Tag: Komisi Informasi Provinsi Banten

  • Diskominfo Bantah Seleksi Komisi Informasi Banten Cacat Prosedur

    Diskominfo Bantah Seleksi Komisi Informasi Banten Cacat Prosedur

    SERANG, BANPOS – Diskominfo Provinsi Banten membantah pernyataan Pusat Telaah Informasi Regional (Pattiro) Banten bahwa pihaknya tidak menaati Peraturan Komisi Informasi (KI) nomor 4 tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksaan Seleksi dan Penetapan Anggota KI.

    Demikian disampaikan oleh Kepala Diskominfo Provinsi Banten, Eneng Nurcahyati, dalam surat bernomor 488/101-KKM.Kominfo/2020 perihal hak jawab atas pemberitaan harian BantenPos edisi 15 Juni 2020 yang diterima BANPOS, Senin (15/6).

    Eneng mengatakan bahwa pengumuman pendaftaran dilakukan sejak 1 Februari 2019, sedangkan pelaksanaan penerimaan dilakukan pada 11 Februari hingga 22 februari 2019. Menurutnya, dalam tahapan tersebut tidak ada yang dilanggar.

    “Pasal 10 Peraturan Komisi Informasi Nomor 4 tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi dan Penetapan Anggota Komisi Informasi mengamanatkan untuk melaksanakan pengumuman pendaftaran paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum penerimaan pendaftaran,” ujarnya.

    Sementara itu, Eneng mengatakan bahwa tim seleksi KI Provinsi Banten mengumumkan pada 5 hari kerja sebelum masa penerimaan pendaftaran. Menurutnya hal ini menguntungkan bagi masyarakat untuk mempersiapkan diri.

    “Artinya, tim seleksi KI Provinsi Banten melaksanakan pengumuman lebih cepat. Hal ini justeru lebih memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mempersiapkan diri dalam membuat persyaratan pendaftaran,” katanya.

    Eneng menegaskan bahwa tidak ada kesalahan prosedur yang ditempuh terkait rentang waktu, antara pengumuman hasil seleksi administrasi dengan tahapan seleksi potensi. Menurut Peraturan KI Nomor 4 tahun 2016 pasal 13 ayat 4, disebutkan bahwa tim seleksi melakukan tes potensi dalam waktu paling lambat 5 hari kerja, terhitung sejak diumumkannya hasil seleksi administrasi.

    “Tes potensi dilaksanakan pada 13 Maret 2019. Adalah selang tiga hari kerja setelah pengumuman seleksi administrasi berakhir. Artinya, tim seleksi Komisi Informasi Provinsi Banten melaksanakan tes potensi lebih cepat dilaksanakan,” jelasnya.

    Ia pun membantah terkait dengan tudingan bahwa hasil tes potensi terlambat. Menurutnya, hasil tes potensi dengan sistem CAT dapat langsung dilihat oleh peserta seleksi seusai tes berakhir.

    “Tes Potensi dilaksanakan tanggal 13 Maret 2019 dengan sistem Computer Assisted Test (CAT). Setiap peserta tes potensi langsung melihat hasil tes potensi sesaat setelah tes potensi berakhir. Jadi tidak benar pengumuman CAT pada tanggal 18 Maret 2019,” tandasnya.(DZH)

  • Pattiro Desak Seleksi Ulang Komisi Informasi Banten

    Pattiro Desak Seleksi Ulang Komisi Informasi Banten

    SERANG, BANPOS – Pusat Telaah Informasi Regional (Pattiro) Banten mengaku sejak awal telah mengingatkan tim seleksi (timsel) Komisi Informasi (KI) Banten terkait tahapan yang tidak sesuai dengan prosedural. Akan tetapi, timsel tidak menghiraukan hal tersebut dan Gubernur Banten tetap mengeluarkan SK pengesahan struktural KI Banten periode 2019-2023.

    Alhasil, SK Gubernur Banten tersebut pun digugat perdata oleh salah satu aktifis keterbukaan informasi Banten, Moch Ojat Sudrajat. Hal ini menurut Pattiro Banten perlu segera dilakukan evaluasi dan dilakukan seleksi ulang, dengan harapan kualitas komisioner KI Banten dapat sesuai dengan yang diharapkan masyarakat.

    Peneliti Pattiro Banten, Siti Kholisoh Ahyani, mengatakan bahwa sejak awal pihaknya telah mengingatkan timsel berkaitan dengan tahapan yang tidak sesuai dengan prosedur. Hal ini berpotensi mengakibatkan adanya gugatan.

    “Sudah sejak awal Pattiro Banten telah mengingatkan tim seleksi KI akan tahapan-tahapan seleksi Komisioner KI Banten yang tidak taat prosedur,” ujarnya dalam rilis yang diterima BANPOS, Sabtu (14/6).

    Ia mengatakan, beberapa tahapan seleksi yang telah melanggar prosedur yakni terkait jeda waktu tahapan pengumuman pendaftaran dengan waktu tahapan penerimaan pendaftaran.

    Pengumuman pendaftaran yang dilakukan sejak tanggal 1 Februari lalu, sedangkan pelaksanaan penerimaan dilakukan pada 11 Februari hingga 22 Februari 2019.

    “Padahal jika dilihat dalam Perki No. 4 Tahun 2016, disebutkan bahwa tahapan pengumuman pendaftaran dilaksanakan selambat lambatnya dua hari kerja sebelum penerimaan pendaftaran dimulai. Artinya, jika mengacu pada perki tersebut, tahapan penerimaan seharusnya sudah bisa dilakukan pada 4 Februari 2019,” tuturnya.

    Ketidaksesuaian prosedur yang kedua yakni rentang waktu antara pengumuman hasil seleksi administratif dengan tahapan seleksi potensi. Ia menuturkan bahwa tahapan seleksi tertulis yang dilaksanakan pada 13 Maret seharusnya bisa dilaksanakan pada 11 Maret 2019, jika timsel mengacu pada Perki no. 4 tahun 2016 tersebut.

    “Dalam perki disebutkan bahwa timsel melakukan tes tertulis atau potensi dalam waktu paling lambat 5 hari kerja sejak pengumuman hasil seleksi administrasi. Selanjutnya pada waktu pengumuman hasil pun terlambat. Seharusnya pengumuman sudah bisa dilakukan pada 15 Maret 2019, mengingat tes potensi menggunakan CAT sudah dapat diketahui hasilnya di hari yang sama. Namun timsel mengumumkan hasil pada 18 Maret,” terangnya.

    Siti mengaku, sejak awal Pattiro Banten telah melakukan audiensi dengan timsel KI dan menyampaikan penilaiannya akan proses seleksi KI yang tidak sesuai dengan prosedur.

    Dengan audiensi itu diharapkan agar timsel melakukan perbaikan dalam seleksi Komisi Informasi (KI) Banten; sehingga menghasilkan komisioner yang kredibel, memiliki komitmen yang kuat untuk menciptakan keterbukaan informasi di Provinsi Banten.

    “Akan tetapi proses seleksi yang belum terpenuhi ternyata sudah ada penetapan SK Gubernur yang mengesahkan struktur KI periode 2019-2023. Penetapan komisioner KI terpilih ini akhirnya memicu persoalan sengketa proses seleksi KI Banten dikemudian hari,” tegasnya.

    Selain itu, ia menyayangkan bahwa proses seleksi KI Banten yang menghabiskan anggaran sekitar Rp447 juta yang bersumber dari DPA Diskominfo Banten, ternyata menghasilkan seleksi yang bermasalah.

    “Dengan anggaran hampir setengah miliar itu seharusnya menghasilkan kualitas calon komisioner yang menjunjung tinggi keterbukaan, diharapkan publik dan dengan pelaksanaan tahapan yang dijalankan sesuai dengan perki No 4 tahun 2016,” katanya.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Pattiro Banten, Angga Andrias, menegaskan bahwa Pemprov dan DPRD Provinsi Banten harus segera melakukan evaluasi keseluruhan dalam proses seleksi komisioner KI itu. Menurutnya, Pemprov Banten harus melakukan seleksi ulang komisioner KI Banten itu.

    “Apakah seleksi dari awal atau hanya mengulang dari tahapan yang belum dilaksanakan, yakni uji publik, itu nanti melihat hasil sidang perdata yang saat ini sedang berjalan,” tandasnya. (DZH/PBN)

  • SK Gubernur Banten Digugat

    SK Gubernur Banten Digugat

    SERANG, BANPOS – Pemprov Banten dalam pelaksanaan seleksi Komisi Informasi (KI) Banten disebut tidak mengikuti tahapan yang telah diatur dalam Peraturan Komisi Informasi (PerKI) nomor 4 tahun 2016. Dalam seleksi itu, Pemprov Banten tidak menjalankan tahapan uji publik bagi 15 calon Komisioner KI.

    Karenanya, Gubernur Banten, Wahidin Halim, selaku pihak yang mengeluarkan SK Gubernur nomor 491.05/Kep.348-huk/2019 yang mengesahkan struktur KI periode 2019-2023 digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena SK itu dianggap tidak sah.

    Diketahui, gugatan tersebut dilakukan oleh salah satu pegiat informasi Banten, Moch Ojat Sudrajat. Saat ini proses persidangan di PTUN tersebut akan memasuki tahap pembacaan replik dari penggugat atas jawaban eksepsi yang disampaikan oleh tergugat.

    Kepala Bidang Aplikasi Informatika dan Komunikasi Publik pada Diskominfo Provinsi Banten, Amal Herawan Budhi, membenarkan bahwa terdapat gugatan terhadap Gubernur Banten dengan objek gugatan SK Gubernur nomor 491.05/Kep.348-huk/2019.

    “Itu masih berproses yah, replik dan duplik. Baru hari Rabu kemarin ada sidang. Jadwalnya sampai Agustus nanti,” ujar Amal Herawan Budhi saat dikonfirmasi BANPOS melalui sambungan telepon, Kamis (7/6).

    Menurutnya, gugatan tersebut karena disebutkan ada tahapan yang tidak dilakukan dalam seleksi Komisioner KI Banten, yakni uji publik.

    “Kalau lihat substansinya itu kan ada yang terlewatkan yah. Karena kebetulan produk SK Gubernur yang keluar itu merupakan subtansi dari langkah yang tidak dilakukan oleh DPRD pada saat uji publik. Jadi gugatannya itu dalam seleksi tidak meminta pendapat dari publik,” katanya.

    Namun berdasarkan hasil komunikasi dengan DPRD Provinsi Banten, Amal menerangkan bahwa pihak DPRD mengatakan telah melakukan uji publik dengan meminta pendapat dari para konstituennya.

    “Jadi pak Ojat selaku penggugat menganggap bahwa DPRD tidak melaksanakan tahapan uji publik. Tapi kami konfirmasi kepada Komisi I mereka menyatakan bahwa mereka kan punya konstituen. Mereka ada yang menanggapi itu. Jadi di iklan koran tidak disebutkan klausul itu,” ucapnya.

    Oleh karena itu, DPRD Provinsi Banten langsung melakukan tahapan uji kelayakan dan kepatutan kepada 15 calon Komisioner KI tersebut dan menghasilkan 5 nama Komisioner KI yang akhirnya disahkan melalui SK Gubernur, yang saat ini menjadi objek gugatan.

    Menurutnya, gugatan tersebut lebih mengarah pada personal komisionernya, bukan pada instansi Komisi Informasinya. Bahkan ia mengatakan bahwa seharusnya yang menjadi tergugat dua merupakan DPRD Provinsi Banten, bukan KI Banten.

    “Dari sisi gugatannya juga disitu yang tergugat dua malah KI yah. Seharusnya kalau menurut saya sih yang ikut tergugat adalah DPRD yah,” terangnya.

    Namun menurutnya, apabila PTUN memutuskan bahwa gugatan yang dilakukan oleh penggugat diputuskan menang, maka Pemprov Banten akan mengikuti segala keputusan hukum yang ditetapkan.

    “Itu harus keputusan hukum ketika selesai gugatan. Kalau kami kan akan mengikuti saja keputusannya seperti apa,” ucapnya.

    Terpisah, Ojat Sudrajat selaku penggugat mengatakan bahwa gugatan yang ia lakukan merupakan langkah hukum atas adanya tahapan seleksi yang tidak dilakukan oleh Pemprov Banten. Tahapan itu yakni uji publik.

    “Tahapan yang diduga tidak dilakukan yaitu uji publik yang seharusnya dilakukan sebelum fit and proper test. Hal itu diatur dalam PerKI Pusat nomor 4 tahun 2016 tentang pedoman pelaksanaan seleksi dan penetapan Komisi Informasi pasal 19 ayat 3,” ujarnya kepada BANPOS, Sabtu (7/6).

    Ojat menilai, DPRD Provinsi Banten tidak melakukan tahapan uji publik karena Gubernur Banten dalam surat yang disampaikan kepada Ketua DPRD Provinsi Banten dengan nomor 555/3779-Diskominfo/2019, hanya meminta DPRD melakukan uji kepatutan dan kelayakan saja.

    “Kalau saya melihatnya kenapa DPRD Provinsi Banten tidak melakukan tahapan uji publik, karena surat dari Gubernur pada tanggal 5 November 2019 hanya meminta uji kepatutan dan kelayakan kepada DPRD Provinsi Banten, tidak meminta uji publik kepada dewan,” terangnya.

    Terkait pernyataan dari pihak Diskominfo Provinsi Banten yang mengatakan bahwa DPRD telah melakukan uji publik melalui konstituennya, Ojat mengaku hal itu sah-sah saja. Akan tetapi, ia meminta agar segala pernyataan dapat berlandaskan aturan yang.

    “Gini ya, syarat melakukan uji publik itu pada pasal 19 ayat 3 berbunyi paling lambat tiga hari setelah diterimanya nama-nama calon Komisioner KI yang diajukan oleh Presiden/Gubernur/Walikota/Bupati, DPR atau DPRD mengumumkan nama-nama tersebut pada dua surat kabar nasional dan/ local untuk dua kali terbit dan dua media massa elektronik selama tiga hari berturut-turut, untuk mendapatkan masukan atau penilaian dari setiap orang,” jelasnya.

    Dalam jawaban eksepsi tergugat, Ojat mengatakan tergugat melampirkan bukti bahwa mereka telah mempublikasikan hal tersebut kepada media massa. Akan tetapi, Ojat menegaskan hal tersebut tidak sesuai dengan aturan. Sebab, tanggal yang tertera dalam publikasi telah melewati waktu yang ditentukan yakni tiga hari setelah diterima nama-nama calon KI.

    “Begini aja, ini surat tanggal 5 November. Diterimanya tanggal 8 November. Seharusnya kalau memang mereka mengikuti aturan, paling lambat dalam mempublikasikannya yaitu tanggal 11 November. Tapi bukti yang dilampirkan justru publikasi pada tanggal 1 hingga 3 Desember,” terangnya.

    Selain itu, publikasi yang dilampirkan dalam jawaban eksepsi pun menurut Ojat, bukanlah publikasi 15 nama calon Komisioner KI. Akan tetapi, publikasi bahwa akan dilakukannya uji kepatutan dan kelayakan oleh DPRD Provinsi Banten. Menurutnya hal tersebut tidak sesuai dengan aturan.

    “Nah sekarang kalau mereka berargumentasi bahwa dewan memiliki konstituen, lalu bagaimana dengan masyarakat yang dianggap bukan konstituennya bagaimana. Artinya itu sudah mulai mengotak-ngotakkan masyarakat. Padahal uji publik itu bisa siapa saja,” tegasnya.

    Mengenai gugatan yang dianggap tidak tepat sasaran karena menjadikan KI sebagai pihak yang tergugat, Ojat mengaku itu merupakan hal yang keliru. Sebab, ia sama sekali tidak menggugat KI Banten, akan tetapi menggugat Pemprov Banten dalam hal ini Gubernur Banten selaku pihak yang mengeluarkan SK.

    “KI tidak saya gugat, yang saya gugat adalah Pemprov dalam hal ini pak Gubernur karena yang mengeluarkan SK adalah beliau. Saya juga tidak menggugat dewan, karena dewan tidak mengeluarkan SK tersebut. Kecuali memang dewan yang mengeluarkan SK. Adapun KI menjadi tergugat intervensi dua, itu bukan saya yang menentukan. Dewan pun menjadi tergugat intervensi satu, namun memang tidak mengambil haknya untuk memberikan jawaban,” ungkapnya.

    Ojat menerangkan, akhir dari gugatan yang ia inginkan sudah pasti sama dengan yang tertera dalam petitumnya. Yakni agar pengadilan dapat mengabulkan gugatan secara sepenuhnya, menyatakan batal atau tidak sahnya SK Gubernur, mewajibkan tergugat untuk mencabut SK dan tergugat membayar biaya perkara.

    “Apabila gugatan dimenangkan, maka masalah strukturalnya dirubah atau diulang seleksinya, itu kembali kepada hak prerogratif pak Gubernur. Namun secara otomatis kepengurusan yang sekarang ini batal,” ucapnya.

    Selain itu, apabila memang gugatan yang ia sampaikan dimenangkan oleh PTUN, maka dalam petitum kedua yang ia sampaikan adalah agar dilakukan penundaan keputusan.

    “Kenapa? Karena ternyata saya melihat DPA KI yang bermasalah. Dalam DPA mereka itu disahkan tanggal 27 Desember 2019. Tapi mereka menggunakan standar satuan harga (SSH) yang justru Pergubnya baru disahkan pada 30 Desember 2019,” katanya.

    Menurutnya, hal tersebut memiliki potensi adanya kerugian keuangan daerah pada kejadian tersebut. Oleh karena itu, berlandaskan UU nomor 30 tahun 2014 pasal 65, ia meminta agar dilakukan penundaan keputusan.

    “Jadi ketika ada penundaan, maka apabila mereka meminta banding, ini tidak bisa berjalan seperti biasa. Artinya, kegiatan normatifnya tidak akan bisa dilakukan,” tandasnya. (DZH/ENK)