Tag: Mafindo

  • Mafindo Tular Nalar ke Gen-Z Lebak Jadi Pemilih Cerdas

    Mafindo Tular Nalar ke Gen-Z Lebak Jadi Pemilih Cerdas

    LEBAK, BANPOS – Ratusan siswa di SMA Negeri 2 Rangkasbitung mengikuti kegiatan Sekolah Kebangsaan dalam Program Tular Nalar 3.0 yang diselenggarakan oleh mahasiswa Universitas Terbuka dan diinisiasi Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) yang didukung oleh Google.org.

    Ketua Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) Provinsi Banten, Ali Faisal mengatakan, kegiatan tersebut berkolaborasi dengan program Bawaslu Goes To School yang mana memberikan sosialisasi kepada para siswa untuk menjadi pemilih cerdas dalam menghadapi Pilkada mendatang.

    “Jadi untuk Pilkada pada 27 November mendatang, para pemilih pemula diberikan sosialisasi agar dapat menangkal hoaks dan ujaran kebencian sebelum Pemilihan Gubernur dan Bupati atau Walikota,” kata Ali kepada BANPOS, Senin (22/7).

    Ia menjelaskan, dipilihnya siswa atau pemilih pemula di kalangan Gen-Z dikarenakan sesuai dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang hampir setengahnya merupakan pemilih pemula.

    “Berdasarkan DPT 2024, Jumlah Pemilih Pemula itu mendominasi yakni sebanyak 55 koma sekian persen. Jadi kalau Gen-Z ini tidak diberi pemahaman yang baik, itu menjadi kekhawatiran karena mereka ini pemilih yang luar biasa,” tandasnya.

    Sementara itu, Koordinator program Tular Nalar, Yoki Yusanto, mengungkapkan bahwa kegiatan Tular Nalar 3.0 adalah yang ketiga kali dilaksanakan di Provinsi Banten, sejak tahun 2022.

    “Kegiatan ini menjadi suatu cara agar siswa sebagai pemilih pemula memiliki suatu kemampuan memilih dan memilah informasi, terutama menghindari terpapar berita bohong di media digital, seperti media sosial maupun media massa online yang belum teruji kebenaran informasinya,” ujarnya yang juga akademisi dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa tersebut.

    Ia memaparkan, seluruh siswa antusias mengikuti acara Tular Nalar yang diselenggarakan di SMAN 2 Rangkasbitung ini. Pasalnya, belum pernah ada acara edukasi tentang Penginderaan Hoax.

    “Program Tular Nalar, pelatihan literasi digital yang diinisiasi oleh MAFINDO dan didukung oleh Google.org, dengan Love Frankie sebagai mitra pelaksana telah muncul sebagai platform online pembelajaran utama yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi dan menyikapi hoaks melalui literasi digital dan pemikiran kritis,” paparnya.

    “Dikembangkan bekerja sama dengan Institut Kebudayaan dan Kemanusiaan MAARIF Institute pada tahap awal, Tular Nalar telah mengalami pertumbuhan yang pesat dalam tiga tahun ini, dengan preferensi khusus untuk melibatkan first-time voters pre-lansia, dan lansia,” tandasnya.

    Terpisah, Teguh Prakoso, selaku Direktur Universitas Terbuka Serang  menyampaikan apresiasi kepada seluruh tim pelaksana dan fasilitator atas kontribusi mereka dalam mensukseskan acara ini.

    “Kami Universitas Terbuka  sangat senang dan bangga, mahasiswa kami untuk ikut berkiprah dalam acara tular nalar,” katanya.(MYU/PBN)

  • Mafindo Ingatkan Warga Hindari Radikalisasi di Medsos

    JAKARTA, BANPOS – Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo)
    Septiaji Eko Nugroho mengingatkan warga untuk menghindari radikalisasi di media sosial
    dengan menerapkan metode berpikir kritis.

    Septiaji, seturut keterangan tertulis diterima di Jakarta, Kamis menyebut kemampuan berpikir
    kiritis dan logis menjadi mutlak dalam mencerna dan menyimpulkan konten yang tersebar
    luas di tengah derasnya arus informasi dalam peradaban modern.

    “Logikanya, seharusnya kalau orang mengakses media sosial, akses informasi menjadi tidak
    terbatas, dan pada akhirnya bisa memiliki wawasan yang luas dan mampu melihat dari
    berbagai perspektif, tetapi faktanya tidak demikian, justru yang terjadi malah sebaliknya,”
    kata dia.

    Alumnus Technische Universitaet Muenchen itu mengatakan ketika seseorang telah merasa
    sesuatu hal benar tanpa mencari tahu betul latar belakang informasi tersebut, maka ia
    cenderung menutup diri dari informasi lain di luar yang dia anggap benar itu.

    Menurut dia, pada kondisi itulah radikalisasi terjadi. Seseorang yang telah fanatik terhadap
    suatu informasi, kemungkinan besar akan percaya dengan apapun yang disajikan oleh
    pemasok informasi itu.

    Orang yang terpapar akan cenderung menolak berita dari kelompok lain. Itulah yang disebut
    dengan echo chamber effect,” kata dia.

    Sebagai solusinya, Septiaji mendorong tiga hal. Pertama adalah berperilaku pintar dalam
    menelaah informasi, yakni selalu seleksi informasi yang diterima: fakta atau fiktif, serius atau
    tidak, serta bersumber otoritatif dan kredibel atau justru sumbernya tidak jelas.

    “Kedua adalah guyub. Kalau dia sebagai masyarakat bisa guyub dengan orang lain, maka dia
    akan sering berinteraksi dengan berbagai kalangan. Meskipun dia punya keyakinan yang
    sangat kuat, dia juga terlatih untuk menghargai perbedaan terhadap orang lain,” tambahnya.

    Sementara itu, solusi ketiga menurut Septiaji adalah guyon. Menurutnya, seseorang yang
    senang berkelakar cenderung memiliki imunitas yang kuat dan kebal dari upaya radikalisasi.

    Kalau misalnya dia terbiasa dengan srawung atau berkumpul dengan orang lain dan juga
    bercanda, maka upaya radikalisasi itu akan sering bertemu dengan jalan buntu, ujarnya.

    Kepada kaum muda, Septiaji berharap agar mereka bisa bersikap rasional dalam menanggapi
    sebuah informasi. Rasionalitas, ucapnya, ditandai dengan bagaimana seseorang sadar diri
    untuk melakukan pengecekan pada sumber informasi pembanding.

    Selain itu, ia juga mendorong generasi muda Indonesia untuk memperbanyak produksi
    konten media sosial yang moderat. Hal itu bertujuan menekan masifnya konten radikal di
    internet.

    “Jadi, harus ditenggelamkan pandangan-pandangan radikal itu dengan cara memperbanyak,
    memperbaiki, dan membuat konten-konten yang mengajak masyarakat menjadi lebih
    moderat,” ujarnya.

    Dia menambahkan kemampuan berlogika dan berpikir kritis kaum muda Indonesia perlu
    ditingkatkan agar tidak terjebak dalam ruang gema (echo chamber) media sosial yang
    membahayakan.

    “Saya rasa kemampuan berlogika dan berpikir kritis masih sangat kurang di generasi muda
    kita. Perlu rasanya kita bisa memahami kesalahan-kesalahan dalam berlogika, sehingga dapat
    meningkatkan kemampuan untuk berpikir kritis,” imbuhnya. (ANT/AZM)