Tag: Media online

  • Rakyat Merdeka Digital Makin Ngegas…

    Rakyat Merdeka Digital Makin Ngegas…

    SERANG, BANPOS – Langkah konvergensi yang dilakukan Rakyat Merdeka atau karib disebut RM ke ranah digital, mendapat sambutan antusias publik. Itu terlihat dari jangkauan dan langganan di beberapa platform digital yang terus melesat naik alias ngegas.

    Media cetak yang dua dekade terakhir mendedikasikan diri di segmentasi berita politik ini, mendapat momentumnya pada Pemilu 2024.

    Di platform website misalnya, jumlah tampilan di media online dengan url www.rm.id naik di kisaran 250 persen dalam satu semester terakhir. Rata-rata, jumlah pengguna bertambah 2,2 juta dan 3,6 juta tampilan. Sebuah tren positif untuk portal yang masih berumur 3 tahun ini.

    Sementara di media sosial, jumlah follower RM.ID di TikTok juga terus naik. Pada Senin (4/3/2024), sudah tembus 62,7 ribu pengikut, dan mendapat 1,5 juta suka. Bahkan, beberapa postingan di platform berbasis video pendek dengan nama akun @_rakyatmerdeka ini, berhasil menggaet hingga puluhan juta view.

    Di YouTube, kanal Rakyat Merdeka TV juga menunjukkan perkembangan yang signifikan. Platform medsos berbasis video ini, sudah mengantongi 13,5 ribu subscriber. Beberapa video di program unggulan seperti Podcast Rakyat Merdeka, Ngegas, Muda Podcast dan The Podlitics berhasil menembus ratusan ribu view.

    Platform digital lain yang juga dirambah RM Digital adalah Instagram dan Facebook. Keberadaan RM di dua medsos besutan Mark Zuckerberg ini, juga mendapat sambutan hangat dan meraup puluhan ribu follower.

    Perluasan jangkauan pembaca juga mulai dilakukan RM di X. Jangkauan pembaca, interaksi dan follower di medsos kepunyaan Elon Musk ini, juga terus meningkat.(ENK)

  • 97 Persen Pengaduan Pers Didominasi Media Online

    97 Persen Pengaduan Pers Didominasi Media Online

    SERANG, BANPOS – Pengaduan Pers yang masuk ke Dewan Pers sepanjang tahun 2022 mencapai 691 kasus. Jumlah tersebut meningkat sedikit dari tahun 2021 yang sebanyak 621, dan sebanyak 97 persen aduan yang masuk ke Dewan Pers tersebut terkait dengan sengketa pemberitaan, berasal dari media digital atau media online.

    Demikian diungkapkan oleh Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers pada Dewan Pers, Yadi Hendriana, dalam konferensi pers ‘Dewan Pers Menyapa’ pada Selasa (17/1).

    Yadi menjelaskan, pihaknya menyoroti bahwa saat ini merupakan era disrupsi, sehingga media online merupakan media yang dapat dengan cepat menjangkau banyak orang, atau borderless. Bersasarkan jenis pelanggarannya, salah satunya adalah verifikasi.

    “Berapa persen? Hampir 97 persen yang dilakukan oleh media online. Artinya apa? Artinya kita harus berbenah,” ujarnya.

    Menurutnya, beberapa media yang dilaporkan adalah tidak melakukan verifikasi. Meskipun demikian, untuk tingkat penyelesaian kasus atau sengketa pada tahun 2022 mencapai sekitar 96 persen atau di atas 631 kasus yang sudah diselesaikan.

    “Karena ilmu yang paling dalam dan harus dilakukan oleh pers adalah dalam setiap karyanya adalah verifikasi, verifikasi, dan verifikasi. Tapi untuk penyelesaian sengketa sudah sekitar 96 persen atau 631 kasus,” jelasnya.

    Selain pelanggaran verifikasi, jenis pelanggaran media online kedua yang yang dilaporkan yaitu adanya berita yang sifatnya hoaks dan fitnah. Maka, Yadi menegaskan bahwa Dewan Pers tidak menganggap berita hoaks dan fitnah adalah karya pers.

    “Itu justru adalah karya yang merusak pers. Jadi kami dari Komisi Pengaduan dan Dewan Pers menekankan kepada rekan-rekan semua, mengajak mari kita benahi konten kita sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers,” terangnya.

    Pada. kesempatan tersebut, Yadi menyampaikan bahwa Undang-undang (UU) Pers merupakan UU yang keberadaannya menjadi payung hukum bagi pers yang profesional, bukan pers yang hanya menumpang kemerdekaan pers. Tak hanya itu, ada juga karya jurnalistik yang dilaporkan dan diduga melanggar yaitu karya jurnalistik yang melakukan provokasi seksual.

    “Banyak sekali media online yang melakukan provokasi seksual. Ini kami kategorikan bukan karya pers,” tegasnya.

    Yadi mengaku, pihaknya menemukan beberapa kesalahan dan dianggap sebagai kelainan produk pers pada konten provokasi seksual. Maka, pihaknya tidak menganggap konten itu sebagai karya jurnalistik, karena berdampak buruk terhadap masyarakat.

    “Dewan Pers dalam menghadapi karya jurnalistik bersifat ‘provokasi seksual’, kami tidak menunggu aduan. Tetapi kami langsung melakukan pemanggilan dan langsung kami minta take down,” ucapnya.

    Ia menegaskan kepada awak media yang masih memiliki konten bernuansa provokasi seksual, untuk segera dihapuskan. Yadi pun meminta kepada awak media untuk bisa membuat konten-konten yang dapat menginspirasi publik, menjelang Pemilu 2024.

    “Kami meminta kepada seluruh awak media, untuk bisa membuat konten-konten yanh dapat menginspirasi publik jelang Pemilu 2024,” tandasnya. (MUF)