Tag: Liputan Khusus

  • Kinerja Pemda Masih Dibawah 50 Persen

    Kinerja Pemda Masih Dibawah 50 Persen

    Pelaksanaan pembangunan di Provinsi Banten masih slow motion alias berjalan lambat. Hal ini terlihat dari rendahnya penyerapan anggaran pemerintah daerah pada triwulan kedua ini. Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh BANPOS, penyerapan anggaran masih di bawah 50 persen. Sementara untuk realisasi pendapatan daerah juga tidak begitu menggembirakan, masih di angka 50 persen ke bawah.

    Diketahui, pelaksanaan anggaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten Tahun Anggaran 2023 hingga bulan Juni tahun ini, menunjukkan capaiannya berada di bawah angka 50 persen, baik pada realisasi Pendapatan maupun Belanja Daerah.
    Hal itu bisa dilihat dari data yang diperoleh BANPOS mengenai hal itu pada Kamis (22/6).

    Berdasarkan data yang diterima oleh BANPOS dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Banten, menunjukkan realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Banten per 21 Juni 2023 mencapai 44,96 persen.

    Plt Kepala Bapenda Provinsi Banten E.A Deni Hermawan menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Banten berada di bawah angka 50 persen di Semester I tahun ini.

    Salah satu faktor penyebabnya adalah karena pada bulan Juni tahun ini, bertepatan dengan proses seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

    Menurutnya, karena hal itulah kemudian, banyak dari masyarakat lebih memprioritaskan pengeluarannya untuk membayar biaya pendidikan, ketimbang harus membayar pajak.

    Oleh karenanya ketercapaian realisasi Pendapatan Daerah turut terpengaruhi. Namun meski begitu, ia merasa yakin jika nanti masalah itu telah berlalu, maka secara sendirinya pun masyarakat akan sadar akan kewajibannya untuk membayar pajak terutama Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).

    “Bagi bagian pertimbangan di lapangan ini begini, bulan Juni bulan Juli, masyarakat itu terutama para orangtua sedang menghadapi tahun ajaran baru. Nah, faktor-faktor dinamika ini juga sangat berpengaruh,”
    “Masyarakat biasanya akan fokus terlebih dahulu terhadap bagaimana pembiayaan anak-anaknya yang sekolah ini sedikit agak menunda, mereka membayar pajak menjadi kewajiban. Tapi pada gilirannya nanti proses waktu juga akan membayar pada waktunya,” jelasnya.

    Untuk dapat mengejar ketertinggalan itu, Deni menjelaskan bahwa kini pihaknya tengah menjalankan sebuah program jemput bola yang dinamakan dengan Gerakan Bersama atau GARMA.

    “Semua pegawai lingkup Bapenda turun ke lapangan jemput bola menemui wajib pajak, tidak menunggu kami di SAMSAT,”
    “Tapi kami lakukan pendataan melalui turun ke lapangan melalui jemput bola pelayanan SAMSAT keliling, melalui pelayanan SAMSAT Kalong, melalui pelayanan kita hadir di tengah-tengah sarana pelayanan publik dan lain-lain,” ucapnya.

    Sementara itu di sisi lain, perihal penyerapan anggaran Belanja Daerah, berdasarkan data yang disampaikan oleh Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Banten menunjukkan per 21 Juni 2023 Provinsi Banten telah menyerap anggaran belanja sebesar 32,27 persen.

    Namun meski capaiannya masih berada di kisaran angka 30 persen, Kepala BPKAD Provinsi Banten Rina Dewiyanti mengatakan, usaha tersebut setidaknya patut untuk diapresiasi.

    Sebab menurutnya, serapan anggaran belanja Provinsi Banten masuk ke dalam 10 besar sebagai daerah dengan serapan anggaran tertinggi se Indonesia.

    “Lihat di tabel realisasi belanja pun Banten masuk rangking 4 besar,” ungkapnya lewat pesan WhatsApp kepada BANPOS pada Kamis (22/6).

    Tidak hanya itu, Rina juga turut menerangkan bahwa, meski capaian realisasi Belanja Daerah Provinsi Banten saat ini berada di angka 32,27 persen, namun dalam upayanya menunjukkan adanya tanda-tanda peningkatan penyerapan anggaran di triwulan tiga dan empat.

    Sebab di saat-saat itu, proses pelaksanaan pekerjaan fisik yang ditangani oleh Pemerintah Provinsi Banten sudah mulai berangsur berjalan.

    “Di triwulan 2 ini untuk kegiatan-kegiatan fisik sudah dalam proses memulai pelaksanaan kegiatannya, tren nya mulai meningkat di akhir triwulan 3 dan 4,” terangnya.

    Akan tetapi ketika disinggung perihal OPD mana saja yang dinilai rendah dalam upaya penyerapan anggaran belanjanya di tahun ini, Kepala BPKAD Provinsi Banten itu pun tidak menanggapi pertanyaan tersebut.

    Sementara, serapan anggaran Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon pada minggu akhir semester satu Tahun Anggaran 2023 baru terealisasi sekitar 35 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Cilegon 2023 ditetapkan sebesar Rp 2,355 triliun.

    Sehingga Tim Evaluasi Realisasi Anggaran (Tepra) akan melakukan monitoring untuk mengetahui kendala yang terjadi di lapangan. Demikian disampaikan Kepala Bagian (Kabag) Administrasi Pembangunan Setda Kota Cilegon Tunggul Fernando Simanjuntak saat ditemui BANPOS di kantornya, Kamis (22/6).

    Untuk menyiasati itu, Tim Tepra akan melakukan monitoring dengan melakukan rapat persiapan terlebih dahulu.

    “Informasi tadi dari Bappeda, awal Juli Minggu pertama kita harus melaporkan terkait capaian realisasi per OPD ke Bappeda,” ujarnya.

    Tujuan pengendalian yang akan dilakukan itu adalah untuk menjaga janji walikota dan wakil walikota termasuk program prioritas pembangunan agar tetap dilaksanakan. Sekaligus melihat apa yang menjadi kendala yang memang bisa dipertanggungjawabkan dan memiliki alasan serta dasar hukum yang jelas.

    “Kendala dari OPD salah satu kendalanya adalah agak lamanya kemarin dari SIPD ke SIMDA FMIS itu salah satu kendala,” ujarnya.

    “Selanjutkan kita juga akan melakukan seperti tahun kemarin berdasarkan arahan Pak Walikota (Helldy Agustian) meminta komitmen dari kepala OPD dan para PPTK dalam hal ini para kabid terkait dengan realisasi anggaran,” tuturnya.

    Karena dengan cara itu, capaian bisa naik drastis, para OPD lebih berkonsentrasi apalagi saat ini banyak pejabat baru khususnya di tataran kepala OPD, ditambah banyak posisi jabatan kosong yang dikhawatirkan menimbulkan kegamangan takut dalam melaksanakan tugasnya.

    “Tetapi kita optimis meski capaian saat ini baru mencapai 35 persen, harapannya kita bisa maksimal dengan target di atas 90 persen,” terangnya.

    Diketahui, OPD-OPD yang paling rendah serapan anggaran di minggu akhir semester awal adalah, Dinas PUPR 14 persen dan Perkim 16 persen per tanggal 16 Juni 2023. Sementara serapan tertinggi adalah Disdukcapil sebesar 52 persen dan Dinas Pol PP sebesar 50,86 persen.

    Ketua Badan Anggaran DPRD Kota Cilegon Subhi S Mahad mengatakan guna mengantisipasi sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) membengkak seperti tahun-tahun sebelumnya. Badan Anggaran DPRD Kota Cilegon meminta agar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon cepat dalam melakukan penyerapan anggaran.

    Subhi menyatakan penyerapan anggaran diminta tidak dilakukan di penghujung tahun karena bisa berpotensi membuat Silpa membengkak.

    Politisi Partai Golkar ini, berharap program yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Cilegon segera dilaksanakan.

    “Saya berharap APBD yang sudah ditetapkan, sepenuhnya digunakan supaya tidak terjadi Silpa terlalu tinggi,” kata Subhi kepada BANPOS.

    Subhi mengungkapkan OPD diminta tidak melakukan kesalahan yang sama berupa pengerjaan proyek pada akhir tahun. Ia juga meminta penggunaan anggaran secermat mungkin, agar tidak terjadi permasalahan hukum di kemudian hari.

    “Gunakan anggaran secermat mungkin, seefisien mungkin untuk kepentingan masyarakat, sesuai kode rekening yang sudah tertuang dalam buku APBD agar tidak ada permasalahan hukum. Lelang secermat mungkin agar tidak gagal, ada tahapan juga harus dipatuhi,” tegasnya.

    Anggota DPRD dari Dapil Cilegon-Cibeber ini menambahkan, pada semester I 2023, penyerapan anggaran dinilai masih jauh dari harapan.

    “Semester satu banyak yang belum jalan, di Juni ini saya akan sounding ke Pimpinan DPRD untuk evaluasi bersama penyerapan anggaran,” tandasnya.

    Plt Kepala DPUPR Kota Cilegon Suheri mengungkapkan, serapan anggara sebesar 14,29 persen itu digunakan untuk kebutuhan teknis seperti belanja pegawai, belanja modal, serta belanja barang dan jasa.

    “Memang kalau dibandingkan dengan ininya si belanja modal itu realisasinya sekitar 9 persen. (sisanya-Red) Belanja pegawai, dan belanja barang dan jasa,” singkatnya.
    Terpisah, Kepala BPKD Pandeglang, Yahya Gunawan mengatakan, bahwa penyerapan anggaran pemerintah daerah pada semester ini masih di bawah 50 persen.

    “Ini pada semester satu dibawah 50 persen,” kata Yahya kepada BANPOS.
    Terkait realisasi pendapatan daerah untuk semester, kata Yahya, penyalurannya sesuai dengan mekanisme yang ada.

    “Kalau pendapatan daerah mereka akan salur sesuai dengan mekanisme yang ada,” ucapnya.

    Untuk sektor pendapatan yang terendah dan yang tertinggi realisasinya, Yahya mengatakan pendapatan dari Dana Alokasi Khusus (DAK).

    “Pendapatan terendah realisasinya itu pendapatan dari DAK, karena DAK kita lambat. Padahal uangnya sudah tunggu, bahkan kemarin Kakanwil Ditjen Perbendaharaan wilayah Banten hadir disini dengan OPD pengelola DAK. Pengelola DAK berjanji minggu depan sudah selesai proses administrasinya,” terangnya.

    “Jadi minggu depan kontrak selesai, review Inspektorat selesai, laporan hasil review terbit kitab isa ajukan itu tidak selesai, baru minggu kemarin pun hanya untuk 3 pembidangan yaitu jalan, air minum dan bidang SD,” sambungnya.

    Terpisah, Kepala Bapenda Pandeglang, Tatang Muhtasar mengatakan, pendapatan daerah untuk semester ini baru mencapai 29 persen.

    “Sekarang baru 29 persen. Pengelola PAD sebanyak 11 OPD, 10 untuk retribusi dan satu untuk pajak dari dinas penghasil PAD,” katanya.

    Untuk sektor pendapatan yang tertinggi, kata Tatang, ada di Bapenda yaitu pendapatan dari sektor pajak, sedangkan untuk pendapatan paling rendah ada pada Dinas Pendidikan dari sektor retribusi.

    “Sudah pasti sektor pajak ada di kita, Rp 84 miliar targetnya untuk sekarang. Kalau yang terendah itu paling retribusi di Dinas Pendidikan, kalau tidak salah Rp 50 juta atau Rp 60 juta. Untuk datanya besok saja di kantor,” ungkapnya.(dhe)

    Sementara itu, Kepala BKAD Kabupaten Lebak, Halson Nainggolan, mengatakan bahwa untuk Kabupaten Lebak sendiri hingga per 22 Juni 2023, Realisasi anggaran Belanja telah mencapai angka 32,21 persen, sedangkan pendapatan baik PAD maupun DTU berada di angka 38,54 persen.

    Ia menjelaskan, Secara umum tidak ada kendala dalam penyerapan anggaran di Lebak.
    Namun, lanjutnya, secara khusus terbitnya PMK 212 yang merubah komposisi DAU secara langsung mengakibatkan penyerapan anggaran di kuartal I mengalami keterlambatan.

    “Ya karena kami harus melakukan penyesuaian,” singkatnya.
    Sementara itu, Kepala Bapenda Kabupaten Lebak, Doddy Irawan mengatakan, untuk tahun 2023 pendapatan pada Pajak mencapai 38,68 persen, dan untuk retribusi mencapai 30,63 persen.

    Ia menerangkan, Pendapatan pajak tertinggi hingga 22 Juni berada di Mineral Bukan Logam dengan persentase sebanyak 43 persen atau sekitar 20 miliar. Selain itu, pada Pajak BPHTB pula terbilang cukup tinggi dengan persentase 35 persen atau 19,69 miliar.

    “Rata-rata kita (pajak) sudah berada diatas 30 persen,” kata Doddy kepada BANPOS saat ditemui di ruang kerjanya.

    Ia menerangkan, Kendala paling terlihat yakni sumber daya manusia SDM yang untuk melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi yang masih terbatas. Sehingga, dalam rangka mengoptimalkan pajak daerah Pihaknya butuh usaha yang sangat tinggi untuk membagi sebagian tugasnya sehingga optimalisasi dapat terpenuhi.

    “Buah dari PMK 212, rasionalisasi anggaran atas Pemkab Lebak dalam konteks keseimbangan meningkatkan target 25 miliar dari pajak,” terangnya.

    Sekretaris Bapenda Kabupaten Serang, Ikhwanussofa menjelaskan untuk realisasi khusus pajak daerah di Kabupaten Serang, sampai dengan saat ini sudah di 38,66 persen yang terealisasi.

    “Kalau untuk pendapatan daerah itu lebih umum catatannya ada di BPKAD, jadi bapenda hanya mengelola pajak daerah saja. Pajak daerah sendiri, sampai dengan saat ini terealisasi sudah di 38,66 persen, atau Rp210 miliar dari target Rp544,8 miliar untuk pajak daerah,” jelasnya.

    Dirinya menyampaikan dalam realisasi pajak daerah untuk semester pertama ini realisasinya paling rendah capaiannya yaitu pada Pajak Bumi Bangunan (PBB).
    “Kalau untuk saat ini realisasi yang paling rendah capaiannya itu ada di PBB realiasinya baru mencapai 25,9 persen,” ucapnya

    Ia menerangkan kecilnya persentase pendapatan pada PBB tersebut karena masyarakat masih adanya kecenderungan untuk membayar pada saat sudah mendekati jatuh tempo.

    Selain itu, Ikhwan juga menyampaikan untuk realisasi pendapatan pajak daerah di Kabupaten Serang paling tinggi persentasenya yaitu pada pajak air bawah tanah.

    “Sampai dengan saat ini realisasi nya sudah 55,12 persen, berdasarkan persentase realisasi, itu yang paling tinggi,” ujarnya.

    Menurutnya, tingginya pendapatan pada pajak daerah untuk pajak air bawah tanah tersebut, karena memang tingkat kepatuhannya tinggi, kemudian juga mengikuti dengan tingkat konsumsi air bawah tanah yang dimanfaatkan.

    “Air bawah tanah ini diperoleh dari kegiatan usaha, baik dari usaha pribadi maupun industri,” paparnya.

    Dirinya mengaku, kendala yang dihadapi dalam realisasi pendapatan pajak daerah memiliki karakteristik yang berbeda pada masing masing pajak.

    “Tapi memang kesadaran masyarakat masih perlu ditingkatkan, oleh karenanya kegiatan untuk jemput bola baik itu penagihan maupun pelayanan masih dilakukan,” ujarnya

    Dirinya berharap, dari Bapenda Kabupaten Serang bisa melebihi target yang sudah ditetapkan sebelumnya. Dengan mengikuti proses penerimaan sesuai dengan karakter pajaknya. Akan tetapi dengan tujuan akhirnya yaitu bisa tercapai lebih dari 100 persen.

    “Harapannya nanti kita upayakan sampai dengan akhir tahun itu target yg sudah ditetapkan bisa tercapai,” harapnya.

    Ikhwan mengaku kalau semester saat ini targetnya belum melampaui target yang ditetapkan. Akan tetapi, dalam pencapaian dimasing-masing jenis pajaknya bervariasi, ada yang sudah lebih dari 50 persen dari targetnya dan ada pula yang masih dibawah 50 persen dari target.

    “Secara total untuk pajak daerah baru 38,6 persen, tapi kalau per jenis pajaknya, ini variatif. Ada yang sudah melebihi 50 persen namun, masih ada yang dibawah 50 persen yaitu PBB sebesar 25,9 persen paling tinggi dan pajak air bawah tanah sebesar 55,12 persen,” tandasnya.

    Pemkot Tangsel mencatat realisasi serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baru 35 persen. Untuk itu Wakil Walikota Tangsel Pilar Saga Ichsan meminta jajarannya untuk agar dapat mempercepat penyerapan anggaran.

    “Realisasi anggaran kita baru mencapai 35 persen,paling tinggi serapan ada di Dinas Pendidikan dan Setda, yang rendah di dinas teknis, karena masih berjalan, dan akan terlihat di bulan Agustus,September peningkatan realisasinya.”ungkapnya.

    Sampai saat ini tidak ada kendala yang berarti dalam penyerapan anggaran. Namun untuk Dinas teknis masih dalam proses lelang dan pekerjaan,sehingga penyerapannya masih rendah namun nanti di triwulan ke empat angkanya akan signifikan naik.

    Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Wawang Kusdaya, menjelaskan, posisi kas daerah saat ini dalam keadaan memadai, diharapkan semua OPD segera merealisasikan kegiatannya sesuai dengan time table dan menyampaikan SPP SPM kepada BKAD.

    “Insyaallah bagi yang syaratnya lengkap dalam 2 atau maksimal 3 hari dapat kami cairkan,”jelasnya.

    Sementara itu, menyikapi minimnya penyerapan anggaran, Anggota Komisi 1 DPRD Tangsel, Rizky Jonis mengungkapkan jika penyerapan baru mencapai 35 persen, ini artinya pengguna anggaran terlambat menjalankan perencanaan yang seharusnya dari bulan Februari sudah dijalankan.

    “Keterlambatan menjalankan rencana berakibat pekerjaan mundur dan anggaran yang seharusnya sudah digunakan untuk pembayaran belum dibayarkan.Seharusnya masalah seperti ini tidak terjadi kalau pengguna anggaran konsisten menjalankan perencanaan sesuai time schedule,”tegasnya.

    Apalagi kemarin ada mutasi pejabat jangan sampai pejabat baru yang menempati posisi baru jangan ada kata menyesuaikan dulu, mereka harus tancap gas untuk mengejar ketinggalan.

    “Harus cepat bekerja memanfaatkan waktu mengejar prestasi agar rencana berjalan tepat waktu,” singkatnya.

    Terpisah, Sekretaris daerah (Sekda) Kota Tangerang Herman Suwarman meminta organisasi perangkat daerah (OPD) di lingkup Pemkot Tangerang mempercepat penyerapan anggaran. Demikian halnya, agar seluruh tender proyek maupun melalui penunjukan langsung (PL) supaya disegerakan.

    Instruksi itu disampaikan Herman menyikapi masih rendahnya serapan meski sudah akan memasuki awal semester kedua tahun anggaran. Secara spesifik, instruksi itu ditujukan kepada OPD yang berkaitan langsung konstruksi atau berkaitan infrastruktur fisik. “Penyerapan kita masih sekitaran 40 persenan, masih rendah itu,”kata Herman ditemui usai apel pagi, Senin (19/06/2023) di Pusat Pemerintahan Kota Tangerang.

    Herman menambahkan, pada medio tahun anggaran berjalan, serapan anggaran anggaran idealnya minimal 50 persen. “Kalau penyebabnya antara lain proses pengadaan belum selesai khususnya, gagal lelang , masih berproses jadi belum selesai,” ucapnya.

    Disinggung soal adanya imbauan penggunaan e-katalog agar mempercepat proses pengadaan beberapa waktu lalu, Herman mengatakan, melalui LKPP hal itu sudah didorong.

    “Sudah diarahkan melalui LKPP supaya memang pelaksanaannya melalui e-katalog agar cepat dan prosesnya tidak ada kekhawatiran (dari segi hukum-red), makanya sekarang SKPD sudah mulai mengambil langkah-langkah untuk persiapan melalui e katalog,” terangnya.

    Dia mengatakan, dibanding tahun lalu kondisinya juga hampir serupa. “Tapi memang biasanya di posisi jelang akhir itu mulai dikebut capaiannya,”katanya.

    Ditanya bahwa lambannya penyerapan anggaran bukanlah kali pertama, Herman tak menampiknya. Namun demikian, mantan Kadis Perindag ini mengaku sudah mengambil beberapa kebijakan. “Kita juga mengambil langkah-langkah, makanya kemarin Pak Wali coba langsung mengundang Kepala LKPP supaya SKPD yakin bahwa hal ini tidak menjadi masalah,” tandasnya.(MG-01/MG-02/DHE/MYU/LUK/PBN/BNN)

  • Infrastruktur Bikin Susah Tidur

    Infrastruktur Bikin Susah Tidur

    BEBERAPA tahun terakhir, pembangunan infrastruktur selalu menjadi primadona dan program prioritas, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Prioritas pembangunan infrastruktur ini, pada akhirnya menyebabkan alokasi anggaran negara banyak tersedot ke program tersebut.

    Namun, dalam pelaksanaannya sektor ini membuat banyak pihak susah tidur. Gelontoran anggaran triliunan rupiah terlihat belum signifikan dan tidak jelas petanya, apalagi hasilnya. Seperti pada pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan maupun pendidikan, masih banyak jalan tak tersentuh pembangunan, demikian juga fasilitas sekolah yang rusak dan bahkan roboh.

    Selain itu, permasalahan infrastruktur ketahanan pangan. Jaringan irigasi sebagai infrastruktur ketahanan air terlihat tidak jelas pemeliharaan dan pembangunannya. Masih banyak terdapat sawah kekeringan dan kebanjiran akibat tidak berfungsinya irigasi tersebut.

    Persoalan infrastruktur jalan, menjadi salah satu ‘jualan utama’ para kandidat dalam Pilkada Serentak 2020 yang juga diselenggarakan di Kabupaten Pandeglang. Jalan rusak, bahkan jalan yang tak tersentuh pembangunan dinilai banyak terdapat di wilayah ini.

    Andri, seorang warga Kecamatan Labuan mengakui buruknya kondisi infrastruktur wilayah itu. Bahkan, menurutnya sejumlah ruas jalan di wilayah pesisir itu sudah tak layak disebut jalan, karena kondisinya yang sudah sangat memprihatinkan.

    “Sebut saja wilayah Lantera hingga Laba yang puluhan tahun tak tersentuh perbaikan. Belum lagi ruas jalan lain yang kondisinya lebih buruk. Itu banyak ditemui, ketika kita masuk ke wilayah seperti Panimbang, Sobang, Cibaliung sampai ke Sumur,” kata Andri.

    Sementara, sumber BANPOS yang merupakan seorang guru di Kecamatan Saketi, mengaku prihatin terhadap minimnya perhatian Pemkab Pandeglang terhadap infrastruktur pendidikan. Karena, menurut dia selama ini Pemkab Pandeglang tak pernah secara khusus mengalokasikan anggaran untuk pembangunan sekolah.

    “Kebanyakan pembangunan maupun perbaikan sekolah bersumber dari DAK (dana Alokasi Khusus, red) yang notabene adalah pemberian pemerintah pusat. Tak ada inisiatif Pemkab Pandeglang untuk mengalokasikanny dari APBD murni,” kata sumber seraya mewanti-wanti agar namanya tidak dikorankan.

    Buruknya kondisi infrastruktur diakui anggota DPRD Pandeglang, Yadi Rusmiadi. Dia membenarkan masih banyaknya jalan di Kabupaten Pandeglang yang belum tersentuh pembangunan. Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu menilai bahwa infrastruktur tersebut sangat tidak layak digunakan oleh masyarakat.

    “Infrastruktur sangat hancur, buktinya banyak yang viral, apalagi daerah selatan seperti Cimanggu, Cibaliung, Cibitung, Cigeulis, dan masih banyak lagi yang belum terjamah oleh batu pembangunannya, apalagi diaspal. Masih tanah dari dulu juga,” ucap Yadi melalui seluler kepada BANPOS, Minggu (29/11).

    Yadi juga berharap, agar Bupati Kabupaten Pandeglang mendahulukan pembangunan infrastruktur. Karena dinilai lebih penting dibandingkan yang lain.

    “Harapan kami kepada Bupati, dahulukan dulu infrastrukturnya dibandingkan yang lain, karena infrastruktur sangat penting. Setelah infrastruktur, kesehatan. Karena masih banyak masyatakat yang mengeluh soal pembayaran pengobatan,” kata Yadi.

    Namun, soal infrastruktur pendidikan, Yadi menilai sejauh ini Kabupaten Pandeglang sudah cukup baik. Kalaupun ada, satu, dua, tiga saja yang bangunannya jelek.

    “Jadi prosentasenya mungkin hanya 15 persen saja yang bangunan sekolahnya jelek,” ungkapnya.

    Hal senada juga dikatakan oleh anggota dewan dari Fraksi PKB, Ade Muamar. Dirinya menyebutkan bahwa, infrastruktur di Kabupaten Pandeglang masih sangat perlu untuk dibangun.

    “Kalau infrastruktur, masih jauh dari kata bagus atau layak untuk dipergunakan oleh masyarakat. Karena masih banyak sekali jalan-jalan yang hancur, dan itu fakta,” terangnya.

    Ade berharap bahwa untuk pemimpin Pandeglang nanti, harus mendahulukan infrastruktur. Karena pembangunannya sangat dinantikan, oleh seluruh masyarakat Kabupaten Pandeglang.

    “Siapapun pemimpin Pandeglang kedepan, harus memperhatikan infrastruktur. Karena Pandeglang itu masih menyisakan pekerjaan rumah tentang infrastruktur,” imbuh Ade.

    Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kabupaten Pandeglang, Asep Rahmat juga mengakui banyaknya infrastruktur jalan, jembatan dan irigasi yang belum tertangani. Penyebabnya dalah kemampuan APBD Kabupaten Pandeglang yang sangat terbatas, tak sebanding dengan masalah yang harus diselesaikan.

    “Sehingga penanganannya dilakukan secara bertahap dengan skala prioritas. Namun demikian kami tetap berupaya semaksimal mungkin agar capaian penanganan infrastruktur jalan, jembatan dan irigasi sesuai target yang tertuang dalam Renstra sebagai turunan dari RPJMD,” kata Asep kepada BANPOS melalui seluler, Jum’at (27/11).

    “Bentuk upaya tersebut kami lakukan dengan cara berkoordinasi, baik ke Pemerintah Provinsi Banten dan Pemerintah Pusat, sehingga capaian kinerja infrastruktur dari tahun 2016 sampai dengan 2019 melebihi target kinerja. Hal tersebut dibuktikan dengan pembangunan jalan, dari target 150 kilometer, realisasi justru mencapai 230 kilometer. Serta jembatan, dari target 120 meter, realisasinya 379 meter. Kemudian dari sektor irigasi, target kita 31 DI (Daerah (Irigasi) dan sudah terealisasi 298 DI,” jelas Asep.

    Dirinya menuturkan bahwa pembangunan di Kabupaten Pandeglang tidak mengalami hambatan meskipun diterjang bencana tsunami pada tahun 2018.

    “Walaupun pada tanggal 22 Desember 2018 terjadi bencana alam tsunami, hal tersebut sangat berpengaruh pada APBD tahun 2019. Namun Pemkab Pandeglang tetap menjaga komitmen dalam pembangunan infrastruktur, sehingga pembangunan infrastruktur melebihi target,” ungkapnya.

    Pihaknya berharap kepada seluruh masyarakat, agar menjaga fasilitas infrastuktur yang telah dibangun.

    “Saat ini ekspektasi masyarakat terhadap infrastruktur jalan sangat besar, dan kami juga menyadari bahwa masih adanya infrastruktur jalan yang perlu penanganan. Oleh karena itu, kami mohon kepada masyarakat agar bersabar dan kami juga berharap kepada masyarakat agar memelihara infrastruktur yang sudah dibangun,” terang Asep.

    Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pandeglang, Taufik Hidayat mengatakan, jumlah anggaran pembengunan dan pemeliharaan gedung sekolah tahun 2020, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama, mencapai Rp 29 miliar.

    “Anggaran Pembangunan/Rehab Sekolah pada tahun 2019 itu mencapai Rp29 miliar, yang terdiri dari PAUD Rp900 juta, SD Rp18,5 miliar, dan SMP Rp9,6 miliar,” kata Taufik.

    Taufik juga menerangkan bahwa Penurunan jumlah siswa di SMPN mengakibatkan pembiaran kerusakan ruang kelas, menghambat capaian kinerja karena tercatat sebagai ruang kelas rusak berat dari tahun ke tahun.

    “Sekolah dengan ruang kondisi layak pakai 84,85 persen, rusak sedang 8,25 persen, dan rusak Berat 6,9 persen,” jelasnya.

    Taufik juga menerangkan bahwa, dalam mengerjakan pembangunan dan pemeliharaan soklah-sekolah, pihaknya menghadapi kendala.

    “Kendala yang kita hadapi pada saat pembangunan gedung dan pemeliharaan gedung sekolah itu, yang pertama kesiapan lahan, terus daerahnya yang rawan bencana, serta kami hanya mengandalkan DAK,” tutup Taufik.

    Selain di Pandeglang, di Kabupaten Serang infrastruktur juga dinilai belum bisa dinikmati secara maksimal oleh masyarakat. Dinilai, yang jadi penyebabnya adalah penganggaran infrastruktur masih belum maksimal dikelola.

    “Saya lihat dari secara pembiayaan, masih bergantung kepada pusat. Saya berharapnya, pembiayaan itu dimaksimalkan dari PAD. Jadi bupati baru nantinya harus memaksimalkan PAD Kabupaten Serang,” ujar Anggota DPRD Kabupaten Serang Fraksi Gerindra Ahmad Suja’i.

    Menurutnya, selain itu terlihat masih lemahnya pembangunan infrastruktur sekolah. Karena terlihat berdasarkan data-data yang ada bahwa kualitas pembangunan bidang fisik sekolah di Kabupaten Serang belum maksimal.

    “Secara 20 persen sudah terpenuhi, namun jika dimasukkan dengan pembangunan fisik masih kurang anggarannya. Sebab itu, kembali lagi, PAD harus ditingkatkan,” jelasnya.
    Sebab itu, dengan kurangnya anggaran yang ada. Alokasi untuk pembangunan fisik menjadi minim dan akhirnya terbengkalai.

    “Harapan kita, bupati selanjutnya harus mendapatkan pemasukan sebanyak-banyaknya untuk pembangunan infrastruktur terutama pembangunan sekolah, agar tidak ada lagi sekolah rusak,” tandasnya

    Terpisah, Kepala DPUPR Kabupaten Serang, Okeu Oktaviana menyebutkan alokasi anggaran pembangunan infrastruktur sepanjang tahun 2017-2020 konsisten. Sebab, pihaknya sudah memiliki Perda percepatan infrastruktur, Perda nomor 3 tahun 2017, dimana di dalam Perda tersebut ditargetkan setiap tahunnya PUPR harus membangun 100 kilometer.

    “Sehingga untuk target 601 kilometer jalan Kabupaten Serang bisa dinyatakan mantap. Dari 100 kilometer, dinas PU rata-rata menganggarkan Rp300 miliar, itu sudah wajib dianggarkan,” ujarnya.

    Sejak tahun 2017, sudah berjalan sampai saat ini. Tetapi untuk tahun ini, dikarenakan ada Covid-19 maka pihaknya melakukan refocusing.

    “Sehingga untuk tahun 2017-2020 sudah konsisten, karena amanah Perda,” ucapnya.

    Ia mengungkapkan bahwa anggaran pembangunan infrastruktur jalan dalam RPJMD sudah ditarget 601 Kilometer harus sudah terbangun dan sudah dalam kondisi mantap. Sehingga kondisi infrastruktur jalan di Kabupaten Serang saat ini tersisa 40,3 Kilometer.

    “Harusnya di tahun 2021 itu sudah tuntas, jadi sudah sesuai dengan RPJMD. Karena di tahun ini harusnya terbangun kurang lebih 585 Kilometer dan sisanya tinggal 16 kilometer harusnya. Tetapi sekarang masih 40,3 kilometer, karena beberapa sumber dana dari Pemda, dari Gubernur, dan APBD juga disalurkan untuk Covid-19,” ujarnya.

    Hal itu menjadi salah satu penyebab tidak tercapainya RPJMD. Namun pihaknya rasa seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia mengalami keadaan yang sama, semua tidak akan tercapai RPJMD, terkait dengan pembangunan fisik.

    “Karena memang seluruh anggarannya dialihkan untuk penanganan Covid-19,” katanya.

    Untuk alokasi APBD infrastruktur selain jalan, juga meliputi diantaranya yaitu jembatan, irigasi, drainase, jalan desa, jalan lingkungan, perpipaan dan lainnya berada di dinas PU dan Perkim. Jadi untuk keseluruhan APBD, ia mengaku tidak mempunyai data detailnya.

    “Kami dan Dinas Perkim mempunyai target yang harus tercapai sesuai dengan RPJMD,” katanya.

    Penanganan tanggul-tanggul penahan banjir, itupun dilakukan oleh PUPR. Oke mengatakan, kebetulan sungai itu sebagian besar penanganannya ada di balai.

    “Kami hanya yang bagian ketiga yang kami tangani. Karena itu warga kabupaten, maka ketika ada pendangkalan atau ada permohonan yang harusnya ke Balai tetapi ada juga yang kesini (PUPR) dan kami rekap dan kami teruskan ke Balai,” katanya.

    Contohnya, beberapa waktu yang lalu, pihaknya mengusulkan lumayan banyak normalisasi sungai ke Balai. Hanya saja, untuk disetujui atau tidak, balai juga memiliki mekanisme sendiri.

    “Tetapi saya yakin dua atau tiga sungai akan disetujui,” ucapnya.

    Saat ditanyai terkait dengan peluang dalam keberhasilan mencapai RPJMD, pihaknya tetap berupaya mengusulkan program-program andalan kepada Pemerintah pusat melalui dana, dan termasuk ke Pemprov juga. Mudah-mudahan, di 2020 ini sekitar 30 kilometer jalan target PUPR akan terbangun.

    “Karena DAK sudah ada tanda-tanda menyetujui dan keuangan juga sudah mulai ada tanda-tanda (pengalokasian anggaran kembali),” terangnya.

    Terkait ketahanan air, Okeu menyuguhkan data hingga tahun 2018 dalam buku saku DPUPR Kabupaten Serang, diantaranya untuk jaringan irigasi yang baik disebutkan sebanyak 97,3 persen. Selanjutnya, untuk kondisi jaringan irigasi rusak ringan dan sedang sebanyak 1,5 persen dan untuk irigasi dengan kondisi rusak parah yaitu sebanuak 1,3 persen.

    “Kami memiliki 282 Daerah irigasi (DI), yang terletak di 15 Kecamatan dan luas areal 18,919 hektare,” katanya.

    Ia mengungkapkan, alokasi anggaran untuk irigasi sekitar Rp17 miliar pertahun. Biasanya, mencapai Rp20 miliar, akan tetapi sekarang karena pendapatan daerah juga berkurang, ditambah penanganan Covid-19, jadi hanya sekitar Rp17 miliar.

    “Alhamdulillah untuk DAK irigasi yang tadinya dicoret oleh pusat melalui Perpres 72, tetapi di pertengahan tahun dimunculkan lagi. Jadi tahun ini ada dua paket (datanya ada di ULP),” tandasnya.(CR-02/MUF/PBN/ENK)

  • Simalakama Raperda Zona Pesisir

    Simalakama Raperda Zona Pesisir

    SERANG, BANPOS – Demi menghindari celah hukum , Gubernur Banten dan DPRD Banten melanjutkan pembahasan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Banten. Dua Kementerian, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Dalam Negeri mengultimatum Pemprov agar segera mengesahkan Raperda ini menjadi Perda. Namun, arus penolakan terhadap Raperda yang dikebal dengan sebutan Raperda Zona Pesisir ini tetap kencang. Simalakama buat Gubernur Banten?

    Berdasarkan informasi dihimpun, DPRD serta Pemprov Banten sepakat membahas Raperda Zona Pesisir untuk menghindari jeratan hukum yang akan berakibat kepada Gubernur Banten Wahidin Halim (WH). Karena akan banyak kerugian negara jika dua Raperda ini tidak segera disahkan.

    Untuk Raperda RZWP3K, akan berpotensi pada tindakan pembiaran terhadap kegiatan eksploitasi sumber daya laut seperti tambang pasir.

    Surat Mentri KKP Edy Prabowo dikeluarkan awal tahun lalu dengan nomor B-16/MEN-KP/I/2020 prihal Tindaklanjut RZWP3K Provinsi Banten, dan surat dari Dirjen Bina Pembangunan Daerah, Muhammad Hudori atas nama Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, bernomor 523/1479/Bangda Perihal, Percepatan Penetapan Raperda tentang RZWP3K Provinsi Banten.

    Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Banten Madsuri, beberapa waktu yang lalu mengatakan, setelah mendapat tembusan surat peringatan tersebut, dirinya langsung berkoordinasi dengan tim serta OPD terkait untuk melakukan kelanjutan pembahasannya.

    “Ini kan program yang dibahas oleh Pansus pada periode dewan sebelumnya yang belum selesai. Oleh karena itu, kemarin kami sudah melakukan koordinasi dengan OPD terkait untuk mengevaluasi kembali, sudah sejauh mana pembahasan Raperda ini,” katanya.

    Dari hasil koordinasi tersebut, lanjutnya, pembahasan masalah ini ternyata sudah hampir selesai semua, baik itu tahapan naskah Akademis, kajian akademis maupun penentuan titik koordinatnya. Sehingga, kini prosesnya sudah ada di Badan Musyawarah (Bamus) DPRD Banten.

    “Bapemperda hanya fasilitasi saja antara dewan dengan Pemprov. Untuk masalah teknis lanjutannya ada di Bamus dan Pimpinan,” ujarnya.

    Wakil Ketua DPRD Banten, Nawa Said Dimyati mengaku pembahasan Raperda Zona Pesisir dikebut bersama Raperda penambahan modal Bank Banten karena adanya pembatasan waktu dari pusat, serta untuk mengejar target di APBD perubahan untuk penambahan penyertaan modal Bank Banten.

    Untuk Raperda RZWP3K, lanjut Cak Nawa, harus dipercepat karena ada batas waktu dari Kementerian KKP sampai awal tahun 2021. Jika dalam waktu itu tidak bisa selesai, maka konsekuensinya Pemprov Banten harus mengulangnya dari awal lagi.

    Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Banten Muhtarom mengatakan, pihaknya sudah menyelesaikan terkait seluruh aspek teknis maupun administratif berkenaan dengan Raperda RZWP3K ini. Namun karena pembahasan di dewannya tidak sampai selesai, untuk itu pihaknya harus menunggu kelanjutan pembahasan pada anggota dewan yang baru ini.

    “Sudah. Sudah selesai semua. Termasuk titik koordinat dan batasan-batasan wilayahnya,” katanya.

    Terpisah, kelanjutan pembahasan Raperda Zona Pesisir juga kembali memantik penolakan. Saat Raperda ini dibahas oleh anggota DPRD Banten periode sebelumnya, gelombang aksi unjuk rasa dari aktivis lingkungan hidup dan kelompok masyarakat pesisir terus mengepung DPRD Banten untuk menyuarakan penolakan raperda tersebut.

    Ketika pembahasan raperda dibuka kembali, Aliansi Masyarakat Untuk keadilan (AMUK) Bahari Banten, dengan melayangkan surat protes yang disampaikan kepada Ketua DPRD Provinsi Banten serta seluruh ketua fraksi.

    Dalam surat tersebut, AMUK Bahari Banten menilai bahwa Gubernur Banten tidak menjalankan pasal 96 UU nomor 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam mengusulkan Raperda RZWP3K.

    Selain itu, mereka menilai bahwa Raperda RZWP3K akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan nelayan tradisional dan nelayan kecil yang berada di seluruh pesisir Provinsi Banten. AMUK Bahari Banten pun menolak penyampaian nota Gubernur atas usulan Raperda yang disampaikan pada Sabtu (11/7).

    Koordinator AMUK Bahari Banten, Aeng, mengatakan bahwa selama ini draft Raperda tersebut masih berisi perampasan ruang hidup masyarakat bahari. Apalagi dalam penyusunannya, Gubernur sebagai pengusul Raperda tidak melibatkan masyarakat pesisir untuk memberikan masukan baik lisan maupun tulisan.

    “Gubernur dalam menyusun draf tersebut tidak melibatkan masyarakat nelayan untuk memberikan masukan baik lisan maupun tulisan. Padahal hal tersebut diatur pada pasal 96 ayat 1 sampai dengan ayat 4 UU No 11 tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ujarnya.

    Aeng juga menegaskan bahwa Raperda tersebut sangat sulit untuk diakses oleh masyarakat nelayan dan komunitas-komunitas nelayan. Bahkan hingga saat ini pun, Aeng mengatakan bahwa Pemprov Banten belum pernah menggelar rapat dengar pendapat dengan masyarakat pesisir.

    “Gubernur Banten melalui Pemprov Banten belum pernah melakukan rapat dengar pendapat, kunjungan kerja, sosialisasi dan atau seminar, lokakarya dan atau diskusi terkait rancangan peraturan daerah ini kepada masyarakat nelayan dan komunitas-komunitas nelayan sebagai masyarakat terdampak,” katanya.

    Pihaknya pun menjabarkan fakta-fakta yang bisa dijadikan pertimbangan dan alasan kenapa dan mengapa mereka memprotes rencana penyampaian nota Gubernur Banten atas usulan Raperda RZWP3K.
    Petama, ia menjelaskan bahwa dalam dinamika konstitusi dan rencana strategis pembangunan baik nasional maupun daerah terkait RZWP3K, tidak melibatkan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dalam penyusunannya.

    “Rencana zonasi merupakan rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin,” ucapnya.

    Kedua, ia mengatakan bahwa usulan Raperda RZWP3K Provinsi Banten patut dipertanyakan apakah akan memberikan ruang yang adil untuk pemukiman nelayan. Padahal, provinsi ini memiliki rumah tangga nelayan tradisional sebanyak 9.235, yang terdiri dari 8.676 keluarga nelayan tangkap dan 559 keluarga nelayan budidaya. “Inilah bentuk ketidakadilan sekaligus bentuk perampasan ruang yang akan dilegalkan melalui Perda,” jelasnya.

    Yang ketiga yakni alokasi ruang untuk perikanan tangkap berada di titik-titik terjauh yang kecil kemungkinan tidak dapat diakses oleh nelayan tradisional, dengan menggunakan kapal di bawah 10 Gross Tonnage (GT).

    Dengan memperhatikan informasi alokasi ruang tersebut, ia mengatakan bahwa sangat terlihat arah pembangunan laut di provinsi Banten yang berorientasi pembangunan infrastruktur melalui Kawasan Strategis Nasional (KSN), sekaligus pembangunan ekstraktif-ekspolitatif melalui proyek pertambangan. Belum lagi alokasi ruang untuk proyek reklamasi yang berada di 54 kawasan pesisir Banten.

    “Proyek-proyek ini dipastikan akan menggusur ruang hidup masyarakat pesisir. Kami menolak RZWP3K disampaikan dalam Nota Gubernur. Kami meminta DPRD Banten sebagai reprentasi rakyat yang bekerja melakukan fungsi pengawasan dan legislalasi untuk menolak penyampaian nota Gubernur terkait Raperda RZWP3K tersebut, sebagai bentuk melindungi rakyat nelayan dari upaya perampasan ruang laut sebagai ruang hidup milik nelayan,” tegasnya.

    Ia juga menegaskan bahwa Raperda RZWP3K pernah diajukan Gubernur Banten sebelumnya pada DPRD Banten periode 2014-2019, dianggap cacat yuridis oleh pihaknya karena tidak menyertakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), yang diamanatkan dalam peraturan menteri Kelautan dan perikanan.

    “Selain itu, Gubernur juga tidak melakukan konsultasi publik sebagaimana diatur dalam Pasal 49 huruf (e) dan Pasal 50 ayat (6) Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 34/Permen-Kp/2014 Tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil,” ujarnya.

    Ia pun menuding bahwa Raperda RZWP3K didorong hanya untuk melegalisasi investasi yang terlanjur ada dan berkonflik dengan masyarakat. Usulan Gubernur Banten atas Raperda RZWP3K Provinsi Banten seyogyanya ditolak DPRD karena bertentangan dengan Undang-Undang lainnya.

    “Seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Ketiadaan ruang untuk pemukiman nelayan yang bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, UU No. 32 tahun 2009, Putusan MK No. 3 Tahun 2010, serta UU nomor 1 tahun 2014 yang melarang penambangan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” terangnya.

    Menurutnya, Negara pun seharusnya menjamin implementasi putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang mengakui Hak Konstitusi Masyarakat Bahari. Mulai dari hak melintas dan mengakses laut, hak untuk mendapatkan perairan bersih dan sehat, hak untuk mendapatkan manfaat dari sumber daya kelautan dan perikanan serta hak untuk mempraktikkan adat istiadat dalam mengelola laut yang telah dilakukan secara turun-menurun.

    “Negara harus menghentikan segala bentuk proyek yang ekstraktif dan eksploitatif di pesisir dan pulau-pulau kecil, serta menjamin penuh kedaulatan masyarakat bahari. Negara juga harus menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan intimidasi yang dilakukan oleh oknum aparat terhadap masyarakat,” katanya.

    Dengan demikian, ia meminta kepada pimpinan DPRD Provinsi Banten dan seluruh ketua Fraksi-fraksi yang ada di DPRD Banten, untuk bersama-sama rakyat menolak Nota Gubernur Banten, atas inisiasi Raperda RZWP3K yang dinilai dapat meminggirkan hidup nelayan dalam haknya mengelola ruang laut sebagai ruang hidup milik nelayan.

    Terpisah, Gubernur Banten, Wahidin Halim (WH), dalam penyampaian nota pengantar mengungkapkan bahwa Raperda RZWP3K merupakan amanat pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya laut yang ada di wilayahnya.

    “Serta, amanat Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 pasal 7 ayat (3) tentang Pengelolalaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014. Pemerintah daerah wajib menyusun rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil paling jauh 12 (duabelas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan,” ujarnya.

    Dijelaskan WH, RZWP3K berfungsi sebagai dokumen formal perencanaan daerah, kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, memiliki keterkaitan dengan kebijakan perencanaan pembangunan nasional dan kebijakan penataan ruang, untuk memberikan kekuatan hukum dalam pemanfaatan ruang laut, alat sinergitas pemanfaatan spasial, acuan pemberian izin pemanfaatan ruang, rujukan konflik ruang laut, serta perisai legitimasi peruntukan ruang laut.

    Pemprov Banten, kata WH, dalam penyusunan Raperda ini mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan perikanan Nomor 23 Tahun 2016 dan surat Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor B-16/Men-KP/I/2020 tentang Tindak Lanjut Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Banten.

    “Penyelesaian Raperda ini juga mendapatkan atensi dari Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 523/1479/BANGDA, perihal percepatan penetapan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Proviinsi Banten,” tandasnya. (DZH/ENK)