Tag: Kementrian Kelautan Dan Perikanan

  • Nelayan Protes Penerapan PNPB Kementerian Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lebak

    Nelayan Protes Penerapan PNPB Kementerian Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lebak

    LEBAK, BANPOS – Sejumlah nelayan dan pemilik kapal tangkap ikan di kawasan perairan laut Binuangeun Kecamatan Wanasalam, menolak adanya kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI Nomor 24/2022 mengenai aturan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

    Sebagaimana diungkapkan pemilik kapal nelayan KM Bunga Lestari, Ucum Sumardi, bahwa aturan yang
    dikeluarkan oleh KKP itu dirasanya sangat merugikan para pemilik kapal dan nelayan tradisional atau pelaku usaha perikanan tangkap.

    ”Kami nelayan yang ada di Banten Selatan khususnya di Binuangeun, tidak mendukung adanya
    peraturan yang dikeluarkan Kementerian KKP itu. Menurut kami dapat merugikan nelayan dan pengusaha kapal tradisional, seharusnya pihak Kementerian mengkaji ulang kebijakan itu, karena segi positif dan negatifnya terhadap nelayan kecil jelas sangat berdampak sekali,” ungkapnya, Senin (4/9).

    Menurut Ucum, pemilik kapal dan Nelayan tradisional yang ada di Binuangeun merasa keberatan jika harus mengikuti keputusan dari pemerintah pusat terkait pungutan PNPB itu, walaupun itu dihitung dari jangkauan melayarnya.

    ”Disana kami diminta 5 Persen dari hasil melaut bagi kapal diatas 10 GT. Padahal karena Kapal yang dibawah 10 GT pun operasinya sering diatas 12 Mil. Bagi kami ini aturan tidak adil,” ujarnya.

    Senada, seorang nelayan Binuangeun, Mohamad Nasir, menyebut para nelayan tradisional di
    Binuangeun itu juga kecewa atas keputusan KKP-RI terkait PNBP yang merugikan pelaku usaha
    perikanan tangkap, karena PNBP yang diterapkan oleh kementerian KKP tidak sesuai dengan
    pendapatan rutin rata-rata para nelayan setempat.

    ”Jika pemilik kapal dan nelayan harus bayar pajak sekitar 5 persen dari pendapatan ikan per kilo untuk kapal 10 GT ke atas, jelas pastinya kami para nelayan akan merasa keberatan,” ujar Nasir.

    Dikatakannya, aturan pembatasan aktivitas penangkapan ikan di bawah 12 Mil jelas dianggap sangat
    memberatkan. Karena nelayan kecil nantinya harus menambah biaya operasional 5 Persen untuk PNBP,
    sekaligus menambah alat Vessel Monitoring System (VMS) yang harganya mencapai jutaan rupiah.

    "Kapal melebihi 12 Mil itu pastinya harus pasang VMS namanya, itu harganya Rp18 juta dan wajib diperpanjang tiap tahun Rp6,5 juta. Apa mereka nggak memikirkan kapal di bawah 30 GT bahwa tidak punya kemampuan untuk hal itu," terangnya.

    Atas nama nelayan, Nasir berharap kepada pemerintah pusat agar mengkaji ulang landasan yang diatur dalam Permen KKP-RI itu karena itu sangat memberatkan. ”Khususnya terhadap nelayan di Banten, aturan ini sangat memberatkan. Harusnya jika supaya ekonomi nelayan bisa bangkit, tentunya jangan membuat aturan yang menyiksa masyarakat nelayan,” kata Nasir.

    Dalam hal ini Nasir menambahkan, seharusnya ketika ada aturan seperti itu pemerintah daerah
    khususnya DKP Provinsi Banten meminta kemudahan dan pertimbangan ke pusat ”Harusnya pejabat
    pemerintah daerah seperti dinas kelautan peka terhadap kondisi nelayan di daerahnya. Jangan ujug-ujug peraturan ini langsung diterapkan ke nelayan tanpa sosialisasi, dan tanpa melihat kondisi kekuatan pendapatan mereka, ini jelas merugikan kami,” tandasnya. (WDO/DZH)

  • KKP Tutup Proyek Reklamasi Tak Berizin Di Batam

    KKP Tutup Proyek Reklamasi Tak Berizin Di Batam

    KEPULAUAN RIAU, BANPOS – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menutup proyek reklamasi tak berizin di Batam, Kepulauan Riau. Lahan reklamasi tersebut merupakan milik PT. DIA yang rencananya akan dibangun kawasan pemukiman serta fasilitas penunjang lainnya. pada Kamis (5/7).

    “Hasil sidak kami bersama Ketua Komisi IV DPR Ditjen PKRL dan Ditjen Gakkum KLHK di lapangan, telah ditemukan dugaan kegiatan pemanfaatan ruang laut tanpa izin, reklamasi tanpa izin, hingga perusakan ekosistem mangrove”, ujar Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin.

    Adin melanjutkan, sebelum melakukan sidak bersama Komisi IV DPR, Polisi Khusus Pengawasan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Polsus PWP3K) Pangkalan PSDKP Batam telah mensinyalir adanya perusakan ekosistem mangrove akibat proyek reklamasi yang berjalan pada lokasi tersebut. Dugaan ini kemudian diverifikasi melalui pemeriksaan citra satelit dan potret via udara, bahwa memang benar teridentifikasi adanya perubahan perairan dan ekosistem mangrove pada lokasi lahan reklamasi.

    “Mengacu pada Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, tindakan yang dilakukan PT. DIA dapat dikategorikan pelanggaran pidana. Untuk itu, akan kami akan lakukan proses hukum lebih lanjut sesuai aturan yg berlaku,” tegas Adin.

    Berdasarkan Pasal 73 ayat (1) huruf b, Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, reklamasi tanpa izin dan perusakan mangrove dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun, juga pidana denda paling sedikit 2 miliar rupiah dan paling banyak Rp 10 miliar.

    Sementara itu, untuk kepentingan proses hukum lebih lanjut, operasional proyek PT. DIA dihentikan dengan dilakukan Pemasangan Garis Polsus dan Papan Penutupan Lokasi oleh Polsus PWP3K pada Kamis (6/7). Selain proses pemeriksaan untuk dugaan pelanggaran pidana, kegiatan reklamasi yang dilakukan oleh PT. DIA juga diduga telah memenuhi kriteria pelanggaran administratif.

    “Terkait pelanggaran reklamasi dan ruang laut badan jalan yang sudah eksisting, akan dikenakan sanksi administratif mengacu pada PP 21 tahun 2021, Permen KP 28 tahun 2021, dan Permen KP 31 tahun 2021 yang mengatur sanksi Administratif,” beber Adin.

    Adin menuturkan usai penyegelan, KKP akan melakukan pemeriksaan terhadap Penanggungjawab PT. DIA untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

    Tindak tegas yang dilakukan ini merupakan wujud komitmen Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono dalam mengimplementasikan lima program prioritas Ekonomi Biru, khususnya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk melindungi sumber daya ikan dan lingkungannya.(RMID)