SERANG, BANPOS – Penjualan barang bukti kasus penimbunan minyak goreng (migor) oleh kepolisian terus berlanjut, diketahui Polres Serang Kota juga melakukan hal yang sama seperti Polres Lebak. Akan tetapi menurut Polda Banten, tindakan yang dilakukan oleh Polres Lebak diklaim sudah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain itu, disebutkan bahwa barang bukti yang telah disita oleh penyidik, sudah bukan lagi menjadi milik tersangka.
Hal itu diungkapkan oleh Kabid Humas Polda Banten, Kombes Pol Shinto Silitonga, saat dikonfirmasi BANPOS di Polda Banten. Menurutnya, secara aturan barang bukti yang disita oleh penyidik, sudah bukan lagi milik tersangka.
“Hakikat penyitaan barang bukti artinya barang bukti itu dikuasakan oleh negara kepada penyidik. Artinya, barang bukti itu not anymore belong to suspect, atau tidak lagi menjadi barang milik tersangka, karena ada penetapan dan penyitaan barang bukti,” ujarnya, Rabu (9/3).
Ia mengatakan, penjualan barang bukti berupa minyak goreng kepada masyarakat, merupakan hasil kesepakatan antara penyidik yakni Kepolisian, penuntut yakni Kejaksaan dan hakim yakni Pengadilan. Sebab, barang bukti itu merupakan barang langka dan merupakan kebutuhan dasar masyarakat.
“Maka dari jumlah itu sebagian kecil yang akan naik sebagai barang bukti di persidangan, dan sebagian besar akan ditransaksikan kembali kepada masyarakat dengan harga eceran tertinggi (HET), yang ditetapkan oleh pemerintah,” ungkapnya.
Menurutnya, sesuai dengan aturan, uang hasil penjualan barang bukti itu tidak masuk ke dalam kantong Kepolisian, akan tetapi menjadi barang bukti yang telah berubah bentuk, dari natura menjadi uang tunai.
“Dan itu juga nanti akan ditampilkan di dalam persidangan. Jadi tidak ada yang salah dalam hukum acara terhadap apa yang dilakukan oleh Polres Lebak, tetapi lebih berorientasi pada Needs (kebutuhan) masyarakat yang membutuhkan minyak goreng yang saat itu masih langka,” ungkapnya.
Shinto mengatakan, dalam KUHAP tidak mengatur jumlah barang bukti yang dapat dijual berdasarkan persentase. Namun, jumlah barang yang dapat dijual merupakan kesepakatan bersama Criminal Justice System yaitu penyidik, penuntut dan hakim.
“Maka penyidik berkoordinasi dengan penuntut untuk penyisihan barang bukti, untuk nanti dinaikkan ke persidangan. Pada saat kita turun operasi pasar, pihak kejaksaan dan pengadilan pun datang untuk mendampingi kegiatan,” terangnya.
Ditanya terkait dengan aturan yang menyatakan bahwa penjualan barang bukti harus melalui mekanisme lelang, Shinto menuturkan bahwa hal itu benar. Akan tetapi, kebutuhan masyarakat akan minyak goreng yang tengah langka dan mahal pun menjadi orientasi utama pihaknya melakukan penjualan dalam bentuk bazar.
“Lelang itu pascaputusan, bisa. Namun kembali lagi saya katakan, orientasinya adalah untuk masyarakat. Sehingga ketika minyak goreng masih langka dan mahal, maka kebijakan criminal justice system untuk menyisihkan sebagian kecil yang nanti akan muncul dalam pengadilan, dan sebagian besarnya didistribusikan kembali kepada masyarakat dengan HET,” tandasnya.
Penjualan barang bukti minyak goreng pun dilakukan oleh Polres Serang Kota. Diketahui, Polres Serang Kota menjual barang bukti perkara penimbunan minyak goreng sebanyak 9.600 liter yang diamankan di Kecamatan Walantaka.
Kapolres Serang Kota, AKBP Maruli Ahiles Hutapea, mengaku bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dengan Pengadilan dan Kejaksaan bahkan tersangka kasus, terkait dengan penjualan barang bukti tersebut.
“Kami sudah berkoordinasi dengan Pengadilan dan Kejaksaan serta pemilik barang tersebut. Jadi kami sisihkan barang bukti tersebut untuk nanti dijadikan barang bukti,” terangnya.(DZH/PBN)