SEJAK pendiriannya, Provinsi Banten telah diharapkan menjadi wadah bagi perkembangan ekonomi dan sosial di wilayahnya, terutama di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang. Namun, kenyataannya, kemiskinan masih menjadi isu serius yang menghantui kedua kabupaten tersebut.
Meskipun tujuan pendirian Banten sebagian besar didasarkan pada keberadaan kedua daerah ini, bantuan dan perhatian dari pemerintah provinsi terhadap Lebak dan Pandeglang terlihat kurang memadai. Salah satu contoh yang mencolok adalah pemberian bantuan keuangan yang belum mampu mendongkrak pembangunan.
Kemiskinan yang masih menghantui Lebak dan Pandeglang menjadi permasalahan utama dalam konteks ini. Tingkat kemiskinan yang tinggi di kedua kabupaten ini mengakibatkan kualitas hidup masyarakat rendah, akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan terbatas, serta peluang ekonomi yang minim.
Padahal, saat pendirian Provinsi Banten, salah satu alasan kuatnya adalah keberadaan Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus untuk pembangunan yang lebih merata.
Namun, pemerintah provinsi terkesan kurang memberikan perhatian serius terhadap pembangunan di Lebak dan Pandeglang. Alokasi anggaran yang tidak sebanding dengan daerah-daerah yang lebih maju, serta kebijakan yang kurang mendukung pengembangan potensi lokal, semakin memperlebar jurang ketidaksetaraan pembangunan di Provinsi Banten.
Ketidakmerataan ini juga mencerminkan dalam hal akses terhadap fasilitas pendidikan dan peluang kerja. Masyarakat di Lebak dan Pandeglang sering kali menghadapi tantangan dalam mendapatkan pendidikan berkualitas dan pekerjaan yang layak, yang pada gilirannya berdampak pada peningkatan tingkat kemiskinan.
Satu tokoh terbentuknya Provinsi Banten Hassan Alaydrus, menyatakan bahwa kondisi Lebak saat ini belum sejalan dengan cita-cita pendirian Provinsi Banten yang digadang-gadang. Hassan mengaku kecewa dengan kondisi Banten, terutama dengan Kabupaten Lebak yang saat ini masih belum bisa maju walaupun sudah menjadi daerah otonomi baru selama 23 tahun.
Hassan Alaydrus yang kini genap berusia 79 tahun tersebut menegaskan, sampai saat ini Pemerintah Provinsi Banten masih belum mampu dalam mengurus atau mengelola pemerintahan secara baik.
Menurutnya, hal tersebut terlihat dengan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola sumberdaya dan potensi-potensi yang ada di Banten.
“Pemerintah sekarang ga becus, liat aja misalnya ikan mas, belut, itu dari mana (produksi luar. red)? Malah tidak dimaksimalkan. Padahal Banten berdiri untuk kemajuan masyarakat,” kata Hassan saat ditemui BANPOS di kediamannya, Rabu (16/8).
Hassan menjelaskan, untuk memajukan suatu wilayah harus ditunjang dengan fasilitas pendukung yang memadai mulai dari pendidikan, kesehatan hingga ekonomi.
“Bagaimana mungkin IPM kita mau naik kalau mereka (Pemprov) tidak bisa memfasilitasi,” tandasnya.
Tokoh Banten lainnya, Akhmad Jazuli Idris, menyebut, masalah utama di Banten Selatan, khususnya di dua kabupaten yaitu Lebak dan Pandeglang baik sebelum maupun setelah terbentuknya Provinsi Banten adalah kebodohan, kemiskinan dan ketertinggalan.
Sementara untuk kondisi di Lebak dan Pandeglang, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ) masih berada di kisaran angka 76, yang menurutnya menunjukkan pendidikan, kesehatan, perekonomian, daya beli masyarakat belum terlalu menggembirakan.
“Contohnya, rata-rata lama pendidikan di Lebak itu baru 6,8 tahun alias belum tamat SMP’.. Juga tingkat kematian ibu dan Bayi per 1.000 Kelahiran juga masih tinggi. Pengangguran juga masih banyak. Dan saya juga melihat kondisi di Pandeglang juga tidak jauh berbeda dengan kondisi di Lebak,” ujar Jazuli.
Menurutnya, perlu ada kebijakan afirmatif dari Pemprov Banten menyangkut bantuan Anggaran untuk Lebak dan Pandeglang. selain kreatifitas dari pemerintah kabupaten dalam mencari dan meningkatkan PAD.
“Kemampuan Keuangan Daerah Lebak dan Pandeglang saat ini beru mencapai 18 Persen. Selebihnya masih menggantungkan diri kepada Dana APBN yaitu dari DAK, DAU, Dana Perimbangan,” ujarnya.
Dosen STISIP Banten Raya, Ari Supriadi mengatakan, semangat otonomi daerah pada tahun 2000, Banten yang memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat adalah bagaimana untuk mendekatkan pelayanan publik serta pemerataan pembangunan fisik dan non fisik serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Namun saat ini terlihat kedua daerah tersebut masih belum merdesa, alias belum menjadi tempat yang layak atau patut, karena masih terjadi ketimpangan.
“Poin tersebut sangat penting dan mendasar. Pertanyaannya apakah itu sudah tercapai dengan merata?” kata Ari kepada BANPOS, Kamis (17/8).
Dijelaskannya, mengutip dari data BPS, walaupun Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Banten pada 2022 tumbuh di angka 5,03 persen atau mengalami tren yang positif jika dibandingkan tahun sebelumnya.
“Namun, angka tersebut juga masih dibawah rata-rata nasional di angka 5,32 persen. Mengambil contoh, LPE Kabupaten Pandeglang pada tahun yang sama secara tren mengalami pertumbuhan di angka 3,24 persen dari sebelumnya 3 persen, namun tentu masih jauh dari rata-rata LPE Banten di angka 5,03 persen dan nasional di angka 5,31 persen,” terangnya.
Menurutnya, dari salah satu yang dicontohkan tersebut dapat terlihat jika Pemprov Banten maupun Pemkab Pandeglang belum optimal dalam melakukan kebijakan fiskal yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara merata.
“Saat ini pertumbuhan ekonomi serta pembangunan infrastruktur cenderung lebih besar ke wilayah yang sudah maju, seperti Tangerang Raya,” ujarnya.
Mestinya, Pemprov Banten bisa lebih peduli dengan mendorong kebijakan yang mampu menstimulasi pertumbuhan pembangunan, ekonomi dan lainnya di wilayah selatan.
“Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan menaikkan alokasi bantuan keuangan (bankeu) ke Kabupaten Pandeglang dan Lebak,” ungkapnya.
Akademisi yang juga salah satu tokoh pendiri Provinsi Banten, Soleh Hidayat menyebut, pembangunan infrastruktur sebagai prioritas pembangunan di wilayah Lebak Selatan yang menjadi tanggung jawab provinsi sudah mulai dirasakan masyarakat di Banten selatan.
“Seperti keberadaan Jalan Saketi Malingping. Jalan Nasional Simpang-Bayah hingga ke perbatasan Jawa Barat. Itu cukup memuaskan. Dan bukan hanya jalan, termasuk RSUD Malingping untuk melayani kesehatan di ujung selatan Banten. Bahkan kini juga RS Cilograng sudah ada, untuk melayani masyarakat perbatasan dengan Sukabumi. Ini salah satu terobosan besar dari Provinsi Banten,” terang Soleh.
Menurutnya, pembangunan infrastruktur untuk wilayah Lebak Selatan sudah terasa dalam lima tahun terakhir. Termasuk untuk sarana dan prasarana pendidikan.
“Untuk pembangunan sekolah juga sudah merata, SMK dan SMA sudah ada di tiap titik pelosok kecamatan Lebak-Pandeglang,” klaimnya.
Mantan Rektor Untirta dua periode ini pun meminta para wakil rakyat asal dua daerah itu jangan lelah melakukan kontroling. “Untuk wakil rakyat di DPRD Banten dan DPR RI, khususnya dari daerah pemilihan Lebak Pandeglang, tolong jangan lelah untuk terus memperjuangkan aspirasi pembangunan untuk Banten selatan, semua pelaksanaan pembangunan yang sedang dan sudah digarap perlu pengawasan,” katanya.
Soleh juga menyebut laju ekonomi dan pariwisata di Lebak selatan yang mulai bangkit. Katanya, yang lebih urgen untuk pemerataan adalah soal pemekaran daerah otonomi baru (DOB).
“Agar pemerataan semakin luas dan terasa serta pelayanan semakin mudah, makanya pemekaran DOB di Banten Selatan perlu segera diwujudkan. Karena dari kemudahan pelayanan itulah awal kesejahteraan rakyat dimulai,” paparnya.
Menyikapi adanya tuntutan tentang pemerataan pembangunan dan juga Bantuan Keuangan Provinsi untuk Kabupaten Lebak dan Pandeglang yang lebih adil, Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar mengatakan Pemprov Banten terlebih dahulu harus melihat komposisi anggaran yang tersedia.
Setelahnya, Pemprov Banten akan melakukan pertimbangan terhadap penetapan alokasi anggaran tersebut, apakah akan ada peningkatan jumlah Bankeu di tahun 2024 atau tidak.
“Nanti pembahasan RAPBD nya akan terus bergulir di proses itulah nanti kita lihat, bagaimana komposisi yang memungkinkan untuk kita kontribusikan kepada Kabupaten/Kota,” kata Al Muktabar kepada BANPOS saat ditemui di Gedung Pendopo Gubernur Banten pada Kamis (17/8).
Menurut Al, penetapan anggaran itu dirasa penting, sebab melalui program tersebut Pemprov Banten dapat membantu melakukan percepatan pembangunan di kabupaten/kota.
“Karena prinsipnya itu adalah dalam rangka mengakselerasi kewenangan provinsi yang secara teknis memerlukan bridging (jembatan) kepada kabupaten/kota untuk mempercepat capaian-capaiannya,” ujar Al.
Sementara itu Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Banten, Rina Dewiyanti menyampaikan bahwa secara total, ada kenaikan jumlah alokasi anggaran untuk pelaksanaan program Bankeu Daerah untuk Kabupaten/Kota di tahun anggaran 2024.
Hanya saja saat disinggung perihal besaran nominal kenaikannya, Rina mengatakan bahwa pihaknya belum bisa menyampaikan hal tersebut. Sebab menurut keterangannya, hal itu dikarenakan saat ini pembahasan mengenai penetapan RAPBD Tahun Anggaran 2024 masih terus bergulir.
“Kita masih menunggu persetujuan RAPBD nya. Tetapi kalau dari struktur di rancangan awal, kita ada peningkatan untuk secara total jumlah Bantuan Keuangan Provinsi kepada Kabupaten/Kota,” kata Rina.
Rina juga menjelaskan dalam penyalurannya, tiap daerah menerima bantuan keuangan dengan besaran yang berbeda-berbeda disesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing.
Kebutuhan itu diukur berdasarkan rumus yang ditentukan dari beberapa indikator yang disesuaikan di antaranya seperti luas wilayah, indeks kepadatan penduduk, tingkat kemiskinan, indeks kemahalan konstruksi, dan indikator lainnya.
Penetapan indikator-indikator itu penting untuk dilakukan, selain karena memperhatikan aspek berkeadilan, juga supaya tidak terjadinya ketimpangan antara satu daerah dengan daerah lainnya dalam upaya penyaluran bantuan keuangan tersebut.
“Kita harus support dari beberapa hal indikator yang menjadi bagian penilaian terhadap besaran itu, di samping dengan program yang sudah kita salurkan melalui program kegiatan yang ada di OPD teknisnya,” jelasnya.
Berkaca pada tahun anggaran 2023, Pemprov Banten mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan program penyaluran Bankeu Daerah untuk Kabupaten/Kota sebesar Rp125 miliar.
Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak, dan juga Kabupaten Pandeglang disebut sebagai daerah dengan jumlah penerimaan terbesar sekitar Rp30 miliar.
Sementara untuk wilayah Tangerang Raya hanya menerima bantuan keuangan sebesar Rp5 miliar di tiap daerahnya.
“Kalau tidak salah Kabupaten Serang, kemudian Lebak, kemudian Pandeglang sekitar Rp30 miliar, untuk Tangerang Raya Rp5 miliar,” tandasnya. (MYU/DHE/PBN)