Tag: Kejari Pandeglang

  • Namanya Dijual Dalam Dugaan Pemalakan SKh, Kejari Pandeglang: Jangan Percaya

    Namanya Dijual Dalam Dugaan Pemalakan SKh, Kejari Pandeglang: Jangan Percaya

    PANDEGLANG, BANPOS – Pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang mengimbau kepada Masyarakat, untuk tidak mempercayai oknum-oknum yang menjual nama Kejaksaan untuk melakukan ancaman, demi kepentingan pribadi.

    Hal itu disampaikan oleh Kasi Intel Kejari Pandeglang, Wildan, setelah adanya dugaan pemalakan yang dilakukan oleh oknum mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat untuk Keadilan (AMMUK), terhadap belasan SKh di Pandeglang.

    “Kami sampaikan kepada masyarakat untuk hati-hati (terhadap oknum yang menjual nama Kejaksaan). (Jika ada) bisa langsung kroscek ke kami, jangan percaya,” ujarnya kepada BANPOS, Kamis (5/10).

    Wildan menegaskan bahwa masyarakat jangan sampai terkecoh dengan ancaman-ancaman, yang menggunakan Laporan Pengaduan (Lapdu) kepada Kejaksaan. Kejari Pandeglang menurutnya, berkomitmen untuk tidak menjadi alat untuk ‘memalak’ oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab.

    “Jadi imbauan, hati-hati tehadap pihak-pihak yang mengatasnamakan Kejaksaan Negeri Pandeglang, atau pihak yang mengaku sudah menyampaikan laporan kepada kami. Di sini ada saya sebagai Kasi Intel, ada nomor info layanan publik, itu bisa dicek,” tegasnya.

    Sebelumnya, nama Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang dijual oleh oknum mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat untuk Keadilan (AMMUK), dalam dugaan upaya pemalakan yang dilakukan terhadap sejumlah Sekolah Khusus (SKh) swasta di Pandeglang.

    Diketahui pada Jumat (29/9) lalu, perwakilan Kepala Sekolah SKh yang merasa dipalak oleh AMMUK, telah melakukan janji bertemu sekitar pukul 14.00 WIB.

    Namun, AMMUK yang diwakili oleh Ketuanya yakni Aning Hidayat, mengaku tengah bertemu dengan pihak Kepala Kejari Pandeglang yang baru, serta Kasi Intel Kejari Pandeglang, Wildan.

    Klaim pertemuan tersebut disampaikan oleh AMMUK, setelah dikirimkannya soft file dokumen Laporan Pengaduan (Lapdu), terhadap 14 SKh swasta yang ada di Pandeglang.

    Adapun dugaan pemalakan yang dimaksud yakni para Kepala Sekolah diminta untuk menyediakan ‘uang ngopi’, dan agar ada kemitraan jangka Panjang dengan pihak AMMUK melalui penganggaran setiap sekolah. (DZH)

  • Dugaan Pemalakan SKh di Pandeglang, Oknum Mahasiswa Jual-jual Nama Kejaksaan

    Dugaan Pemalakan SKh di Pandeglang, Oknum Mahasiswa Jual-jual Nama Kejaksaan

    PANDEGLANG, BANPOS – Nama Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang dijual oleh oknum mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat untuk Keadilan (AMMUK), dalam dugaan upaya pemalakan yang dilakukan terhadap sejumlah Sekolah Khusus (SKh) swasta di Pandeglang.

    Diketahui pada Jumat (29/9) lalu, perwakilan Kepala Sekolah SKh yang merasa dipalak oleh AMMUK, telah melakukan janji bertemu sekitar pukul 14.00 WIB.

    Namun, AMMUK yang diwakili oleh Ketuanya yakni Aning Hidayat, mengaku tengah bertemu dengan pihak Kepala Kejari Pandeglang yang baru, serta Kasi Intel Kejari Pandeglang, Wildan.

    Klaim pertemuan tersebut disampaikan oleh AMMUK, setelah dikirimkannya soft file dokumen Laporan Pengaduan (Lapdu), terhadap 14 SKh swasta yang ada di Pandeglang.

    Saat dikonfirmasi, Kasi Intel Kejari Pandeglang, Wildan, mengatakan bahwa Standar Operasional Prosedur (SOP) pengaduan di Kejari, tidak dilakukan dengan cara pertemuan secara langsung dengan bidang terkait, melainkan melalui PTSP.

    “Kalau ada pengaduan pun, itu ke bagian PTSP. Jadi enggak ad aitu pertemuan-pertemuan pada hari Jumat kemarin. SOP-nya itu setiap laporan pengaduan, disampaikan ke PTSP. Lalu nanti akan disampaikan ke pimpinan, baru nanti disampaikan ke bidang yang menangani,” ujarnya saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Kamis (5/10).

    Ia pun menegaskan bahwa tidak ada pertemuan dengan AMMUK. Menurutnya, pertemuan itu tidak pernah terjadi, termasuk pertemuan untuk membahas Lapdu terhadap SKh.

    “Tidak ada, tidak ada itu. Sistemnya jika memang ada pengaduan, kita memang nanti akan melakukan klarifikasi. Apa yang disampaikan, datanya seperti apa. Saya kalau AMMUK itu belum pernah ada klarifikasi, belum pernah bertemu,” ungkapnya.

    Sebelumnya diberitakan, sebanyak 14 Sekolah Khusus (SKh) swasta di Kabupaten Pandeglang merasa dipalak oleh oknum mahasiswa, yang mengatasnamakan AMMUK. Belasan sekolah untuk penyandang disabilitas itu merasa dipalak dengan ancaman akan dilaporkan terkait dugaan sejumlah masalah.

    Berdasarkan informasi yang BANPOS kumpulkan, modus yang dilakukan oleh AMMUK untuk memalak belasan SKh tersebut yakni dengan memberikan surat somasi kepada para kepala sekolah, terkait dugaan tindak pidana korupsi. Somasi tersebut awalnya ditujukan kepada enam SKh swasta di Pandeglang.

    Dalam somasi tersebut, disebutkan bahwa enam sekolah tersebut diduga telah melakukan penyalahgunaan wewenang, yakni melaporkan kegiatan belajar mengajar yang fiktif, siswa yang fiktif, manipulasi laporan pertanggungjawaban anggaran, tidak menyiapkan tempat belajar yang sesuai dengan aturan, menyalahgunakan bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) dan memiliki tenaga pendidik dan kependidikan yang tidak sesuai dengan persyaratan.

    Belum hilang kekagetan para Kepala SKh swasta tersebut, selang dua hari kemudian setelah surat somasi mereka terima, kembali muncul surat Laporan Pengaduan (Lapdu) yang ditujukan kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang. Dalam Lapdu tersebut, materi yang disampaikan sama, namun dengan tambahan 8 SKh swasta lainnya. Sehingga, jumlah SKh menjadi 14 sekolah.

    Adapun dugaan pemalakan yang dimaksud yakni para Kepala Sekolah diminta untuk menyediakan ‘uang ngopi’, dan agar ada kemitraan jangka Panjang dengan pihak AMMUK melalui penganggaran setiap sekolah. (DZH)

  • Belasan SKh Swasta di Pandeglang Dipalak Oknum Mahasiswa

    Belasan SKh Swasta di Pandeglang Dipalak Oknum Mahasiswa

    PANDEGLANG, BANPOS – Sebanyak 14 Sekolah Khusus (SKh) swasta di Kabupaten Pandeglang merasa dipalak oleh oknum mahasiswa, yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat untuk Keadilan (AMMUK). Belasan sekolah untuk penyandang disabilitas itu merasa dipalak dengan ancaman akan dilaporkan terkait dugaan sejumlah masalah.

    Berdasarkan informasi yang BANPOS kumpulkan, modus yang dilakukan oleh AMMUK untuk memalak belasan SKh tersebut yakni dengan memberikan surat somasi kepada para kepala sekolah, terkait dugaan tindak pidana korupsi. Somasi tersebut awalnya ditujukan kepada enam SKh swasta di Pandeglang.

    Dalam somasi tersebut, disebutkan bahwa enam sekolah tersebut diduga telah melakukan penyalahgunaan wewenang, yakni melaporkan kegiatan belajar mengajar yang fiktif, siswa yang fiktif, manipulasi laporan pertanggungjawaban anggaran, tidak menyiapkan tempat belajar yang sesuai dengan aturan, menyalahgunakan bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) dan memiliki tenaga pendidik dan kependidikan yang tidak sesuai dengan persyaratan.

    Belum hilang kekagetan para Kepala SKh swasta tersebut, selang dua hari kemudian setelah surat somasi mereka terima, kembali muncul surat Laporan Pengaduan (Lapdu) yang ditujukan kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang. Dalam Lapdu tersebut, materi yang disampaikan sama, namun dengan tambahan 8 SKh swasta lainnya. Sehingga, jumlah SKh menjadi 14 sekolah.

    Pada Jumat (29/9) lalu, sejumlah perwakilan Kepala Sekolah dan AMMUK melakukan pertemuan. BANPOS pada saat itu, turut hadir dalam pertemuan, atas seizin para Kepala Sekolah. Dalam pertemuan tersebut, AMMUK pun hadir bersama dengan oknum wartawan media online lokal setempat, RN (inisial media).

    Sebelumnya, para Kepala Sekolah telah bersepakat bahwa baik somasi dan Lapdu yang dikirimkan oleh AMMUK, sama sekali tidak berdasar. Mereka pun menyepakati untuk melakukan gerakan ‘perlawanan’, dengan mencari bukti pemalakan yang dilakukan oleh AMMUK, untuk selanjutnya dapat dilaporkan.

    Meski demikian, para Kepala Sekolah telah memegang bukti tidak langsung, upaya pemalakan yang dilakukan oleh AMMUK. Dengan kode ‘uang ngopi’, para Kepala Sekolah melalui perantara AMMUK, sempat diminta menyiapkan minimal Rp1 juta agar AMMUK tidak lagi ‘iseng’.

    Kembali pada pertemuan, AMMUK saat itu diwakili oleh ketuanya yakni Aning Hidayat. Sementara media RN, diwakili oleh pria mengaku bernama Risman. Pada pertemuan yang digelar di salah satu rumah makan di Labuan, para Kepala Sekolah mencecar Aning berkaitan dengan alasan pemberian somasi tersebut.

    Aning saat itu, tidak terlalu banyak memberikan jawaban. Aning hanya mengatakan bahwa somasi yang dilontarkan oleh pihaknya, untuk meminta jawaban dari para Kepala Sekolah. Saat ditegaskan bahwa somasi hanya dilakukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan perikatan perdata, Aning mengaku tidak tahu.

    “Karena berdasarkan diskusi yang kami lakukan, ada beberapa temuan yang harus dijawab oleh pihak sekolah. Tidak ada unsur kebencian dari somasi ini, kami ingin meluruskan temuan dan keinginan kami ya pihak sekolah membalas surat somasi,” kata Aning dalam pertemuan tersebut.

    Sementara itu, berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh Kepala Sekolah, lebih banyak dijawab oleh pria yang mengaku bernama Risman. Saat para Kepala Sekolah mencoba melancarkan aksinya untuk memancing AMMUK menyebutkan nominal, pria mengaku bernama Risman itu mengatakan bahwa jika pihak sekolah tidak mau menjawab surat somasi, dapat menggunakan alternatif lain.

    Pertemuan tersebut berakhir dengan ‘damai’. Baik pihak sekolah maupun AMMUK menyampaikan tidak akan memperpanjang permasalahan itu. AMMUK diwakili oleh Aning, juga menyampaikan jika surat Lapdu tersebut bukan pihaknya yang membuat. Usai pertemuan, para Kepala Sekolah meminta hak embargo kepada BANPOS, untuk tidak menerbitkan berita terlebih dahulu. Mereka ingin memastikan niat baik dari pihak AMMUK.

    Berdasarkan penuturan salah satu Kepala Sekolah, surat somasi tersebut tiba-tiba datang diantarkan oleh mahasiswa salah satu universitas swasta di Pandeglang. Surat itu diantarkan ke rumah pribadi dirinya.

    Ia mengaku bahwa surat tersebut aneh, lantaran AMMUK sama sekali tidak pernah datang ke sekolah, untuk mengonfirmasi berkaitan dengan dugaan-dugaan tersebut. Tiba-tiba datang surat somasi, yang menurutnya juga tidak relevan dengan tuduhan yang disampaikan AMMUK.

    “Kami beberapa kali berkomunikasi dengan AMMUK, salah satu bahasanya adalah siapkan saja uang minimal Rp1 juta, untuk mereka ngopi. Trus kalau sudah masuk ke Kejaksaan, nanti minimal per kepala diminta Rp20 juta, disuruh pilih,” katanya.

    Selang 5 hari kemudian, tepatnya Rabu (4/10), salah satu Kepala Sekolah dikonfirmasi oleh media RN, berkaitan dengan somasi itu. Merasa AMMUK tidak memiliki itikad baik, para Kepala Sekolah pun mencabut hak embargo mereka.

    BANPOS melakukan penelusuran melalui media RN. Diketahui, pria yang datang bersama dengan Aning bukanlan Risman, melainkan Irfan Bule. Pihak RN membenarkan jika Irfan Bule memang merupakan wartawan mereka.

    Irfan saat dikonfirmasi, menegaskan bahwa kehadiran dirinya bukan sebagai wartawan RN, namun sebagai pembina dari AMMUK. Ia pun membantah bahwa dalam pertemuan itu, pihak AMMUK memalak sejumlah uang, dengan alasan tidak ada nominal yang disebutkan.

    “Saya datang di situ, menyarankan kepada AMMUK untuk tidak meminta nominal apapun. Saya juga bilang kepada pihak sekolah, balas saja surat somasinya tersebut. Nah kan pihak sekolah bilang tidak mau membalas, saya bilang kalau akang tidak bisa membalas surat dari AMMUK, kemungkinan teman-teman ada alternatif lain, ya sampaikan kepada saudara Aning. Jadi upaya pemalakan itu jauh banget ya,” ujarnya saat dikonfirmasi, Rabu (4/10).

    Saat ditanya terkait dengan kalimat yang dia sampaikan bahwa lebih baik pihak SKh yang menyampaikan nominal, ia menuturkan bahwa tidak etis apabila AMMUK yang menyampaikan nominal. Di sisi lain, ia mengaku bahwa alternatif yang dimaksud adalah melakukan pertemuan untuk klarifikasi, jika tidak mau melalui surat tertulis.

    “Saya sarankan, enggak etis dong jika pihak AMMUK menyampaikan nominal, sementara pihak AMMUK sendiri mengonfirmasinya dengan surat. Ya balas saja dengan surat kalau mau. Alternatifnya terserah mau apa, ngobrol di darat gitu tidak dengan surat. Begitu saya kasih saran,” terangnya.

    Sementara itu, Aning saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, tidak memberikan respon. Berkali-kali BANPOS mencoba menghubungi, baik melalui sambungan telepon seluler maupun sambungan WhatsApp, juga tidak memberikan respon. (DZH)

  • Pemkab Pandeglang Sampaikan Pentingnya Kerjasama Cegah Kekerasan

    Pemkab Pandeglang Sampaikan Pentingnya Kerjasama Cegah Kekerasan

    PANDEGLANG, BANPOS – Bersinergi dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Pandeglang bekerjasama dengan Kejaksaan Negeri (Kejari) dan Polres Pandeglang serta Koordinator Penyuluh (Korluh) di setiap kecamatan.

    Kepala DP2KBP3A Kabupaten Pandeglang, Aep Saepudin melalui Kepala UPT PPA DP2KBP3A Pandeglang, Mila Oktaviani mengatakan, kerjasama ini merupakan bentuk sinergitas bersama penegak hukum dalam mendampingi korban hingga proses hukum berlangsung.

    “Kalau kerjasama untuk aparat penegak hukum, saat ada korban melaporkan terkait kasus kekerasan seksual. Biasa kan kalau kasus seperti itu tidak hanya dari kita, tapi ada advokat, rumah sakit untuk visum dan psikologis, nanti dari Polres baru kita dampingi untuk visum,” kata Mila, kepada wartawan, Jumat (28/7).

    Selain itu, lanjut Mila, dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, pihaknya juga melibatkan para koordinator penyuluh di setiap kecamatan untuk ikut dalam kerjasama tersebut. Hal itu dilakukan agar para penyuluh mengetahui proses penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

    “Jadi untuk kerjasama atau sinergitas antara dinas dengan koordinator penyuluh kecamatan, apabila ada kasus kekerasan mereka bisa tahu dan langsung datang ke UPT PPA atau langsung ke dinas,” terangnya.

    Dengan adanya Kerjasama tersebut, kata Mila, pihaknya berharap dapat memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Pandeglang.

    “Kita berharap dengan adanya kegiatan yang melibatkan lintas sektor ini dapat memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak,” ungkapnya.

    Sementara itu, Kasubsi Penuntutan, Eksekusi dan Eksaminasi Pidana Umum Kejari Pandeglang, Vera Farianti Havilah mengatakan, dalam kerjasama ini pihaknya akan bertindak setelah adanya laporan dari korban ke pihak kepolisian.

    “Pada intinya Kejaksaan ini menerima berkas dari kepolisian, setelah menerima berkas baru kami bisa komunikasi dengan penyidik PPA, dan jika kasus ini terhadap anak kita koordinasi dengan stakeholder lainnya seperti Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan lainnya,” katanya.
    Namun, kata Vera, saat ini pihaknya sudah membuka posko akses keadilan bagi perempuan dan anak, yang fungsinya untuk memberikan saran dan pendapat bagi para korban.

    “Tapi kami ini sekarang membuka posko akses keadilan bagi perempuan dan anak, sehingga kami ini juga dapat mendapatkan laporan,” terangnya.

    “Misalkan ada kasus berkaitan dengan perempuan dan anak ini yang perlu mendapatkan saran dan pendapat. Jadi setelah mendapatkan laporan tersebut kita akan koordinasi dengan stakeholder terkait,” tandasnya. (DHE/PBN)

  • Kejari Pandeglang Tak Dampingi PT PBM Terkait Porang

    Kejari Pandeglang Tak Dampingi PT PBM Terkait Porang

    PANDEGLANG, BANPOS – Terkait skandal umbi porang BUMD Pandeglang, Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang mengaku kerjasama yang dilakukan dengan PD PBM adalah terkait bidang perdata dan Tata Usaha Negara (TUN).

    “Perlu digarisbawahi, kerjasama dengan PD PBM itu terkait bidang perdata dan TUN. Jadi MoU dengan PBM ini terkait dengan permasalahan hukum dan TUN, hanya sebatas itu,” kata Helena kepada BANPOS, Rabu (12/7).

    Terkait dengan porang, lanjut Helena, pihaknya tidak melakukan pendampingan apapun. Khusus dalam bidang perdata, kejaksaan tidak memberikan bantuan hukum dan tidak memberikan jasa hukum dan jasa pengacara lainnya.

    “Jadi biar terpisah, seakan-akan dengan adanya MoU ini tidak, karena di satu sisi juga sedang dilakukan penyelidikan. Makanya perdata tidak masuk disitu,” jelasnya.

    Sedangkan terkait dengan temuan Kantor Akuntan Publik (KAP), kata Helena lagi, adalah terkait dengan modal kerja yang terdahulu pada tahun 2017. Saat itu modal kerja yang diberikan oleh PD PBM kepada mitra kerjanya.

    “Kemudian dalam kepengurusan yang baru ini, dilakukanlah audit keuangan oleh KAP. Maka munculah angka Rp2,6 miliar, kemudian PBM ketika mengetahui ada uang diluar Rp2,6 miliar tersebut akhirnya bermohon kepada kejaksaan untuk dilakukan upaya bantuan hukum nonlitigasi agar uang tersebut bisa Kembali lagi ke PBM,” ucapnya.

    “Jadi ada perjanjian kepada mitra-mitra kerjanya itu, kalau misalnya gagal atau segala macam, maka modal kerja itu harus dikembalikan. Itu ada kewajiban, jadi itu yang sedang diupayakan,” sambungnya.

    Hal yang harus diluruskan, kata Helena, selama ini seakan-akan ada beberapa yang menyangka bahwa pihak kejaksaan yang melakukan audit. Padahal dalam hal ini adalah hasil audit yang sudah ada.

    “Kita tidak mengaudit, itu hasil audit yang sudah ada. Ada yang harus dipertanggungjawabkan oleh pihak-pihak tertentu waktu kepengurusan lama, ada beberapa nominal yang harus dipertanggungjawabkan dan kita sekalian mengundang untuk bantuan hukum nonlitigasi salah satunya adalah melakukan negosiasi kepada yang punya kewajiban itu,” terangnya.

    Helena menambahkan, setelah dilakukan upaya persuasif tersebut. Untuk langkah selanjutnya, Langkah melakukan gugatan bisa dilakukan sepanjang ada permohonan dari pihak PBM.

    “Nanti langkah kedepannya, kalau misalnya dari pihak PBM sudah mengkuasakan kepada kejaksaan untuk melakukan gugatan ke pengadilan itu bisa, sepanjang ada permohonan. Tergantung permohonan, nanti SKK nya seperti apa, apakah seperti non ligitasi diluar pengadilan ini,” katanya.

    Helena menegaskan, jika nanti kedepan ada tindak pidana lainnya, hal tersebut bukan lagi urusan Jaksa Pengacara Negara (JPN). Akan tetapi jika ada indikasi pidana khusus, akan ditangani oleh Pidana Khusus (Pidsus).

    “Kita ini mewakili dalam hal perdata TUN, kalau nanti kedepannya ada tindak pidana lainnya itu bukan urusan JPN. Makanya MoU nonlitigasi tadi tidak terganggu gugat dengan tindak pidana lainnya, ini hanya khusus untuk perdata TUN. Kalau nanti ada tindak pidana khusus, nanti akan ditangani oleh Pidsus. Kalau ada tindak pidana umum, laporkan kepada polisi baru kita yang menindak lanjuti,” ungkapnya.

    “Jadi Jaksa Agung telah memerintahkan kita, dalam mengatasi suatu perkara tidak boleh ada conflict of interest. Makanya berdiri masing-masing, untuk JPN tetap berada di perdata TUN. Kalau nanti ada indikasinya korupsi, pasti Pidsus akan turun. Kalau tindak pidana umum lainnya ada PPNS ataupun penyidik kepolisian,” tegasnya. (DHE/ENK)

  • Perlindungan Korban Kejahatan Seksual Wajib dilakukan! Monica Pegiat PATTIRO Banten

    Perlindungan Korban Kejahatan Seksual Wajib dilakukan! Monica Pegiat PATTIRO Banten

    Kejahatan seksual tak pernah habisnya karena korban begitu sulit lepas dari trauma untuk mengungkapkan yang dialami.

    Kejahatan seksual seringkali sangat sulit diungkap sampai tuntas. Apalagi hukum dan undang-undang kerap memposisikan kejahatan seksual seperti kejahatan biasa.

    Cara pembuktian dan prosedur pembuktian dianggap nol sehingga membuat trauma korban semakin menjadi-jadi.

    Belum lagi prasangka dan bias-bias membuat korban justru sering dipersalahkan. Lalu, menjadi semakin rumit saat pelaku adalah sosok popular.

    Pelaku sering mendapatkan benefit prasangka baik. Ada aspek struktural dan kultural dalam memerangi kejahatan seksual.

    Belakangan ini, kita kembali dikejutkan dengan adanya kasus revenge porn yang terjadi di Kabupaten Pandeglang.

    Pelaku diduga melakukan penyiksaan terhadap korban dan pemerkosaan serta ancaman video porno. Selama 3 tahun korban bertahan penuh ancaman.

    Selain itu, pelaku juga diduga memaksa korban untuk bunuh diri.

    Kakak korban akhirnya berani melaporkan, setelah meyakinkan korban yang merupakan adiknya tersebut untuk melaporkan semua kejadian kepada pihak berwenang.

    Namun, alih-alih mendapat keadilan hukum, keluarga dan kuasa hukum mendapatkan ketidakadilan, keluarga merasa pelayanan dari Posko Akses Keadilan Perempuan dan Anak

    Kejari Pandeglang melakukan intimidasi dan memberikan demotivasi kepada keluarga korban. Dalam uraian yang dikutip akun Twitter @Zanatul_19 mengatakan bahwa kasus kekerasan dan pelecehan ini tidak dapat dibuktikan karena tidak ada bukti alat visum. Keluarga telah memberikan alat bukti berupa chat korban dan pelaku yang bisa dikategorikan “kekerasan verbal dan kekerasan psikis”.

    Hal yang membuat mirisnya adalah, akun media sosial kejari telah memposting foto korban tanpa sensor yang tidak sesuai dengan standar pelayanan bagi korban dan tak bisa dipertanggungjawabkan.

    Sebagaimana diketahui, keluarga melakukan pelaporan kepada Posko Akses Keadilan Perempuan dan Anak Kejari Pandeglang, karena sebelumnya sudah melaporkan kasus tersebut ke POLDA Banten.

    Namun ternyata, perkara ini disimplifikasi menjadi dugaan kasus pelanggaran UU ITE berdasarkan bukti-bukti yang dianggap POLDA Banten lebih kuat.

    Pada akhirnya seperti yang sudah penulis paparkan di atas, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak cenderung selalu dipersulit dengan proses pembuktian.

    Padahal sebagaimana diketahui, psikologi korban kekerasan ataupun pemerkosaan akan sangat tertekan, jangankan menyiapkan bukti seperti visum, untuk mengaku adanya tindakan tersebut juga membutuhkan keberanian yang luar biasa.

    Sebab itu, pilihan korban beserta keluarganya untuk mengadu dan melakukan konsultasi ke Posko Akses Keadilan Perempuan dan Anak

    Kejari Pandeglang sebenarnya sudah tepat. Karena seperti dikutip dari pemberitaan media massa, menurut Kajari Pandeglang, posko ini adalah menerima konsultasi, memberikan ruang kenyamanan dalam hal koordinasi, konseling sehingga kedepannya korban tidak takut untuk melaporkan.

    Walaupun pada akhirnya, untuk laporan tetap ke Polisi, namun konsultasi terkait hal ini seharusnya juga dapat dilayani oleh Posko Akses Keadilan Perempuan dan Anak Kejari Pandeglang tersebut.

    Saat ini, Kabupaten Pandeglang darurat kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak. Ditambah kasus yang sedang viral belakangan ini adalah korban perempuan pula.

    Hal ini menjadi penambahan kasus terbaru yang membuat perempuan terjadi diskriminasi.

    Catatan laporan dalam kurun waktu 3 bulan terakhir terhitung mulai Januari hingga Maret 2023 mencapai 26 kasus kekerasan terhadap perempuan terdiri dari kasus kekerasan seksual, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Kekerasan fisik pada anak, Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan hak asuh anak. J

    ika kasus ini dibiarkan begitu saja, tanpa ada penanganan dan pencegahan akan berdampak bagi perempuan dan anak tidak merasa aman dan resah.

    Namun hal sebaliknya, para pelaku yang merajalela yang bisa mengancam siapa saja merasa tenang karena dapat melakukan perbuatannya tanpa ada hukuman berat.

    Tidak bisa dibayangkan jika itu terjadi dalam keluarga kita sendiri.

    Perlindungan terhadap perempuan dan anak kembali menjadi perhatian dalam beberapa tahun terakhir.

    Sejumlah kasus kekerasan yang mengkhawatirkan yang menimpa perempuan maupun anak menjadi bukti pentingnya Upaya Perlindungan maksimal untuk mendapatkan hak rasa aman.

    Dalam membantu para korban, Pemerintah Kabupaten Pandeglang bersama Kejaksaan Negeri Kabupaten Pandeglang meresmikan Posko Akses Keadilan Perempuan dan Anak.

    Posko ini diharapkan mampu membantu para korban untuk melaporkan kasus yang dialami, memberikan pendampingan hingga terapi bagi para korban kekerasan dan pelecehan.

    Diresmikannya Posko Akses keadilan bagi perempuan dan anak adalah sebagai optimalisasi pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai korban maupun saksi.

    Bentuk komitmen tersebut tertuang dalam Pedoman Kejaksaan No 1 Tahun 2021 tentang akses terhadap keadilan bagi perempuan dan anak dalam penanganan perkara pidana dengan harapan bahwa aturan ini semakin dapat menjamin dan memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak dalam proses hukum.

    Terkait ketidakadilan yang dirasakan pihak keluarga korban, dan akhirnya memilih memberanikan diri mengungkapkan kasusnya di depan publik.

    Penanganan dan komitmen penegak hukum tersebut membuat banyak masyarakat geram dengan hak korban yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan pendampingan.

    Lalu, adanya dugaan intervensi hukum, ditengah proses hukum berjalan berbagai perlakuan yang mencurigakan. Kemudian, kurangnya komunikasi baik terhadap korban, alur rujukan penanganan kasus yang rumit hingga kurangnya peran penegak hukum terhadap pelaku.

    Menurut saya, setelah mendapatkan pengalaman menjadi Program Officer dalam isu Program Pendampingan dan Perlindungan perempuan maupun anak yang dijalankan oleh PATTIRO Banten dengan mitra donatur YAPPIKA ActionAid selama 3 tahun di Kecamatan Sumur-Kabupaten Pandeglang.

    Pelaku seharusnya mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya karena kasus ini merupakan kejahatan seksual dan memberikan dampak serius terhadap korban.

    Perlindungan terhadap korban membutuhkan partisipasi masyarakat yang berempati terdapat apa yang telah dialami sehingga memenuhi rasa kemanusiaan yang tertuang dalam Pancasila sila ke-2 bahwa “kemanusiaan yang adil dan beradab”.

    Keadilan hukum harus terus ditegakkan sehingga pencegahan kejahatan seksual ini tidak terus berulang.

    Menyoroti penegak hukum, mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2022 yang menggantikan UU No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu Lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam penegakan supremasi hukum, Perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia serta pemberantasan KKN.

    Seharusnya penegak hukum ataupun Posko Akses Keadilan Perempuan dan Anak Kejari Kabupaten Pandeglang lebih berkomitmen terhadap perlindungan korban dan peka terhadap korban.

    Kejahatan seksual ini terjadi karena adanya faktor pendorong, salah satunya yaitu terkadang mayoritas masyarakat menganggap tindakan kekerasan merupakan ‘hal biasa’ saja, walaupun tidak dipungkiri masih banyak yang tidak menganggap demikian.

    Namun, persepsi tersebut membuat, korban kekerasan seksual semakin tidak berani melaporkan pelaku, sehingga korban akan terus dihantui rasa ketakutan setiap saat dan memendamnya lama. Selain itu, faktor pendukung lainnya seperti, budaya patriarki, penyalahgunaan relasi kuasa, kemiskinan, tingkat pendidikan, minimnya perlindungan hukum, hingga situasi yang tidak menentu seperti saat pandemi yang lalu.

    Dalam rangka penghapusan kejahatan seksual secara sistematis dan berkelanjutan, beberapa hal perlu dilakukan seperti:

    Perlu adanya perspektif korban dalam memerangi kejahatan seksual
    Bertindak responsif terhadap penyelesaian kasus secara adil dan menghargai hak asasi manusia

    Melakukan peningkatan kapasitas terkait alur penanganan kasus kekerasan hingga pendampingan korban untuk Posko PPA Kabupaten

    Memperkuat komitmen dari Penegakan hukum terkait peran Lembaga perlindungan dan pendampingan terhadap korban kekerasan sesuai proporsinya

    Perlindungan dan pendampingan korban dengan memberikan dukungan, menghubungkan korban dengan akses bantuan hukum dalam penegakan hukum

    Menghubungkan korban dengan akses layanan pemulihan yang dibutuhkan Pendidikan pencegahan kekerasan berbasis gender dalam pembelajaran level TK, Sekolah Dasar, SMP, SMA hingga perguruan tinggi

    Melakukan evaluasi atau koreksi terhadap kinerja dan terhadap maraknya kejahatan seksual yang terjadi dimana-mana di Kabupaten Pandeglang.

    Kita semua pasti berharap, kasus revenge porn di Pandeglang yang viral ini dapat menjadi kasus yang terakhir. Kita juga harus berharap, kasus ini dapat menjadi bahan pembelajaran untuk mencegah dan menangani tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak kedepannya.

  • Kajati Banten Tegaskan Jaksa Kasus Revenge Porn Pandeglang Profesional

    Kajati Banten Tegaskan Jaksa Kasus Revenge Porn Pandeglang Profesional

    SERANG, BANPOS – Kepala Kejati Banten, Didik Farkhan Alisyahdi, menegaskan bahwa Jaksa kasus revenge porn yang dialami oleh mahasiswi Untirta asal Pandeglang bertindak profesional dalam bertugas.

    Hal itu menyusul maraknya pemberitaan hingga viralnya di media sosial, terkait dugaan adanya intimidasi oleh pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang, dalam perkara kasus dugaan pemerkosaan dan pemerasan.

    Kajati Banten mengatakan bahwa hingga saat ini, pihaknya terus berkoordinasi dengan Kejari Pandeglang terkait dengan perkara tersebut.

    Ia mengaku, hingga saat ini berdasarkan pengawasan internal pihaknya, belum ditemukan pelanggaran yang dilakukan seperti dugaan yang beredar di media sosial maupun pemberitaan.

    “Saya sebagai Kajati, bersama Aspidum dan Aswas sudah langsung klarifikasi mulai dari jaksa peneliti hingga jaksa penuntut umum sampai dengan Kajari Pandeglang, belum menemukan adanya ketidakprofesionalan dalam kasus tersebut,” kata Didik dalam keterangan video, Selasa (27/6).

    Menurutnya, seluruh tahapan pada kasus tersebut sudah sesuai dengan hukum acara dan SOP yang telah ditetapkan dalam peraturan yang berlaku.

    “Saya yakin dan insyaallah semua akan berjalan profesional. Tuntutan sudah dibacakan, nanti akan dibacakan putusannya oleh hakim,” tandasnya. (MYU)

  • Satgas PPKS Untirta Tegaskan Komitmen Kawal Kasus Revenge Porn di Pandeglang

    Satgas PPKS Untirta Tegaskan Komitmen Kawal Kasus Revenge Porn di Pandeglang

    PANDEGLANG, BANPOS – Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Untirta menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen, dalam penyelesaian perkara revenge porn yang dialami salah satu mahasiswi Untirta.

    Pihaknya pun akan mengawal kasus tersebut hingga tuntas, dan telah merekomendasikan sanksi administrasi berat bagi pelaku, kepada pihak Rektorat.

    Ketua Satgas PPKS UNTIRTA, Uut Luthfi, mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan pendampingan terhadap korban dugaan kekerasan seksual hingga ke persidangan.

    Ia mengatakan bahwa perkara tersebut memang telah dilaporkan ke Satgas PPKS Untirta. Selain dilaporkan ke Satgas PPKS Untirta, kasus tersebut juga dilaporkan oleh korban dan keluarga ke Polda Banten yang selanjutnya ditangani tim cyber crime.

    “Karena memang yang dilaporkan itu adalah terkait dengan pelanggaran Undang-undang ITE, yang penyebaran video dan foto korban di media sosial. Sehingga ditanganilah oleh tim cyber di Polda Banten,” ujarnya dalam keterangan audio yang diterima BANPOS, Selasa (27/6).

    Lebih lanjut, Uut menuturkan bahwa setelah menerima keterangan dari korban dan keluarga korban secara langsung, pihaknya telah menentukan langkah-langkah advokasi untuk membantu korban.

    Langkah-langkah tersebut diantaranya berkoordinasi dengan Polda Banten dan bertemu dengan tersangka, untuk memastikan bahwa apakah betul yang dilaporkan tersangka itu adalah mahasiswa Untirta.

    “Dan ketika kami bertemu dengan tersangka, tersangka pun mengakui bahwa dia adalah mahasiswa Untirta Fakultas Teknik Untirta, dan mengakui juga bahwa apa yang dilakukan oleh tersangka bahwa dia yang buat dan dia yang menyebarkan hal tersebut,” tuturnya

    Uut juga mengatakan, dalam penanganan kasus, pihaknya telah melakukan peninjauan atas kasus tersebut serta memberikan sebuah layanan untuk korban.

    “Setelah itu, yang dilakukan oleh Satgas, kami juga melakukan bedah kasus ini, untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya. Yaitu diantaranya, korban sudah mendapatkan layanan psikologis dari psikolog yang disediakan oleh Satgas PPKS Untirta,” katanya.

    Uut mengatakan, untuk menindaklanjuti hasil daripada bukti-bukti yang didapatkan, mulai dari keterangan psikolog hingga pelapor dan terlapor, pihaknya melaksanakan rapat Satgas PPKS untuk menentukan sanksi kepada pelaku.

    “Kami sepakat bahwa, perkara ini kami merekomendasikan sanksi administrasi dalam kategori berat kepada rektor,” terangnya.

    Sementara sanksi yang akan ditetapkan kepada tersangka saat ini masih dalam proses. Adapun untuk sanksi hukum, ia mengaku bahwa proses tersebut diserahkan kepada pihak yang berwenang.

    “Terkait dengan proses hukum, tentu itu adalah ranahnya daripada penegak hukum. Jadi, kami mempersilakan untuk bagaimana proses hukum itu berproses, tentu dengan prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum dan sebagainya,” katanya

    “Jadi kami tidak ada di ranah itu. Karena ranah kami adalah internal kampus tentang bagaimana korban mendapatkan layanan psikologis, layanan spiritual, termasuk juga pendampingan terkait dengan advokasi hukumnya,” lanjutnya.

    Ia menyampaikan, dirinya mewakili Satgas, mengajak kepada semua pihak, baik sivitas akademika Untirta maupun masyarakat umum, untuk menyikapi kasus ini dengan bijak. Jangan sampai sikap yang disampaikan, justru menimbulkan permasalahan baru.

    “Saya kira itu juga perlu untuk disikapi dengan bijak, terus disikapi dengan bukti-bukti yang kuat. Sehingga komentar-komentar itu harus bisa dipertanggungjawabkan oleh siapapun, dan kita serahkan bagaimana proses hukum ini kepada para penegak hukum,” ujarnya.

    Namun ia juga mengajak kepada masyarakat, untuk mengawal bersama-sama kasus tersebut hingga tuntas. Pihaknya selaku lembaga yang dibentuk untuk mencegah dan menangani tindak kekerasan seksual di Untirta, juga akan memperketat pengawasan agar kasus serupa tidak kembali terulang.

    “Mudah-mudahan ini dapat terminimalisir. Syukur-syukur jangan sampai terjadi lagi kasus-kasus kekerasan seksual di Untirta. Karena dalam amanat Permendikbud 30 tahun 2021 bahwa yang diberikan amanah oleh Permendikbud itu adalah satgas PPKS Untirta, dalam hal melakukan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual,” terangnya

    Uut juga mengimbau kepada semua pihak baik Sivitas Akademika Untirta maupun masyarakat umum, yang mengetahui atau menjadi korbna atas kasus serupa, agar bisa melaporkan hal tersebut kepada pihaknya dan pihak berwenang.

    “Kami tentu mengimbau kepada siapapun itu yang mengetahui atau yang menjadi korban kekerasan seksual, agar segera lapor ke Satgas PPKS Untirta,” tandasnya (CR-01/DZH)

  • Kinerja Kejari Pandeglang dan Lebak Dikritik, Dinilai Lamban dan Mengintimidasi

    Kinerja Kejari Pandeglang dan Lebak Dikritik, Dinilai Lamban dan Mengintimidasi

    SERANG, BANPOS – Kejaksaan Negeri Pandeglang dan Lebak mendapatkan kritikan keras dikarenakan dinilai memiliki kinerja yang tidak baik. Untuk di Kabupaten Lebak, diketahui sejumlah massa melakukan aksi terkait penilaian lambatnya kasus yang sedang ditangani oleh Kejari Lebak. Sementara Kejari Pandeglang terkena dampak dari viralnya utas di twitter yang mengaku terjadi intimidasi oleh pihak kejaksaan dalam perkara kasus dugaan pemerkosaan dan pemerasan.

    Viralnya kasus dugaan pemerkosaan dan intimidasi ini bahkan hingga membuat pihak Kejaksaan Tinggi Banten harus melakukan konferensi pers melalui aplikasi zoom pada Senin (26/6) pukul 20.00 WIB.

    Diketahui, permasalahan ini dimulai dari utas twitter oleh akun @zanatul_91 yang bernama Iman Zanatul Haeri. Dalam utas tersebut, ia memaparkan kronologi dugaan pemerasan, penyiksaan hingga pemerkosaan yang dilakukan oleh terduga pelaku berinisial A.

    Dalam kronologi tersebut ditulis, adik nya diperkosa dan dipaksa mengikuti keinginan pelaku dengan ancaman kekerasan hingga menyebar video asusila/revenge porn kepada orang-orang terdekat korban. Korban bertahan dengan penuh siksaan selama 3 tahun kebelakang ini.

    Kasus ini sudah dibawa ke pengadilan, namun menurut Iman dalam utasnya tersebut, terlihat ada kejanggalan dalam proses pengadilan dan juga upaya-upaya intimidasi kepada adiknya sebagai korban.

    “Alasan bikin thread begini, karena kita melihat proses sidang yang janggal,” ujar Iman dalam utasnya tersebut.

    Ia juga memaparkan bahwa ada upaya dari oknum jaksa yang terkesan ingin melakukan intimidasi bahkan hingga mengajak korban untuk bertemu dengan orang yang mengaku jaksa tersebut di sebuah kafe tanpa ada pendampingan dari siapa-siapa.

    “Ia beralasan bahwa ini adalah pertemuan personal saja, bahwa sebaiknya berdua saja tanpa didampingi siapapun. Menurut Jaksa D, adik kami hanya akan ngobrol santai seperti teman. Orang yang mengaku Jaksa D tersebut meminta untuk tidak bercerita atas pertemuan ini kepada orang lain. Selain itu ia meminta agar pertemuannya dilaksanakan di cafe yang memiliki fasilitas live music,” jelasnya.

    Namun saat dilakukan konfirmasi kepada Kepala Kejari Pandeglang, disebutkan ia mengaku tidak memerintahkan hal tersebut kepada Jaksa D.
    “Kenapa para Jaksa ini seperti mencoba menarik keluar adik kami dari savehouse? Kenapa harus bertemu tanpa pendampingan di cafe live music?” tanya Iman.

    Ia menyampaikan, pada saat sidang kedua, 6 Juni 2023, Sebelum persidangan, korban dan saksi dipanggil oleh Jaksa penuntut kasus. Saat di kejaksaan, korban dipanggil ke ruangan pribadi Jaksa penuntut kasus tersebut.

    “Ia berkali-kali menggiring opini psikologis korban (adik kami) untuk ‘memaafkan’, “kamu harus bijaksana, “kamu harus mengikhlaskan,” tulisnya mengutip pernyataan jaksa tersebut.

    Karena hal ini, ia akhirnya mengantar korban ke Posko Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), untuk melaporkan proses persidangan yang dinilainya ganjil. Seperti, alat bukti yang dihadirkan berbeda.

    “Adik saya tahu mana handphone yang (saat itu) dipakai pelaku untuk menyebarkan revenge porn,” terangnya.
    Menurutnya, hal yang paling krusial adalah, alat bukti utama video asusila justru tidak dihadirkan oleh jaksa penuntut. Dengan alasan laptop tidak mendukung untuk memutar video tersebut.

    “Artinya majelis hakim tidak melihat alat bukti utama tersebut. Trus apa yang disidangkan?” ujar Iman.

    Terpisah dalam konferensi pers melalui aplikasi zoom, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang, Helena Octavianne, mengaku bahwa dirinya sempat bertanya kepada korban apakah dia memaafkan pelaku, pada saat pertemuan yang dilakukan antara korban dan keluarga, dengan pihak Kejari Pandeglang di Posko Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Selain itu, ia juga mengaku sempat bertanya apakah korban masih sayang atau tidak dengan pelaku.

    Hal itu terungkap dalam konferensi pers daring yang dilaksanakan oleh Kejati Banten, pada Senin (26/6) malam. Pihak Kejari Pandeglang mulai dari Kepala Kejari hingga jaksa penanggungjawab turut dihadirkan dalam konferensi pers tersebut.

    Dalam konferensi pers yang dipimpin langsung oleh Kajati Banten, Didik Farkhan Alisyahdi, Helena mengklarifikasi bahwa dirinya tidak memaksakan korban untuk memaafkan pelaku. Karena, pada saat persidangan pun menurutnya, Majelis Hakim bertanya apakah korban memaafkan pelaku.

    “Kok dibilang kami jaksa memaksa untuk supaya korban memaafkan. Padahal di persidangan, hakim dengan majelis dan kebetulan korban tidak masuk ke dalam karena katanya nggak kuat melihat pelaku, jadi hakim menanyakan apakah pihak korban memaafkan pelaku dan kakaknya bilang kami memaafkan,” ujarnya.

    Namun, Helena mengakui jika pada saat pertemuan dengan korban dan keluarganya, ia sempat bertanya apakah korban masih sayang dengan pelaku. Pasalnya, jalinan kasih antara korban dan pelaku sudah berlangsung 4 tahun, meskipun kerap putus dan kembali tersambung.
    “Tapi kami juga waktu yang dengan si korban menanyakan juga, karena dia kan 4 tahun pacaran putus nyambung. Pertanyaan kami adalah kamu sebenarnya masih sayang nggak gitu, ya udah nggak sih (jawab korban). Terus kalau memaafkan iya apa enggak? Memaafkan sih tapi ya lebih baik diproses aja. Itu pak jawaban dari korban. (Pertanyaan) kami waktu di posko,” tuturnya.
    Menurut Helena, pertanyaan terkait dengan maaf memaafkan itu adalah untuk pertimbangan JPU dan hakim, dalam memberikan tuntutan dan menjatuhi hukuman kepada pelaku nantinya.
    “Kalau dibilang memaafkan, memaafkan itu kan sebenarnya hanya kita tuh sesuai dengan hati nurani. Jadi kalau dalam penuntutan kita akan tetap berkoordinasi dengan pimpinan, terutama pa Kajati dan pak Aspidum, kemudian juga berdasarkan tolok ukur,” tuturnya.

    Sementara terkait dengan keinginan pihak korban untuk membawa perkara tersebut ke arah pidana pemerkosaan, Helena menuturkan bahwa pihaknya memiliki prosedur untuk menerima berkas perkara dari pihak Kepolisian, untuk pidana umum.

    “Kalau memang mau melaporkan perkara perkosaannya, saya sudah menyarankan kepada korban dan abangnya silahkan bawa data-data yang ada, lapor ke Polisi. Nanti kami Kejaksaan akan tunggu berkasnya nanti seperti apa, kita akan proses,” ungkapnya.

    Sementara terkait dengan sejumlah tudingan yang disampaikan oleh keluarga korban dalam utas Twitternya, Helena memberikan bantahan. Seperti terkait dengan unggahan foto korban pada Instagram Kejari Pandeglang yang disebut tidak menunjukkan wajah korban. Ia mengatakan, pengunggahan foto itu tidak bermaksud menyebarkan wajah korban, dan sudah dihapus sesuai permintaan keluarga korban.

    Selanjutnya terkait dengan apa yang disebut oleh keluarga korban sebagai oknum Jaksa yang ingin bertemu dengan korban di kafe, menurutnya oknum Jaksa berinisial D itu tidak melakukan hal tersebut karena sedang mengikuti rapat Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) bersama dengannya.

    Lalu terkait dengan dirinya yang disebut memarahi keluarga korban karena menggunakan jasa pengacara, menurutnya pun hal itu salah persepsi. Karena ia hanya bermaksud bertanya sembari menjelaskan bahwa pengacara korban dalam perkara tersebut secara tidak langsung adalah pihak Kejaksaan.

    Puluhan Massa Aksi melakukan aksi demonstrasi di depan gedung Kejaksaan Negeri (Kejari) Lebak pada Senin (26/6).
    Diketahui, massa aksi tersebut tergabung dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Lebak (Imala) dan Himpunan Ilmu Komunikasi Mathla’ul Anwar (HIMAKOM) Banten.

    Dalam aksi tersebut, Massa menilai Kejari Lebak lamban dalam menangani kasus-kasus yang ada di Lebak. Salah satunya, permasalahan dugaan Pungli yang dilakukan oleh Kepala Desa Pagelaran, Kecamatan Malingping beberapa waktu lalu.

    “Kejari ini terlalu lamban dalam penentuan terhadap pelanggaran hukum di Kabupaten Lebak,” kata Ketua Umum Imala, Aswari kepada Awak Media.

    Sementara itu, koordinator aksi, Hadi mengatakan, pihaknya mempertanyakan kelanjutan dari kasus dugaan Pungli yang dilakukan oleh Kades Pagelaran.

    “Terhitung sudah lebih dari 15 hari kasus tersebut berada di penyelidikan. Kami ingin tahu sudah sejauh mana, dan segera ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Hadi.

    Ia menjelaskan, Oknum Kepala Desa tersebut telah melakukan penyalahgunaan kewenangan dan jabatan agar dapat melakukan pemerasan terhadap perusahaan yang berada di wilayahnya.

    “Diperparah lagi, ia bekerjasama dengan suami yang merupakan PNS. Berdasarkan hasil investigasi kami, kades ini sudah mendapatkan Rp345 juta hasil pungli,” tandasnya.

    Terpisah, Kepala Kejari Lebak, Mayasari, mengatakan bahwa saat ini pihaknya terus melakukan penyelidikan dan memanggil lebih dari 21 orang saksi dalam kasus ini.

    “Kita terus dalam penyelidikan di kasus ini, doakan saja, maksimal tiga bulan kalau tidak ada kendala kasus ini bisa diselesaikan,” tandasnya.(MYU/DZH/PBN)