TERSANGKA kasus dugaan korupsi pengadaan masker pada Dinkes Provinsi Banten, LS, yang juga merupakan PPK melakukan perlawanan balik terhadap Kejati Banten. Ia mempertanyakan terkait dengan penahanan dirinya, termasuk juga disebutnya pengadaan masker KN-95 itu terindikasi korupsi.
LS melalui kuasa hukumnya telah mengajukan sidang praperadilan atas penahanan dirinya. Pengajuan tersebut telah dilakukan oleh pihaknya pada Senin (28/6) lalu ke Pengadilan Negeri (PN) Serang dengan nomor register 12/Pid.Pra/2021/PN Srg.
Berdasarkan informasi yang ada di situs resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Serang, diketahui bahwa LS mengajukan praperadilan mengenai sah atau tidaknya penahanan atas dirinya. Penyidik pada Kejaksaan Tinggi Banten menjadi pihak termohon.
Petitum yang diajukan yakni pertama, menyatakan bahwa persangkaan terhadap diri pemohon yakni LS, tidak beralasan hukum. Kedua, menyatakan penahanan terhadap diri pemohon tidak sah dan memerintahkan termohon untuk mengeluarkan diri pemohon dari tahanan.
Sidang pertama atas praperadilan tersebut akan dilakukan pada Rabu (7/7) mendatang pukul 09.00 WIB. Sidang akan dilangsungkan si PN Serang Ruang Sidang Cakra.
Kuasa hukum LS, Basuki, membenarkan bahwa pihaknya telah mengajukan praperadilan atas penahanan kliennya. Pihaknya mendaftarkan praperadilan tersebut pada Senin (28/6) lalu.
“Kami telah mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka klien kami. Nanti untuk sidangnya itu pada tanggal 7 Juli, hari Rabu. Itu untuk menguji penahanan klien kami apakah sesuai atau tidak,” ujarnya saat dihubungi BANPOS melalui sambungan telepon, Sabtu (3/7).
Pengajuan praperadilan tersebut dilakukan lantaran tidak adanya kejelasan atas kasus tersebut. Bahkan, pihaknya pun sudah berkali-kali menanyakan terkait dengan dua alat bukti yang menjadi dasar persangkaan terhadap LS, sehingga dilakukan penahanan.
“Kami selaku kuasa hukum beliau sempat mempertanyakan lebih dari 5 kali, apa sih alasan klien kami sebagai tersangka. Artinya dua alat bukti yang sesuai dengan KUHAP 184. Tapi teman-teman Kejati itu seperti enggan memberitahukan, dengan alasan rahasia negara,” terangnya.
Ia pun menjelaskan mengenai kasus yang menjerat kliennya tersebut. Ia mengatakan, pengadaan masker tersebut berbeda dengan pengadaan pada umumnya. Pengadaan itu dilakukan pada saat darurat atau kejadian luar biasa.
“Ini kan seperti pada situasi peperangan yah. Jadi memang langkah cepat itu harus diambil. Yang menaikkan harga pun bukan klien kami, tapi memang ada pihak lain yang lebih bertanggungjawab,” tuturnya.
Di sisi lain, ia menuturkan bahwa perubahan harga tersebut tidak sekonyong-konyong dilakukan. Menurutnya, perubahan harga dilakukan lantaran ketersediaan barang yang langka sehingga membuat harga di pasaran pun meroket.
“Ini tidak sekonyong-konyong dinaikkan harganya. Apalagi ada tujuan-tujuan tertentu. Ini karena barang yang tersedia itu tidak ada, sehingga harga itu menjadi mahal. Kalau tidak diambil, khawatir barang itu nanti tidak ada,” tuturnya.
Ia mengatakan, hal tersebut merupakan hal yang sangat wajar terjadi. Apalagi dalam ilmu ekonomi pun hal tersebut memang diakui sebagai mekanisme pasar. Apalagi ia mengklaim, saat itu barang di pasaran memang tidak ada, bukan hanya langka.
“Pada saat itu pun memang masker sangat langka kan. Masker biasa yang normalnya seharga Rp30 ribu satu pak misalkan, dibeli meskipun harganya menjadi Rp300 ribu. Itu karena memang menjadi kebutuhan,” terangnya.
Selain itu, dalam Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang juga dirubah menjadi UU Nomor 2 tahun 2020, disebutkan bahwa tidak dianggap sebagai kerugian negara untuk segala kebijakan yang berkaitan dengan pengadaan penanganan Covid-19.
“Dan itu juga ada turunannya lagi, dalam situasi darurat itu tidak perlu ada harga standar. Dan faktanya memang pada saat itu tidak ada harga standar masker yang dipersoalkan itu,” ucapnya.
Berdasarkan UU nomor 2 tahun 2020 pasal 27, terdapat tiga ayat. Ayat pertama berbunyi ‘Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara’.
Sedangkan ayat kedua yakni ‘Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’.
Ayat ketiga berbunyi ‘Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara’.
Menurut Basuki, dalam pengadaan masker tersebut pun tidak mudah. Beberapa kali Dinkes Provinsi Banten mengganti penyedia masker lantaran ketika sudah sepakat, ternyata barangnya tidak tersedia. Hingga akhirnya, datang lah PT RAM dengan surat penawaran harga sebesar Rp220 ribu.
“Benar ada penawaran. Tapi bukan kepada ibu LS. Ibu LS ini memang PPK, tapi dalam perkara masker ini ibu LS punya pembantu yang mengurus pengadaan tersebut. Dan beberapa kali mengganti penyedia. Pertama sudah sepakat, namun ternyata barangnya tidak ada. Hingga akhirnya PT ini (RAM) yang barangnya ada,” ucapnya.
Dari penelusurannya pun, ternyata sebelumnya juga telah ada pengadaan masker yang sama, dengan nominal harga yang sama sebanyak 5.000 buah. Bedanya, pada pengadaan sebelumnya itu tidak termasuk dengan PPN sebesar 10 persen atau hanya Rp200 ribu.
“Kalau yang sekarang ini include PPN, kalau yang kemarin itu exclude PPN. Jadi kalau yang kemarin itu Rp200 ribu, yang sekarang karena include PPN jadi Rp220 ribu. Tapi itu tidak dipermasalahkan,” terangnya.
Hal tersebut yang menurutnya sangat aneh. Sebab, dengan harga barang yang sama, namun tidak dipermasalahkan oleh pihak Kejati Banten. Sehingga pertanyaan besar pun mencuat dari pihaknya.
Dalam BAP AS dan WF pun menurut Basuki, ditegaskan oleh keduanya bahwa mereka sama sekali tidak mengenal LS. Bahkan, AS dan WF mengakui tidak ada aliran dana yang mengalir ke LS. Mengenal LS pun menurutnya, setelah adanya anggapan temuan pada pengadaan masker itu.
“Itu konsekuensinya sudah dilakukan dengan bukti telah dibayarkannya uang sebesar Rp100 juta dan dua sertifikat hak milik sebagai jaminan senilai Rp2 miliar, dengan batas maksimal pembayarannya itu 2022,” ungkapnya.
Dengan telah dilaksanakannya konsekuensi tersebut, menurutnya persoalan perdata terkait dengan temuan itu telah selesai. Namun anehnya, Kejati justru malah menahan LS serta AS dan WF.
“Waktu itu PT RAM telah menyatakan bersedia membayar dan ada surat pernyataan bahwa mereka bertanggungjawab disertai pembayaran Rp100 juta dan dua sertifikat. Sekarang sudah ada di tangan Kejati Banten. Jadi sebenarnya proses keperdataannya itu sudah berjalan,” tandasnya.(DZH/ENK)