SERANG, BANPOS – Kejaksaan Negeri Pandeglang dan Lebak mendapatkan kritikan keras dikarenakan dinilai memiliki kinerja yang tidak baik. Untuk di Kabupaten Lebak, diketahui sejumlah massa melakukan aksi terkait penilaian lambatnya kasus yang sedang ditangani oleh Kejari Lebak. Sementara Kejari Pandeglang terkena dampak dari viralnya utas di twitter yang mengaku terjadi intimidasi oleh pihak kejaksaan dalam perkara kasus dugaan pemerkosaan dan pemerasan.
Viralnya kasus dugaan pemerkosaan dan intimidasi ini bahkan hingga membuat pihak Kejaksaan Tinggi Banten harus melakukan konferensi pers melalui aplikasi zoom pada Senin (26/6) pukul 20.00 WIB.
Diketahui, permasalahan ini dimulai dari utas twitter oleh akun @zanatul_91 yang bernama Iman Zanatul Haeri. Dalam utas tersebut, ia memaparkan kronologi dugaan pemerasan, penyiksaan hingga pemerkosaan yang dilakukan oleh terduga pelaku berinisial A.
Dalam kronologi tersebut ditulis, adik nya diperkosa dan dipaksa mengikuti keinginan pelaku dengan ancaman kekerasan hingga menyebar video asusila/revenge porn kepada orang-orang terdekat korban. Korban bertahan dengan penuh siksaan selama 3 tahun kebelakang ini.
Kasus ini sudah dibawa ke pengadilan, namun menurut Iman dalam utasnya tersebut, terlihat ada kejanggalan dalam proses pengadilan dan juga upaya-upaya intimidasi kepada adiknya sebagai korban.
“Alasan bikin thread begini, karena kita melihat proses sidang yang janggal,” ujar Iman dalam utasnya tersebut.
Ia juga memaparkan bahwa ada upaya dari oknum jaksa yang terkesan ingin melakukan intimidasi bahkan hingga mengajak korban untuk bertemu dengan orang yang mengaku jaksa tersebut di sebuah kafe tanpa ada pendampingan dari siapa-siapa.
“Ia beralasan bahwa ini adalah pertemuan personal saja, bahwa sebaiknya berdua saja tanpa didampingi siapapun. Menurut Jaksa D, adik kami hanya akan ngobrol santai seperti teman. Orang yang mengaku Jaksa D tersebut meminta untuk tidak bercerita atas pertemuan ini kepada orang lain. Selain itu ia meminta agar pertemuannya dilaksanakan di cafe yang memiliki fasilitas live music,” jelasnya.
Namun saat dilakukan konfirmasi kepada Kepala Kejari Pandeglang, disebutkan ia mengaku tidak memerintahkan hal tersebut kepada Jaksa D.
“Kenapa para Jaksa ini seperti mencoba menarik keluar adik kami dari savehouse? Kenapa harus bertemu tanpa pendampingan di cafe live music?” tanya Iman.
Ia menyampaikan, pada saat sidang kedua, 6 Juni 2023, Sebelum persidangan, korban dan saksi dipanggil oleh Jaksa penuntut kasus. Saat di kejaksaan, korban dipanggil ke ruangan pribadi Jaksa penuntut kasus tersebut.
“Ia berkali-kali menggiring opini psikologis korban (adik kami) untuk ‘memaafkan’, “kamu harus bijaksana, “kamu harus mengikhlaskan,” tulisnya mengutip pernyataan jaksa tersebut.
Karena hal ini, ia akhirnya mengantar korban ke Posko Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), untuk melaporkan proses persidangan yang dinilainya ganjil. Seperti, alat bukti yang dihadirkan berbeda.
“Adik saya tahu mana handphone yang (saat itu) dipakai pelaku untuk menyebarkan revenge porn,” terangnya.
Menurutnya, hal yang paling krusial adalah, alat bukti utama video asusila justru tidak dihadirkan oleh jaksa penuntut. Dengan alasan laptop tidak mendukung untuk memutar video tersebut.
“Artinya majelis hakim tidak melihat alat bukti utama tersebut. Trus apa yang disidangkan?” ujar Iman.
Terpisah dalam konferensi pers melalui aplikasi zoom, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang, Helena Octavianne, mengaku bahwa dirinya sempat bertanya kepada korban apakah dia memaafkan pelaku, pada saat pertemuan yang dilakukan antara korban dan keluarga, dengan pihak Kejari Pandeglang di Posko Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Selain itu, ia juga mengaku sempat bertanya apakah korban masih sayang atau tidak dengan pelaku.
Hal itu terungkap dalam konferensi pers daring yang dilaksanakan oleh Kejati Banten, pada Senin (26/6) malam. Pihak Kejari Pandeglang mulai dari Kepala Kejari hingga jaksa penanggungjawab turut dihadirkan dalam konferensi pers tersebut.
Dalam konferensi pers yang dipimpin langsung oleh Kajati Banten, Didik Farkhan Alisyahdi, Helena mengklarifikasi bahwa dirinya tidak memaksakan korban untuk memaafkan pelaku. Karena, pada saat persidangan pun menurutnya, Majelis Hakim bertanya apakah korban memaafkan pelaku.
“Kok dibilang kami jaksa memaksa untuk supaya korban memaafkan. Padahal di persidangan, hakim dengan majelis dan kebetulan korban tidak masuk ke dalam karena katanya nggak kuat melihat pelaku, jadi hakim menanyakan apakah pihak korban memaafkan pelaku dan kakaknya bilang kami memaafkan,” ujarnya.
Namun, Helena mengakui jika pada saat pertemuan dengan korban dan keluarganya, ia sempat bertanya apakah korban masih sayang dengan pelaku. Pasalnya, jalinan kasih antara korban dan pelaku sudah berlangsung 4 tahun, meskipun kerap putus dan kembali tersambung.
“Tapi kami juga waktu yang dengan si korban menanyakan juga, karena dia kan 4 tahun pacaran putus nyambung. Pertanyaan kami adalah kamu sebenarnya masih sayang nggak gitu, ya udah nggak sih (jawab korban). Terus kalau memaafkan iya apa enggak? Memaafkan sih tapi ya lebih baik diproses aja. Itu pak jawaban dari korban. (Pertanyaan) kami waktu di posko,” tuturnya.
Menurut Helena, pertanyaan terkait dengan maaf memaafkan itu adalah untuk pertimbangan JPU dan hakim, dalam memberikan tuntutan dan menjatuhi hukuman kepada pelaku nantinya.
“Kalau dibilang memaafkan, memaafkan itu kan sebenarnya hanya kita tuh sesuai dengan hati nurani. Jadi kalau dalam penuntutan kita akan tetap berkoordinasi dengan pimpinan, terutama pa Kajati dan pak Aspidum, kemudian juga berdasarkan tolok ukur,” tuturnya.
Sementara terkait dengan keinginan pihak korban untuk membawa perkara tersebut ke arah pidana pemerkosaan, Helena menuturkan bahwa pihaknya memiliki prosedur untuk menerima berkas perkara dari pihak Kepolisian, untuk pidana umum.
“Kalau memang mau melaporkan perkara perkosaannya, saya sudah menyarankan kepada korban dan abangnya silahkan bawa data-data yang ada, lapor ke Polisi. Nanti kami Kejaksaan akan tunggu berkasnya nanti seperti apa, kita akan proses,” ungkapnya.
Sementara terkait dengan sejumlah tudingan yang disampaikan oleh keluarga korban dalam utas Twitternya, Helena memberikan bantahan. Seperti terkait dengan unggahan foto korban pada Instagram Kejari Pandeglang yang disebut tidak menunjukkan wajah korban. Ia mengatakan, pengunggahan foto itu tidak bermaksud menyebarkan wajah korban, dan sudah dihapus sesuai permintaan keluarga korban.
Selanjutnya terkait dengan apa yang disebut oleh keluarga korban sebagai oknum Jaksa yang ingin bertemu dengan korban di kafe, menurutnya oknum Jaksa berinisial D itu tidak melakukan hal tersebut karena sedang mengikuti rapat Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) bersama dengannya.
Lalu terkait dengan dirinya yang disebut memarahi keluarga korban karena menggunakan jasa pengacara, menurutnya pun hal itu salah persepsi. Karena ia hanya bermaksud bertanya sembari menjelaskan bahwa pengacara korban dalam perkara tersebut secara tidak langsung adalah pihak Kejaksaan.
Puluhan Massa Aksi melakukan aksi demonstrasi di depan gedung Kejaksaan Negeri (Kejari) Lebak pada Senin (26/6).
Diketahui, massa aksi tersebut tergabung dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Lebak (Imala) dan Himpunan Ilmu Komunikasi Mathla’ul Anwar (HIMAKOM) Banten.
Dalam aksi tersebut, Massa menilai Kejari Lebak lamban dalam menangani kasus-kasus yang ada di Lebak. Salah satunya, permasalahan dugaan Pungli yang dilakukan oleh Kepala Desa Pagelaran, Kecamatan Malingping beberapa waktu lalu.
“Kejari ini terlalu lamban dalam penentuan terhadap pelanggaran hukum di Kabupaten Lebak,” kata Ketua Umum Imala, Aswari kepada Awak Media.
Sementara itu, koordinator aksi, Hadi mengatakan, pihaknya mempertanyakan kelanjutan dari kasus dugaan Pungli yang dilakukan oleh Kades Pagelaran.
“Terhitung sudah lebih dari 15 hari kasus tersebut berada di penyelidikan. Kami ingin tahu sudah sejauh mana, dan segera ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Hadi.
Ia menjelaskan, Oknum Kepala Desa tersebut telah melakukan penyalahgunaan kewenangan dan jabatan agar dapat melakukan pemerasan terhadap perusahaan yang berada di wilayahnya.
“Diperparah lagi, ia bekerjasama dengan suami yang merupakan PNS. Berdasarkan hasil investigasi kami, kades ini sudah mendapatkan Rp345 juta hasil pungli,” tandasnya.
Terpisah, Kepala Kejari Lebak, Mayasari, mengatakan bahwa saat ini pihaknya terus melakukan penyelidikan dan memanggil lebih dari 21 orang saksi dalam kasus ini.
“Kita terus dalam penyelidikan di kasus ini, doakan saja, maksimal tiga bulan kalau tidak ada kendala kasus ini bisa diselesaikan,” tandasnya.(MYU/DZH/PBN)