Tag: MAKI

  • Kejati akan Telaah Dugaan Penyimpangan Anggaran Belanja Operasional WH-AA

    Kejati akan Telaah Dugaan Penyimpangan Anggaran Belanja Operasional WH-AA

    SERANG, BANPOS – Pencairan biaya penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Banten tahun 2017-2021, dilaporkan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) ke Kejati Banten. Hal itu menyusul adanya dugaan penyimpangan yang mengarah pada tindak pidana korupsi.

    Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengatakan bahwa biaya penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur telah diatur dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2000. Dalam aturan itu, biaya penunjang operasional merupakan biaya yang dipisahkan dari honorarium ataupun penghasilan tambahan.

    “Biaya penunjang operasional tidak dapat digolongkan sebagai honorarium atau tambahan penghasilan, sehingga penggunaannya harus dipertanggungjawabkan melalui SPJ yang sesuai peruntukannya,” ujarnya dalam rilis yang diterima, Senin (14/2).

    Sementara itu, dalam dugaan penyimpangan yang mengarah pada tindak pidana korupsi yang dimaksud oleh pihaknya, lantaran dalam penggunaannya selama kurang lebih 5 tahun periode Wahidin Halim (WH) – Andika, diduga tidak dipertanggungjawabkan melalui SPJ.

    “Sehingga berpotensi digunakan untuk memperkaya diri atau orang lain, sehingga diduga melawan hukum dan diduga merugikan keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Ayat 1,” ucapnya.

    Menurutnya, patut diduga biaya penunjang operasional tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi dan dianggap sebagai honor (take home pay), dan tidak dipertanggungjawabkan dengan SPJ yang sah dan lengkap.

    “Sehingga dikategorikan sebagai dugaan Tindak Pidana Korupsi dengan kerugian negara sebesar kurang lebih Rp40 miliar atau dapat lebih kurang atau lebih besar dari jumlah tersebut sepanjang terdapat SPJ yang kredibel,” katanya.

    Dalam pelaporan ini, pihaknya menduga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan bendahara pencairan biaya penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, telah melakukan kelalaian dalam menjalankan tugasnya.

    “Jika pencairan tahun 2017 diduga tidak ada LPJ kredibel, maka semestinya PPK dan Bendahara tidak melakukan pencairan dana penunjang operasional tahun 2017 sampai 2021,” terangnya.

    Boyamin menduga, pencairan anggaran biaya penunjang operasional yang bernilai Rp57 miliar itu telah melanggar sejumlah ketentuan. Diantaranya yakni UU Nomor 30 Tahun 2014, UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 15 Tahun 2004, Permendagri Nomor 13 tahun 2006 dan Nomor 109 Tahun 2000.

    Kendati demikian, Boyamin mengaku bahwa pihaknya tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah, dan menyerahkan sepenuhnya laporan dugaan tindak pidana korupsi tersebut kepada Kejati Banten.

    “MAKI tetap menjunjung Asas Praduga Tidak Bersalah, laporan aduan ini hanyalah sebagai bahan proses lebih lanjut oleh Kejati Banten, untuk menentukan ada tidaknya dugaan penyimpangan dalam perkara tersebut di atas,” ucapnya.

    Kasi Penkum Pada Kejati Banten, Ivan H. Siahaan, membenarkan bahwa pihaknya telah menerima laporan dari MAKI, terkait dengan dugaan penyimpangan pada pencairan biaya penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Banten.

    “Laporan MAKI baru masuk hari ini (kemarin), melalui sarana online dan pengaduan online di Kejaksaan Tinggi Banten,” ujarnya ditemui di Kejati Banten.

    Menurutnya, Kejati Banten akan menindaklanjuti laporan tersebut, dengan melakukan penelaahan atas laporan yang dilayangkan oleh MAKI.

    “Tindak lanjutnya yang pasti nanti akan ada disposisi dari pimpinan, akan ke mana disposisi tersebut, nanti akan dilakukan penelaahan. Jadi untuk membuktikan kebenaran laporan, dilakukan penelaahan dulu,” tandasnya.

    (DZH/PBN)

  • Biaya Penunjang Operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Banten Dilaporkan ke Kejati, Diduga Rugikan Negara Rp40 Miliar

    Biaya Penunjang Operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Banten Dilaporkan ke Kejati, Diduga Rugikan Negara Rp40 Miliar

    SERANG, BANPOS – Pencairan biaya penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Banten tahun 2017-2021, dilaporkan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) ke Kejati Banten. Hal itu menyusul adanya dugaan penyimpangan yang mengarah pada tindak pidana korupsi.

    Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengatakan bahwa biaya penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur telah diatur dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2000. Dalam aturan itu, biaya penunjang operasional merupakan biaya yang dipisahkan dari honorarium ataupun penghasilan tambahan.

    “Biaya penunjang operasional tidak dapat  digolongkan sebagai honorarium atau tambahan penghasilan, sehingga penggunaannya harus dipertanggungjawabkan melalui SPJ yang sesuai peruntukannya,” ujarnya dalam rilis yang diterima, Senin (14/2).

    Sementara itu, dalam dugaan penyimpangan yang mengarah pada tindak pidana korupsi yang dimaksud oleh pihaknya, lantaran dalam penggunaannya selama kurang lebih 5 tahun periode Wahidin Halim (WH) – Andika, diduga tidak dipertanggungjawabkan melalui SPJ.

    “Sehingga berpotensi digunakan untuk memperkaya diri atau orang lain, sehingga diduga melawan hukum dan diduga merugikan keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Ayat 1,” ucapnya.

    Menurutnya, patut diduga biaya penunjang operasional tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi dan dianggap sebagai honor (take home pay), dan tidak dipertanggungjawabkan dengan SPJ  yang  sah dan lengkap.

    “Sehingga dikategorikan sebagai dugaan Tindak Pidana Korupsi dengan kerugian negara sebesar kurang lebih Rp40 miliar atau dapat lebih kurang atau lebih besar dari jumlah tersebut sepanjang terdapat SPJ yang kredibel,” katanya.

    Dalam pelaporan ini, pihaknya menduga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan bendahara pencairan biaya penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, telah melakukan kelalaian dalam menjalankan tugasnya.

    “Jika pencairan tahun 2017 diduga tidak ada LPJ kredibel, maka semestinya PPK dan Bendahara tidak melakukan pencairan dana penunjang operasional tahun 2017 sampai 2021,” terangnya.

    Kendati demikian, Boyamin mengaku bahwa pihaknya tetap mengedepankan azas praduga tak bersalah, dan menyerahkan sepenuhnya laporan dugaan tindak pidana korupsi tersebut kepada Kejati Banten.

    “MAKI tetap menjunjung Azas Praduga Tidak Bersalah, laporan aduan ini hanyalah sebagai bahan proses lebih lanjut oleh Kejati Banten, untuk menentukan ada tidaknya dugaan penyimpangan dalam perkara tersebut diatas,” tandasnya. (DZH)

  • MAKI Laporkan Pejabat Bea Cukai Bandara Soetta Karena Dugaan Pemerasan dan Pungli

    MAKI Laporkan Pejabat Bea Cukai Bandara Soetta Karena Dugaan Pemerasan dan Pungli

    TANGERANG, BANPOS – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) melaporkan dugaan tindak pemerasan dan pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh oknum pejabat Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten.

    Dalam laporannya, oknum pejabat Bea Cukai Bandara Soetta itu memeras perusahaan jasa ekspedisi sebesar Rp5 ribu per kilogram barang yang dikirimkan dari luar negeri. Jika tidak dipenuhi, perusahaan jasa ekspedisi tersebut akan ditutup. Total uang yang dikuras oleh oknum tersebut pada satu perusahaan, mencapai hingga Rp1,7 miliar.

    Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengatakan bahwa pelaporan dugaan pemerasan dan pungli itu merupakan hasil koordinasi dengan Menkopolhukam, Mahfud MD. Sehingga pafa 8 Januari lalu, dirinya pun langsung berkirim surat kepada Kejati Banten, melalui sarana media elektronik.
     
    “Adanya dugaan pemerasan/pungli yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) di Bea dan Cukai berdinas di Bandara Soekarno Hatta Tangerang, dimana peristiwa tersebut terjadi pada bulan April 2020 hingga bulan April 2021 atau tepatnya selama setahun,” ujar Boyamin dalam rilis yang diterima BANPOS, Sabtu (22/1).

    Menurutnya, dugaan pemerasan dan pungli tersebut dilakukan dengan modus menekan kepada sebuah perusahaan jasa ekspedisi yaitu PT. SQKSS baik secara tertulis maupun lisan atau verbal.

    “Tertulis berupa surat peringatan tanpa alasan yang jelas dan verbal berupa ancaman penutupan usaha perusahaan tersebut. Semua dilakukan oknum tersebut dengan harapan permintaan oknum pegawai dipenuhi oleh perusahaan,” katanya.
     
    Boyamin mengatakan, oknum tersebut diduga meminta uang setoran sebesar Rp5 ribu per kilogram barang kiriman dari luar negeri. Namun, pihak perusahaan hanya mampu memberikan sebesar Rp1 ribu per kilogram.

    “Oleh sebab itu usahanya terus mengalami gangguan selama satu tahun, baik verbal maupun tertulis. Meskipun perusahaan telah melakukan pembayaran dugaan pemerasan/pungli, menurut oknum tersebut jumlah yang dibayarkan di bawah harapan sehingga akan ditutup usahanya, meskipun berulang kali perusahaan telah menjelaskan kondisi keuangan sedang sulit karena terpengaruh kondisi Covid-19,” terangnya.
     
    Ia mengatakan, oknum tersebut berinisial AB yang merupakan pejabat bea cukai setingkat Eselon III dengan jabatan sejenis Kepala Bidang, dan inisial VI merupakan pejabat setingkat Eselon IV dengan jabatan sejenis Kepala Seksi di kantor Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta Tangerang.
     
    “Modus dugaan pemerasan/pungli adalah Terlapor menelpon dan meminta pertemuan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta Timur. Untuk menghilangkan jejak, terlapor pada saat pertemuan meminta agar nomor HP orang keuangan dan staffnya yang terlibat dalam penyerahan uang selama setahun diserahkan dan diganti nomor karena takut disadap,” katanya.

    Ia menduga, kedua oknum itu menghubungi pihak perusahaan melalui sambungan telepon untuk meminta ‘jatah’ mereka agar dapat segera diserahkan. “Akhirnya terlaksana penyerahan uang  dugaan nominal sekitar Rp1,7 miliar,” ucapnya.

    Ia pun menduga masih banyak perusahaan lainnya yang menjadi korban pemerasan dan pungli oleh oknum Bea Cukai Bandara Soetta tersebut. Namun yang berani untuk buka suara, hanya satu perusahaan saja. Kemungkinan, perusahaan yang lain lebih memilih tetap mempertahankan kelangsungan usaha mereka.

    “Laporan aduan dugaan pemerasan/pungli ini telah mendapat tanggapan untuk ditindaklanjuti oleh Kejati Banten. MAKI akan mengawal laporan ini dalam bentuk mengajukan gugatan Praperadilan apabila mangkrak proses penanganannya,” tandasnya.

    (RUS/DZH/ENK)