KLAIM Kepolisian Resort (Polres) Serang Kota maupun Kepolisian Daerah (Polda) Banten yang menyatakan bahwa penjualan barang bukti minyak goreng yang dilakukan oleh Polres Serang Kota maupun Polres Lebak merupakan kesepakatan antara penyidik Kepolisian dengan penuntut dan hakim telah dibantah. Baik oleh pihak Kejaksaan Negeri Serang maupun pihak Pengadilan Negeri Serang.
Dua lembaga penegak hukum itu menegaskan bahwa langkah penjualan barang bukti minyak goreng oleh Polres Serang Kota merupakan inisiatif dari Kepolisian sendiri. Sedangkan pihak Kejari Serang maupun PN Serang tidak tahu menahu mengenai hal tersebut. Sebab, tahapan perkara itu masih dalam tahapan penyidikan oleh pihak Kepolisian.
Kejari Serang dalam pernyataan yang disampaikan oleh Kasi Intel Kejari Serang, Mali Diaan, mengatakan bahwa perkara tersebut belum dilimpahkan kepada Kejari Serang. Sehingga, Kejari Serang belum memiliki kewenangan untuk memberikan arahan kepada penyidik.
Hal itu juga disampaikan oleh salah satu sumber BANPOS di Kejari Serang. Menurut sumber BANPOS, klaim adanya kesepakatan antara penyidik dan penuntut, dalam hal ini Kejari Serang, untuk melakukan penjualan barang bukti tidaklah benar. Namun diakui, penyidik Polres Serang Kota telah berkonsultasi dengan Kejari Serang untuk menjual barang bukti tersebut.
“Kalau dari kami mah silahkan saja, asalkan memperhatikan Pasal 45 KUHAP. Kalau nanti ternyata tidak sesuai, mungkin kami tidak akan terima perkaranya. Karena ini belum dilimpahkan, masih penyidikan. Kecuali misalkan ada di tahap P-19, kami bisa berikan arahan dan petunjuk,” tutur sumber BANPOS.
Sementara PN Serang melalui Humasnya, Uli Purnama, mengatakan bahwa penjualan barang bukti minyak goreng itu sepenuhnya merupakan tanggungjawab dari pihak Polres Serang Kota. Oleh karena itu, seharusnya Polres Serang Kota lah yang memberikan penjelasan secara rinci berkaitan dengan langkah penjualan barang bukti itu.
“Penjualan barang bukti tersebut menjadi tanggung jawab pihak Polres Serang Kota. Dan tentunya media bisa bertanya kepada pihak Polres Serang Kota, apa alasan melakukan penjualan barang bukti,” katanya.
Uli yang juga menyampaikan keterangannya dalam rangka klarifikasi pemberitaan BANPOS pada edisi Jumat (11/3) lalu itu, mengatakan bahwa pihak Pengadilan Negeri Serang tidak pernah mengeluarkan izin penjualan barang bukti tersebut.
“PN Serang sampai dengan berita ini dimuat, tidak pernah memberikan statemen izin penjualan barang bukti tersebut. Sehingga Pengadilan tidak dalam kapasitas kewenangannya mengambil sikap lepas tangan atau tidak, dalam pelaksanaan penjualan tersebut,” terangnya.
Dalam statemen yang disampaikan oleh praktisi hukum, Ferry Reynaldi, disebutkan bahwa terdapat sejumlah pelanggaran aturan yang dilakukan oleh Polres Serang Kota maupun Polres Lebak dalam penerapan Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Salah satunya terkait dengan penjualan dengan cara lelang melalui lembaga pelelangan negara seperti KPKNL dan DJKN.
“Jadi yang harus dilakukan adalah Lelang, bukan bazar seperti itu. Dan dalam pelaksanaannya pun, harus menggandeng lembaga lelang negara seperti KPKNL dan DJKN. Kalau alasannya lama lagi prosesnya, tetap harus dilakukan. Tidak ada diskresi untuk itu,” ucapnya.
Ia pun mempertanyakan terkait dengan dasar Polres Serang Kota dan Polres Lebak dalam melakukan penjualan barang bukti minyak goreng. Sebab, ada klasifikasi yang jelas dalam Pasal 45 KUHAP terkait dengan barang bukti yang dapat dijual meskipun belum mendapatkan keputusan dari pengadilan.
“Dalam Pasal 45 secara jelas menyatakan barang mudah rusak atau berbahaya. Maka pertanyaannya, apakah minyak goreng ini masuk kategori barang mudah rusak barang yang berbahaya,” ujarnya.
Ia menuturkan, jika Kepolisian menganggap bahwa minyak goreng tersebut merupakan barang yang mudah rusak, maka Kepolisian harus bisa membuktikan hal itu. Sebab dalam penjelasan Pasal 45, harus ada lembaga ahli dalam menentukan barang masuk kategori mudah rusak.
“Apa yang menjadi alasan minyak goreng itu masuk ke dalam kategori mudah rusak? Apakah karena expirednya? Siapa lembaga ahli yang menyatakan mudah rusak sesuai Pasal 45? Kan ada BPOM mungkin,” ungkapnya.
Ferry juga mempertanyakan selisih penjualan barang bukti yang dijual. Menurutnya, jika tersangka membeli minyak goreng dengan harga grosir, maka seharusnya muncul selisih keuntungan dari penjualan yang dilakukan oleh Kepolisian.
“Sekarang dijualnya dengan harga eceran tertinggi (HET), katakanlah Rp14 ribu. Tersangka pasti membeli dengan harga grosir yang lebih murah. Pertanyaannya, kemana selisih lebih hasil penjualannya itu?,” ucap Ferry.
Di sisi lain, Ferry menuturkan jika seharusnya Kepolisian bukan menjual barang bukti tersebut untuk membantu masyarakat di tengah kelangkaan minyak goreng. Namun membongkar jaringan distributor minyak goreng.
“Tersangka ini kan membeli ya, sudah pasti ada distributornya. Lalu kita juga melihat ada sejumlah elemen masyarakat yang juga menggelar bazar minyak goreng. Artinya ketersediaan minyak goreng itu ada, Kepolisian harus membongkar kenapa bisa langka,” ungkapnya.
Ia pun mendorong agar Komisi III pada DPR RI untuk dapat turun ke Provinsi Banten, guna melakukan investigasi mengenai permasalahan minyak goreng yang tengah terjadi di Banten.
Berbagai pertanyaan yang disampaikan oleh Ferry maupun bantahan yang disampaikan oleh Kejari Serang maupun PN Serang pun BANPOS coba klarifikasi kepada Polres Serang Kota. Sekitar pukul 13.00 WIB, BANPOS mendatangi Polres Serang Kota untuk mewawancarai Kapolres Serang Kota, AKBP Maruli Ahiles Hutapea, pada Senin (14/3).
Akan tetapi, berdasarkan keterangan dari staf Polres Serang Kota yang ditemui BANPOS, Kapolres tengah menghadiri kegiatan di Kota Cilegon. Saat BANPOS mencoba menghubungi melalui sambungan telepon, Kapolres tidak menjawab panggilan tersebut.
Tidak dapat menemui Kapolres, BANPOS pun mencoba mendatangi Kasatreskrim Polres Serang Kota, AKP David Adi Kusuma. Akan tetapi, David pun tidak ada di ruangannya. Saat dihubungi melalui sambungan telepon, David mengaku bahwa dirinya tengah melakukan rapat, namun tidak di Polres Serang Kota.
Sekitar pukul 17.00 WIB, AKP David menghubungi BANPOS melalui pesan WhatsApp. David meminta agar wawancara dilakukan dengan metode berkirim pesan WhatsApp. BANPOS pun bertanya terkait dengan dasar diambilnya kebijakan penjualan barang bukti minyak goreng tersebut.
“Perkara yang kami tangani sudah berproses dan tinggal melengkapi berkas penyidikan buat tahap 1 ke Kejaksaan, kebijakan pimpinan untuk menjual kembali BB (barang bukti) dikarenakan kelangkaan, dijual berdasarkan harga HET sesuai persetujuan dari TSK (tersangka) dan hasil koordinasi antara penyidik, JPU, dan Pengadilan. Nanti hasil penjualan tersebut tetap disita untuk perkara lanjut,” ujarnya.
Ditanya terkait dengan ketentuan pasal 45 KUHAP yang mensyaratkan barang bukti yang diamankan baik dengan dijual maupun dimusnahkan harus merupakan kategori barang bukti mudah rusak maupun berbahaya serta adanya bantahan dari pihak Kejari Serang maupun PN Serang, David tidak menjawab dan malah melontarkan pertanyaan kepada awak BANPOS.
“Di tempat mbak apakah minyak langka? Klo boleh saya tanya,” jawabnya. Ia pun melanjutkan dengan mengatakan bahwa dirinya tengah melakukan konferensi video. “Maaf ya saya sedang vicon (video conference),” lanjutnya.
Sayangnya, ketika BANPOS mencoba kembali mendalami terkait dengan perkara penjualan minyak goreng tersebut, David tidak kunjung menjawab. Bahkan, ketika BANPOS kembali mencoba menanyakan mengenai ketentuan lelang yang harus dilakukan dalam penjualan barang bukti, serta harga pokok pembelian minyak goreng tersangka, pesan yang dikirimkan hanya ceklis satu atau tidak terkirim.
Namun kontak David dilihat menggunakan gawai awak BANPOS lainnya, WhatsApp David tengah berstatus online. Diduga awak BANPOS yang melakukan konfirmasi tersebut, diblokir nomor WhatsApp-nya oleh David.
(DZH/ENK)