Ponpes 2018, kedua terdakwa tidak memenuhi unsur kesalahan melanggar hukum. Sebab, apa yang direkomendasikan oleh terdakwa 1 telah sesuai dengan amanat Pergub 49 Tahun 2017.

    Berkaitan dengan rekomendasi yang di ajukan oleh Irvan berkaitan dengan Proposal kedua FSPP pada tanggal 22 November 2017, menurutnya sudah tidak memiliki arti lagi dalam proses penyusunan anggaran di TAPD.

    Sebab kesepakatan KUA PPAS antara Gubernur dengan Pimpinan Dewan telah disusun oleh TAPD dan disepakati menjadi RAPBD pada tanggal 21 November 2017, yang mana FSPP telah dialokasikan sebagai calon penerima hibah uang yang nilainya sebesar Rp65.280.000.000.

    “Sehingga bagaimana mungkin Rancangan APBD lebih dahulu muncul dari rekomendasi permohonan penganggaran yang ditujukan kepada Gubernur melalui TAPD,” katanya.

    Berkaitan dengan adanya perbedaan antara lampiran III Pergub No. 1 Tahun 2018 tentang Penjabaran APBD 2018 dengan DPA, menurut pihaknya bukanlah tanggung jawab dari Irvan. Sebab Irvan selaku OPD pengusul harus berpedoman pada lampiran III Pergub Nomor 1 Tahun 2018 tentang Penjabaran APBD 2018, sebagaimana Nota Dinas Sekda No. 978/644-ADPEM/18 tanggal 16 Maret 2018 perihal penyampaian daftar calon penerima hibah uang tahun 2018 yang ditujukan kepada Irvan.

    “Sehingga atas dicairkannya dana hibah uang kepada FSPP sebagaimana mekanisme pencairan yang diatur dalam Pergub No. 49 tahun 2017, sepenuhnya tanggungjawab dari BPKAD yang dalam pelaksanaan pemberian hibah bansos mengacu pada DPA,” tuturnya.

    Ia mengatakan, apabila BPKAD melihat permohonan pencairan dari OPD pengusul tidak sesuai dengan DPA, maka seharusnya BPKAD berkewajiban untuk mengembalikan usulan pencairan tersebut kepada OPD pengusul, bukannya mencairkan.

    “Pertanyaannya, kenapa BPKAD Provinsi Banten tidak dimintakan pertangungjawabannya oleh Kejaksaan Tinggi Banten. Ada Apa Ini,” tegasnya.

    Alloys juga menyoroti terkait hibah Ponpes tahun 2020. Alloy mengatakan, pemohon hibah itu bukan pondok pesantren melainkan FSPP. Sedangkan FSPP dalam pengajuan proposal, belum menggunakan e-hibah sebagaimana diatur dalam Pergub No. 10 Tahun 2019, dan belum finalnya laporan pertanggungjawaban hibah tahun 2018.

    “Sedangkan batas akhir pengajuan proposal telah berakhir. Berkaitan dengan e-hibah, tidak hanya FSPP yang tidak dapat diberikan rekomendasinya, ada beberapa Lembaga seperti MUI, Baznas, LPTQ juga pada batas akhir pengajuan hibah uang belum dapat dikeluarkan rekomendasi oleh terdakwa 1,” ungkapnya.

    Namun berdasarkan kajian dan pertimbangan yuridis, lembaga-lembaga yang sifatnya mandatori dapat langsung diberikan rekomendasi, sedangkan pihaknya menilai bahwa FSPP bukanlah organisasi yang bersifat mandatori. Sehingga FSPP tidak dapat diberikan rekomendasi.

    “Sedangkan pondok pesantren dengan telah dikeluarkannya undang undang tentang Pondok Pesantren dapat dimasukkan dalam mandatori,” terangnya.

    Namun ketentuan yang diatur dalam Pergub No. 10 tahun 2019, pondok pesantren yang tidak memiliki kepengurusan di tingkat provinsi tidak dapat menerima hibah uang yang dibiayai dari APBD Provinsi Banten tahun 2020, sehingga kliennya sama sekali tidak pernah mengeluarkan rekomendasi baik untuk FSPP maupun Pondok Pesantren.

    Berkaitan dengan tuduhan Jaksa terhadap Irvan dan Toton yang disebut tidak melakukan evaluasi dan verifikasi terhadap pondok pondok pesantren penerima hibah tahun 2018 dan 2020, Alloys mengatakan bahwa evaluasi dan verifikasi berkaitan dengan permohonan hibah bansos dilakukan jika OPD pengusul menerima proposal permohonan dari penerima hibah.

    “Ini amanat Undang-undang. Berkaitan dengan hibah uang TA. 2018 dan TA. 2020, tidak ada proposal permohonan dalam proses penyusunan anggaran dari pondok pesantren, kecuali 58 Pondok Pesantren diluar FSPP di tahun 2018, sehingga apa yang mau di evaluasi dan verifikasi,” katanya.

    “Apakah Jaksa tetap menyalahkan Terdakwa 1 dan Terdakwa 2 tidak melakukan evaluasi dan verifikasi sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang ada padanya,?” tanya Alloys.

    Yang lebih parah lagi menurutnya, berkaitan dengan pencairan hibah uang kepada Ponpes pada tahun 2020. Berdasarkan Pergub No. 10 Tahun 2019 tentang Hibah dan Bansos, OPD pengusul dalam pengajuan pencairan kepada BPKAD selaku Pengguna Anggaran.

    “Berdasarkan ketentuan, OPD pengusul harus melampirkan salah satunya dokumen kertas Kerja yang dibuat oleh Tim Verifikasi dan Evaluasi pada saat proses penganggaran,” jelasnya.

    Karena tidak adanya proposal pengajuan dari Ponpes pada proses penyusunan anggaran, maka tidak ada kertas kerja dari Tim evaluasi. Sehingga, permohonan pencairan tanpa disertai dengan kertas kerja proses penganggaran.

    “Berdasarkan Ketentuan yang tertuang dalam Pergub No. 10 tahun 2019, jika terdapat kekurangan syarat yang harus dilampirkan dalam permohonan pencairan, maka BPKAD akan mengembalikan permohonan pencairan tersebut kepada OPD Pengusul untuk dapat dilengkapi,” ucapnya.

    Namun Alloys mengaku, hibah tahun 2020 oleh BPKAD dicairkan meskipun ada satu syarat tidak ikut dilampirkan dalam permohonan pencairannya.

    “Apakah atas dicairkannya dana hibah uang tersebut menjadi tanggungjawab dari Terdakwa 1 maupun Terdakwa 2. Jaksa seharusnya sejak awal telah menetapkan BPKAD sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kerugian negara ini,” paparnya.

    Berkaitan dengan pengenaan kerugian Negara terhadap Irvan dan Toton, Alloys menegaskan bahwa seharusnya Jaksa konsisten dalam penerapan pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi. Sebab pihak pihak yang menyebabkan, dan pihak pihak yang menerima uang Negara tersebut harus di pertanggungjawabkan secara bersamaan.

    “Bagaimana mungkin kerugian Negera di bebankan kepada Terdakwa 1 dan Terdakwa 2, jika nyata dan dapat dibuktikan uang tersebut diterima oleh pihak pihak yang termuat dalam surat dakwaan Jaksa, namun pihak pihak tersebut sampai saat ini tidak dimintakan pertanggungjawaban hukumnya. Ada apa dengan semua ini,” tegasnya.

    Alloys berharap, surat tuntutan Jaksa nantinya dapat memberikan rasa keadilan bagi Irvan dn Toton, untuk menghindari dugaan bahwa keduanya merupakan kambing hitam untuk melindungi dan menyelamatkan pihak-pihak yang sesungguhnya harus bertanggung jawab. (DZH)