Tag: LBH Rakyat Banten

  • Sikap Pemerintah Soal Tambang Liar di Lebak Dipertanyakan

    Sikap Pemerintah Soal Tambang Liar di Lebak Dipertanyakan

    SERANG, BANPOS – LBH Rakyat Banten mempertanyakan sikap tegas pemerintah dalam menindak penambangan liar yang ada di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Karena berdasarkan hasil kajian yang ada, penambangan liar tersebut menjadi faktor utama terjadinya banjir bandang di Lebak beberapa waktu yang lalu.

    Selain itu, LBH Rakyat Banten juga menyebutkan bahwa pembangunan yang tidak berawasan lingkungan yang dilakukan oleh pemerintah, juga menjadi faktor terjadinya bencana di beberapa daerah lain.

    Koordinator LBH Rakyat Banten, Aeng, menuturkan bahwa berdasarkan pengakuan masyarakat, TNGHS memiliki banyak batu-batu fosil yang besar. Namun saat ini batu-batu yang berfungsi sebagai pondasi alam tersebut, telah lenyap akibat penambangan liar.

    “Dari cerita masyarakat sendiri, dahulu itu terdapat batu-batu fosil yang besar dan banyak. Tetapi hari ini batu-batu tersebut sudah hilang karena aktifitas penambangan batu liar. Padahal secara tidak langsung batu-batu itu merupakan pondasi alam yang kuat untuk menahan tanah dikawasan tersebut,” ujarnya, Kamis (9/1).

    Menurut Aeng, penambangan liar yang berada di TNGHS bukan hanya penambang liar batu saja. Akan tetapi juga terdapat penambangan liar emas yang dilakukan oleh korporasi dan beroperasi tanpa adanya pengawasan maupun tindakan dari pemerintah.

    “Selain perseorangan, ternyata ada pula korporasi yang mengeruk Gunung Halimun Salak. Terdapat tiga perusahan yang beroperasi disana. Sudah lama dilakukan dan tidak ada pengawasan ataupun tindakan dari pemerintah daerah maupun aparat terkait,” ucapnya.

    Berdasarkan data yang ia terima, sekitar 193.000 hektare atau 23 persen dari 860.000 hektar lahan yang ada di Banten dalam kondisi yang sangat kritis dan gundul. Akibatnya, Banten kerap kali diterjang bencana alam.

    Pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan menurutnya juga menjadi salah satu faktor terjadinya bencana. Seperti yang terjadi di kawasan wisata Negeri di Atas Awan.

    “Pada akhir tahun 2019, peringatan dini akibat longsor di Lebak sudah terjadi. Dimana kawasan wisata Negeri di Atas Awan masuk kategori rawam bencana ditutup, karena terjadi longsor. Pasca-pembangunan jalan menuju kawasan wisata tersebut, tidak berapa lama daerah terebut longsor,” katanya.

    Kembali longsornya tanah di daerah Lebak, kata Aeng, dikarenakan pemerintah dalam melakukan pembangunan tidak berdasarkan pada perencanaan yang matang. Sehingga, aspek mitigasi bencana dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) tidak dirancang.

    “Menjadi sebuah pertanyaan. Apakah tempat wisata Negeri Diatas Awan itu sudah diatur pada RTRW Provinsi Banten dan RDTR Kabupaten Lebak? Saat ini Pemerintah Pusat, provinsi dan kota/kabupaten coba menyelaraskan pembangunan, tanpa melihat aspek dan dampak yang akan terjadi dimasa yang akan datang,” tuturnya.

    Oleh karena itu, ia menuntut kepada pemerintah baik provinsi maupun kabupaten, agar dapat menindak tegas para pelaku penambang liar. Bukan hanya yang perseorangan, namun juga penambang liar berbentuk korporasi.

    “Apa lagi sudah memakan korban, baik materil maupun inmateril. Dan jangan sampai pengabaian selama ini ternyata tidak ada tindakan tegas dari aparat terkait. Cukup kejadian hari ini sebagai pelajaran karena tidak adanya pengawasan,” ujarnya.

    Selain itu, ia juga menuntut agar pemerintah dalam melakukan pembangunan harus benar-benar berwawasan lingkungan, tidak semata-mata membangun hanya untuk mengejar investor namun mengorbankan masyarakat.

    “Jangan sampai ini jadi alasan klasik, mengatasnamakan masyarakat, tapi masyarakatnya yang jadi korban buat apa. Apa lagi di daerah Citorek itu kan secara kapasitas hanya cukup untuk 1.500 orang, sedangkan yang datang kesana hampir 15.000 orang, ditambah beban kendaraan dan juga faktor-faktor yang lainnya,” tandas Aeng. (DZH/AZM)